Simbol pelestarian aksara dan budaya.
Aksara Jawa, sebuah warisan budaya yang kaya akan sejarah dan filosofi, terus berusaha untuk bertahan di era digital ini. Salah satu aspek menarik dari budaya Jawa yang berkaitan erat dengan pelestarian aksara adalah ungkapan "Jangan Gori". Frasa ini, meskipun singkat, menyimpan makna mendalam dan relevansinya dalam konteks pelestarian budaya, termasuk aksara Jawa itu sendiri.
"Jangan Gori" secara harfiah dapat diartikan sebagai "jangan terlambat" atau "jangan menunda-nunda". Ungkapan ini sering digunakan sebagai pengingat agar senantiasa bertindak sigap dan tidak menunda-nunda pekerjaan atau kewajiban. Dalam konteks yang lebih luas, "Jangan Gori" juga bisa diartikan sebagai ajakan untuk tidak menunda upaya pelestarian hal-hal penting, seperti kebudayaan dan bahasa leluhur.
Aksara Jawa, atau yang dikenal sebagai Hanacaraka, adalah sistem penulisan asli Jawa yang telah digunakan selama berabad-abad. Aksara ini tidak hanya sekadar alat untuk menuliskan kata-kata, tetapi juga merupakan cerminan dari pandangan hidup, nilai-nilai, dan kearifan lokal masyarakat Jawa. Setiap bentuk aksara, sandhangan, dan pasangannya memiliki keindahan tersendiri dan menyimpan cerita panjang tentang perkembangan peradaban Jawa.
Sayangnya, seperti banyak aksara tradisional lainnya di dunia, Aksara Jawa juga menghadapi tantangan signifikan. Maraknya penggunaan aksara Latin dalam kehidupan sehari-hari, globalisasi, dan perubahan gaya hidup membuat generasi muda semakin jarang bersinggungan dengan Hanacaraka. Akibatnya, pengetahuan dan keterampilan menulis serta membaca aksara ini perlahan mulai terkikis.
Di sinilah ungkapan "Jangan Gori" menjadi sangat relevan. Jika kita menunda-nunda upaya pelestarian Aksara Jawa, maka risiko kepunahan akan semakin besar. Menunda berarti membiarkan pengetahuan tentang aksara ini semakin hilang dari ingatan masyarakat, terutama generasi muda yang merupakan penerus masa depan.
Mengapa harus "Jangan Gori"? Karena setiap detik yang terlewat tanpa aksi pelestarian adalah sebuah kehilangan. Kehilangan kesempatan untuk mempelajari kembali, mengajarkan, dan mengaplikasikan Aksara Jawa dalam kehidupan modern.
Pelestarian Aksara Jawa bukanlah tugas yang hanya dibebankan kepada para ahli bahasa atau budayawan semata. Ini adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki darah keturunan Jawa atau yang tertarik dengan kekayaan budaya Nusantara.
Bagaimana kita bisa menerapkan prinsip "Jangan Gori" dalam pelestarian Aksara Jawa? Ada banyak cara, baik yang sederhana maupun yang lebih terstruktur:
Semua langkah ini membutuhkan komitmen dan kesadaran bahwa kita tidak boleh menunda-nunda. "Jangan Gori" dalam mempelajari dan melestarikan Aksara Jawa berarti kita menghargai sejarah, identitas, dan warisan berharga yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Tentu saja, upaya pelestarian Aksara Jawa tidak lepas dari tantangan. Adaptasi ke dalam format digital memerlukan teknologi dan sumber daya yang memadai. Kurangnya minat dari sebagian generasi muda juga menjadi pekerjaan rumah besar. Namun, dengan semangat "Jangan Gori", kita harus optimis bahwa Aksara Jawa dapat terus hidup dan berkembang.
Kemajuan teknologi informasi saat ini justru membuka peluang baru. Dengan smartphone di genggaman, siapapun dapat mengakses materi pembelajaran, kamus Aksara Jawa, hingga keyboard virtual yang memudahkan penulisan. Inisiatif-inisiatif komunitas daring juga semakin banyak bermunculan, menyediakan ruang bagi para pembelajar dan pegiat aksara untuk berinteraksi.
Mari kita jadikan prinsip "Jangan Gori" sebagai motivasi untuk bertindak. Jangan biarkan keindahan dan kekayaan Aksara Jawa hanya menjadi cerita masa lalu. Dengan aksi nyata dan kesadaran bersama, kita dapat memastikan bahwa Hanacaraka akan terus lestari, melintasi batas waktu, dan menjadi kebanggaan generasi-generasi mendatang. Pelestarian aksara adalah bagian tak terpisahkan dari pelestarian budaya secara keseluruhan.