Ketika berbicara tentang kekayaan budaya Indonesia, aksara Jawa atau yang sering disebut Hanacaraka, memegang peranan penting. Ia bukan sekadar simbol-simbol kuno yang tertulis di lontar atau prasasti. Aksara Jawa adalah jendela menuju peradaban masa lalu, refleksi kearifan lokal, dan identitas budaya yang kuat bagi masyarakat Jawa. Namun, ironisnya, pemahaman dan pelestariannya terkadang terasa seperti pepatah "jangan asem". Pepatah ini menyiratkan sebuah kekhawatiran atau rasa tidak nyaman terhadap sesuatu yang sebenarnya penting, namun justru diabaikan atau bahkan dihindari.
Nama "Hanacaraka" sendiri memiliki makna filosofis yang mendalam. Huruf pertama, "Ha", melambangkan "hana" (ada) atau penciptaan. "Na" melambangkan "nana" (tidak ada) atau kehancuran. "Ca" melambangkan "cara" (cara) atau proses, dan "Ra" melambangkan "cara" (menjelang) atau perpindahan. Jika dirangkai, ia bisa diartikan sebagai filosofi siklus kehidupan: adanya sesuatu yang kemudian tiada, dan proses inilah yang terus berjalan. Ini adalah cerminan kosmologi Jawa yang melihat dunia dalam keseimbangan dan siklus abadi. Selain itu, aksara ini juga sering dikaitkan dengan cerita tentang pertarungan atau perseteruan para kesatria, yang kemudian melahirkan 20 aksara dasar yang kita kenal sekarang.
Aksara Jawa memiliki struktur yang unik dan kompleks. Terdiri dari aksara nglegena (dasar), sandhangan (tanda vokal dan konsonan), serta pasangan, sistem penulisannya membutuhkan ketelitian dan penguasaan. Setiap aksara memiliki bentuk estetis yang indah, memancarkan kehalusan dan keteguhan. Sejarahnya panjang, mulai dari pengaruh aksara Pallawa dari India, hingga mengalami perkembangan dan adaptasi di tanah Jawa. Aksara ini digunakan untuk menuliskan berbagai karya sastra, babad, piwulang (ajaran moral), hingga dokumen administratif pada masa lalu. Warisan tertulis ini memberikan gambaran otentik tentang kehidupan, pemikiran, dan nilai-nilai yang dianut oleh leluhur kita.
Frasa "jangan asem" dalam konteks aksara Jawa mungkin terdengar kontradiktif. Bukankah seharusnya kita bangga dan bersemangat untuk melestarikan warisan tak ternilai ini? Namun, realitasnya menunjukkan berbagai tantangan. Salah satunya adalah kurangnya minat generasi muda. Di era digital yang serba cepat dan penuh dengan hiburan global, aksara Jawa mungkin terasa kuno dan sulit dipelajari. Banyak anak muda yang lebih fasih menggunakan bahasa Inggris atau bahasa gaul daripada bahasa Jawa halus apalagi membaca dan menulis aksara Jawa.
Selain itu, kurangnya media pembelajaran yang menarik dan modern juga menjadi kendala. Buku-buku pelajaran aksara Jawa yang ada terkadang kurang variatif, sehingga proses belajar menjadi monoton. Padahal, dengan kemajuan teknologi, seharusnya ada inovasi dalam penyampaian materi, misalnya melalui aplikasi edukasi, game interaktif, atau video animasi yang menarik. Kehilangan penutur fasih dalam bahasa Jawa dan minimnya penggunaan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari juga memperparah situasi. Jika tidak ada yang menggunakan, bagaimana generasi mendatang bisa mempelajarinya?
Tantangan lain adalah fragmentasi dan variasi dialek. Meskipun aksara Jawa secara umum seragam, terdapat sedikit perbedaan dalam penulisan atau pelafalan di berbagai daerah di Jawa. Hal ini kadang menimbulkan kebingungan, meskipun sebenarnya adalah kekayaan tersendiri. Namun, tanpa panduan yang jelas dan terpadu, variasi ini bisa menjadi hambatan dalam standardisasi pembelajaran.
Untuk mengatasi rasa "jangan asem" ini, diperlukan upaya kolektif dan strategis. Pertama, pendidikan yang dimulai dari akar. Sekolah-sekolah, terutama di wilayah Jawa, harus menjadikan pembelajaran aksara Jawa sebagai mata pelajaran wajib yang diajarkan dengan metode yang menyenangkan dan relevan dengan kehidupan siswa. Libatkan orang tua dan tokoh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung.
Kedua, inovasi media dan teknologi. Manfaatkan kecanggihan teknologi untuk menciptakan aplikasi pembelajaran aksara Jawa yang interaktif, website edukasi yang informatif, bahkan komik atau cerita bergambar dengan teks aksara Jawa. Konten digital yang menarik akan lebih mudah diakses dan dipahami oleh generasi muda. Kolaborasi dengan komunitas seni dan budaya untuk menciptakan karya seni kontemporer yang mengintegrasikan aksara Jawa juga bisa menjadi cara yang efektif untuk mengenalkannya kepada khalayak luas.
Ketiga, dorong penggunaan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau membuat kebijakan untuk penggunaan aksara Jawa dalam penamaan jalan, papan nama instansi pemerintah, atau bahkan dalam acara-acara resmi daerah. Tokoh publik dan influencer juga bisa berperan sebagai duta aksara Jawa, dengan secara rutin menggunakan atau mempromosikannya di media sosial mereka.
Aksara Jawa bukan hanya sekadar warisan masa lalu. Ia adalah identitas hidup yang mengandung kebijaksanaan dan keindahan. Mengabaikannya sama saja dengan membiarkan sebagian dari jati diri bangsa terkikis. Dengan semangat kebersamaan dan inovasi, kita dapat mengubah rasa "jangan asem" menjadi rasa bangga dan cinta terhadap aksara Jawa. Mari kita pelajari, lestarikan, dan wariskan keindahan serta kearifan aksara Jawa kepada generasi mendatang, agar ia terus hidup dan bercerita tentang kekayaan budaya bangsa ini.