Simbol ketauhidan yang sederhana namun bermakna.
Surah Al-Bayyinah, yang berarti "Bukti yang Nyata", merupakan salah satu surah dalam Al-Qur'an yang menyoroti hakikat kebenaran Islam dan konsekuensi dari penerimaan atau penolakan terhadapnya. Ayat kelima dari surah ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena merangkum esensi dari ajaran Islam yang murni, yaitu ibadah yang ikhlas hanya kepada Allah semata.
وَمَا أُمِرُوٓا إِلَّا لِيَعْبُدُوا ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ ۗ
Terjemahan: "Padahal mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan (agar) mereka melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan itulah agama yang lurus."
Ayat ini secara lugas menyatakan bahwa tujuan utama dari perintah ilahi kepada umat manusia, khususnya melalui para rasul, adalah untuk menyembah Allah SWT. Namun, ibadah yang diperintahkan bukanlah sekadar gerakan fisik atau pengucapan kata-kata tanpa makna. Penekanannya terletak pada dua aspek krusial: ikhlas dan hanif (lurus/condong kepada kebenaran).
Ikhlas berarti memurnikan niat dalam beribadah. Seluruh amal perbuatan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, haruslah ditujukan semata-mata karena Allah. Tidak ada riya' (pamer), sum'ah (ingin didengar), atau motif duniawi lainnya yang menyertai ibadah tersebut. Keikhlasan inilah yang menjadi pondasi utama diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Tanpa ikhlas, ibadah yang dilakukan seolah-olah terbang tanpa sayap, tidak memiliki nilai spiritual yang berarti.
Kata "hanif" sendiri memiliki makna condong atau berpaling dari kesesatan menuju kebenaran. Dalam konteks ini, "hanif" merujuk pada agama yang lurus, yaitu agama tauhid yang diajarkan oleh para nabi dan rasul, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. Umat diperintahkan untuk memeluk agama ini dengan penuh keyakinan, menjauhi segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) dan takhayul.
Lebih lanjut, ayat ini juga menyebutkan dua pilar penting dari ibadah yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, yaitu salat dan zakat. Salat adalah hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya, sarana untuk memohon pertolongan, perlindungan, dan bimbingan. Salat yang dikerjakan dengan khusyuk dan ikhlas akan menjadi tiang agama yang kokoh dalam diri seorang Muslim. Sementara itu, zakat adalah manifestasi kepedulian sosial seorang Muslim terhadap sesama, membersihkan harta, dan menumbuhkan rasa empati. Pelaksanaan salat dan zakat yang benar mencerminkan kesempurnaan ibadah seseorang kepada Allah yang mencakup aspek vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama manusia).
Frasa terakhir dalam ayat ini, "wa dzalika dinul qayyimah," menegaskan bahwa ajaran yang berlandaskan keikhlasan dalam beribadah, keteguhan dalam tauhid, serta pelaksanaan salat dan zakat, adalah agama yang lurus dan benar. Agama yang lurus ini adalah agama yang diridhai oleh Allah, agama yang membawa keselamatan di dunia dan akhirat. Agama ini berbeda dengan agama-agama yang menyimpang, yang mengajarkan kesesatan, atau yang mencampurkan kebenaran dengan kebatilan.
Ajaran ini bersifat universal dan abadi. Sepanjang sejarah, para nabi dan rasul diutus untuk menyampaikan risalah yang sama: seruan untuk menyembah Allah semata. Perbedaan mungkin ada pada syariat atau tata cara ibadah yang disesuaikan dengan kondisi zaman dan umatnya, namun inti ajaran tauhid dan keikhlasan tetaplah sama.
Bagi umat Muslim, ayat ini menjadi pengingat yang sangat kuat. Dalam setiap aktivitas, terutama yang berkaitan dengan ibadah, kita senantiasa diingatkan untuk memeriksa kembali niat kita. Apakah kita berbuat sesuatu hanya karena Allah? Apakah kita ingin mendapatkan pujian dari manusia? Renungan ini penting agar ibadah kita tidak sia-sia.
Selain itu, ayat ini juga mendorong kita untuk terus meningkatkan kualitas salat kita, menjadikannya sebagai momentum untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Begitu pula dengan zakat, yang bukan hanya kewajiban harta, tetapi juga sarana untuk membersihkan jiwa dan menebar kebaikan. Dengan mengamalkan nilai-nilai dalam Surah Al-Bayyinah ayat 5 ini, diharapkan kita dapat menjadi hamba Allah yang sejati, yang senantiasa berada di jalan yang lurus dan diridhai-Nya.