Simbol Majapahit: Keadilan dan Keagungan
Kerajaan Majapahit, sebuah imperium maritim yang pernah berkuasa di Nusantara, memiliki sejarah keagamaan yang kaya dan kompleks. Berbeda dengan anggapan umum yang mungkin hanya mengaitkannya dengan satu ajaran, Majapahit sebenarnya menjadi cikal bakal fenomena sinkretisme keagamaan yang kemudian menjadi ciri khas perkembangan agama di Indonesia. Kehidupan keagamaan di Majapahit mencerminkan toleransi dan akomodasi terhadap berbagai aliran kepercayaan yang berkembang pada masa itu.
Pada awal berdirinya, Majapahit sangat dipengaruhi oleh tradisi keagamaan Hindu dan Buddha yang telah lebih dulu masuk ke Nusantara. Pengaruh ini terlihat jelas dari bukti-bukti arkeologis seperti candi-candi megah yang dibangun di ibu kota kerajaan maupun di wilayah kekuasaannya. Candi-candi ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan keagungan para raja. Ajaran Hindu yang dominan adalah Siwaisme, sementara dari tradisi Buddha, Mahayana dan Vajrayana turut berkembang.
Para raja Majapahit, seperti Raden Wijaya dan Hayam Wuruk, sering kali dipersonifikasikan sebagai dewa atau dianggap memiliki hubungan spiritual yang erat dengan dewa-dewa. Konsep "Dewa-Raja" atau deifikasi penguasa adalah praktik umum yang menandakan kesucian dan legitimasi kekuasaan mereka. Prasasti-prasasti kuno kerap menyebutkan gelar-gelar keagamaan bagi para raja, mengindikasikan bahwa mereka tidak hanya memimpin urusan duniawi, tetapi juga spiritual.
Penting untuk dicatat bahwa ajaran Hindu dan Buddha di Majapahit tidak selalu murni dalam bentuk aslinya. Seiring waktu, terjadi proses adaptasi dan peleburan dengan kepercayaan lokal yang sudah ada sebelumnya, seperti animisme dan dinamisme. Unsur-unsur kepercayaan terhadap roh leluhur, kekuatan alam, dan kekuatan magis tetap hidup dan berintegrasi dalam praktik keagamaan masyarakat Majapahit.
Meskipun Hindu-Buddha menjadi fondasi keagamaan utama, masuknya pengaruh Islam ke Nusantara juga tidak luput dari perhatian Majapahit. Bukti sejarah menunjukkan bahwa Islam mulai dikenal dan diadopsi oleh sebagian masyarakat Majapahit, terutama para pedagang dan masyarakat pesisir, pada periode akhir kejayaannya. Namun, hal ini tidak serta-merta menimbulkan konflik agama yang besar.
Salah satu aspek yang paling menonjol dari kehidupan keagamaan Majapahit adalah tingkat toleransi beragama yang tinggi. Kerajaan ini tidak memaksakan satu agama tertentu kepada seluruh rakyatnya. Berbagai aliran kepercayaan dapat hidup berdampingan, bahkan sering kali bercampur menjadi satu kesatuan. Fenomena ini dikenal sebagai sinkretisme, di mana unsur-uns dari agama yang berbeda melebur menjadi praktik dan keyakinan baru.
Hal ini diperkuat oleh penemuan makam-makam dengan inskripsi kaligrafi Arab di dekat situs-situs pemakaman Hindu-Buddha, yang mengindikasikan adanya interaksi dan akulturasi budaya dan keagamaan. Bukti lain datang dari naskah-naskah kuno seperti Negarakertagama yang menyebutkan adanya berbagai macam pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat, mencerminkan keragaman kepercayaan yang diakui.
Warisan arkeologis Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Tikus, dan Candi Sagaloh, menjadi saksi bisu dari kompleksitas ajaran agama yang dianut. Bentuk arsitektur, relief-relief yang terukir, serta arca-arca yang ditemukan menunjukkan perpaduan estetika dan filosofi dari berbagai tradisi. Misalnya, arca-arca yang menggambarkan Buddha dan Hyang Pasupati (manifestasi Dewa Siwa) berdampingan adalah pemandangan yang umum ditemukan.
Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Majapahit juga memberikan gambaran tentang bagaimana penguasa mengatur kehidupan keagamaan. Ditemukan adanya pengakuan terhadap keberadaan berbagai kelompok keagamaan dan pengakuan terhadap fungsi-fungsi spiritual mereka dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Majapahit sebagai sebuah negara yang besar mampu mengelola keragaman agama dengan baik, menjadikannya salah satu faktor yang berkontribusi pada stabilitas dan kejayaannya.
Dengan demikian, agama di Kerajaan Majapahit bukanlah entitas tunggal yang kaku, melainkan sebuah tapestry yang kaya akan warna-warni kepercayaan. Pengaruh Hindu-Buddha yang kuat berpadu dengan nuansa lokal, serta membuka ruang bagi interaksi dengan ajaran Islam. Inilah yang menjadikan Majapahit sebagai periode penting dalam sejarah perkembangan keagamaan di Nusantara, membuka jalan bagi dialog antaragama dan pembentukan identitas keagamaan yang unik di kemudian hari.