Al-Qur'an, kalamullah yang abadi, tidak dapat dipisahkan dari medium pewahyuannya: اللغة العربية (Al-Lughah Al-Arabiyah). Bahasa Arab, dengan kekayaan sintaksis, morfologi, dan fonetiknya, menjadi wadah sempurna untuk menampung keindahan dan kedalaman makna ayat-ayat suci. Namun, keistimewaan Al-Qur'an tidak hanya terletak pada bahasanya semata, melainkan juga pada bentuk visual penulisannya—sebuah sistem ortografi kuno yang dikenal sebagai Rasm Utsmani.
Struktur tulisan tulisan Al-Qur'an bahasa Arab adalah subjek studi yang luas, mencakup sejarah, linguistik, teologi, dan seni. Ia adalah jembatan yang menghubungkan teks lisan (Qira'at) dengan representasi visual (Rasm). Studi mengenai rasm ini bukan sekadar kajian paleografi biasa, melainkan sebuah disiplin ilmu agama yang memastikan keutuhan dan kesahihan Mushaf dari generasi ke generasi. Setiap guratan, setiap diakritik, dan setiap kaidah penulisan dalam Al-Qur'an memiliki sejarah dan justifikasi yang mendalam, menjadikannya berbeda secara fundamental dari penulisan bahasa Arab kontemporer (Imla'i).
Artikel ini akan menyelami secara komprehensif perjalanan epik tulisan Al-Qur'an bahasa Arab, dimulai dari asal-usul aksara Arab pra-Islam, standarisasi yang dilakukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan (Rasm Utsmani), evolusi sistem tanda baca, hingga manifestasi estetika puncaknya dalam seni kaligrafi. Memahami Rasm Utsmani adalah memahami bagaimana umat Islam menjaga otentisitas firman Tuhan melalui ketelitian visual yang tak tertandingi dalam sejarah penulisan naskah suci.
Representasi visual huruf Arab dan titik diakritik, melambangkan sistem penulisan suci.
Aksara Arab yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an berakar dari rumpun aksara Semitik. Secara historis, ia berkembang dari aksara Nabatea, yang merupakan turunan dari aksara Aram. Di Jazirah Arab, sebelum Islam, aksara yang dominan adalah aksara Musnad (Arab Selatan), namun aksara yang menjadi dasar penulisan Al-Qur'an adalah aksara yang dikenal sebagai Al-Jazm atau Al-Nabat al-Hiri, yang berkembang di wilayah utara (kini Irak selatan) dan digunakan oleh suku Quraisy.
Pada masa awal turunnya wahyu, aksara Arab masih sangat primitif. Ia dicirikan oleh:
Naskah-naskah pra-Utsmani, seperti fragmen Sana'a dan naskah-naskah awal lainnya, menunjukkan kekakuan dan kesederhanaan gaya penulisan ini, yang dikenal sebagai gaya Kufi Awal (Kufi Primitif). Kemampuan membaca naskah ini sangat bergantung pada tradisi lisan (talaqqi) dan pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab.
Meninggalnya banyak penghafal (huffazh) dalam Perang Yamamah mendorong kekhawatiran Khalifah Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan seluruh catatan Al-Qur'an menjadi satu mushaf. Proses pengumpulan pertama ini menghasilkan Mushaf Imam (Mushaf Abu Bakar).
Namun, penyebaran Islam yang meluas ke Persia, Syam, dan Mesir—di mana orang-orang non-Arab mulai membaca Al-Qur'an—menimbulkan variasi dan kesalahan bacaan yang signifikan. Untuk mengatasi ancaman distorsi ini, Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 25 H (646 M) memerintahkan komite yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin ulang dan menstandardisasi mushaf berdasarkan dialek Quraisy. Hasil dari proses ini adalah Rasm Utsmani, standar penulisan yang diakui dan digunakan hingga hari ini.
Rasm Utsmani adalah nama teknis untuk ortografi yang digunakan oleh para Sahabat dalam penulisan enam mushaf standar yang dikirimkan ke pusat-pusat kekuasaan Islam (Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, dan satu disimpan di Madinah). Keputusan Utsman adalah membakar atau meniadakan semua mushaf lain yang berbeda, sehingga hanya menyisakan Mushaf Utsmani sebagai otoritas tunggal ortografi tertulis.
Meskipun Rasm Utsmani menstandardisasi kerangka dasar (skeletal structure) huruf, ia masih belum memiliki titik dan vokal. Dalam beberapa dekade berikutnya, kebutuhan untuk membaca teks dengan benar oleh non-Arab menjadi mendesak, terutama setelah kekacauan politik dan linguistik pasca-perang saudara.
1. Penambahan Titik (Nuqath Al-I’jam): Ilmuwan yang sering dikreditkan dengan inisiasi penambahan titik pembeda huruf adalah Abu al-Aswad ad-Du'ali (w. 68 H), atas perintah Ziyad ibn Abihi, gubernur Basrah. Namun, titik yang ia gunakan saat itu berbeda: ia menggunakan titik besar berwarna merah untuk menunjukkan harakat (vokal) di atas, di bawah, atau di samping huruf, bukan untuk membedakan huruf homograf.
Titik pembeda huruf (Nuqath Al-I’jam), yang memisahkan ب dari ت atau ج dari ح, baru distandardisasi oleh Yahya ibn Ya’mur dan Nashr ibn ‘Ashim, murid-murid Ad-Du'ali, pada akhir abad ke-1 Hijriah. Titik-titik ini biasanya ditulis dengan tinta hitam, berbeda dari titik vokal.
2. Penambahan Tanda Vokal (Harakat/Tashkil): Sistem vokal yang kita kenal sekarang (fathah, kasrah, dammah) yang berbentuk garis miring atau bulatan kecil, distandarisasi dan disempurnakan oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H). Beliau mengganti sistem titik merah Ad-Du'ali dengan simbol-simbol yang berasal dari huruf-huruf Arab sendiri:
Melalui usaha kolektif para ulama awal ini, tulisan Al-Qur'an bahasa Arab bertransformasi dari sebuah kerangka konsonan yang ambigu menjadi teks yang sepenuhnya berotak dan berharakat, siap dibaca oleh umat di seluruh dunia tanpa mengubah satu pun struktur konsonan Rasm Utsmani yang asli.
Rasm Utsmani (atau Rasm al-Mushaf) bukanlah sekadar ejaan lama; ia adalah sistem penulisan suci yang memiliki aturan unik dan kaku yang tidak ditemukan dalam penulisan bahasa Arab kontemporer (Imla'i Qiyasi). Para ulama menyimpulkan bahwa Rasm Utsmani wajib dipertahankan karena ia merupakan kesepakatan (Ijma') para Sahabat, dan ada dimensi teologis di balik setiap kaidahnya yang aneh (ghair qiyasi).
Rasm Utsmani dapat diringkas dalam enam kaidah dasar yang membedakannya dari Imla'i modern:
Ini adalah kaidah yang paling sering ditemui. Al-Hazf berarti penghilangan sebuah huruf, biasanya vokal panjang, meskipun huruf tersebut diucapkan. Tujuannya seringkali terkait dengan dialek atau makna teologis.
Az-Ziyadah adalah penambahan huruf yang tidak diucapkan. Huruf yang ditambahkan hanya berfungsi sebagai penguat visual atau untuk menandakan kondisi gramatikal tertentu, namun tidak dibaca saat membaca teks (wakfan wa waslan).
Al-Badal adalah penggantian satu huruf dengan huruf lain yang memiliki bunyi yang sama atau mirip, biasanya untuk mengadopsi dialek tertentu atau untuk alasan estetika.
Ini berkaitan dengan apakah dua kata harus ditulis bersambung atau terpisah. Dalam Imla'i modern, aturannya jelas, tetapi Rasm Utsmani seringkali menyajikan pengecualian:
Pada Rasm Utsmani, تاء مربوطة (tā’ marbūṭah) terkadang ditulis sebagai تاء مفتوحة (tā’ maftūḥah) atau tā’ ṭawīlah. Contoh paling terkenal adalah kata رحمت (raḥmat) yang di beberapa tempat ditulis dengan ta’ maftuhah, seperti dalam Surah Hud. Para ulama qira'at berpendapat bahwa penulisan ta’ maftuhah ini mengindikasikan bahwa kata tersebut secara khusus merujuk pada jenis rahmat tertentu atau mengandung makna yang lebih umum (tanpa idhofah).
Penulisan Hamzah dalam Rasm Utsmani juga mengikuti kaidah yang berbeda dari Imla'i modern, seringkali mengabaikan aturan kursi hamzah (waw, ya, atau alif) demi kesederhanaan visual naskah asli.
Mengapa umat Islam bersikeras mempertahankan Rasm Utsmani, meskipun lebih sulit daripada Imla'i modern? Jawabannya terletak pada keterkaitannya yang erat dengan Ilmu Qira'at (variasi pembacaan).
Mushaf Rasm Utsmani berfungsi sebagai kerangka dasar yang dapat mengakomodasi seluruh tujuh, sepuluh, atau empat belas varian Qira'at yang shahih. Misalnya, sebuah kata yang ditulis tanpa Alif (sebagai Al-Hazf) mungkin dapat dibaca dengan vokal panjang (sesuai Qira’at tertentu) atau vokal pendek (sesuai Qira’at lain). Jika teks diubah ke Imla'i Qiyasi, maka akan menghilangkan kemungkinan pembacaan (Qira'at) yang telah diakui secara mutawatir.
Dengan demikian, Rasm Utsmani bukan hanya ortografi, melainkan sebuah ‘Mushaf Imla’i’ yang dirancang oleh para Sahabat untuk menjadi wadah yang fleksibel namun ketat bagi keanekaragaman lisan yang diizinkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Gambar Mushaf Al-Qur'an terbuka, melambangkan keutuhan teks Rasm Utsmani.
Tidak mungkin membahas tulisan Al-Qur'an bahasa Arab tanpa membahas Ilmu Qira'at (cabang ilmu yang mempelajari variasi pembacaan). Rasm Utsmani adalah cetak biru (blueprint) statis, sementara Qira'at adalah manifestasi lisan yang dinamis dari teks tersebut. Hubungan antara keduanya adalah salah satu keajaiban pelestarian Al-Qur'an.
Meskipun terdapat banyak variasi pembacaan, yang diakui secara mutawatir (diriwayatkan oleh rantai perawi yang sangat banyak sehingga mustahil berbohong) adalah sepuluh qira'at, dengan yang paling populer adalah Tujuh Qira'at (Qira’at Sab’ah). Para Imam ini (Nafi', Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah, dan Al-Kisa'i) mewakili tradisi pembacaan yang berbeda, yang semuanya sesuai dengan tiga syarat utama:
Di sinilah kehebatan Rasm Utsmani terlihat: kerangka konsonannya yang minimalis memungkinkan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk mencakup semua qira'at ini. Misalnya, sebuah kata mungkin dibaca dengan dammah (Qira’at A) atau dengan kasrah (Qira’at B) asalkan struktur konsonannya sama. Ortografi visual Al-Qur'an dirancang untuk menjadi inklusif terhadap tradisi lisan yang kaya.
Agar pembacaan (tilawah) sesuai dengan Qira'at yang dipilih (misalnya Qira'at Hafs ‘an Ashim yang paling umum), Mushaf modern menambahkan sistem tanda Tajwid yang sangat rinci (Dhabt). Tanda-tanda ini diletakkan di atas Rasm Utsmani yang tidak boleh diubah.
Beberapa tanda Tajwid dan Dhabt yang krusial:
Sistem Dhabt inilah yang melengkapi kerangka Rasm Utsmani. Rasm memberikan bentuk huruf, Dhabt memberikan panduan pembacaan dan pelafalan (fonologi) yang benar sesuai dengan Qira'at yang diikuti.
Perlu dicatat bahwa sistem Dhabt ini tidak seragam secara global. Mushaf yang digunakan di Timur Tengah (sering disebut gaya Mashriqi) umumnya mengikuti Qira’at Hafs ‘an Ashim, dan tanda-tanda tajwidnya cenderung lebih formal. Sementara itu, Mushaf yang digunakan di Afrika Utara dan Barat (gaya Maghribi) sering mengikuti Qira’at Qalun ‘an Nafi' atau Warsh ‘an Nafi' dan memiliki sistem titik dan bentuk harakat yang sedikit berbeda (misalnya, sukun di Maghribi seringkali berupa garis miring, bukan lingkaran kecil).
Perbedaan regional dalam Dhabt (penandaan) ini menunjukkan bahwa meskipun Rasm Utsmani bersifat universal dan tidak dapat diubah, cara penandaan (Dhabt) untuk memfasilitasi pembacaan dapat dan memang bervariasi sesuai tradisi Qira'at setempat.
Seni menulis tulisan Al-Qur'an bahasa Arab, atau kaligrafi Islam (Khatt), adalah puncak spiritual dan visual dari ortografi Rasm Utsmani. Kaligrafi bukan hanya tentang tulisan indah; ia adalah perwujudan penghormatan terhadap kalam Ilahi, di mana setiap huruf diyakini memiliki keagungan spiritual.
Perkembangan gaya kaligrafi sejalan dengan kebutuhan penyebaran dan formalitas Mushaf. Secara historis, kaligrafi dapat dibagi menjadi beberapa era dominan:
Gaya Kufi adalah gaya tertua yang digunakan untuk menyalin Mushaf Utsmani awal. Dinamai dari kota Kufah di Irak, gaya ini dicirikan oleh kekakuan, garis lurus horizontal, sudut tajam, dan proporsi geometris yang tegas. Kufi sangat sulit ditulis tetapi sangat kokoh. Jenis Kufi meliputi:
Kufi seringkali membutuhkan pemisahan huruf-huruf pada baris yang berbeda untuk mempertahankan keterbacaan, menunjukkan sifatnya yang monumental, bukan portabel.
Naskh (yang berarti ‘menyalin’) muncul sebagai jawaban atas kesulitan membaca Kufi untuk penggunaan sehari-hari. Dikembangkan di Irak pada abad ke-10 oleh Ibn Muqlah dan disempurnakan oleh Ibn al-Bawwab, Naskh adalah revolusi dalam penulisan Arab. Ciri-cirinya adalah:
Saat ini, hampir semua Mushaf yang dicetak, termasuk Mushaf Madinah yang paling populer, menggunakan gaya Naskh yang dimodernisasi.
Thuluth (berarti ‘sepertiga’) adalah gaya yang agung dan dekoratif, dicirikan oleh lekukan dramatis, huruf yang tebal, dan penggunaan vokal serta ornamen yang padat. Thuluth jarang digunakan untuk menyalin keseluruhan Mushaf karena ukurannya yang besar dan waktu yang dibutuhkan, tetapi merupakan pilihan utama untuk judul surah, inskripsi masjid, dan karya seni kaligrafi besar.
Muhaqqaq adalah gaya formal yang indah dan mudah dibaca, populer di era Mamluk. Ia mirip dengan Naskh tetapi memiliki huruf yang lebih memanjang dan ramping, dengan kejelasan luar biasa. Reihan adalah versi yang lebih kecil dan halus dari Muhaqqaq, sering digunakan untuk teks utama Mushaf sebelum Naskh sepenuhnya mendominasi.
Seni menulis tulisan Al-Qur'an bahasa Arab memerlukan alat khusus yang disebut قلم (Qalam), biasanya terbuat dari buluh kering (bambu atau tebu). Ujung pena (senam) dipotong dengan sudut tertentu (Qattah), yang menentukan lebar goresan vertikal dan ketebalan goresan horizontal.
Proses penulisan Al-Qur'an secara tradisional adalah ritual yang sakral. Kaligrafer harus memegang standar Rasm Utsmani, memastikan bahwa proporsi huruf (misalnya, dimensi huruf Alif yang diukur dengan titik) konsisten. Tinta yang digunakan, yang terbaik terbuat dari jelaga yang dicampur dengan getah arab, dirancang untuk memberikan warna hitam pekat yang awet.
Dalam Islam, representasi figuratif dilarang atau dihindari dalam konteks ibadah dan seni suci. Oleh karena itu, kaligrafi menjadi seni visual tertinggi. Para kaligrafer (khattat) sering dianggap sebagai seniman spiritual. Dalam proses penulisan, mereka tidak hanya menyalin huruf, tetapi juga berupaya menyerap dan merefleksikan makna Ilahi melalui keindahan bentuk. Keyakinan bahwa keindahan tulisan adalah refleksi keindahan Firman telah mendorong kaligrafi Qur'an mencapai level kesempurnaan teknis yang hampir tidak tertandingi dalam sejarah seni dunia.
Gambar pena kaligrafi (Qalam) dan tempat tinta (Dawat), simbol seni penulisan mushaf.
Transisi tulisan Al-Qur'an bahasa Arab dari naskah tulisan tangan yang rentan terhadap kesalahan menjadi teks cetak yang masif dan standar adalah salah satu pencapaian besar umat Islam modern.
Percetakan Al-Qur'an dimulai relatif lambat di dunia Islam karena keengganan untuk mencetak teks suci menggunakan teknologi Barat yang dianggap kurang suci. Mushaf cetak awal sering kali menggunakan teknik litografi (cetak batu), yang mampu mereplikasi keindahan kaligrafi Naskh dengan detail yang baik, meskipun prosesnya lambat.
Mushaf yang dicetak pertama kali di Eropa (Venice, 1537) dan Mushaf cetak pertama di dunia Islam (Kazan, Rusia, 1803) masih memiliki variasi dalam Rasm dan Dhabt. Namun, dengan munculnya mesin cetak modern dan teknik tipografi yang lebih canggih, kebutuhan akan standar global menjadi mendesak.
Pada abad ke-20, upaya standardisasi mencapai puncaknya dengan penerbitan Mushaf Madinah oleh Kompleks Percetakan Al-Qur'an Raja Fahd (King Fahd Complex for the Printing of the Holy Qur'an) di Madinah, Arab Saudi. Mushaf ini, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1985, dengan cepat menjadi standar de facto bagi umat Islam di seluruh dunia, terutama di wilayah Mashriqi.
Mushaf Madinah menggunakan gaya Naskh yang sangat rapi dan jelas, ditulis oleh kaligrafer Utsman Taha. Keunggulannya meliputi:
Mushaf Madinah telah mencetak ratusan juta eksemplar, memastikan bahwa mayoritas umat Islam di bumi membaca tulisan Al-Qur'an bahasa Arab yang identik dalam Rasm dan Dhabt.
Di era digital, tantangan terbesar adalah bagaimana mereplikasi Rasm Utsmani—dengan segala keanehan dan kekecualiannya (seperti Al-Hazf dan Az-Ziyadah)—menggunakan font komputer standar.
Font Arab standar (Imla'i) tidak dapat secara otomatis menghasilkan Rasm Utsmani. Ini memerlukan pengembangan font Qur'ani khusus (seperti font yang didanai oleh King Fahd Complex atau font kompleks lainnya) yang memiliki logika pemetaan glif yang spesifik, mampu menampilkan Alif Khariyah (fathah berdiri), menghapus alif yang seharusnya ada (Hazf), atau menambahkan huruf yang tidak dibaca (Ziyadah), semua tanpa mengubah Rasm Utsmani.
Digitalisasi yang sukses telah memastikan bahwa Al-Qur'an yang dibaca di layar ponsel, tablet, atau platform digital mana pun tetap mempertahankan ortografi Rasm Utsmani yang diwariskan dari para Sahabat, menjamin kesinambungan antara naskah kuno dan media modern.
Kedalaman kajian tulisan Al-Qur'an bahasa Arab meluas hingga ke analisis morfologi (struktur kata) dan bahkan numerik (ilmu al-huruf), meskipun aspek terakhir ini memerlukan kehati-hatian teologis.
Morfologi penulisan Al-Qur'an sering kali menyoroti akar kata (huruf asal) bahkan ketika huruf tersebut disingkat atau diubah. Misalnya, penulisan beberapa kata dengan Waw Ziyadah (penambahan waw) sering dikaitkan dengan mempertahankan hubungan kata tersebut dengan akar kata aslinya yang mungkin mengandung Waw, meskipun pembacaan lisan telah meninggalkannya.
Kajian mendalam para ulama Rasm seringkali mencari alasan gramatikal, fonetik, atau bahkan teologis di balik setiap penyimpangan Rasm Utsmani dari Imla'i. Contohnya, penghilangan Alif (Al-Hazf) pada kata jamak tertentu (seperti السموات) sering ditafsirkan sebagai indikasi bahwa kata tersebut tidak merujuk pada pluralitas yang besar dan tidak terbatas, tetapi mungkin pluralitas yang lebih dekat dengan konteks ayat.
Tidak ada bahasan mengenai tulisan Arab Al-Qur'an yang lengkap tanpa menyebut Huruf Muqatta’ah (huruf-huruf terputus), yaitu kombinasi huruf-huruf tunggal yang muncul di awal 29 surah (misalnya, Alif Lam Mim, Ya Sin, Ha Mim, Kaf Ha Ya ‘Ain Shad).
Secara ortografi, huruf-huruf ini ditulis terpisah (Muqatta’ah). Mereka dibaca sebagai nama-nama hurufnya (fonem) dan bukan sebagai kata yang memiliki makna leksikal. Interpretasi tentang makna teologisnya sangat beragam, mulai dari:
Apapun maknanya, secara visual, Huruf Muqatta’ah adalah fitur ortografi yang paling unik dan misterius dalam tulisan Al-Qur'an bahasa Arab, menantang pembaca untuk merenungkan keagungan bahasa yang melampaui pemahaman langsung.
Warisan Rasm Utsmani tidak hanya dijaga oleh Mushaf cetak, tetapi juga oleh tradisi pendidikan. Seorang qari (pembaca) tidak hanya menghafal teks, tetapi juga harus memahami Rasm-nya. Seorang kaligrafer tidak hanya menyalin bentuknya, tetapi juga harus mengetahui kaidah Hazf dan Ziyadah. Pelestarian ganda ini—tradisi lisan (Qira'at) yang didukung oleh tradisi visual (Rasm)—menjamin bahwa teks Al-Qur'an telah dipertahankan dengan tingkat akurasi yang tidak tertandingi selama lebih dari empat belas abad.
Perhatian yang detail terhadap ortografi, mulai dari penambahan titik pada abad pertama Hijriah hingga standarisasi tata letak Mushaf Madinah, adalah bukti nyata dari komitmen umat Islam terhadap kesempurnaan dan kesucian firman yang termaktub dalam tulisan Al-Qur'an bahasa Arab.
Kajian mendalam tentang tulisan Al-Qur'an bahasa Arab membawa kita pada pemahaman bahwa Mushaf adalah lebih dari sekadar buku; ia adalah warisan budaya, linguistik, dan teologis yang kompleks. Rasm Utsmani, sebagai standar visual yang tidak berubah, berdiri sebagai pengingat abadi akan persatuan umat Islam dalam menerima dan menjaga Firman Allah.
Dari kekakuan elegan Kufi yang menjadi saksi sejarah awal, melalui pengenalan titik dan harakat yang menyelamatkan teks dari ambiguitas, hingga kesempurnaan fluiditas Naskh yang kita lihat di setiap Mushaf modern, setiap fase perkembangan ortografi ini dipandu oleh prinsip dasar pelestarian otentisitas teks wahyu.
Keunikan Rasm Utsmani, yang sengaja menyimpang dari kaidah ejaan umum untuk menampung variasi Qira'at yang sah, memastikan bahwa Mushaf tetap menjadi wadah suci bagi semua tradisi lisan yang mutawatir. Sementara kaligrafi terus menerus menumbuhkan apresiasi estetika yang mendalam, menjadikan huruf-huruf Arab tersebut manifestasi seni spiritual tertinggi.
Pada akhirnya, tulisan Al-Qur'an bahasa Arab adalah sebuah monumen hidup yang tak lekang oleh zaman. Ia adalah bukti akan ketelitian sejarah dan ketaatan spiritual yang mendefinisikan peradaban Islam. Upaya kolektif selama berabad-abad dalam menjaga, menyalin, dan menyebarkan Rasm Utsmani menjamin bahwa setiap generasi akan terus menerima kalam Ilahi persis seperti yang diwahyukan, utuh, dan sempurna.