Surah Al-Baqarah, yang merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an, mengandung banyak sekali pelajaran berharga dan panduan bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, rentang ayat 101 hingga 120 menyajikan segudang peringatan, petunjuk, serta kisah-kisah relevan yang memberikan wawasan mendalam mengenai keimanan, perilaku, dan konsekuensi dari pilihan yang diambil. Ayat-ayat ini menegaskan kembali status Al-Qur'an sebagai kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT, serta memberikan gambaran mengenai watak sebagian orang yang enggan menerima kebenaran.
Bagian awal dari rentang ayat ini secara spesifik menyoroti kondisi spiritual sebagian kaum Yahudi pada masa itu, yang memiliki kitab suci namun justru menolaknya. Allah SWT berfirman dalam ayat 101:
وَلَمَّا جَآءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ ۗ كَانَ لَهُمْ فَرِيقٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَـٰبَ يَلْقُونَ وِرَـٰٓءَ ﻇُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab itu melemparkan Kitab Allah ke belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak mengetahui."
Ayat ini menggambarkan ironi yang mendalam: mereka yang seharusnya paling memahami makna kitab suci, justru berpaling darinya ketika datang seorang Rasul yang membawa kebenaran dari Allah. Hal ini menjadi peringatan keras bagi setiap umat beragama untuk tidak hanya memiliki kitab suci, tetapi juga menerimanya dengan hati terbuka dan menjadikannya pedoman hidup. Ayat-ayat selanjutnya (102-110) terus menggali lebih dalam tentang praktik sihir yang dikaitkan dengan kaum Yahudi, pentingnya mengikuti wahyu Allah, dan kebohongan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengingkari kebenaran. Perhatian khusus juga diberikan pada sifat-sifat orang munafik yang seringkali bersembunyi di balik klaim keimanan, namun tindakannya justru mencerminkan permusuhan terhadap ajaran Allah.
Memasuki rentang ayat 111-120, fokus kembali diperluas untuk membahas klaim keagamaan dari berbagai golongan. Allah SWT membantah klaim bahwa hanya pengikut agama tertentu yang akan masuk surga, seperti yang dinyatakan oleh orang Yahudi dan Nasrani dalam ayat 111:
وَقَالُوا۟ لَن يَدْخُلَ ٱلْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَـٰرَىٰ ۗ ذَٰلِكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَـٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ
"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: 'Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani.' Itu (hanyalah) angan-angan mereka. Katakanlah: 'Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu memang orang-orang yang benar'."
Ayat ini menekankan bahwa keselamatan dan kemuliaan di sisi Allah tidak didasarkan pada klaim kosong atau label agama semata, melainkan pada keimanan yang tulus dan amal saleh. Kunci utama adalah ketundukan kepada Allah SWT (menjadi seorang Muslim dalam arti luas) dan berbuat kebaikan. Sebagaimana lanjutan ayat 112 dan 113 menjelaskan: siapa saja yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat kebajikan, maka ia akan mendapatkan balasan dari Tuhannya, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih. Sebaliknya, orang-orang Yahudi dan Nasrani menyimpang dari kebenaran ketika mereka berpegang teguh pada klaim eksklusif mereka.
Kisah Nabi Ibrahim dan Poin Penting Lainnya
Pada ayat-ayat berikutnya, khususnya ayat 115-120, Allah SWT kembali mengingatkan tentang kebesaran-Nya melalui penciptaan alam semesta. Allah berfirman bahwa ke mana pun kita menghadap, di situlah wajah Allah. Hal ini menegaskan bahwa Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui, serta tidak terikat oleh arah atau tempat. Kisah Nabi Ibrahim AS juga kembali disinggung, menekankan posisinya sebagai seorang hanif (lurus agamanya) dan bukan termasuk orang musyrik.
Ayat-ayat ini juga memperingatkan tentang pentingnya menjaga diri dari godaan dan pengaruh buruk. Perintah untuk tidak meniru perbuatan orang-orang yang telah tersesat menjadi sangat relevan. Umat Islam diperintahkan untuk senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari segala bentuk kejahatan dan godaan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Intinya, ayat 101-120 Surah Al-Baqarah adalah seruan untuk bersikap jujur dalam keimanan, menghindari klaim-klaim yang tidak berdasar, serta senantiasa merujuk pada ajaran Allah SWT sebagai sumber kebenaran dan keselamatan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari rentang ayat ini sangat luas. Pertama, kebenaran tidak dapat dicapai hanya dengan memegang kitab suci, tetapi harus dibarengi dengan penerimaan yang tulus terhadap wahyu dari Allah. Kedua, klaim eksklusif terhadap surga adalah kesesatan; yang terpenting adalah ketundukan total kepada Allah dan berbuat kebaikan. Ketiga, Allah senantiasa hadir dan Maha Mengetahui, sehingga segala sesuatu harus dilakukan dengan kesadaran akan pengawasan-Nya. Terakhir, pentingnya untuk senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk godaan dan meminta perlindungan dari Allah SWT. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ayat 101-120 Al-Baqarah, seorang Muslim dapat memperkuat fondasi keimanannya dan menjalani kehidupan yang diridhai oleh Allah.