Tafsir Mendalam Surat Al-Fatihah Menurut Imam Ibnu Katsir
Pendahuluan: Keutamaan dan Nama-Nama Surat Al-Fatihah
Surat Al-Fatihah, yang berarti ‘Pembukaan’ (Fatihatul Kitab), memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam. Ia adalah surat pertama dalam susunan mushaf, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah ia diturunkan di Mekah (Makkiyah) atau Madinah (Madaniyah), atau bahkan diturunkan dua kali. Pendapat yang kuat, sebagaimana dipegang oleh Ibnu Katsir dan mayoritas ulama, adalah bahwa Al-Fatihah termasuk surat Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian.
Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa surat ini dikenal dengan banyak nama, yang menunjukkan keagungannya. Di antara nama-nama yang disebutkan dalam riwayat adalah:
- Ummul Kitab (Induk Kitab) atau Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an): Disebut demikian karena ia mencakup ringkasan dari seluruh tujuan dasar Al-Qur'an, yaitu tauhid, janji dan ancaman, serta hukum-hukum.
- As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang): Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Surat ini diwajibkan dibaca berulang kali dalam setiap rakaat shalat.
- Al-Kanz (Perbendaharaan), Al-Wafiyah (Yang Sempurna), dan As-Shalah (Shalat): Nama ‘As-Shalah’ berasal dari Hadits Qudsi yang masyhur, di mana Allah berfirman: “Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian.”
- Ar-Ruqyah (Pengobatan): Ini didasarkan pada kisah sahabat yang menggunakan Al-Fatihah sebagai ruqyah untuk mengobati sengatan kalajengking.
Ibnu Katsir mengutip Hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Pembukaan Kitab).” Ini menunjukkan statusnya sebagai rukun shalat yang tidak sah ditinggalkan, memberikan landasan hukum yang kuat yang diuraikan lebih lanjut dalam tafsirnya.
Tafsir Ayat 1: Hukum dan Makna Basmalah
(Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)
Hukum Basmalah dalam Al-Fatihah
Ibnu Katsir membahas perbedaan pendapat ulama mengenai apakah Basmalah (Bismi Allahi Ar-Rahmani Ar-Rahim) merupakan ayat pertama dari Surat Al-Fatihah, ataukah ia hanya sebagai pemisah antara surat-surat. Beliau merangkum pandangan ulama sebagai berikut:
- Pendapat yang Menganggap Basmalah sebagai Ayat Pertama Al-Fatihah: Ini adalah pandangan mazhab Syafi'i, salah satu riwayat dari Ahmad, dan qira’at dari para qurra’ (pembaca) Kufah (seperti Asim dan Kisa'i). Dalil mereka adalah Hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membacanya dengan jahr (lantang) dalam shalat.
- Pendapat yang Menganggap Basmalah Bukan Bagian dari Al-Fatihah: Ini adalah pandangan mazhab Maliki, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka berdalil bahwa Basmalah hanya diturunkan untuk memisahkan surat-surat, dan Al-Fatihah adalah tujuh ayat tanpa Basmalah, di mana ayat terakhirnya dihitung sebagai dua ayat (yaitu ayat 6 dan 7).
Meskipun demikian, Ibnu Katsir menegaskan bahwa para ulama sepakat Basmalah harus ditulis di awal setiap surat (kecuali At-Taubah), dan ia dianjurkan dibaca sebelum memulai perbuatan baik, mengikuti perintah Allah.
Analisis Linguistik Kata Per Kata
Makna 'Ism' (Nama)
Pembahasan dimulai dengan kata ‘Ism’. Secara harfiah berarti ‘Nama’. Memulai dengan ‘Bismillah’ mengandung makna: “Aku memulai perbuatanku ini dengan memohon pertolongan dan berkah dari Nama Allah.” Ini merupakan pernyataan tauhid bahwa permulaan segala urusan yang baik harus disandarkan kepada Kekuatan Yang Maha Esa.
Makna 'Allah'
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘Allah’ adalah Nama Dzat yang wajib disembah, yang memiliki semua sifat kesempurnaan dan kemuliaan. Ini adalah nama yang paling agung dan khusus bagi Rabb semesta alam, tidak boleh digunakan untuk selain-Nya. Nama ini merupakan Ismul A’zham (Nama Paling Agung) menurut banyak ulama, dan ia mencakup makna dari semua nama dan sifat-Nya yang lain. Allah adalah satu-satunya tujuan dalam ibadah.
Makna 'Ar-Rahman' dan 'Ar-Rahim'
Kedua nama ini berasal dari akar kata rahmah (kasih sayang). Ibnu Katsir menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya:
- Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih): Merupakan bentuk kata yang lebih intensif (sighah mubalaghah) dan mencakup sifat kasih sayang yang luas dan umum, meliputi seluruh makhluk-Nya, baik mukmin maupun kafir, di dunia ini. Sifat ini hanya dimiliki oleh Allah.
- Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang): Merupakan bentuk yang lebih spesifik, merujuk kepada kasih sayang yang akan Allah berikan secara khusus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di Akhirat. Ini menunjukkan kasih sayang yang berkesinambungan dan berlaku atas perbuatan baik hamba.
Mengutip Qatadah, Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa Ar-Rahman adalah rahmat bagi dunia dan Akhirat, sementara Ar-Rahim khusus bagi Akhirat. Penyebutan kedua nama ini secara berdampingan dalam Basmalah menunjukkan bahwa Allah mencakup rahmat yang umum sekaligus rahmat yang spesifik, memotivasi hamba untuk bertobat dan berharap.
Tafsir Ayat 2: Hakikat Pujian dan Ketuhanan Semesta Alam
(Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.)
Makna 'Al-Hamd' (Pujian)
Ibnu Katsir memulai dengan membedakan antara Al-Hamd (Pujian) dan Asy-Syukr (Syukur). Secara ringkas, Al-Hamd adalah pujian yang diberikan kepada seseorang atas sifat-sifatnya yang mulia, baik ia memberikan nikmat kepada Anda atau tidak. Sementara Asy-Syukr adalah rasa terima kasih yang spesifik atas nikmat yang telah diterima.
Penggunaan kata Al-Hamdu dengan penambahan Alif dan Lam (Al-) menunjukkan sifat keumuman (isti'ghraq), yang berarti segala jenis pujian, baik yang diucapkan di masa lalu, sekarang, maupun yang akan datang, adalah milik Allah semata. Pujian ini tidak terbagi dan tidak dapat diserahkan kepada selain-Nya karena hanya Allah yang berhak memilikinya secara mutlak, sebab Dia adalah Pencipta segala kesempurnaan.
Pujian ini merupakan perintah kepada hamba-Nya untuk memuji-Nya, sekaligus penegasan bahwa Allah adalah Dzat yang terpuji. Ia adalah puncak pengakuan hamba atas segala kebaikan dan keindahan yang berasal dari sumber tunggal.
Makna 'Lillah' (Hanya Bagi Allah)
Kata Lillah (bagi Allah) merupakan penegasan tauhid yang kuat. Seluruh pujian diarahkan kepada Dzat yang satu. Ibnu Katsir mengutip Hadits tentang keutamaan pujian, seperti Hadits yang menyebutkan bahwa ucapan Al-Hamdulillah memenuhi timbangan amal kebaikan.
Makna 'Rabbil-'Alamin' (Tuhan Seluruh Alam)
Makna 'Ar-Rabb' (Tuhan/Pemilik)
‘Ar-Rabb’ adalah salah satu nama dan sifat Allah yang sangat mendasar. Maknanya mencakup beberapa dimensi:
- Al-Malik (Pemilik/Raja): Allah adalah pemilik mutlak segala sesuatu.
- Al-Khaliq (Pencipta): Allah menciptakan semua makhluk dari tiada.
- Al-Mudabbir (Pengatur): Allah mengatur dan mengelola urusan seluruh alam semesta.
- Al-Murabbi (Pendidik/Pemelihara): Allah memelihara, menjaga, dan menyediakan kebutuhan bagi seluruh ciptaan-Nya.
Dengan demikian, Rabb adalah Dzat yang menciptakan, memiliki, mengatur, dan memelihara. Ketaatan kepada-Nya adalah konsekuensi logis dari pengakuan atas status-Nya sebagai Rabb.
Makna 'Al-'Alamin' (Semesta Alam)
‘Al-'Alamin’ adalah bentuk jamak dari ‘Alam’. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ‘Alamin’ mencakup segala sesuatu yang ada selain Allah. Ini adalah istilah universal yang mencakup seluruh jenis makhluk: manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan benda mati.
Diriwayatkan dari Qatadah bahwa ‘Alamin’ adalah setiap kelompok yang hidup di suatu masa atau generasi. Namun, Ibnu Katsir menguatkan pandangan bahwa maknanya lebih umum, yaitu semua yang memiliki akal dan tidak memiliki akal. Penyebutan Rabb seluruh alam menegaskan keluasan kekuasaan dan pemeliharaan Allah, yang melampaui batas ruang dan waktu yang dapat dipahami makhluk.
Tafsir Ayat 3: Penegasan Sifat Rahmat Allah
(Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.)
Ayat ketiga ini merupakan pengulangan penegasan dari sifat Allah yang telah disebutkan dalam Basmalah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pengulangan nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim setelah pujian dan pengakuan ketuhanan semesta alam bukanlah sebuah redundansi, melainkan penekanan yang sangat penting. Pengulangan ini memiliki dua fungsi utama:
Fungsi Pengulangan dalam Konteks Tafsir
1. At-Targhib (Motivasi dan Harapan)
Setelah hamba mengakui Allah sebagai Rabb yang memiliki kekuasaan mutlak (Ayat 2), hati hamba mungkin dipenuhi rasa takut akan keagungan-Nya. Ayat 3 datang sebagai penenang dan motivasi, mengingatkan hamba bahwa kekuasaan mutlak itu dijalankan dengan Kasih Sayang yang luar biasa. Ini membuka pintu harapan (raja’) bagi hamba untuk bertobat dan mendekat, menyeimbangkan antara rasa takut (khauf) dan harapan.
2. Tawassul (Sarana Pendekatan Diri)
Ketika hamba memuji Allah dengan sifat rahmat-Nya, pujian itu menjadi wasilah (sarana) yang kuat untuk memohon pertolongan dan hidayah di ayat-ayat berikutnya (Ayat 5 dan 6). Pengakuan akan rahmat-Nya adalah pengantar yang sempurna sebelum meminta sesuatu yang besar.
Rahmat Allah Meliputi Segala Sesuatu
Ibnu Katsir mengutip Hadits Qudsi yang menyebutkan bahwa Allah berfirman: “Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” Ini adalah prinsip dasar yang ditegaskan dalam Ayat 3. Rahmat Allah, yang diwujudkan melalui sifat Ar-Rahman (kasih sayang universal) dan Ar-Rahim (kasih sayang spesifik bagi mukmin), merupakan fondasi utama interaksi Allah dengan makhluk-Nya. Segala nikmat yang ada di alam semesta, baik yang besar maupun yang kecil, merupakan manifestasi dari sifat rahmat ini.
Penempatan ayat ini juga mempersiapkan mental hamba untuk menerima konsep Hari Pembalasan di ayat selanjutnya, di mana keadilan Allah akan ditegakkan, namun kasih sayang-Nya tetap menjadi penentu utama bagi nasib hamba-hamba-Nya yang beriman.
Tafsir Ayat 4: Kepemilikan Mutlak di Hari Pembalasan
(Pemilik Hari Pembalasan.)
Dua Qira'at (Cara Baca) dan Dampaknya
Ibnu Katsir mencatat adanya dua qira’at utama yang sah dan mutawatir untuk ayat ini, yang keduanya memberikan makna yang saling melengkapi:
- Māliki (dengan ‘a’ panjang): Berarti ‘Raja’ atau ‘Penguasa’ (The King). Ini adalah qira’at mayoritas, termasuk qira’at dari Ashim dan Ya’qub.
- Maliki (dengan ‘a’ pendek): Berarti ‘Pemilik’ (The Owner). Ini adalah qira’at dari Nafi’, Ibnu Katsir (sebagai rawi), dan Abu Amr.
Imam Ibnu Katsir cenderung menjelaskan bahwa makna Māliki (Raja) mencakup makna Maliki (Pemilik), karena seorang raja sejati adalah pemilik segala yang ia kuasai. Sebaliknya, seorang pemilik belum tentu seorang raja. Namun, kedua makna tersebut menegaskan bahwa di Hari Kiamat, Allah adalah satu-satunya entitas yang memiliki kekuasaan mutlak. Semua raja di dunia fana akan kehilangan kekuasaan mereka, dan hanya kepemilikan Allah yang tersisa.
Makna 'Yawmid-Din' (Hari Pembalasan)
‘Yawm’ berarti hari atau masa. ‘Ad-Din’ di sini memiliki makna khusus: balasan, perhitungan, dan penghakiman (al-jazaa’ wal hisab).
Ibnu Katsir menekankan bahwa penyebutan Allah sebagai Pemilik Hari Pembalasan setelah pengakuan sifat rahmat-Nya (Ayat 3) adalah untuk menyeimbangkan jiwa hamba. Jika ayat-ayat sebelumnya menimbulkan harapan, ayat ini menanamkan rasa takut dan kesadaran akan tanggung jawab. Hari tersebut adalah hari keadilan sejati, di mana setiap jiwa akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya.
Hari Pembalasan dinamakan demikian karena pada hari itu, manusia akan sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada yang berkuasa sedikit pun selain Allah. Semua makhluk tunduk, dan tidak ada negosiasi atau pengampunan kecuali yang diizinkan oleh Allah. Hal ini diperkuat oleh firman Allah dalam Surah Al-Infitar, “Kemudian, kamu tahu, apakah Hari Pembalasan itu? Hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu (mutlak) di tangan Allah.”
Pengakuan terhadap kepemilikan Allah atas hari ini merupakan fondasi keimanan pada Hari Akhir, yang merupakan salah satu rukun iman.
Tafsir Ayat 5: Deklarasi Tauhid, Ibadah, dan Permohonan Pertolongan
(Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)
Ayat kelima ini adalah puncak dari Surat Al-Fatihah, jembatan antara pujian kepada Allah (Ayat 1-4) dan permohonan hamba (Ayat 6-7). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ikrar tauhid yang paling sempurna dan paling fundamental.
Prioritas 'Iyyaka' (Hanya Kepada Engkau)
Dalam bahasa Arab, meletakkan kata ‘Iyyaka’ (objek) di depan kata kerja (‘Na'budu’ dan ‘Nasta'in’) berfungsi sebagai pembatasan (hasr) atau pengkhususan. Ini berarti: “Kami tidak menyembah selain Engkau, dan kami tidak meminta pertolongan selain dari Engkau.” Pengkhususan ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyah (Pengesaan dalam peribadatan).
Makna 'Na'budu' (Kami Menyembah)
Ibnu Katsir mendefinisikan ‘Ibadah’ (penyembahan) sebagai puncak dari kerendahan hati, kecintaan, dan ketundukan kepada Allah. Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah dari perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang nampak. Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, ibadah yang diterima harus memenuhi dua syarat utama:
- Ikhlas (Tauhid): Hanya ditujukan kepada Allah semata.
- Ittiba’ (Mengikuti): Sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah ﷺ.
Penggunaan bentuk jamak (‘kami menyembah’) menunjukkan pentingnya dimensi kolektif (jama’ah) dalam ibadah dan menghilangkan egoisme individu. Hamba yang membaca Al-Fatihah dalam shalat, bahkan sendirian, tetap menyatakan diri sebagai bagian dari umat yang menyembah Allah.
Makna 'Nasta'in' (Kami Memohon Pertolongan)
‘Isti’anah’ (memohon pertolongan) adalah kebutuhan hamba akan bantuan Allah untuk melaksanakan ibadah dan seluruh urusan hidupnya. Manusia tidak akan mampu beribadah atau menjalani hidup tanpa bantuan dan taufik dari Allah. Oleh karena itu, Isti’anah harus mengikuti Ibadah, karena ibadah itu sendiri adalah perbuatan yang paling membutuhkan pertolongan Allah.
Ibnu Katsir menekankan pemisahan ini: Ibadah adalah hak Allah yang harus dipenuhi, sementara Isti’anah adalah kebutuhan hamba. Dengan menggabungkan keduanya dalam satu ayat, hamba mengakui bahwa ketaatan dan kesuksesan dalam hidup, baik duniawi maupun ukhrawi, sepenuhnya bergantung pada kehendak dan pertolongan Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun kita harus berusaha (beribadah), hasil dan kekuatan untuk berusaha itu mutlak berasal dari Allah (isti’anah). Tidak boleh ada Isti’anah yang ditujukan kepada makhluk dalam hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah (seperti meminta rezeki, kematian, atau hidayah).
Tafsir Ayat 6: Permintaan Paling Utama—Hidayah menuju Jalan yang Lurus
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.)
Setelah menyatakan tauhid, ibadah, dan ketergantungan penuh kepada Allah (Ayat 5), hamba kemudian mengajukan permohonan paling penting. Permintaan ini, meskipun sederhana dalam kalimatnya, mencakup seluruh kebaikan dunia dan akhirat. Ibnu Katsir menguraikan makna permintaan ini dengan sangat detail.
Makna 'Ihdina' (Tunjukkanlah Kami)
Permintaan ‘Ihdina’ (Hidayah) memiliki dua dimensi utama yang perlu dipahami:
- Hidayah Irsyad wa Dalalah (Petunjuk dan Arahan): Ini adalah petunjuk jalan yang benar, yaitu pengiriman Rasul, penurunan Kitab Suci, dan penjelasan Syariat. Hidayah ini bersifat umum bagi semua manusia.
- Hidayah Taufiq wa Ilham (Taufik dan Ilham): Ini adalah kemampuan untuk mengamalkan petunjuk tersebut, ketetapan hati untuk berpegang teguh pada kebenaran. Ini adalah hidayah khusus yang hanya diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Ketika hamba meminta ‘Ihdina’ dalam shalat, ia meminta kepada Allah agar senantiasa diberikan taufik untuk mengamalkan petunjuk yang sudah ia ketahui, dan agar ia ditambahkan pengetahuan serta keberanian untuk meninggalkan kebatilan.
Makna 'As-Siratal-Mustaqim' (Jalan yang Lurus)
Ibnu Katsir mengumpulkan banyak pendapat salaf (generasi awal) mengenai definisi Jalan yang Lurus. Secara ringkas, Jalan yang Lurus adalah satu jalan yang mengarah langsung kepada Allah, tanpa kebengkokan atau penyimpangan.
Para ulama salaf, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir, memberikan beberapa interpretasi yang pada dasarnya saling menguatkan:
- Menurut Ali bin Abi Thalib: Jalan yang lurus adalah Al-Qur’an.
- Menurut Ibnu Mas’ud: Jalan yang lurus adalah agama yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ untuk kita.
- Menurut Imam Hasan Al-Bashri: Jalan yang lurus adalah jalan Rasulullah ﷺ dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar).
- Pendapat Paling Kuat (Ibnu Katsir): Jalan yang Lurus adalah ketaatan kepada Allah, mengikuti kitab-Nya, dan sunnah Nabi-Nya. Ini adalah jalan yang dihamparkan oleh Allah untuk diikuti, yang berujung pada surga.
Dengan demikian, Al-Fatihah mengajarkan bahwa setelah menetapkan keesaan Allah, prioritas tertinggi hamba bukanlah meminta kekayaan atau kekuasaan, melainkan memohon agar tetap teguh di atas syariat yang benar.
Kebutuhan Abadi akan Hidayah
Pentingnya permohonan hidayah ini terletak pada kenyataan bahwa hidayah bukanlah kondisi statis, melainkan proses yang dinamis. Seorang mukmin, meskipun sudah berada di jalan yang lurus, tetap harus memohon hidayah dalam setiap rakaat shalat. Ini disebabkan oleh tiga hal:
- Manusia rentan terhadap godaan dan penyimpangan.
- Hidayah adalah peningkatan; kita selalu membutuhkan hidayah yang lebih tinggi dari tingkat saat ini.
- Hidayah mencakup keteguhan (tsabat) hingga akhir hayat.
Tafsir Ayat 7: Mengidentifikasi Jalan dan Menghindari Penyimpangan
((Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)
Ayat ini berfungsi sebagai penjelasan dan rincian dari ‘As-Siratal-Mustaqim’ (Jalan yang Lurus) yang diminta di ayat sebelumnya. Ia menjelaskan Jalan Lurus melalui identifikasi positif (siapa yang menempuh jalan itu) dan identifikasi negatif (siapa yang tidak menempuh jalan itu).
Identifikasi Positif: Jalan Orang yang Diberi Nikmat
Ibnu Katsir merujuk pada Surah An-Nisa’ Ayat 69 untuk menjelaskan siapa ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat’ (alladhīna an’amta ‘alayhim). Mereka adalah empat golongan:
- An-Nabiyyin (Para Nabi): Mereka adalah pembawa syariat dan teladan utama.
- As-Shiddiqin (Para Shiddiq): Mereka yang sangat membenarkan kebenaran, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
- Asy-Syuhada’ (Para Syuhada): Mereka yang bersaksi dengan jiwa mereka di jalan Allah.
- As-Shalihin (Orang-Orang Saleh): Mereka yang menjalankan kewajiban agama dan menjauhi larangan.
Jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh semua golongan mulia ini. Ketika seorang hamba memohon hidayah, ia memohon agar amalnya sesuai dengan amalan terbaik dari generasi-generasi terbaik umat manusia.
Identifikasi Negatif: Dua Jenis Penyimpangan
Kemudian, ayat ini mengecualikan dua kelompok yang menyimpang dari Jalan yang Lurus. Kedua kelompok ini mewakili bahaya besar yang mengancam setiap mukmin:
1. Al-Maghdhubi ‘Alayhim (Mereka yang Dimurkai)
Ibnu Katsir menjelaskan, berdasarkan Hadits dan pendapat salaf, bahwa kelompok ini adalah mereka yang memiliki ilmu dan mengetahui kebenaran, namun mereka meninggalkan pengamalan ilmu tersebut karena kesombongan, kedengkian, atau mengikuti hawa nafsu. Mereka dimurkai karena menolak kebenaran setelah mengetahuinya.
Mayoritas ulama tafsir, termasuk Ibnu Katsir, mengaitkan kelompok ini dengan Bani Israil (Yahudi). Meskipun mereka memiliki kitab dan pengetahuan tentang kenabian, mereka menolak ajaran Nabi Muhammad ﷺ karena kesombongan, dan melanggar perjanjian-perjanjian Allah.
2. Adh-Dhallīn (Mereka yang Sesat)
Kelompok ini adalah mereka yang beramal dan beribadah dengan sungguh-sungguh, namun mereka melakukannya tanpa dasar ilmu yang benar. Mereka tersesat dari jalan yang lurus karena kebodohan dan ketiadaan petunjuk, meskipun niat mereka mungkin baik.
Mayoritas ulama tafsir mengaitkan kelompok ini dengan Nashara (Nasrani/Kristen). Mereka sangat tekun dalam ibadah (seperti kerahiban), tetapi menyimpang dari tauhid dan syariat asli karena berpegang pada keyakinan yang tidak didukung oleh wahyu yang murni.
Pemisahan dua kelompok ini memberikan pelajaran penting (sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir): Jalan yang Lurus harus menggabungkan ilmu yang benar dan amal yang benar. Barangsiapa yang hanya berilmu tanpa beramal, ia mirip dengan orang-orang yang dimurkai. Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, ia mirip dengan orang-orang yang sesat.
Pentingnya Mengucapkan 'Amin'
Di akhir Al-Fatihah, dianjurkan untuk mengucapkan ‘Amin’. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘Amin’ bukan bagian dari ayat, tetapi merupakan pengucapan yang sangat ditekankan setelah permohonan doa (Ayat 7). ‘Amin’ berarti “Ya Allah, kabulkanlah permohonan kami ini.” Hadits menyebutkan bahwa jika ucapan ‘Amin’ makmum bertepatan dengan ‘Amin’ malaikat, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.
Ringkasan Hukum dan Faedah dari Tafsir Ibnu Katsir
Secara keseluruhan, Tafsir Surat Al-Fatihah oleh Ibnu Katsir bukan sekadar terjemahan, melainkan fondasi pemahaman Tauhid, Ibadah, dan Permintaan Hidayah. Berikut adalah beberapa faedah hukum dan akidah yang sangat ditekankan:
A. Tauhid dan Akidah
Al-Fatihah adalah ringkasan sempurna dari tauhid. Ayat 2 (Rabbil-‘Alamin) menetapkan Tauhid Rububiyah (pengesaan Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara). Ayat 5 (Iyyaka Na’budu) menetapkan Tauhid Uluhiyah (pengesaan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah). Ayat 1 dan 3 (Ar-Rahman Ar-Rahim) menetapkan Tauhid Asma wa Sifat (pengesaan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya yang sempurna).
Seluruh surat adalah penolakan terhadap syirik dalam segala bentuknya, baik dalam niat (ibadah) maupun dalam mencari pertolongan (isti’anah).
B. Fiqh (Hukum) Shalat
Penekanan terbesar dalam tafsir ini adalah bahwa Al-Fatihah adalah rukun utama dalam shalat. Pendapat bahwa shalat tidak sah tanpa membacanya didukung kuat oleh Hadits, dan Ibnu Katsir menunjukkan bahwa ini adalah pandangan mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan Maliki (meski terdapat perdebatan tentang Basmalah).
C. Prinsip Keseimbangan
Surat ini mengajarkan keseimbangan dalam beragama. Empat ayat pertama (pujian dan pengagungan) memberikan pengetahuan tentang keagungan Allah, menumbuhkan rasa takut (khauf). Tiga ayat terakhir (permohonan) menumbuhkan harapan (raja’). Seorang mukmin harus senantiasa berada di antara khauf dan raja’, tidak berputus asa dari rahmat-Nya, namun juga tidak merasa aman dari azab-Nya.
D. Sifat Doa yang Komprehensif
Doa dalam Al-Fatihah (Ayat 6 dan 7) adalah doa yang paling utama karena ia memprioritaskan hidayah spiritual di atas kepentingan materi duniawi. Hidayah menuju Siratal Mustaqim adalah jaminan kebahagiaan abadi, yang secara otomatis mencakup segala kebaikan dunia.
E. Kewaspadaan terhadap Penyimpangan
Peringatan terhadap dua kelompok penyimpang (yang dimurkai dan yang sesat) mengajarkan perlunya hamba menggabungkan ilmu yang benar (untuk menghindari kesesatan ala Nasrani) dan amalan yang ikhlas (untuk menghindari kemurkaan ala Yahudi). Ini adalah kaidah metodologi (manhaj) bagi setiap Muslim.
Pemahaman yang mendalam terhadap Surat Al-Fatihah, sebagaimana diuraikan oleh Imam Ibnu Katsir, mengungkapkan bahwa surat ini adalah kunci menuju kehidupan yang berlandaskan tauhid murni dan kepatuhan yang utuh. Ia adalah ruh shalat dan ringkasan seluruh ajaran Al-Qur'an. Setiap pengulangan bacaan Al-Fatihah dalam shalat adalah pembaruan janji tauhid, permohonan hidayah, dan pengakuan atas kekuasaan mutlak Allah di dunia dan akhirat.
Demikianlah ringkasan tafsir Surat Al-Fatihah berdasarkan kajian Imam Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir Ad-Dimasyqi (Ibnu Katsir).