Surah Al-Lail, yang terletak pada urutan ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an, adalah sebuah manifestasi retorika ilahi yang padat dan kuat, yang fokus utamanya adalah menegaskan prinsip dualitas fundamental dalam eksistensi dan tindakan manusia. Surah ini dibuka dengan sumpah yang mendalam dan memukau, "Wal laili idza yaghsya"—Demi malam apabila menutupi (gelapnya). Sumpah ini tidak hanya sekadar penanda waktu, tetapi merupakan pintu gerbang menuju pemahaman mendalam tentang oposisi biner: siang versus malam, memberi versus menahan, takwa versus celaka, dan kemudahan versus kesulitan. Setiap ayat dalam surah yang pendek namun sarat makna ini berfungsi sebagai pilar etika dan spiritualitas, menetapkan standar bagaimana seorang mukmin harus menjalani hidupnya di dunia yang penuh dengan pilihan ini.
Dalam konteks wahyu Makkah awal, Surah Al-Lail turun untuk menghadapi tantangan sosial dan moral yang kian meruncing di kalangan masyarakat Quraisy, khususnya terkait praktik penumpukan harta dan keengganan beramal. Namun, pesan surah ini melampaui batas historis tersebut; ia menjadi cetak biru abadi mengenai hukum kausalitas spiritual: setiap usaha dan arah hidup pasti memiliki konsekuensi yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan panjang 21 ayat, Al-Lail membedah hakikat ‘striving’ (usaha) manusia dan membagi manusia menjadi dua kelompok yang jelas, masing-masing diberikan janji dan peringatan yang sesuai dengan orientasi jiwa mereka.
Surah Al-Lail dimulai dengan serangkaian sumpah kosmis yang menegaskan kebenaran yang akan diungkapkan setelahnya. Sumpah ini bukan sekadar penekanan, melainkan pengakuan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah al-Kulliyah) yang terkandung dalam alam semesta. Pembukaan ini memberikan bobot spiritual yang luar biasa pada pesan inti surah.
وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ
1. Wal laili idza yaghsya (Demi malam apabila menutupi)
Kata kunci di sini adalah yaghsya, yang berarti ‘menutupi’, ‘menyelimuti’, atau ‘menggelapkan’. Malam (al-lail) digambarkan sebagai entitas yang aktif, yang menyelimuti alam semesta dengan kegelapannya. Secara filosofis, malam melambangkan kondisi tersembunyi, misteri, ketenangan, atau bahkan potensi kejahatan yang terselubung. Ia juga merupakan ujian bagi niat, karena amal yang dilakukan dalam kegelapan atau secara tersembunyi cenderung lebih murni, bebas dari riya' (pamer).
وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ
2. Wan nahāri idzā tajallā (Dan siang apabila terang benderang)
Tajallā berarti ‘menampakkan diri’, ‘terang benderang’, atau ‘menyatakan’. Siang (an-nahār) adalah kebalikan mutlak dari malam. Ia melambangkan kejelasan, aktivitas, transparansi, dan keterbukaan. Jika malam adalah waktu istirahat dan introspeksi, siang adalah waktu untuk bekerja dan menampakkan hasil dari pekerjaan tersebut. Dualitas ini—yaghsya dan tajallā—menunjukkan siklus alami kehidupan dan eksistensi, yang di dalamnya terdapat sunnatullah (hukum alam) yang tidak pernah berubah.
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ
3. Wa mā khalaqa dz-dzakara wal untsā (Dan demi Penciptaan laki-laki dan perempuan)
Sumpah ketiga ini membawa dualitas dari ranah kosmik (malam/siang) ke ranah biologis dan sosial (pria/wanita). Ini adalah pengakuan atas prinsip pasangan (azwāj) yang merupakan fondasi penciptaan. Segala sesuatu diciptakan berpasangan—negatif dan positif, baik dan buruk. Sumpah ini menggarisbawahi bahwa perbedaan dan dualitas adalah inti dari tatanan ilahi, termasuk dualitas dalam kecenderungan moral manusia.
Sumpah-sumpah ini berfungsi sebagai landasan teologis untuk ayat berikutnya. Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang paling jelas dan mendasar—waktu dan jenis—untuk menarik perhatian pada dualitas yang lebih penting: dualitas dalam 'usaha' atau 'striving' manusia. Ini menunjukkan bahwa sebagaimana alam semesta tunduk pada siklus siang dan malam yang pasti, begitu pula nasib spiritual manusia tunduk pada hukum moral yang pasti, yang diatur oleh jenis upaya yang ia pilih.
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ
4. Inna sa‘yakum lashattā (Sesungguhnya usaha kamu benar-benar berlainan)
Inilah jawaban dari semua sumpah di atas. Kata sa‘yakum merujuk pada segala aktivitas, upaya, dan orientasi hidup manusia. Kata lashattā (berlainan/berbeda-beda) menegaskan bahwa meskipun manusia hidup di bawah langit yang sama dan melalui siklus waktu yang sama, arah dan tujuan hidup mereka sangat berbeda, terbagi menjadi dua jalur utama yang saling bertentangan.
Perbedaan upaya (sa'y) ini bukan hanya tentang perbedaan profesi atau kekayaan, tetapi perbedaan fundamental dalam motivasi, niat (niyyah), dan hasil akhir. Ayat 4 ini adalah poros utama Surah Al-Lail, membagi seluruh umat manusia menjadi dua kategori moral yang akan dijelaskan secara rinci dalam ayat-ayat berikutnya.
Setelah menetapkan bahwa usaha manusia terbagi menjadi dua jalur yang berlainan, Surah Al-Lail secara spesifik menguraikan karakteristik penghuni setiap jalur. Pembagian ini adalah dikotomi moral yang tajam, memisahkan mereka yang memilih memberi dan bertakwa, dari mereka yang memilih menahan dan merasa cukup diri (istighna').
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
5. Fa ammaa man a‘thā wattaqā (Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa)
Pribadi pertama digambarkan dengan dua sifat kunci: a‘thā (memberi, berderma) dan ittaqā (bertakwa, menjaga diri dari larangan). Urutan sifat ini sangat penting. Memberi di sini tidak hanya merujuk pada sedekah, tetapi pada kemurahan hati secara umum—memberi waktu, tenaga, ilmu, dan harta. Pemberian ini harus dibarengi dengan taqwa, artinya pemberian itu dilakukan dengan niat suci, sesuai aturan agama, dan bertujuan mencari keridaan Allah semata.
Taqwa adalah pondasi internal, sementara pemberian adalah manifestasi eksternal dari keimanan yang sejati. Mereka yang menggabungkan keduanya menunjukkan keselarasan antara keyakinan dan tindakan.
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ
6. Wa shaddaqā bil ḥusnā (Dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik)
Al-Ḥusnā (yang terbaik) merujuk pada janji Allah mengenai surga, atau balasan yang baik, termasuk Lailahaillallah (kesaksian tauhid) atau prinsip-prinsip kebenaran dalam agama. Membenarkan al-Ḥusnā berarti memiliki keyakinan kokoh pada Hari Akhir dan sistem pahala yang dijanjikan oleh Allah. Inilah motivasi utama di balik tindakan memberi dan bertakwa; seseorang berinvestasi di masa depan abadi karena ia percaya pada janji tersebut.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
7. Fa sanuyassiruhu lil yusrā (Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan)
Ini adalah janji ilahi yang spektakuler. Yusrā berarti ‘kemudahan’. Kemudahan di sini bersifat menyeluruh. Ia mencakup: kemudahan dalam beribadah (hati merasa ringan), kemudahan dalam urusan dunia (rezeki diberkahi), dan yang paling utama, kemudahan saat menghadapi sakaratul maut, perhitungan amal, dan jalan menuju surga. Allah menjamin bahwa Dia akan memandu hamba yang memberi dan bertakwa ke arah yang memudahkan langkahnya, menghilangkan kesulitan, dan memberinya ketenangan batin. Kehidupan mereka, meskipun mungkin menghadapi ujian, akan selalu berorientasi pada kemudahan spiritual.
Jalur kedua adalah cerminan negatif dari jalur pertama, ditandai dengan sifat menahan (kikir) dan merasa cukup diri.
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ
8. Wa ammaa mam bakhila wastaghnā (Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup)
Ayat ini memperkenalkan karakter al-bakhīl (orang kikir) dan al-mustaghnī (orang yang merasa cukup/tidak membutuhkan). Kikir adalah lawan dari memberi (a'thā). Kikir di sini adalah penyakit hati yang menolak untuk berbagi kekayaan atau karunia, baik karena rasa takut miskin atau karena kecintaan berlebihan pada harta.
Sifat istaghnā (merasa cukup) adalah penyakit spiritual yang lebih berbahaya. Ini adalah arogansi rohani, perasaan bahwa seseorang tidak membutuhkan Allah, tidak membutuhkan petunjuk, dan tidak membutuhkan pahala akhirat. Orang ini merasa puas dengan apa yang ia miliki di dunia, sehingga ia enggan beramal karena tidak melihat nilai tambah dari investasi akhirat.
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
9. Wa kadzdzaba bil ḥusnā (Serta mendustakan balasan yang terbaik)
Jika orang yang bertakwa membenarkan al-Ḥusnā, maka orang kikir mendustakannya (kadzdzaba). Kedustaan ini bisa berarti penolakan total terhadap Hari Akhir atau ketidakpercayaan pada efektivitas amal saleh. Karena ia tidak percaya pada janji Allah, tidak ada motivasi baginya untuk berkorban atau melepaskan kekayaan duniawinya.
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
10. Fa sanuyassiruhu lil ‘usrā (Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan)
Ini adalah peringatan yang mengerikan. ‘Usrā berarti ‘kesulitan’. Janji ini adalah kebalikan mutlak dari janji kepada orang yang bertakwa. Allah tidak mengatakan Dia akan memaksa mereka menuju kesulitan, tetapi Dia akan ‘memudahkan’ jalan mereka menuju kesulitan tersebut. Artinya, Allah membiarkan mereka terus berjalan di jalan yang mereka pilih, dan jalan itu—secara alami dan spiritual—akan mengarah pada kesengsaraan, kegelisahan batin, kelelahan dalam mengejar dunia, dan kesulitan dalam menghadapi akhirat. Keputusan mereka sendiri untuk menolak kebenaran dan menahan harta adalah yang 'memudahkan' mereka masuk ke dalam lingkaran kesulitan yang tiada akhir.
Konsep istighna’ (merasa cukup dan mandiri dari kebutuhan terhadap Allah) adalah kunci untuk memahami jalur kesulitan dalam Surah Al-Lail. Ini adalah penyakit hati yang membuat seseorang buta terhadap realitas kemanusiaannya yang fana dan bergantung.
Istighna’ termanifestasi dalam beberapa bentuk. Pertama, istighna’ terhadap rezeki: merasa bahwa kekayaan yang dimiliki adalah hasil murni dari keahlian dan usaha sendiri, tanpa intervensi atau rahmat Tuhan. Kedua, istighna’ terhadap petunjuk: merasa bahwa seseorang sudah cukup berilmu atau bijak sehingga tidak memerlukan bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah. Ketiga, istighna’ terhadap akhirat: perasaan bahwa dunia adalah tujuan akhir, dan janji-janji spiritual tentang kehidupan setelah mati adalah sekunder atau tidak relevan.
Orang yang mustaghnī tidak melihat tujuan yang lebih tinggi dalam harta selain kepemilikan. Oleh karena itu, ia akan selalu berusaha menahan, bukan memberi. Kikir (bakhīl) adalah tindakan, sementara istighna’ adalah keadaan hati yang memicunya. Kikir secara sosial menghancurkan ikatan komunitas, sementara istighna’ secara spiritual memutuskan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.
Tafsir Kontekstual: Para ulama tafsir sering mengaitkan ayat-ayat ini dengan kisah Abu Bakar As-Shiddiq yang dikenal dermawan, membebaskan budak-budak miskin hanya karena Allah, dan lawannya, Umayyah bin Khalaf atau salah satu tokoh Quraisy yang kikir, yang menahan hartanya karena takut hartanya habis. Dualitas ini menunjukkan bahwa pilihan antara memberi dan menahan adalah penentu nasib akhir.
Kesulitan (‘Usrā) yang dijanjikan dalam ayat 10 bukan hanya kesulitan finansial. Dalam pandangan tafsir, kesulitan terbesar bagi orang yang mendustakan adalah kesulitan untuk menerima hidayah. Hati mereka menjadi keras, amal saleh terasa berat, dan mereka semakin jauh dari jalan kebenaran. Setiap kali ada kesempatan untuk bertobat atau beramal, mereka 'dimudahkan' untuk memilih jalan yang lebih sulit secara spiritual, yaitu menolak dan menjauh. Ini adalah hukuman yang paling halus dan paling mengerikan—hukuman berupa penarikan taufik (bimbingan ilahi).
Setelah membagi manusia menjadi dua kelompok dan menjelaskan konsekuensi dari pilihan mereka, Surah Al-Lail mengalihkan fokusnya untuk memperkuat tiga poin teologis penting: ketiadaan manfaat harta tanpa iman, kepastian hari perhitungan, dan keagungan tujuan penciptaan.
وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
11. Wa mā yughnī ‘anhu māluhū idzā taraddā (Dan hartanya tidak akan bermanfaat baginya apabila ia telah binasa)
Ayat ini langsung menyerang ilusi utama orang kikir: keyakinan bahwa kekayaan dapat menyelamatkan mereka. Kata taraddā berarti ‘jatuh ke dalam jurang’ atau ‘binasa’, yang dalam konteks ini merujuk pada kematian atau kejatuhan ke dalam api neraka. Pertanyaan retoris ini sangat kuat: Apa gunanya hartamu ketika engkau menghadapi kehancuran? Kekayaan, yang ia kumpulkan dengan susah payah dan ia jadikan tuhan, menjadi tidak berdaya di hadapan gerbang kematian dan perhitungan akhirat.
Poin ini menegaskan bahwa nilai sejati harta bukan terletak pada jumlahnya, tetapi pada bagaimana harta itu dikelola dan dialihkan sebagai bekal ke akhirat. Harta hanyalah alat; jika tidak digunakan untuk mencapai rida Allah, ia hanyalah beban yang akan ditinggalkan.
إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ
12. Inna ‘alainā lal hudā (Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk)
Ayat ini merupakan intervensi penegasan. Allah menyatakan bahwa Dia bertanggung jawab untuk menyediakan petunjuk (al-hudā). Ini menunjukkan bahwa kedua jalur (kemudahan dan kesulitan) sudah dijelaskan dengan sangat jelas oleh Allah melalui wahyu. Tidak ada alasan bagi manusia untuk tersesat. Allah telah menyediakan lampu petunjuk, tetapi pilihan untuk mengikuti lampu itu tetap berada di tangan manusia.
وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ
13. Wa inna lanā lal ākhirata wal ūlā (Dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia)
Ayat ini menegaskan kedaulatan universal (mulkiyyah) Allah atas dua alam (dunia dan akhirat). Allah memiliki kendali penuh atas rezeki di dunia dan ganjaran di akhirat. Orang yang merasa cukup (istaghnā) hanya memandang dunia (al-ūlā) sebagai miliknya sendiri. Ayat ini membantah ilusi tersebut, mengingatkan bahwa baik dunia maupun akhirat sepenuhnya berada dalam genggaman dan kendali Sang Pencipta. Oleh karena itu, beramal dan bertakwa adalah investasi yang paling aman, karena Allah yang memegang janji dan kepastian balasan di kedua alam tersebut.
Surah ini kemudian beralih ke peringatan keras tentang konsekuensi yang menanti mereka yang memilih jalan kesulitan.
فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ
14. Fa andzartukum nāran talaẓẓā (Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala)
Nāran talaẓẓā menggambarkan api neraka yang berkobar hebat. Ini adalah puncak dari kesulitan (‘usrā) yang dijanjikan. Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang sombong dan mendustakan kebenaran.
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
15. Lā yaṣlāhā illal asyqā (Tidak ada yang memasukinya kecuali orang yang paling celaka)
Kata al-asyqā berarti ‘yang paling celaka’ atau ‘si wretch’. Ini adalah julukan bagi orang yang memilih jalan kesulitan. Siapa mereka? Ayat berikutnya memberikan definisinya.
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
16. Alladzī kadzdzaba wa tawallā (Yaitu yang mendustakan dan berpaling)
Orang yang paling celaka didefinisikan oleh dua tindakan: mendustakan (kadzdzaba) dan berpaling (tawallā). Mereka mendustakan kebenaran (wahyu, janji akhirat) dan berpaling dari amal saleh atau petunjuk. Mereka tidak hanya skeptis, tetapi secara aktif menolak panggilan menuju kebaikan dan memilih untuk melanjutkan kehidupan kikir mereka.
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
17. Wa sayujannabuhal atqā (Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa)
Kata al-atqā berarti ‘yang paling bertakwa’ atau ‘yang paling mulia dalam ketakwaannya’. Ini adalah julukan bagi mereka yang memilih jalan kemudahan. Mereka akan dijauhkan (sayujannabu) dari api yang menyala-nyala itu. Kontras antara al-asyqā dan al-atqā merangkum seluruh pesan Surah Al-Lail: hidup adalah serangkaian pilihan yang menentukan apakah seseorang akan menjadi yang paling celaka atau yang paling bertakwa.
Surah ini ditutup dengan kembali ke karakter positif, al-atqā, dan menjelaskan motivasi murni di balik tindakan mereka. Ini memberikan penekanan emosional pada janji kesenangan abadi.
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
18. Alladzī yu’tī mālahū yatazakkā (Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya)
Kata yatazakkā (membersihkan dirinya) adalah kunci. Orang yang bertakwa memberi bukan karena dorongan sosial, bukan untuk pamer, tetapi untuk membersihkan jiwa mereka dari kotoran materialisme, kekikiran, dan keterikatan duniawi. Pemberian (ītā' al-māl) adalah proses pemurnian diri (tazkiyatun nafs). Mereka melihat harta sebagai alat untuk mencapai kesucian spiritual, bukan sebagai tujuan akhir.
وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ
19. Wa mā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā (Dan tidak ada pada dirinya nikmat yang harus dibalas oleh orang lain)
Ayat ini menjelaskan keikhlasan (ikhlas) yang sempurna. Orang yang memberi ini tidak memiliki utang budi kepada siapapun yang ia bantu. Pemberiannya murni tanpa pamrih. Dia tidak mencari balasan di dunia, baik dalam bentuk terima kasih, pujian, atau keuntungan di masa depan. Tindakan ini sepenuhnya bebas dari motif duniawi.
Pernyataan ini sering dikaitkan dengan riwayat tentang Abu Bakar As-Shiddiq yang membebaskan Bilal, budak yang disiksa. Abu Bakar membelinya bukan karena Bilal pernah berbuat baik kepadanya, tetapi murni karena rida Allah, sehingga tidak ada 'nikmat yang harus dibalas' (ni‘matun tujzā).
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
20. Illābtighā'a wajhi rabbihil a‘lā (Tetapi (dia memberikan itu) semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi)
Inilah motivasi tunggal dan tertinggi dari al-atqā: mencari wajah (keridaan) Allah Yang Mahatinggi. Ayat ini menetapkan standar tertinggi dalam ibadah: keikhlasan total. Semua tindakan, terutama pemberian, harus diorientasikan untuk memenangkan cinta dan rida ilahi.
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
21. Wa lasawfa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar akan puas)
Surah ditutup dengan janji kepuasan abadi (yarḍā). Kata ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya akan meridai hamba tersebut, tetapi juga hamba tersebut akan merasa puas dengan balasan yang ia terima, yang melampaui semua harapannya di dunia. Kepuasan ini adalah puncak kebahagiaan di surga, yang merupakan buah manis dari memilih jalan kemudahan (yusrā) melalui ketakwaan dan keikhlasan.
Ayat keempat, "Inna sa‘yakum lashattā," adalah sumbu teologis surah ini. Kita perlu membedah lebih jauh makna usaha (sa'y) dan bagaimana dua jalur ini berinteraksi dalam kehidupan modern.
Sa'y tidak hanya berarti bekerja mencari nafkah; ia adalah totalitas upaya manusia, termasuk niat di balik pekerjaan, cara mendapatkan rezeki, dan cara membelanjakannya. Surah Al-Lail mengajarkan bahwa setiap tindakan, dari yang terkecil hingga terbesar, pasti memiliki salah satu dari dua orientasi: berorientasi kepada ketakwaan (a'thā wattaqā) atau berorientasi kepada kepuasan diri (bakhila wastaghnā).
Dalam konteks ekonomi, dua jalur sa'y ini menciptakan dua sistem yang berlawanan. Jalan yusrā menciptakan ekonomi yang berbasis pada berbagi, investasi sosial, dan pemerataan (Zakat, Wakaf, Sedekah). Jalan ‘usrā menciptakan ekonomi yang berbasis pada penimbunan, monopoli, dan ketidakpedulian terhadap kondisi sesama. Surah Al-Lail, meskipun pendek, adalah kritik keras terhadap sistem kapitalisme yang didasarkan pada asumsi istighna’ (kepuasan diri tanpa kebutuhan akan pihak lain atau Tuhan).
Perbedaan antara dua jalur ini sebagian besar ditentukan oleh niat (niyyah). Dua orang bisa melakukan tindakan fisik yang sama, misalnya menyumbang. Jika orang pertama menyumbang untuk membersihkan diri dan mencari rida Allah (yatazakkā), ia berada di jalan yusrā. Jika orang kedua menyumbang hanya untuk mendapatkan reputasi sosial, mengurangi pajak, atau agar utangnya dibalas (walaupun dengan harta yang sama), ia cenderung berada di jalan ‘usrā karena niatnya masih terikat pada kepentingan duniawi.
Ketakwaan dan keikhlasan menjadi penyaring universal yang memisahkan sa'y yang diterima dari sa'y yang tertolak. Tanpa tazkiyah (pemurnian), sa'y manusia, sekaya apa pun hasilnya, akan menjadi debu yang beterbangan (seperti yang dijelaskan di surah-surah lain).
Penting untuk tidak salah memahami janji 'kemudahan' (yusrā) dan 'kesulitan' (‘usrā) sebagai jaminan kekayaan atau kemiskinan materi di dunia.
Kemudahan bagi orang bertakwa adalah kemudahan batin (sakīnah). Ini meliputi:
Kesulitan bagi orang yang kikir dan sombong adalah kesulitan batin dan spiritual, meskipun ia mungkin tampak sukses secara materi. Ini meliputi:
Dengan demikian, Al-Lail mengajarkan bahwa kemudahan sejati adalah kemudahan hati, dan kesulitan sejati adalah kesulitan spiritual yang berujung pada kerugian abadi.
Ayat 18, yang menjelaskan bahwa al-atqā memberi hartanya yatazakkā (untuk membersihkan diri), adalah inti etika filantropi Islam.
Dalam pandangan Islam, kekayaan memiliki potensi ganda: ia bisa menjadi sumber fitnah (ujian) terbesar, atau ia bisa menjadi alat pemurnian yang paling efektif. Apabila harta ditahan karena kekikiran, harta itu mengotori jiwa dengan sifat tamak dan sombong. Sebaliknya, ketika harta dikeluarkan dengan ikhlas, ia membersihkan jiwa. Zakat dan sedekah berfungsi sebagai pembersih wajib (zakat) dan sunnah (sedekah) yang membebaskan jiwa dari belenggu materialisme.
Proses tazkiyah melalui harta mengubah persepsi seseorang. Ia mulai memandang dirinya sebagai manajer sementara harta Allah, bukan sebagai pemilik mutlak. Ini mengikis sifat istighna’ dan menggantinya dengan sifat iftiqār (rasa butuh dan ketergantungan total kepada Allah).
Surah Al-Lail memberikan definisi yang paling ketat tentang keikhlasan (ikhlas), yang harus dimiliki oleh al-atqā. Ikhlas berarti tidak adanya motif balasan duniawi (Ayat 19: Wamā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā) dan adanya motivasi tunggal mencari wajah Allah (Ayat 20: Illābtighā'a wajhi rabbihil a‘lā).
Pemberi sejati tidak hanya memberi kepada orang yang tidak bisa membalas, tetapi juga memastikan bahwa di dalam hatinya tidak ada keinginan tersembunyi untuk mendapatkan pujian dari orang yang ia bantu atau dari masyarakat. Ini adalah tingkat ketaqwaan tertinggi, di mana pahala menjadi satu-satunya mata uang yang dicari.
Keindahan retorika (balaghah) Surah Al-Lail terletak pada penggunaan dualitas yang simetris dan kontras yang tajam (mukābalah).
Surah ini dibangun di atas serangkaian oposisi biner yang sempurna:
Kontras yang tajam ini memperkuat pesan bahwa tidak ada abu-abu dalam pilihan fundamental antara baik dan buruk. Manusia harus memilih salah satu jalur yang jelas dan definitif.
Sebagian besar ayat surah ini berakhir dengan bunyi 'a' panjang (misalnya, yaghsya, tajallā, untsā, lashattā, atqā, yatasakkā). Pengulangan bunyi ini memberikan ritme yang kuat dan melodi yang khas (faṣilah), memudahkan penghafalan dan memperkuat kesan peringatan dan janji yang serius.
Penggunaan kata kerja yang menekankan kepastian janji, seperti fa sanuyassiruhu (maka Kami akan memudahkan), menunjukkan jaminan mutlak dari Allah atas konsekuensi yang telah ditetapkan. Tidak ada keraguan bahwa hasil dari setiap pilihan sudah pasti akan terjadi.
Surah Al-Lail adalah panduan praktis untuk evaluasi diri dan koreksi arah hidup. Surah ini memberikan alat diagnostik bagi setiap mukmin untuk menilai di jalur mana mereka saat ini berada.
Untuk mengetahui apakah seseorang sedang dimudahkan menuju yusrā atau ‘usrā, seseorang harus bertanya pada dirinya sendiri:
Bagi mereka yang menyadari mereka berada di jalur ‘usrā, Surah Al-Lail menawarkan solusi yang jelas: kembali kepada praktik memberi yang ikhlas dan bertakwa.
Langkah pertama adalah menumbuhkan keyakinan (tashdīq) pada balasan akhirat (al-Ḥusnā). Ketika keyakinan ini kuat, maka tindakan memberi (a‘thā) tidak lagi terasa sebagai kerugian, melainkan sebagai investasi yang paling menguntungkan. Memberi harus dilihat sebagai proses pembersihan diri (yatazakkā), bukan sekadar transfer uang.
Pesan Surah Al-Lail terkait erat dengan beberapa surah Makkah lainnya yang membahas hubungan manusia dengan kekayaan dan pemurnian jiwa.
Terdapat hubungan struktural yang menarik antara Al-Lail, yang diawali dengan sumpah malam (wal laili idza yaghsya), dan Adh-Dhuhā (Surah 93), yang diawali dengan sumpah waktu pagi dan malam (waḍ-ḍuḥā * wal laili idzā sajā). Kedua surah ini sama-sama membahas dualitas dan diakhiri dengan janji bagi hamba yang beriman dan beramal saleh (yaitu kepuasan atau yarḍā).
Sementara Adh-Dhuhā fokus pada janji Allah untuk tidak meninggalkan Nabi Muhammad dan memberikan kekayaan rohani, Al-Lail fokus pada bagaimana manusia harus bertindak secara moral (memberi) untuk memenuhi janji yang sama. Kedua surah menekankan bahwa siklus kosmik (malam dan siang) adalah latar belakang abadi bagi perjuangan moral manusia.
Surah At-Takātsur (bermegah-megahan) adalah cerminan dari mentalitas al-asyqā. Orang yang kikir dan merasa cukup (bakhila wastaghnā) adalah orang yang sibuk menumpuk harta hingga mati (hattā zurtumul maqābir). Al-Lail memberikan solusi etis untuk penyakit yang digambarkan dalam At-Takātsur: pemurnian melalui pemberian yang ikhlas, sebagai lawan dari obsesi pada kuantitas kekayaan.
"Wal laili idza yaghsya"—sebuah pembukaan yang sarat makna—mengingatkan kita bahwa ada masa di mana kebenaran diselimuti kegelapan, di mana godaan untuk menahan dan berpaling sangat kuat. Kegelapan malam adalah metafora untuk tantangan hidup: di dalam kegelapan itulah niat sejati manusia diuji. Siapakah yang memilih memberi secara diam-diam, mencari wajah Allah semata, dan siapakah yang memilih menahan, merasa cukup dengan harta dunia?
Surah Al-Lail menutup perdebatan ini dengan kepastian ilahi: jalan yang kita pilih menentukan apakah kita akan dimudahkan menuju kemudahan abadi (yusrā) atau kesulitan yang menghancurkan (‘usrā). Pilihan ada pada kita untuk menjadi al-atqā (yang memurnikan diri melalui pemberian) atau al-asyqā (yang celaka karena kikir dan arogansi spiritual). Surah ini adalah peta jalan yang ringkas namun mendalam, mengarahkan hati manusia kembali kepada tujuan utama penciptaan: ketakwaan dan pencarian keridaan Ilahi.
Setiap orang memiliki jalan yang berbeda (sa‘yakum lashattā), namun hasil akhirnya hanya ada dua. Malam menyelimuti, tetapi fajar janji ilahi akan selalu menyambut mereka yang memilih jalur kebenaran.
Kajian mendalam tentang kata a‘thā (memberi) yang digunakan dalam Surah Al-Lail menunjukkan bahwa konsep kedermawanan dalam Islam jauh lebih luas daripada sekadar menyalurkan dana. Kedermawanan adalah filosofi hidup. Ketika Surah Al-Lail berbicara tentang ‘memberi hartanya’, ini mencakup dimensi-dimensi yang saling terkait yang membentuk karakter seorang al-atqā.
Memberi harta (māl) adalah manifestasi yang paling nyata, tetapi a‘thā juga meliputi pemberian spiritual. Seorang mukmin yang sejati memberi dari segala aspek kehidupannya:
Inti dari a‘thā adalah melawan ego yang secara alami cenderung menumpuk dan menahan. Kikir (bakhila) adalah pengecilan jiwa, sementara memberi (a‘thā) adalah perluasan jiwa yang mencari kesempurnaan dan kemuliaan.
Mengapa a‘thā (memberi) harus diikuti oleh ittaqā (bertakwa)? Jika pemberian dilakukan tanpa takwa, ia rentan terhadap riya’ (pamer) atau motivasi politik. Takwa memastikan bahwa pemberian itu murni dan sesuai dengan hukum syariat (misalnya, harta yang diberikan haruslah halal). Takwa adalah pagar spiritual yang menjaga pemberian dari kehampaan. Seorang yang bertakwa memastikan bahwa amalnya tidak hanya besar kuantitasnya, tetapi juga berat timbangannya di sisi Allah karena keikhlasannya.
Tanpa takwa, seseorang mungkin memberi banyak, tetapi pemberiannya tidak membawa pembersihan diri (yatazakkā). Inilah mengapa Surah Al-Lail menekankan keduanya secara bersamaan—aktivitas lahiriah (memberi) harus ditopang oleh kondisi batiniah (takwa dan keikhlasan).
Penyakit istighna’ (merasa cukup, arogan) yang diidentifikasi dalam ayat 8 adalah diagnosis spiritual yang sangat relevan di era kontemporer.
Dalam masyarakat yang mendewakan pencapaian individu dan kemandirian finansial mutlak, istighna’ berkembang subur. Orang didorong untuk percaya bahwa mereka adalah pencipta takdir mereka sendiri dan bahwa ketergantungan pada Tuhan atau sesama adalah kelemahan. Semangat "self-made man" ini, meskipun tampak positif, seringkali menyembunyikan arogansi spiritual bahwa ‘Saya tidak berutang pada siapa pun’ dan ‘Saya tidak butuh intervensi Ilahi’.
Ini berujung pada kekikiran. Jika seseorang meyakini bahwa ia sepenuhnya menghasilkan hartanya sendiri, mengapa ia harus membagikannya? Kekikiran adalah hasil logis dari pandangan hidup yang didominasi oleh istighna’.
Bentuk istighna’ yang lebih halus muncul ketika seseorang mencapai tingkat keahlian atau ilmu yang tinggi. Ilmuwan atau cendekiawan mungkin merasa cukup dengan pengetahuannya (istaghnā) sehingga ia menolak untuk tunduk pada wahyu, menganggap dirinya superior daripada bimbingan agama. Dalam konteks ini, kikirnya mungkin bukan harta, tetapi ilmu dan petunjuk, yang ia enggan bagikan atau ia gunakan untuk merusak, bukan untuk membangun.
Surah Al-Lail memperingatkan bahwa kepuasan diri ini (istighna’) adalah jalan menuju kegelisahan abadi, karena pada akhirnya, semua kecukupan duniawi akan gugur saat menghadapi kematian (Ayat 11: Wa mā yughnī ‘anhu māluhū idzā taraddā).
Ayat 12, "Inna ‘alainā lal hudā," adalah pernyataan kedaulatan yang penting. Ayat ini menyeimbangkan kebebasan memilih manusia dengan kekuasaan mutlak Allah.
Para ulama membedakan dua jenis hidayah yang terkandung dalam ayat ini:
Dengan demikian, Al-Lail menegaskan bahwa manusia tidak bisa beralasan tidak tahu jalannya. Allah telah menunjukkan jalan (Hidayah Al-Bayan). Namun, keberhasilan menempuh jalan itu (Hidayah At-Taufiq) sangat bergantung pada respons manusia terhadap petunjuk itu—yakni, apakah mereka memberi dan bertakwa atau menahan dan merasa cukup.
Ayat 13, "Wa inna lanā lal ākhirata wal ūlā" (Milik Kami-lah akhirat dan dunia), adalah konklusi yang kuat atas seluruh perdebatan tentang harta. Orang yang kikir hanya melihat nilai pada al-ūlā (dunia) dan meragukan al-ākhirah (akhirat). Ayat ini meluruskan pandangan tersebut. Kekuatan Allah melingkupi keduanya.
Ini berarti, bagi orang yang bertakwa, memberi di dunia (investasi di al-ūlā) adalah jaminan keuntungan di akhirat (al-ākhirah). Bagi orang yang kikir, penumpukan harta di al-ūlā adalah kerugian total di al-ākhirah, dan bahkan harta itu akan menjadi beban saat binasa (taraddā).
Surah Al-Lail, meskipun singkat dalam teksnya, menyajikan sistem etika dan spiritual yang utuh. Ia mendesak kita untuk memilih kedermawanan batin dan materi sebagai satu-satunya jalan menuju kemudahan, dan memperingatkan bahwa arogansi dan kekikiran adalah pintu gerbang yang dibuka sendiri menuju kesulitan abadi.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Surah Al-Lail, kita perlu merenungkan struktur dan pilihan kata yang dipilih secara cermat oleh wahyu. Setiap kata dalam surah ini memiliki bobot retoris yang luar biasa, memperkuat pesan dualitas dan konsekuensi.
Kata Yaghsya (menutupi, menyelimuti) berakar dari Ghayn-Syin-Ya. Implikasinya adalah penutupan total, seperti saat kegelapan malam menelan cahaya siang. Dalam tafsir batin, ini bisa merujuk pada dosa yang menutupi hati, atau kebodohan yang menyelimuti akal.
Sebaliknya, Tajallā (terang benderang, menampakkan diri) berakar dari Jim-Lam-Ya. Kata ini memiliki konotasi penampakan yang agung dan menyeluruh, seperti teofani ilahi. Siang yang tajallā adalah kejelasan mutlak. Dualitas ini mengajarkan bahwa meskipun kebenaran kadang-kadang tersembunyi (yaghsya), ia akan selalu terungkap (tajallā), terutama pada Hari Kiamat, hari di mana semua rahasia terkuak.
Kata Al-Husnā (yang terbaik) yang diulang dalam ayat 6 dan 9 adalah bentuk superlatif dari ‘baik’ (Hasan). Tafsiran mengenai Al-Husnā bervariasi tetapi saling melengkapi:
Membenarkan Al-Husnā berarti mengakui adanya realitas yang lebih tinggi dan lebih baik daripada materi duniawi. Orang yang memberi dan bertakwa adalah mereka yang melihat kebaikan sejati hanya pada apa yang dijanjikan oleh Allah, sehingga mereka rela berkorban demi realitas yang lebih baik ini. Sebaliknya, yang mendustakannya adalah mereka yang meyakini bahwa 'yang terbaik' sudah mereka miliki di dunia ini (kesombongan istighna’).
Kedua kata ini, yang sangat mirip dalam struktur vokal, menciptakan resonansi yang kuat. Yusrā berasal dari Ya-Sin-Ra, yang berarti kemudahan atau kelapangan. ‘Usrā berasal dari ‘Ayn-Sin-Ra, yang berarti kesulitan atau kesempitan. Pilihan kata kerja sanuyassiruhu (Kami akan memudahkan dia) menunjukkan bahwa Allah secara aktif mengintervensi untuk membuat perjalanan spiritual mereka yang memberi menjadi mudah. Ini adalah janji kemurahan yang luar biasa.
Ironisnya, Allah menggunakan kata kerja yang sama (memudahkan) untuk jalur kesulitan. "Fa sanuyassiruhu lil ‘usrā"—Kami akan memudahkan jalannya menuju kesulitan. Ini adalah puncak balaghah, menunjukkan bahwa kesulitan orang yang celaka itu adalah hasil dari pilihan yang mereka 'mudahkan' sendiri, yaitu kikir dan mendustakan.
Pada akhirnya, Surah Al-Lail berfungsi sebagai tafsir praktis dari konsep Tauhid (Keesaan Allah) dalam domain etika dan sosial. Tauhid tidak hanya diucapkan (Lā ilāha illallāh) tetapi juga dihidupkan melalui tindakan. Ketika seseorang memberi dengan ikhlas (a’thā yatazakkā), ia sedang memproklamirkan Tauhid: bahwa hanya Allah yang memiliki kekuatan untuk membalas, bahwa rezeki berasal dari Allah, dan bahwa kekayaan sejati adalah apa yang telah diinvestasikan di jalan-Nya.
Sebaliknya, tindakan kikir dan merasa cukup (bakhila wastaghnā) adalah bentuk syirik (penyekutuan) yang terselubung, karena ia menempatkan kekayaan duniawi di atas kebutuhan akan keridaan Allah, dan ia menolak kedaulatan Allah atas al-ākhirata wal ūlā. Surah Al-Lail memaksa kita untuk memilih posisi teologis kita—apakah kita berada di bawah naungan Allah (al-atqā) atau di bawah bayangan arogansi pribadi (al-asyqā).
Teks suci ini, yang dibuka dengan misteri malam yang menyelimuti, ditutup dengan kepastian janji abadi, memberikan harapan bagi setiap jiwa yang berjuang untuk membebaskan dirinya dari belenggu keduniaan dan memilih cahaya kedermawanan dan ketakwaan.
Penting untuk kembali pada sumpah pembuka: "Wal laili idza yaghsya, wan nahāri idzā tajallā." Sumpah ini tidak hanya menetapkan latar belakang dualitas, tetapi juga menempatkan aksi manusia di bawah pengawasan kosmik yang tak terhindarkan. Malam dan siang adalah saksi bisu atas segala upaya (sa'y) yang dilakukan manusia.
Malam, dengan sifatnya yang menutupi (yaghsya), adalah waktu di mana amal baik dapat dilakukan secara rahasia, bebas dari pandangan dan pujian manusia. Seseorang yang bertakwa menggunakan malam untuk ibadah sunnah, sedekah rahasia, dan introspeksi. Malam adalah ujian keikhlasan terbesar. Jika seseorang mampu memberi (a’thā) di malam hari tanpa ada yang melihat, motivasinya murni mencari keridaan Allah (ibtighā’a wajhi rabbihil a‘lā). Kegelapan malam berfungsi sebagai tabir yang memisahkan amal yang murni dari amal yang didominasi oleh riya’.
Siang, yang terang benderang (tajallā), melambangkan kejelasan dan tanggung jawab sosial. Di siang hari, amal sosial seperti membantu yang membutuhkan dan menunjukkan akhlak yang baik menjadi kewajiban. Siang menuntut transparansi dalam transaksi dan keadilan. Keterbukaan siang ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita beramal secara tersembunyi, pada akhirnya, semuanya akan terungkap di hadapan Allah.
Perpaduan sumpah kosmik ini menekankan bahwa hidup yang seimbang memerlukan kebaikan yang tersembunyi (malam) dan kebaikan yang terang-terangan (siang), keduanya harus didasari oleh niat takwa yang sama.
Ayat 18 tentang yatazakkā (membersihkan diri) mengimplikasikan bahwa pengelolaan harta adalah bagian integral dari tazkiyatun nafs. Ini melampaui sekadar membayar Zakat wajib.
Harta menjadi 'bersih' dalam dua cara: Pertama, bersih dari cara perolehannya (halal). Kedua, bersih dari keterikatan hati. Ketika seseorang menginfakkan hartanya, ia melepaskan sebagian dari keterikatannya pada dunia. Tindakan ini secara spiritual mengurangi beban psikologis kepemilikan. Setiap kali ia memberi, ia memperkuat keyakinan bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki sejati, sehingga mengurangi penyakit istighna’.
Orang yang kikir tidak pernah merasa hartanya cukup, karena ia tidak pernah melalui proses pembersihan ini. Sebaliknya, orang yang memberi, meskipun hartanya berkurang secara matematis, ia merasakan peningkatan dalam ketenangan batin dan keberkahan, membuktikan janji Allah tentang kemudahan (yusrā).
Ayat 19 dan 20 adalah standar emas keimanan. Ketidakberadaan motif balasan (min ni‘matin tujzā) menunjukkan puncak keikhlasan. Ini memisahkan amal seorang mukmin dari transaksi bisnis. Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti memberi tanpa mengharapkan status sosial, tanpa menuntut kesetiaan, dan tanpa mengingat-ingat kebaikan yang telah dilakukan. Jika ada sedikitpun motif selain mencari wajah Allah (ibtighā’a wajhi rabbihil a‘lā), maka amalnya menjadi cacat, dan ia tergelincir ke arah mentalitas al-asyqā, yang hanya mau beramal jika ada keuntungan duniawi yang jelas.
Surah Al-Lail tidak hanya mendefinisikan al-atqā tetapi juga memberikan diagnosis yang akurat tentang al-asyqā. Keadaan paling celaka ini bukan sekadar kemiskinan; itu adalah kegagalan total dalam orientasi hidup.
Definisi al-asyqā dalam ayat 16 adalah gabungan dari ketidakpercayaan (kadzdzaba) dan penolakan untuk bertindak (tawallā). Tidak cukup bagi seseorang hanya untuk tidak percaya (mendustakan); mereka juga harus menolak untuk terlibat dalam upaya kebaikan (berpaling). Ini adalah kegagalan ganda: kegagalan keyakinan dan kegagalan aksi.
Penolakan ini seringkali didorong oleh rasa puas diri (istighna’) dan ketakutan kehilangan kekayaan (bakhīl). Mereka mendustakan janji surga karena mereka sudah merasa nyaman di dunia, dan mereka berpaling dari panggilan untuk berkorban karena takut kekayaan duniawinya berkurang. Keduanya adalah penolakan terhadap kedaulatan Allah atas masa depan.
Peringatan dalam ayat 11 adalah pukulan telak bagi materialisme. Kekayaan yang dikumpulkan melalui kekikiran dan arogansi tidak memiliki daya selamat sedikit pun saat terjadi kehancuran (taraddā). Kekayaan yang ditahan di dunia akan menjadi rantai dan api di akhirat. Kekuatan harta berakhir di gerbang kematian. Hanya harta yang telah diinfakkan dengan ikhlas yang bertransformasi menjadi modal abadi yang dapat menyelamatkan dari jurang kesulitan.
Oleh karena itu, Surah Al-Lail mendidik manusia bahwa nilai aset sejati tidak diukur oleh jumlahnya di bank, tetapi oleh kemampuannya untuk memurnikan jiwa dan mengamankan tempat di sisi Allah.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lail, yang dibuka dengan kekuatan kontras kosmik "Wal laili idza yaghsya", menyajikan sebuah tesis moral yang tegas dan abadi. Hidup adalah medan perjuangan (sa'y) yang terbagi dua. Jalur kemudahan (yusrā) ditempuh melalui kedermawanan spiritual dan materi yang ikhlas dan didasari ketakwaan (al-atqā), yang mengarah pada keridaan dan kepuasan abadi. Sementara itu, jalur kesulitan (‘usrā) ditempuh melalui kekikiran dan arogansi (al-asyqā), yang mengarah pada penyesalan dan kehancuran. Pesan surah ini mendesak setiap individu untuk introspeksi mendalam mengenai niat di balik setiap upaya mereka, memastikan bahwa setiap langkah diarahkan semata-mata untuk mencari wajah Allah Yang Mahatinggi.