Surat Al-Fiil, yang berarti 'Gajah', adalah salah satu surah Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal kenabian di Makkah. Surah yang terdiri dari lima ayat ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam sejarah Islam dan sejarah Jazirah Arab pra-Islam. Ia bukan hanya menceritakan sebuah peristiwa sejarah yang luar biasa, tetapi juga merupakan proklamasi nyata mengenai perlindungan ilahi terhadap Rumah Suci (Ka'bah) dan peringatan keras bagi setiap kekuatan yang mencoba menentang kekuasaan Allah SWT.
Peristiwa yang diceritakan dalam surah ini—serangan oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah—terjadi pada tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sehingga dikenal sebagai 'Tahun Gajah' (Amul Fiil). Kisah ini menjadi penanda bagi kalender Jazirah Arab saat itu, menunjukkan betapa dahsyat dan tak terlupakannya peristiwa tersebut bagi penduduk Makkah dan sekitarnya. Tafsir terhadap Al-Fiil membawa kita pada pemahaman mendalam tentang keagungan Allah, kerentanan kekuatan material, dan keajaiban yang melampaui nalar manusia.
Ilustrasi simbolis Burung Ababil dan Pasukan Gajah
I. Konteks Sejarah dan Kedudukan Surat Al-Fiil
Surat Al-Fiil merupakan surah ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan turun setelah Surat Al-Kafirun. Fokus utamanya adalah kisah tragis dan ajaib yang terjadi di Makkah. Peristiwa ini terjadi kira-kira 50 hingga 55 hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menjadikannya tonggak sejarah yang mengukuhkan posisi Makkah sebagai pusat spiritual yang dilindungi secara langsung oleh kekuatan kosmis Ilahi.
Dalam ilmu tafsir, surah ini berfungsi sebagai bukti nyata (dalil qath'i) akan perlindungan Allah terhadap Ka'bah, yang pada masa itu masih dikelilingi berhala, namun tetap diakui sebagai Baitullah (Rumah Allah) yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Perlindungan ini menunjukkan bahwa kesucian tempat itu melampaui praktik paganisme yang dilakukan oleh penduduk Makkah saat itu.
Latar Belakang Abrahah dan Motivasi Penyerangan
Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Abrahah Al-Ashram, gubernur Yaman (yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum/Ethiopia). Abrahah adalah seorang penganut Kristen yang taat. Ia membangun sebuah gereja besar dan megah di Sana'a, Yaman, yang dinamainya Al-Qulais. Tujuannya adalah untuk mengalihkan pusat ziarah bangsa Arab dari Ka'bah di Makkah menuju gerejanya, demi kepentingan ekonomi dan politiknya.
Ketika mendengar bahwa Ka'bah masih menjadi magnet utama dan bahkan ada insiden yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Al-Qulais (beberapa riwayat menyebutkan ada yang buang hajat atau merusak gereja tersebut), Abrahah murka. Ia bersumpah akan merobohkan Ka'bah. Ia memimpin pasukan yang sangat besar dan kuat, dilengkapi dengan sembilan hingga tiga belas ekor gajah perang, yang dipimpin oleh gajah terbesar bernama Mahmoud. Penggunaan gajah ini adalah manifestasi teknologi militer termutakhir saat itu, melambangkan kekuatan yang tak tertandingi di Jazirah Arab.
Perjalanan Abrahah menuju Makkah penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan arogansi. Setiap kabilah yang mencoba menghalanginya dengan mudah dikalahkan. Ini memperkuat keyakinan Abrahah bahwa tidak ada kekuatan di dunia yang dapat menghentikannya untuk menghancurkan pilar spiritual bangsa Arab.
II. Tafsir Ayat Per Ayat dan Elaborasi Mendalam
Ayat 1: Pertanyaan Retoris tentang Kekuatan Ilahi
(Alam tara kaifa fa'ala rabbuka bi ashabil fiil)
"Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?"
Kalimat pembuka, أَلَمْ تَرَ (Alam tara), secara harfiah berarti "Tidakkah engkau melihat?". Namun, dalam konteks Al-Qur'an yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW (yang lahir pada tahun peristiwa itu terjadi, sehingga tidak melihatnya secara fisik), frasa ini berfungsi sebagai pertanyaan retoris yang bermakna "Tidakkah engkau mengetahui dengan pasti?" atau "Bukankah engkau telah diberi kabar yang meyakinkan?". Ini adalah penekanan bahwa peristiwa tersebut, meskipun di masa lalu, adalah fakta sejarah yang sudah mencapai tingkat kepastian tak terbantahkan (yaqin). Para mufassir klasik seperti Ath-Thabari menjelaskan bahwa penggunaan 'melihat' di sini merujuk pada pengetahuan yang sedemikian jelasnya seperti menyaksikan langsung.
Kata رَبُّكَ (Rabbuka), "Tuhanmu," adalah kunci. Ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah perlindungan spesifik Allah terhadap Nabi Muhammad SAW yang akan lahir dan risalah yang akan dibawanya. Allah menunjukkan keagungan-Nya, bukan hanya sebagai Tuhan semesta alam, tetapi sebagai Pelindung khusus bagi hamba-Nya dan tempat suci-Nya.
Frasa أَصْحَابِ الْفِيلِ (Ashabil Fiil), "Pasukan Bergajah," merujuk kepada seluruh pasukan Abrahah. Gajah adalah simbol kekuatan kolosal yang mereka andalkan. Dalam narasi sejarah yang panjang ini, kita memahami bahwa Abrahah mengira kekuatan materi adalah penentu kemenangan, sebuah pandangan yang akan dihancurkan oleh intervensi Ilahi.
Pakar tafsir kontemporer, seperti Buya Hamka, menekankan bahwa ayat pertama ini memberikan penguatan mental bagi kaum Muslimin yang tengah menghadapi tekanan di Makkah. Jika Allah mampu menghancurkan pasukan sekuat Abrahah, maka Dia pasti mampu menolong kaum Muslimin dari tekanan Quraisy yang jauh lebih lemah. Pesan ini adalah pesan optimisme yang berakar pada sejarah nyata.
Ayat 2: Penggagalan Rencana Kedzaliman
(Alam yaj'al kaidahum fi tadhlil)
"Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?"
كَيْدَهُمْ (Kaidahum) berarti 'tipu daya', 'rencana jahat', atau 'makar'. Dalam konteks ini, tipu daya Abrahah adalah rencana militer yang sistematis untuk menghancurkan fondasi spiritual dan ekonomi bangsa Arab. Allah menyebut rencana ini sebagai 'tipu daya', meremehkan kekuatan militer Abrahah, karena di hadapan kehendak Ilahi, strategi militer secanggih apa pun hanyalah sebuah rencana jahat yang rentan.
فِي تَضْلِيلٍ (Fi tadhlil) berarti "dalam kesia-siaan total" atau "dalam kesesatan/kekacauan". Interpretasi yang paling umum di kalangan mufassir seperti Ibnu Katsir adalah bahwa rencana mereka tidak hanya gagal mencapai tujuan, tetapi juga menyebabkan kebingungan dan kehancuran diri sendiri. Salah satu contoh nyata dari 'tadhlil' ini adalah peristiwa terhentinya gajah Mahmoud. Ketika gajah diarahkan menuju Makkah, ia menolak bergerak, tetapi jika diarahkan ke Yaman atau arah lain, ia akan berjalan normal. Ini menunjukkan bahwa bahkan makhluk terbesar dalam pasukan mereka pun telah diatur oleh kehendak Allah untuk menentang perintah tuannya, mengacaukan moral dan formasi pasukan.
Pengulangan "Alam tara" dan "Alam yaj'al" memperkuat penegasan bahwa kegagalan Abrahah bukanlah kebetulan, melainkan hasil intervensi langsung dari kehendak Allah. Kehancuran mereka adalah sebuah kepastian yang sudah ditetapkan, sebelum Burung Ababil tiba. Kekacauan internal adalah langkah pertama menuju kehancuran total.
Ayat 3: Munculnya Pasukan Ilahi
(Wa arsala 'alaihim tairan ababil)
"Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Ababil)."
Ayat ini memperkenalkan elemen mukjizat yang paling mencolok: طَيْرًا أَبَابِيلَ (Tairan Ababil). Allah mengirimkan 'burung' (*Tayr*) yang sifatnya 'Ababil'.
A. Analisis Linguistik tentang 'Ababil'
Kata أَبَابِيلَ (Ababil) adalah salah satu kata yang paling banyak diperdebatkan maknanya dalam tafsir dan linguistik Arab. Ia bukan kata benda tunggal yang merujuk pada jenis burung tertentu. Para ahli bahasa sepakat bahwa 'Ababil' berarti:
- Kelompok-kelompok yang datang secara berurutan dan terpisah-pisah.
- Dalam jumlah yang sangat besar, tak terhitung.
- Kelompok yang datang dari arah yang berbeda-beda, meliputi seluruh area pasukan.
B. Sifat dan Jenis Burung
Meskipun Al-Qur'an hanya menyebutkan 'Tayr' (burung) tanpa spesifikasi jenis, banyak riwayat dan tafsir mencoba mengidentifikasi mereka:
- Pendapat Mayoritas: Mereka adalah burung yang tidak dikenal oleh penduduk Makkah. Wujudnya aneh, sebagian riwayat menyebutkan ukurannya kecil seperti merpati atau lebih kecil lagi, namun memiliki paruh yang kuat dan cakar yang besar. Mereka membawa tiga batu kecil: satu di paruh dan dua di cakar.
- Makna Teologis: Ketidakjelasan jenis burung ini justru memperkuat mukjizat. Allah tidak perlu menggunakan makhluk besar atau ganas; Dia menggunakan makhluk yang paling lemah dan tak berdaya di mata manusia (burung kecil) untuk menunjukkan bahwa kekuatan sesungguhnya adalah kehendak-Nya, bukan ukuran fisik.
Ayat 4: Mekanisme Pembalasan: Batu dari Sijjil
(Tarmihim bi hijaratim min sijjil)
"Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari Sijjil."
Ayat keempat menjelaskan senjata yang digunakan oleh Ababil: حِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (Hijaratim min Sijjil). Ini adalah inti dari kehancuran Pasukan Gajah.
A. Definisi dan Komposisi 'Sijjil'
Istilah سِجِّيلٍ (Sijjil) muncul di beberapa tempat dalam Al-Qur'an (misalnya, dalam kisah hukuman terhadap kaum Nabi Luth). Para mufassir memberikan interpretasi yang kaya:
- Ibnu Abbas dan Qatadah: Sijjil adalah batu dari tanah liat yang telah dibakar (tanah liat keras, seperti tembikar). Ini menunjukkan bahwa batu tersebut bukan batu biasa di bumi, melainkan telah mengalami proses pemanasan atau pengerasan ilahi.
- Al-Jauhari dan Al-Azhari: Mengaitkan Sijjil dengan kata Persia "Sang wa Gil", yang berarti 'batu dan tanah liat'. Ini menguatkan ide bahwa materi batu tersebut bersifat unik, kombinasi antara mineral bumi yang dipadatkan dengan kekuatan api.
B. Ketepatan dan Kekuatan Penghancur
Keajaiban yang ditunjukkan oleh burung Ababil adalah ketepatan lemparan mereka. Setiap burung membawa 'alamat' takdir untuk korbannya. Ini bukan serangan acak, melainkan serangan yang terorganisir dan sangat presisi. Ketika batu itu mengenai, tubuh korban akan meleleh atau hancur dari dalam, seolah-olah terkena penyakit yang sangat cepat dan mematikan (seperti wabah campak atau cacar air, menurut sebagian riwayat yang dikaitkan dengan pandemi yang terjadi setelahnya).
Kehancuran ini berfungsi sebagai manifestasi dari 'Izzah (Keagungan) dan Jalal (Kemuliaan) Allah. Para pasukan yang sombong itu dihancurkan bukan oleh pedang atau panah, melainkan oleh kekuatan tak terlihat yang dibawa oleh makhluk terkecil, menegaskan bahwa kekuatan militer dan teknologi manusia tidak berarti apa-apa di hadapan takdir ilahi.
Ayat 5: Akhir yang Menghinakan
(Fa ja'alahum ka'asfin ma'kul)
"Lalu Dia menjadikan mereka seperti dedaunan yang dimakan (ulat/binatang)."
Ayat penutup ini memberikan perumpamaan yang sangat puitis dan mengerikan mengenai nasib akhir Pasukan Gajah. كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (Ka'asfin ma'kul) adalah metafora yang kuat yang menandakan kehancuran total dan penghinaan.
A. Analisis Metafora 'Asfin Ma'kul'
عَصْفٍ ('Asfin) berarti 'dedaunan tanaman yang sudah kering', 'kulit biji-bijian yang telah diirik', atau 'jerami'. Ia adalah sisa-sisa tanaman yang tidak lagi memiliki nilai gizi atau kekuatan.
مَّأْكُولٍ (Ma'kul) berarti 'yang telah dimakan' atau 'yang telah digigit/dikunyah'.
Ketika digabungkan, perumpamaan ini memiliki dua makna utama, yang keduanya menunjukkan kehancuran total:
- Dedaunan Kering yang Dikunyah Binatang: Dedaunan yang telah dimakan oleh ternak kemudian dikeluarkan (dibuang) sebagai kotoran. Ini adalah simbol kehinaan yang paling mendalam: pasukan yang tadinya perkasa diubah menjadi sesuatu yang tidak berguna dan menjijikkan.
- Biji-bijian yang Dimakan Ulat: Jerami biji-bijian yang bagian dalamnya telah hancur dimakan serangga atau hama, sehingga bagian luar tampak utuh namun isinya telah keropos dan musnah. Ini menggambarkan bagaimana Abrahah dan pasukannya hancur dari dalam oleh batu Sijjil yang menyebabkan luka internal mematikan, meninggalkan mereka seperti kerangka kosong.
III. Implikasi Teologis dan Filosofis Surat Al-Fiil
Tafsir terhadap Surat Al-Fiil tidak hanya berhenti pada narasi sejarah. Ia menyimpan sejumlah implikasi teologis yang mendasar yang menjadi pilar akidah Islam, terutama dalam konteks tauhid dan kekuasaan Allah (Rububiyah).
1. Pengukuhan Kuasa Mutlak (Tauhid Rububiyah)
Surat Al-Fiil adalah demonstrasi paling jelas bahwa kekuasaan manusia, sekuat apa pun ia dibangun (seperti pasukan gajah), adalah rapuh di hadapan kekuasaan Allah. Abrahah membawa gajah, simbol kekuasaan tertinggi di era itu, untuk menantang Tuhan. Respon Allah adalah pengerahan agen alam (burung) dan materi non-organik (batu) yang kecil, menegaskan bahwa Dia adalah pengatur tunggal alam semesta. Kekuatan-Nya melampaui segala perhitungan materiil.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa orang Mukmin harus berpegangan teguh pada konsep Tauhid Rububiyah: Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pelindung. Ketika ketiadaan sarana manusia terasa, intervensi Ilahi dapat datang dari arah yang paling tidak terduga.
2. Perlindungan Ka'bah dan Kehormatan Makkah
Peristiwa ini, yang terjadi puluhan tahun sebelum dakwah Islam, memberikan legitimasi spiritual yang kuat bagi Makkah. Meskipun pada masa itu Ka'bah dipenuhi berhala, Allah tetap melindunginya. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa perlindungan ini adalah karena dua alasan mendasar:
- Ka'bah adalah monumen tauhid yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, dan fondasi ini harus dipertahankan.
- Peristiwa ini merupakan irhas, atau pendahuluan kenabian. Allah membersihkan panggung sejarah dari kekuatan besar yang arogan sebelum mengutus Nabi terakhir-Nya.
3. Menghukum Keangkuhan (Istikbar)
Abrahah mewakili tipologi keangkuhan yang menentang kesucian dan kebenaran. Ia memiliki kekayaan, pasukan, dan gajah, tetapi ia melupakan Batasan Ilahi. Al-Fiil memberikan pelajaran universal bahwa keangkuhan selalu membawa kehancuran. Konsep Istikbar (keangkuhan yang menolak kebenaran) dihukum dengan Ihanah (penghinaan) yang sempurna, menjadikan pasukan Abrahah hanya seperti sampah yang telah dikunyah.
Ini adalah pengulangan tema yang konsisten dalam Al-Qur'an: Firaun dihancurkan oleh air, yang ia gunakan sebagai sumber kekuasaannya; Pasukan Gajah dihancurkan oleh burung, makhluk yang paling mudah diabaikan. Hukuman Ilahi sering kali datang melalui cara yang paling ironis dan tidak terduga bagi para tiran yang menganggap diri mereka kebal.
IV. Elaborasi Rincian Peristiwa dan Sumber Historis
Untuk memahami sepenuhnya dampak Surat Al-Fiil, kita perlu menelusuri riwayat-riwayat sejarah yang menjadi latar belakang tafsir. Para sejarawan, seperti Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi, mencatat detail penting sebelum burung Ababil tiba.
A. Kedatangan dan Negosiasi
Ketika pasukan Abrahah sampai di Mughammas, dekat Makkah, mereka merampas harta benda penduduk Makkah, termasuk 200 unta milik Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Abdul Muththalib kemudian menemui Abrahah.
Pertemuan ini sangat terkenal. Ketika ditanya mengapa ia tidak meminta keselamatan Ka'bah, tetapi hanya untanya, Abdul Muththalib memberikan jawaban yang mencerminkan imannya kepada Allah (meskipun belum sempurna): "Aku adalah pemilik unta, dan Rumah itu memiliki Pemilik (Rabb) yang akan melindunginya." Jawaban ini menunjukkan bahwa Makkah—meski tanpa pasukan militer—memiliki kepercayaan spiritual yang solid, yang justru meremehkan kekuatan material Abrahah.
Abrahah yang sombong berkata, "Dia tidak akan mampu melindunginya dariku." Abdul Muththalib kemudian kembali, dan bersama kaum Quraisy, mereka mundur ke perbukitan di sekitar Makkah, menyerahkan nasib Ka'bah kepada Allah SWT.
B. Peristiwa Gajah Mahmoud
Pagi hari ketika Abrahah memerintahkan pasukannya untuk maju, Gajah Mahmoud tiba-tiba berlutut dan menolak untuk bergerak menuju Ka'bah. Mahmoud adalah gajah yang terlatih dalam perang, namun ia menunjukkan penolakan yang keras. Meskipun dipukul, dicambuk, dan bahkan dicongkel dengan alat tajam, ia tetap diam menghadap Makkah. Namun, ketika diarahkan ke arah lain (misalnya Yaman atau Syam), ia akan berdiri dan berjalan normal.
Peristiwa 'mogok'nya gajah ini, yang terjadi sebelum kedatangan Ababil, adalah bentuk 'tadhlil' (kekacauan) yang pertama, sebuah tanda bahwa alam raya menentang rencana Abrahah. Ini menunjukkan bahwa pertolongan Allah datang secara berlapis: pertama melalui kebingungan pada gajah, kemudian melalui serangan udara.
C. Waktu Peristiwa dan Korelasinya dengan Kelahiran Nabi
Para sejarawan sepakat bahwa peristiwa Al-Fiil terjadi pada awal tahun yang sama dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Korelasi waktu ini sangat signifikan. Allah sengaja menunjukkan mukjizat agung ini untuk mempersiapkan dunia akan hadirnya Nabi terakhir. Kehancuran kekuasaan tiran yang hendak merusak pusat ibadah adalah deklarasi bahwa era baru, era tauhid murni, akan segera dimulai di tanah suci yang baru saja dimurnikan melalui pertolongan Ilahi.
Ibnu Ishaq mencatat bahwa Abrahah sendiri tidak langsung mati di tempat. Ia mengalami penderitaan yang panjang. Ia ditarik kembali ke Yaman, jari-jarinya mulai lepas satu per satu, dan tubuhnya terus membusuk hingga ia meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan terhina di Sana'a. Ini menunjukkan bahwa hukuman Allah tidak hanya instan, tetapi juga memastikan penderitaan yang proporsional dengan keangkuhan yang ditunjukkan.
V. Analisis Mendalam Mengenai Sifat Burung Ababil dan Sijjil
Kedalaman tafsir modern dan klasik sering kali kembali pada pertanyaan esensial: apakah Burung Ababil dan batu Sijjil harus dipahami secara literal atau metaforis? Mayoritas ulama salaf (pendahulu) dan khalaf (penerus) menegaskan bahwa peristiwa ini bersifat fisik dan mukjizat (karamah/mu'jizat), dan bukan hanya alegori.
A. Sifat Burung Ababil (Literalitas versus Simbolisme)
Para mufassir kontemporer, seperti Syaikh Mutawalli Ash-Sha’rawi, menekankan bahwa Ababil harus dipahami secara literal sebagai burung. Keindahan mukjizat terletak pada kenyataan bahwa kekuatan Allah diwujudkan melalui makhluk yang tampak paling remeh.
Namun, aspek yang sering didiskusikan adalah kemiripan efek batu Sijjil dengan penyakit menular yang parah dan cepat. Beberapa mufassir berpendapat bahwa 'Asfin Ma'kul' (seperti daun yang dimakan ulat) adalah deskripsi yang sangat akurat tentang korban wabah yang mematikan. Ini memunculkan dua pendapat utama:
- Pendapat Fisik Murni: Burung-burung itu menjatuhkan batu kecil yang bekerja seperti proyektil berenergi tinggi, menembus tubuh, dan menghancurkan organ vital.
- Pendapat Pandemi (Wabah): Batu Sijjil mungkin adalah media pembawa penyakit yang sangat cepat menular dan mematikan (seperti cacar atau pes), yang menyebabkan tubuh korban hancur dan membusuk dengan cepat, menyerupai jerami yang dimakan ulat. Dalam hal ini, buru-burung tersebut berfungsi sebagai vektor epidemi yang diutus secara supranatural.
Kedua pandangan tersebut sejalan karena hasil akhirnya sama: kehancuran total dan tiba-tiba, yang melampaui kemampuan alamiah pada saat itu.
B. Kekuatan Sijjil dan Hukum Alam
Jika batu Sijjil adalah tanah liat yang dibakar, bagaimana batu sekecil itu dapat membunuh gajah? Tafsir menjelaskan bahwa ini adalah modifikasi hukum alam (khariq lil 'adah) yang dilakukan oleh Allah SWT. Kekuatan destruktif Sijjil tidak terletak pada massa fisiknya, tetapi pada energi Ilahi yang dimuat di dalamnya. Dalam tafsir Ruhul Ma'ani oleh Alusi, disebutkan bahwa batu-batu tersebut memiliki panas atau energi kaustik yang menyebabkan disintegrasi jaringan tubuh secara instan.
Penjelasan ini membawa kita kembali pada Tauhid Rububiyah: Allah mampu menanamkan energi yang tak terbayangkan pada materi sekecil apa pun, menunjukkan bahwa esensi kekuatan ada di tangan-Nya, bukan pada ukuran objek.
C. Perbandingan dan Penguatan Kisah
Kisah Al-Fiil ini begitu masyhur sehingga orang-orang Makkah selanjutnya menggunakan ‘Tahun Gajah’ sebagai penanda waktu, menggantikan penanda sebelumnya. Ayat-ayat Al-Fiil merupakan rekaman saksi mata kolektif yang tak terbantahkan oleh generasi pertama kaum Muslimin. Bahkan musuh-musuh Nabi Muhammad SAW tidak pernah berani membantah kebenaran kisah ini, karena dampaknya terlalu besar dan sisa-sisa kehancuran pasukan itu masih terlihat di sekitar Makkah selama bertahun-tahun.
VI. Pelajaran Abadi (Ibrah) dari Surat Al-Fiil
Tujuan utama diturunkannya surat ini kepada Nabi SAW dan umatnya adalah untuk mengambil ibrah (pelajaran) yang relevan sepanjang masa. Kisah ini adalah sumber motivasi, peringatan, dan penguatan akidah.
1. Ketidakberdayaan Kekuatan Militer Mutlak
Bagi umat Islam, Surat Al-Fiil mengajarkan bahwa dalam menghadapi musuh yang memiliki kekuatan militer, ekonomi, atau teknologi yang jauh lebih unggul, keimanan dan tawakkal (bergantung) kepada Allah adalah senjata yang tidak terkalahkan. Abrahah adalah lambang imperialisme yang sombong; kehancurannya adalah penghiburan bagi kaum minoritas yang tertindas.
Setiap orang atau entitas yang menganggap diri mereka kebal karena keunggulan materi harus ingat kisah ini. Kehancuran tidak selalu datang dari kekuatan yang setara, melainkan dari titik kelemahan yang tak terpikirkan, yang diatur oleh kehendak Yang Maha Kuasa.
2. Peran Kepemimpinan yang Tawakal
Sikap Abdul Muththalib adalah pelajaran penting. Ia berusaha mendapatkan kembali untanya (kewajiban duniawi), namun untuk Ka'bah (kewajiban agama dan spiritual), ia menyerahkannya sepenuhnya kepada Pemiliknya. Pemimpin sejati adalah mereka yang memahami batas kemampuan manusia dan kapan saatnya bertawakal, mengakui bahwa perlindungan ultimate datang dari Allah, bukan dari senjata atau benteng yang dibuat manusia.
3. Menjaga Kesucian Tempat Ibadah dan Spiritualitas
Al-Fiil adalah pengingat tentang pentingnya menjaga kesucian tempat-tempat ibadah. Meskipun Ka'bah saat itu digunakan dengan cara yang salah (berhala), ia tetap merupakan simbol monoteisme yang harus dipertahankan. Ini mengajarkan pentingnya membela nilai-nilai spiritualitas dan kebenaran, bahkan ketika kondisi tampak mustahil.
4. Kesabaran dan Kepastian Pertolongan
Bagi kaum Muslimin Makkah yang menderita penganiayaan, kisah ini adalah janji. Sebagaimana Allah tidak membiarkan Abrahah menang, Dia juga tidak akan membiarkan kezaliman Quraisy bertahan selamanya. Pertolongan mungkin tidak datang melalui cara yang diharapkan (misalnya pertarungan pedang), tetapi ia pasti akan datang pada waktu yang tepat dan melalui mekanisme yang menunjukkan keagungan Allah.
Secara esensial, Surat Al-Fiil adalah Surah tentang Ya'qin (Keyakinan Mutlak). Keyakinan bahwa skema manusia, betapapun canggihnya, hanyalah sebuah garis kecil dalam desain besar kosmos yang diatur oleh Allah, Yang Maha Perencana. Keyakinan ini adalah fondasi moral yang diperlukan bagi setiap Muslim untuk menghadapi tantangan zaman yang didominasi oleh kekuatan materialistik dan arogansi teknologi. Surah ini membalut lima ayat yang ringkas, namun sarat dengan sejarah, keagungan, dan pelajaran yang tak pernah usang dimakan waktu.
Elaborasi tafsir ini terus berlanjut hingga abad modern, di mana para ulama menafsirkan kembali kisah Abrahah sebagai peringatan terhadap kekuatan-kekuatan modern yang mencoba mendominasi dunia dengan mengandalkan teknologi militer dan kekayaan, seraya melupakan etika dan batasan ilahi. Kekuatan gajah hari ini mungkin berupa senjata nuklir, kekuatan ekonomi global yang menindas, atau teknologi pengawasan massal, namun nasib akhir bagi setiap keangkuhan, seperti yang dialami oleh Pasukan Gajah, adalah كَفَأَصْفٍ مَّأْكُولٍ – kehancuran total yang memalukan dan tanpa sisa.
Keseluruhan narasi Surah Al-Fiil adalah sebuah permata historis dan teologis yang menunjukkan bagaimana Allah SWT melindungi Rumah-Nya dan sekaligus menetapkan prinsip-prinsip moral universal: bahwa keadilan ilahi pasti akan mengalahkan keangkuhan material, dan bahwa yang lemah dapat menjadi alat bagi kehancuran yang kuat. Pengulangan tema ini dalam literatur tafsir Arab, dari Al-Qurtubi hingga Sayyid Qutb, menekankan relevansi kekal kisah ini sebagai mercusuar harapan bagi mereka yang merasa tak berdaya menghadapi kezaliman.
Surat ini menutup lingkaran sejarah: dimulai dengan pertanyaan retoris, berakhir dengan kepastian hukuman. Ia adalah surat yang menjamin bahwa janji Allah untuk melindungi kebenaran dan tempat-tempat suci-Nya adalah janji yang pasti, sebuah realitas yang terukir dalam sejarah Makkah, tepat pada saat fajar risalah kenabian akan menyingsing.