Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang penuh hikmah, terdapat sebuah surat pendek namun padat makna yang seringkali menarik perhatian para penafsir dan pencari ilmu. Surat tersebut adalah Surat At-Tin. Dinamakan demikian karena dimulai dengan sumpah Allah SWT atas dua buah yang memiliki nilai historis dan nutrisi tinggi, yaitu buah tin dan zaitun. Sumpah ini menjadi penanda pentingnya pesan yang akan disampaikan dalam surat ini.
Allah SWT berfirman dalam permulaan surat At-Tin:
Mengapa Allah bersumpah atas kedua buah ini? Para ulama tafsir memiliki berbagai pandangan. Ada yang berpendapat bahwa tin dan zaitun adalah simbol dari berbagai kenikmatan duniawi yang diberikan Allah kepada manusia, termasuk kenikmatan jasmani dan kesehatan. Buah tin dikenal kaya akan serat, vitamin, dan mineral, sementara zaitun adalah sumber minyak yang berkhasiat luar biasa, sebagaimana yang diakui oleh ilmu pengetahuan modern.
Pandangan lain menyatakan bahwa buah tin dan zaitun merujuk pada tempat-tempat istimewa. Buah tin tumbuh subur di Syam (Palestina, Suriah, Yordania, Lebanon), tanah para nabi seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan zaitun banyak tumbuh di wilayah Baitul Maqdis, tempat di mana banyak peristiwa kenabian terjadi. Sumpah atas kedua buah ini sekaligus menjadi pengingat akan anugerah besar yang Allah berikan pada bumi para nabi.
Setelah melakukan sumpah yang mendalam, Allah kemudian menegaskan tujuan penciptaan manusia:
Ayat ini mengungkapkan kemuliaan penciptaan manusia. Diberikan akal pikiran, kemampuan berbicara, bentuk tubuh yang tegak, dan potensi untuk meraih derajat tertinggi di sisi Allah. Namun, kemuliaan ini tidak bersifat permanen jika manusia tidak menjaga amanah yang telah diberikan.
Allah melanjutkan dengan sebuah konsekuensi jika manusia menyalahgunakan karunia tersebut:
Ayat ini menggambarkan dua kutub nasib manusia. Di satu sisi, ada yang tetap pada fitrahnya, bahkan meningkat derajatnya melalui keimanan dan amal shalih. Mereka inilah yang akan mendapatkan balasan surgawi yang tak terhingga. Di sisi lain, ada yang justru terjerumus ke lembah kehinaan, merendahkan martabat dirinya sendiri akibat kekufuran, kedurhakaan, dan kemaksiatan. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya, dan konsekuensinya akan ditanggung sendiri.
Surat At-Tin kemudian beralih mengingatkan tentang Hari Kiamat, sebuah peristiwa dahsyat yang pasti akan datang:
Pertanyaan retoris ini menyentak kesadaran kita. Mengapa ada manusia yang masih mengingkari atau meragukan hari pertanggungjawaban? Padahal, segala bukti kekuasaan Allah tampak jelas di alam semesta, yang seharusnya mengantarkan pada keyakinan akan kebangkitan dan hisab.
Dan di akhir surat, Allah menegaskan kembali status-Nya sebagai Hakim Tertinggi:
Penegasan ini memberikan keyakinan bahwa setiap amal, baik yang kecil maupun besar, akan diperhitungkan dengan adil. Tidak ada satu pun kebaikan yang luput dari balasan, dan tidak ada satu pun keburukan yang terlewatkan dari perhitungan. Allah adalah Al-Hakam, Sang Hakim yang paling bijaksana dan adil.
Secara keseluruhan, Surat At-Tin mengajak kita untuk merenungi tiga hal fundamental:
Ayat-ayat tambahan surat At-Tin ini membekali kita dengan pemahaman yang utuh mengenai makna keberadaan kita di dunia, tujuan akhir kehidupan, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta melalui keimanan dan amal shalih. Ia adalah sebuah pengingat yang lembut namun tegas, agar kita senantiasa berada di jalan yang diridhai-Nya, memanfaatkan sebaik-baiknya anugerah akal dan potensi yang diberikan, serta tidak pernah lalai dari perhitungan akhir.