Surat At Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, memiliki pesan yang sangat mendalam mengenai penciptaan manusia, pilihan moral, dan konsekuensi dari tindakan. Terdiri dari delapan ayat, surat ini diawali dengan sumpah Allah SWT atas buah tin dan zaitun, Gunung Sinai, serta kota Makkah yang aman. Sumpah-sumpah ini menjadi penekanan akan pentingnya mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang tersebar di alam semesta. Namun, inti sari dari surat ini, yang seringkali menjadi fokus perenungan mendalam, terletak pada dua ayat terakhirnya, yaitu ayat 7 dan 8. Ayat-ayat ini memberikan petunjuk krusial mengenai nasib manusia di akhirat kelak, yang sangat bergantung pada amal perbuatan mereka di dunia.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) "Maka apakah yang membuatmu mendustakan hari pembalasan setelah (adanya bukti-bukti itu)?"
Ayat ketujuh ini merupakan pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran. Setelah Allah SWT menyajikan berbagai bukti kebesaran-Nya, termasuk penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (sebagaimana dijelaskan di ayat 4), serta penegasan akan hadirnya hari kiamat dan perhitungan amal, pertanyaan ini secara tajam menyoroti ketidaklogisan bagi seseorang untuk terus mengingkari adanya hari pembalasan. Allah SWT seolah bertanya, "Dengan segala bukti yang telah dihadirkan, masihkah kamu ragu dan mengingkari hari ketika semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban?"
Pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang hidup pada masa kenabian Muhammad SAW, tetapi juga berlaku universal bagi setiap umat manusia di sepanjang zaman. Bukti-bukti yang disebutkan di ayat-ayat sebelumnya – kesempurnaan penciptaan, sumpah-sumpah ilahi – semuanya mengarah pada satu kesimpulan: bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian, dan ada kehidupan setelah kematian di mana setiap individu akan mempertanggungjawabkan setiap jengkal perbuatannya. Mengingkari hari pembalasan berarti menolak logika keadilan ilahi, menolak bahwa ada konsekuensi bagi setiap pilihan yang dibuat. Hal ini dapat diartikan sebagai sikap angkuh, ketidakpedulian terhadap moralitas, atau keyakinan yang keliru bahwa hidup hanya berhenti pada kematian fisik.
Lebih jauh lagi, penolakan terhadap hari pembalasan seringkali berakar pada ketidakmauan untuk menerima tanggung jawab atas dosa-dosa yang dilakukan. Jika tidak ada hari pembalasan, maka seseorang dapat merasa bebas untuk berbuat sesuka hati tanpa takut akan sanksi ilahi. Ini adalah bentuk kekufuran yang paling mendasar, yaitu mendustakan ajaran Allah SWT. Pertanyaan ini menjadi panggilan untuk introspeksi mendalam: apa yang membuat kita begitu teguh dalam menolak kebenaran yang begitu jelas? Apakah kesombongan, hawa nafsu, atau pengaruh lingkungan yang menyesatkan?
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8) "Bukankah Allah adalah Hakim yang paling adil?"
Ayat kedelapan menutup rangkaian ayat dengan menegaskan salah satu sifat Allah SWT yang paling fundamental: Dia adalah Al-Ahkam Al-Hakimin, Hakim yang Maha Adil. Setelah mempertanyakan alasan pengingkaran terhadap hari pembalasan, ayat ini memberikan jawaban sekaligus penegasan yang menenangkan bagi orang-orang beriman. Keadilan Allah SWT adalah jaminan bahwa tidak ada satu pun amal, sekecil apapun, yang akan luput dari perhitungan. Baik kebaikan maupun keburukan, semuanya akan dinilai dengan neraca keadilan yang sempurna.
Penegasan ini memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ia menguatkan keyakinan akan adanya hari pembalasan. Jika Allah adalah Hakim yang Maha Adil, maka pasti akan ada hari di mana keadilan itu ditegakkan secara paripurna. Keadilan-Nya memastikan bahwa orang-orang yang berbuat baik akan mendapatkan balasan setimpal, begitu pula orang-orang yang berbuat buruk akan menerima konsekuensinya. Tidak ada ketidakadilan yang akan terjadi di hadapan-Nya.
Kedua, ayat ini menjadi sumber harapan dan ketenangan bagi kaum mukminin. Di dunia ini, seringkali kita menyaksikan ketidakadilan merajalela. Orang baik dizalimi, sementara orang jahat hidup bergelimangan harta dan kekuasaan. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah adalah Hakim yang Maha Adil, kita tahu bahwa semua itu hanyalah sementara. Ada satu titik di mana keadilan mutlak akan terwujud. Ini mendorong kita untuk tetap sabar dalam menghadapi ujian dan tidak putus asa ketika melihat ketidakadilan di sekitar kita. Keadilan Allah SWT adalah jaminan tertinggi.
Ketiga, ayat ini menjadi peringatan keras bagi para pendosa dan pengingkar. Mereka yang terus menerus berbuat zalim dan mengingkari hari perhitungan, pada akhirnya akan berhadapan dengan Hakim yang tidak membiarkan sedikitpun kezaliman terjadi. Hakim yang Maha Adil akan menjatuhkan vonis yang sesuai dengan timbangan amal mereka. Oleh karena itu, mengingkari keadilan Allah SWT adalah kesia-siaan belaka, karena keadilan-Nya pasti akan terwujud.
Secara keseluruhan, kandungan Surat At Tin ayat 7 dan 8 merupakan pilar penting dalam keyakinan seorang Muslim. Ayat-ayat ini mengingatkan kita bahwa kehidupan dunia adalah ladang amal, dan setiap amal akan mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah SWT, Sang Hakim yang Maha Adil. Pertanyaan di ayat 7 membangkitkan kesadaran akan pentingnya iman kepada hari kiamat, sementara penegasan di ayat 8 memberikan jaminan keadilan ilahi yang menjadi dasar ketenangan dan harapan bagi orang-orang yang beriman.