Surah Al-Baqarah, bab kedua dalam Al-Qur'an, merupakan lautan hikmah yang mendalam, mencakup berbagai aspek kehidupan seorang Muslim. Di antara ayat-ayatnya yang mulia, rentang ayat 221 hingga 240 menawarkan petunjuk yang sangat penting mengenai hubungan antara manusia, terutama dalam konteks pernikahan, serta tanggapan terhadap berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat. Ayat-ayat ini bukan sekadar larangan dan anjuran, melainkan fondasi moral dan etika yang kokoh untuk membangun keluarga yang sakinah dan masyarakat yang harmonis.
Bagian awal dari rentang ayat ini, dimulai dari Al-Baqarah ayat 221, membahas secara spesifik mengenai pemilihan pasangan hidup. Allah SWT melarang keras kaum mukminin untuk menikahi wanita musyrik, wanita yang menyekutukan Allah, sampai mereka beriman. Sebaliknya, Allah menyarankan untuk menikahi wanita mukminah yang salehah, meskipun wanita budak yang mukminah lebih baik daripada wanita musyrik yang menawan hati. Poin krusial di sini adalah penekanan pada keimanan sebagai landasan utama dalam perkawinan. Keyakinan yang sama dan tujuan hidup yang selaras akan menjadi perekat yang kuat dalam rumah tangga.
Lebih lanjut, pada Al-Baqarah ayat 222, dibahas mengenai menstruasi. Allah menjelaskan bahwa menstruasi adalah suatu keadaan yang mengganggu, sehingga dianjurkan untuk menjauhi istri dalam keadaan tersebut. Namun, ini bukan berarti larangan total dalam segala aspek hubungan, melainkan menghindari hubungan intim fisik. Setelah masa menstruasi selesai dan wanita itu telah suci kembali, barulah diperbolehkan untuk kembali berhubungan suami istri, sebagaimana diperintahkan oleh Allah. Ayat ini menunjukkan kehati-hatian Islam dalam menjaga kesucian dan kesehatan reproduksi, serta menghormati kodrat wanita.
Kemudian, Al-Baqarah ayat 223 memberikan pedoman tentang cara berhubungan suami istri. Allah berfirman bahwa istri adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Ini memberikan kelonggaran dalam mengeksplorasi keintiman dalam pernikahan, selama dilakukan dengan cara yang sesuai dan tidak melanggar batasan syariat. Yang terpenting adalah berbakti kepada Allah dan menyadari bahwa segala amal perbuatan akan dihisab. Ini menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam setiap aspek kehidupan, termasuk hubungan intim.
Ayat-ayat berikutnya, seperti Al-Baqarah ayat 224-225, menggarisbawahi tentang sumpah dan janji. Allah melarang menjadikan nama-Nya sebagai sasaran sumpah dalam melakukan kebaikan, takwa, dan memperbaiki hubungan antarmanusia. Seseorang tidak akan dihukum karena sumpah yang tidak disengaja, tetapi akan dihukum karena sumpah yang diambil dengan niat, yang kemudian dilanggar. Ini mengajarkan tentang pentingnya menjaga lisan dan komitmen. Allah juga menetapkan kewajiban membayar kafarat sumpah bagi yang melanggarnya, yang dapat berupa membebaskan budak, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian. Jika tidak mampu, maka berpuasa selama tiga hari.
Rentang ayat ini juga menyentuh isu perceraian, yang merupakan pilihan terakhir ketika pernikahan tidak dapat dipertahankan. Al-Baqarah ayat 226-227 menjelaskan bahwa bagi suami yang meng-ila' (bersumpah untuk tidak berhubungan seksual) dengan istrinya, diberi tenggang waktu empat bulan. Jika setelah itu mereka kembali rujuk, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Namun, jika mereka bertekad menceraikan, maka Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ini menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang untuk refleksi dan rekonsiliasi sebelum keputusan final diambil.
Proses perceraian sendiri diatur lebih lanjut. Al-Baqarah ayat 228 menekankan bahwa wanita-wanita yang dicerai harus menjalani masa iddah tiga kali quru' (periode haid). Selama masa iddah, mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Suami berhak merujuk mereka selama masa iddah tersebut, jika mereka ingin berbaikan. Pernyataan ini menegaskan bahwa perceraian bukanlah akhir dari segalanya, dan ada kesempatan untuk kembali membangun rumah tangga jika memang ada niat baik.
Tanggung jawab finansial pasca-perceraian juga diatur dengan adil. Al-Baqarah ayat 229-232 memerintahkan agar suami menceraikan istri dengan baik, tidak menahan mereka dengan menyusahkan atau berbuat zalim. Suami diwajibkan memberikan mut'ah (kenikmatan) kepada istri yang dicerai, sesuai dengan kemampuannya. Bagi wanita yang memiliki anak susuan, jika diceraikan, ia berhak mendapatkan nafkah dan pakaian yang makruf dari mantan suaminya. Jika suaminya meninggal, maka istrinya berhak mendapatkan warisan dan nafkah dari pihak suami yang lain. Ayat-ayat ini sangat menekankan keadilan dan perlindungan bagi pihak perempuan, terutama yang rentan.
Selain urusan pernikahan, rentang ayat ini juga meluas ke ranah sosial dan ekonomi. Al-Baqarah ayat 233 membahas mengenai hak anak dan kewajiban orang tua terkait penyusuan. Ayah berkewajiban menafkahi dan memberi pakaian kepada ibu penyusu (mantan istri) secara makruf. Tidak ada jiwa yang dibebani melainkan sesuai kesanggupannya.
Kemudian, Al-Baqarah ayat 234-236 membahas tentang masa iddah bagi janda. Wanita yang ditinggal mati suaminya diwajibkan menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa iddah, mereka dianjurkan untuk berhias dan menunjukkan niat untuk menikah lagi setelah masa iddah selesai, dengan cara yang makruf.
Aspek penting lainnya adalah mengenai perjanjian dan hutang. Al-Baqarah ayat 237-240 memberikan instruksi mengenai perjanjian utang-piutang, pentingnya saksi, dan larangan menunda pembayaran atau meminta lebih dari yang seharusnya. Perjanjian tertulis menjadi sangat dianjurkan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Allah mengingatkan untuk menunaikan janji dan amanah dengan sebaik-baiknya, karena segala sesuatu akan dimintai pertanggungjawaban. Instruksi ini mencakup peringatan keras bagi mereka yang menipu atau mengambil keuntungan secara tidak adil.
Secara keseluruhan, rentang ayat Al-Baqarah 221-240 adalah panduan komprehensif yang mengatur hubungan paling fundamental dalam kehidupan manusia: pernikahan, keluarga, dan tanggung jawab sosial. Dengan prinsip keimanan, keadilan, dan kasih sayang, ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya membangun fondasi yang kuat dalam rumah tangga dan masyarakat yang beradab. Petunjuk-petunjuk ini adalah rahmat dari Allah SWT untuk membimbing umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.