Surat At-Tin adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat makna, membuka diri dengan sumpah Allah Swt. atas dua jenis buah yang dikenal memiliki manfaat luar biasa, yaitu tin dan zaitun. Ayat pembuka ini memberikan isyarat kuat tentang pentingnya ciptaan Allah dan bagaimana di dalamnya tersimpan tanda-tanda kebesaran-Nya. Namun, bukan hanya kedua buah tersebut yang menjadi fokus sumpah, melainkan juga tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah dan spiritual mendalam.
"Demi (buah) tin dan zaitun,"
Sumpah dalam Al-Qur'an bukanlah sekadar pengulangan kata, melainkan penekanan dan penegasan akan kebenaran atau pentingnya sesuatu yang disebutkan. Allah Swt. bersumpah demi buah tin dan zaitun, dua pohon yang disebutkan dalam banyak referensi kesehatan dan nutrisi. Buah tin (atau ara) dikenal kaya akan serat, mineral, dan vitamin, sementara zaitun dan minyaknya memiliki khasiat antioksidan serta baik untuk kesehatan jantung. Keberadaan keduanya, terutama dalam konteks ayat-ayat selanjutnya, mengisyaratkan pada kesuburan, keberkahan, dan tanda-tanda penciptaan Allah yang sempurna.
Para ulama tafsir memiliki berbagai pandangan mengenai penafsiran sumpah ini. Sebagian berpendapat bahwa Allah bersumpah atas buah itu sendiri karena manfaat dan kebaikannya. Ada pula yang menafsirkan bahwa "tin" merujuk pada tempat tumbuhnya buah tin, dan "zaitun" merujuk pada tempat tumbuhnya pohon zaitun. Tempat-tempat ini diyakini adalah Baitul Maqdis (Yerusalem) dan sekitarnya, sebuah kawasan yang diberkahi dan menjadi pusat para nabi. Dengan menyebutkan tempat ini, Allah seolah ingin mengingatkan tentang sejarah panjang wahyu dan para rasul yang diutus di sana.
Ayat ketiga surat At-Tin yang berbunyi, "وَلَطُورِ سِينِينَ" (Wa ṭūri sindīnī), yang berarti "dan demi Gunung Sinai," semakin memperdalam konteks sumpah ini. Gunung Sinai adalah tempat di mana Nabi Musa 'alaihissalam menerima wahyu dan berbicara langsung dengan Allah. Ini menegaskan bahwa sumpah Allah bukan hanya tentang alam fisik, tetapi juga tentang perjumpaan spiritual dan penerimaan petunjuk ilahi.
Dalam ayat keempat, Allah berfirman, "وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ" (Wa hādhā al-baladi al-amīn), yang berarti "dan demi negeri (Mekah) yang aman ini." Mekah adalah tempat kelahiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan pusat penyebaran agama Islam. Dengan bersumpah atas tempat-tempat suci dan bersejarah ini, Allah seolah menegaskan kesucian ajaran yang dibawa oleh para nabi, termasuk ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad.
Kemudian, barulah Allah menyatakan inti dari kebenaran yang ingin disampaikan, yaitu pada ayat kelima: "لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ" (Laqad khalaqnā al-insāna fī aḥsani taqwīm). Ayat ini adalah puncak dari sumpah-sumpah sebelumnya. Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Bentuk fisik manusia adalah susunan yang paling harmonis, proporsional, dan fungsional di antara makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan dua tangan yang dapat memegang dan bekerja, dua kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir, manusia dianugerahi kemampuan luar biasa yang membuatnya berbeda dari hewan.
Kesempurnaan bentuk ini bukan hanya fisik, tetapi juga mencakup potensi intelektual dan spiritual yang luar biasa. Manusia memiliki kemampuan untuk mengenali Tuhannya, memahami ajaran-Nya, dan berinteraksi dengan alam semesta. Namun, potensi ini bisa berkembang menjadi kebaikan atau keburukan, tergantung pada pilihan dan tindakan manusia itu sendiri.
Tadabbur terhadap ayat ke-3 surat At-Tin dan ayat-ayat lanjutannya mengajak kita untuk merenungkan dua hal utama: pertama, keagungan dan kesempurnaan penciptaan Allah, yang dibuktikan melalui sumpah atas alam, tempat-tempat suci, dan anugerah bentuk manusia yang terbaik. Kedua, tanggung jawab kita sebagai manusia yang telah diciptakan dalam bentuk terbaik.
Keistimewaan bentuk fisik ini seharusnya mendorong kita untuk menggunakan setiap anggota tubuh dan kemampuan yang diberikan untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Akal kita harus digunakan untuk mencari ilmu, memahami kebenaran, dan memecahkan masalah. Tangan kita harus digunakan untuk berbuat baik, berkarya, dan membantu sesama. Kaki kita harus melangkah ke jalan kebaikan.
Namun, Allah juga mengingatkan dalam ayat selanjutnya bahwa banyak manusia yang akhirnya merugi karena penolakan dan kesombongan mereka. Mereka menggunakan anugerah terbaik ini untuk jalan yang salah, menyimpang dari fitrah penciptaan, dan menolak petunjuk ilahi. Oleh karena itu, ayat-ayat ini menjadi pengingat yang kuat agar kita senantiasa bersyukur atas nikmat penciptaan, menjaga kesempurnaan bentuk ini dengan perbuatan baik, dan memanfaatkan potensi yang ada untuk meraih keridhaan Allah Swt. Memahami ayat ke-3 surat At-Tin adalah langkah awal untuk menghargai setiap anugerah yang Allah berikan.