Surat Al-Falaq adalah salah satu dari dua surat pendek dalam Al-Qur'an yang dikenal sebagai Mu'awwidzatain (dua surat perlindungan), bersama dengan Surat An-Nas. Diturunkan di Mekkah, surat ini memiliki makna yang mendalam sebagai permohonan perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai kejahatan yang tampak maupun tersembunyi. Memahami tafsirnya dapat memberikan ketenangan hati dan keyakinan dalam menghadapi cobaan hidup.
Qul a'uudzu birabbil falaq
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan yang Maha Penguasa fajar."
Ayat pertama ini memulai bacaan dengan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk memohon perlindungan. Kata "Qul" (Katakanlah) menunjukkan bahwa ini adalah instruksi ilahi yang berlaku juga bagi seluruh umat Islam. "A'uudzu" berarti aku berlindung, meminta perlindungan, tempat berlindung, atau meminta pertolongan. Kata "Rabbil Falaq" sering diartikan sebagai Tuhan yang menguasai fajar. Fajar adalah permulaan hari, waktu ketika kegelapan malam mulai sirna dan terang mulai muncul. Para ulama menafsirkan "Al-Falaq" dengan beberapa makna, di antaranya:
Minsyarrima khalaq
Dari kejahatan (seluruh) makhluk-Nya.
Setelah memohon perlindungan kepada Tuhan Penguasa fajar, ayat kedua merinci dari apa perlindungan itu diminta: yaitu dari kejahatan seluruh ciptaan Allah. Ini adalah cakupan yang sangat luas. Kejahatan di sini bisa berarti kejahatan yang berasal dari:
Wa min syarri ghaasiqin idzaa waqab
Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.
Ayat ketiga secara spesifik memohon perlindungan dari kejahatan yang muncul di malam hari, terutama saat kegelapan sudah sempurna ("idzaa waqab"). Malam hari seringkali dianggap sebagai waktu yang lebih rentan terhadap kejahatan dan bahaya karena visibilitas yang terbatas. Di malam hari, banyak hal buruk yang terjadi seperti pencurian, perampokan, dan kegaduhan lainnya yang mungkin sulit dideteksi. Selain itu, kegelapan malam juga dapat dikaitkan dengan godaan setan dan pengaruh negatif yang lebih kuat. Dengan memohon perlindungan dari kejahatan malam, seorang mukmin menegaskan bahwa bahkan dalam kondisi tergelap sekalipun, pertolongan Allah selalu ada.
Wa min syarrin-naffaa-tsaati fil 'uqad
Dan dari kejahatan wanita-wanita penyihir yang meniup pada buhul-buhul.
Ayat keempat ini secara khusus menyebutkan kejahatan dari "an-naffaa-tsaat fil 'uqad". Mayoritas mufassir menafsirkannya sebagai para wanita penyihir yang melakukan ritual sihir dengan meniupkan mantra pada tali atau buhul. Sihir adalah bentuk kekuatan yang bathil dan dapat menimbulkan mudarat bagi pelakunya maupun korbannya. Perlindungan dari sihir ini penting karena dampaknya bisa sangat merusak, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Ayat ini mengingatkan kita untuk waspada terhadap segala bentuk praktik yang menyimpang dari ajaran agama dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Ini juga menunjukkan bahwa ada kejahatan yang bersifat gaib dan memerlukan perlindungan khusus dari Allah.
Wa min syarri haasidin idzaa hasad
Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.
Ayat terakhir ini memohon perlindungan dari kejahatan orang yang dengki. Hasad atau iri dengki adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Orang yang dengki tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat atau kebaikan, bahkan ia berharap nikmat itu hilang dari orang lain. Kejahatan dengki bisa termanifestasi dalam bentuk ucapan, perbuatan, atau bahkan niat buruk yang dapat merugikan orang yang didengkinya. Penyakit hati ini bisa menghancurkan tatanan sosial dan pribadi. Dengan berlindung kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki, seorang mukmin memohon agar dijauhkan dari perasaan iri dan agar orang lain tidak menyakitinya karena kedengkian mereka.