Indonesia, sebuah permadani kekayaan budaya yang terbentang luas, menyimpan berbagai warisan tak ternilai dari para leluhur. Salah satu kekayaan tersebut hadir dalam bentuk aksara dan tradisi kuliner. Ketika kita berbicara tentang aksara Jawa, yang terlintas seringkali adalah prasasti kuno, naskah-naskah pewayangan, atau tulisan pada lontar. Namun, jejak aksara ini ternyata juga dapat ditemukan meresap dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam hidangan yang akrab di lidah masyarakat Jawa: jenang.
Aksara Jawa, atau yang dikenal juga sebagai Hanacaraka, Kaganga, atau Carakan, merupakan sistem penulisan tradisional yang berasal dari Pulau Jawa. Sistem penulisan ini memiliki sejarah panjang dan perkembangan yang kompleks, dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan, termasuk Sanskerta dan Pallawa. Aksara Jawa tidak hanya digunakan untuk mencatat sejarah, sastra, dan ajaran agama, tetapi juga sarat akan filosofi dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Setiap bentuk aksara, setiap gugus suku kata, memiliki makna dan cerita tersendiri yang terkadang tersembunyi dari pandangan awam.
Keindahan aksara Jawa tidak hanya terletak pada bentuknya yang artistik, tetapi juga pada cara penggunaannya yang memiliki aturan tata bahasa dan pelafalan yang spesifik. Mempelajari aksara Jawa berarti membuka jendela ke masa lalu, memahami pemikiran leluhur, dan mengapresiasi kekayaan intelektual yang diwariskan. Dalam perkembangannya, aksara Jawa pernah menjadi sarana komunikasi utama sebelum adopsi alfabet Latin secara luas.
Beralih ke ranah kuliner, jenang adalah hidangan khas Jawa yang kehadirannya selalu dinanti, terutama dalam berbagai upacara adat, perayaan keagamaan, maupun momen kumpul keluarga. Jenang memiliki beragam varian rasa dan tekstur, mulai dari jenang bubur yang lembut hingga jenang kaleng yang lebih padat, dengan bahan dasar utamanya yaitu beras ketan, santan, dan gula merah atau gula pasir. Warna coklat khas jenang yang berasal dari gula merah seringkali diasosiasikan dengan kehangatan, kesederhanaan, dan keakraban.
Lebih dari sekadar hidangan penutup, jenang seringkali memiliki makna simbolis yang mendalam. Dalam tradisi masyarakat Jawa, penyajian jenang dalam sebuah hajatan menandakan permohonan keselamatan, rasa syukur, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Setiap jenis jenang, seperti jenang abang (merah), jenang putih, jenang procot, jenang sengkolo, dan sebagainya, memiliki filosofi dan peranannya sendiri dalam ritual atau upacara tertentu. Keberadaan jenang selalu menciptakan suasana kebersamaan dan keguyuban di antara para tamu yang hadir.
Keterkaitan antara aksara Jawa dan jenang mungkin tidak langsung terlihat bagi sebagian orang. Namun, jika ditelisik lebih dalam, keduanya merupakan bagian integral dari budaya Jawa yang saling melengkapi. Banyak tradisi pembuatan jenang, terutama dalam konteks ritual, yang melibatkan pembacaan mantra atau doa yang ditulis dalam aksara Jawa. Para sesepuh atau tokoh adat mungkin akan merapalkan ayat-ayat suci atau permohonan yang berakar pada tradisi lisan maupun tulisan aksara Jawa sembari menyiapkan atau membagikan jenang.
Selain itu, dalam beberapa seni pertunjukan tradisional Jawa, seperti wayang atau sesajen, aksara Jawa seringkali hadir sebagai elemen visual yang kuat. Kombinasi antara visual aksara Jawa yang khas dengan aroma dan cita rasa jenang yang menggugah selera dapat menciptakan pengalaman budaya yang utuh dan mendalam. Misalnya, saat membuat jenang untuk upacara tertentu, terkadang ada simbol-simbol aksara Jawa yang digoreskan di atas daun pisang yang menjadi alas jenang, atau bahkan sebagai hiasan sederhana di atas permukaan jenang itu sendiri, meskipun ini lebih jarang ditemui secara umum.
Keberadaan aksara Jawa dalam konteks jenang dapat dimaknai sebagai upaya melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aksara itu sendiri. Melalui jenang, yang merupakan bagian dari keseharian dan perayaan masyarakat, nilai-nilai filosofis, spiritual, dan kebersamaan yang diajarkan oleh aksara Jawa dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi. Jenang menjadi medium yang akrab dan merakyat untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkadang kompleks dan mendalam, yang asal-usulnya dapat ditelusuri hingga pada warisan aksara nenek moyang.
Di era modern ini, di mana budaya global semakin mendominasi, upaya pelestarian warisan lokal seperti aksara Jawa dan tradisi kuliner jenang menjadi semakin penting. Memahami hubungan antara keduanya membuka perspektif baru tentang bagaimana budaya dapat dihidupkan kembali dan diintegrasikan dalam kehidupan kontemporer. Aksara Jawa bukan hanya sekadar artefak sejarah yang terpajang di museum, melainkan sebuah sistem pengetahuan yang hidup dan relevan. Begitu pula jenang, bukan hanya makanan lezat, tetapi juga pembawa pesan kehangatan, persatuan, dan nilai-nilai luhur.
Melalui apresiasi terhadap jenang yang kaya akan makna, kita dapat terdorong untuk lebih mengenal dan mencintai aksara Jawa. Sebaliknya, dengan mempelajari aksara Jawa, kita dapat lebih memahami filosofi di balik setiap hidangan tradisional, termasuk jenang. Kedua elemen budaya ini, aksara Jawa dan jenang, adalah bukti nyata dari kekayaan dan kedalaman peradaban Jawa yang layak untuk terus dijaga, dilestarikan, dan dibanggakan.