Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, menyimpan begitu banyak hikmah dan pelajaran bagi umat manusia. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, rentang ayat 119 hingga 125 menawarkan sebuah perjalanan perenungan yang mendalam mengenai hakikat iman, tanggung jawab sebagai hamba Allah, serta hubungan antara seorang mukmin dengan Tuhan-Nya dan sesama. Ayat-ayat ini secara khusus menyoroti bagaimana kebenaran ilahi seringkali disalahpahami atau ditolak oleh sebagian orang, dan bagaimana Allah mengingatkan hamba-Nya untuk tetap berada di jalan yang lurus.
Ayat 119 dari Surah Al-Baqarah berbunyi, "Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepadanya, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa mengingkarinya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." Ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati terhadap kitab suci datang dari pemahaman dan pengamalan yang benar, bukan sekadar pembacaan tanpa makna. Allah membedakan antara mereka yang membaca dan memahami kitab-Nya dengan penuh kesungguhan (menjadikannya petunjuk hidup) dan mereka yang menutup mata terhadap kebenarannya. Ini mengingatkan kita bahwa Al-Qur'an hadir bukan untuk dibaca sekadar penghias, melainkan untuk digali maknanya dan dijadikan panduan dalam setiap aspek kehidupan. Ada berbagai macam respons terhadap kebenaran; sebagian menerima dan mengamalkan, sementara yang lain menolak dan mengingkarinya, yang pada akhirnya berujung pada kerugian diri sendiri.
Selanjutnya, ayat 120 dan 121 mengingatkan Rasulullah SAW dan umatnya agar tidak mengikuti keinginan orang-orang kafir atau Ahli Kitab yang sesat. Allah berfirman, "Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).' Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." Ayat ini sangat krusial dalam menegaskan kemurnian ajaran Islam. Allah memerintahkan agar umat Islam tidak terpengaruh oleh berbagai macam pandangan atau ajakan yang menyimpang dari ajaran-Nya, meskipun datang dari kaum yang memiliki kitab sebelumnya. Fokus utama harus selalu pada petunjuk Allah yang murni, sebagaimana yang diajarkan oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Mengikuti hawa nafsu atau tekanan dari pihak luar yang berseberangan dengan syariat Allah akan menghilangkan perlindungan dan pertolongan-Nya.
Ayat 122 dan 123 kemudian mengingatkan kembali tentang keutamaan yang pernah Allah berikan kepada Bani Israil. Allah berfirman, "Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan sesungguhnya Aku telah melebihkan kamu atas umat-umat yang lain (pada masamu)." Namun, keutamaan ini datang dengan tanggung jawab besar. Ayat 123 melanjutkan, "Dan takutlah kepada suatu hari (Kiamat), ketika tidak seorang pun dapat membela orang lain, dan tidak pula diterima syafaat (pertolongan) darinya, dan tidak pula diterima tebusan darinya, dan mereka tidak akan ditolong." Ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat bagi kaum Yahudi pada masa itu, dan juga bagi umat Islam, bahwa status istimewa tidaklah otomatis menjamin keselamatan. Keimanan yang dibarengi dengan amal saleh dan ketakwaan kepada Allah adalah kunci. Di hari kiamat kelak, tidak ada yang bisa menolong selain Allah, tidak ada tebusan yang diterima, dan setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri.
Dalam ayat 124, Allah mengangkat Nabi Ibrahim AS sebagai teladan utama dalam hal ujian dan kepemimpinan spiritual. "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menyempurnakannya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau imam bagi seluruh manusia.' Ibrahim berkata, 'Dan dari sebagian keturunanku?' Allah berfirman, 'Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang zalim.'" Kisah Nabi Ibrahim AS diuji dengan berbagai perintah dan larangan, yang kemudian ia penuhi dengan sempurna, menunjukkan tingkatan iman yang luar biasa. Karena kesempurnaan ibadahnya dan ketundukannya, Allah menjadikannya sebagai imam (pemimpin) bagi seluruh manusia. Namun, Allah juga menegaskan bahwa janji kepemimpinan ini tidak berlaku bagi keturunannya yang zalim. Ini mengajarkan bahwa posisi atau keturunan bukanlah jaminan, melainkan kualitas iman dan amal yang saleh yang menentukan kelayakan seseorang untuk menjadi teladan.
Terakhir, ayat 125 merujuk pada pembangunan Ka'bah oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail AS, sebagai rumah ibadah yang mulia. "Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka'bah) itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman; dan jadikanlah sebagian tempat maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, 'Bersihkanlah rumah-Ku (Ka'bah) untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk, dan orang yang sujud.'" Ayat ini menggarisbawahi fungsi Ka'bah sebagai pusat ibadah, tempat bertemunya umat manusia dari berbagai penjuru, dan simbol ketenangan serta keamanan spiritual. Perintah untuk membersihkannya mencerminkan pentingnya menjaga kesucian tempat-tempat ibadah dan menghormatinya. Ka'bah bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga pengingat akan keesaan Allah, tempat untuk memurnikan diri melalui ibadah ritual seperti tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud.
Secara keseluruhan, rentang ayat 119-125 Surah Al-Baqarah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya memegang teguh kebenaran ilahi, tidak terpengaruh oleh keinginan pihak yang keliru, menyadari bahwa keutamaan semata tidak cukup tanpa dibarengi ketakwaan, dan menjadikan para nabi sebagai teladan dalam menghadapi ujian. Perenungan atas ayat-ayat ini mengajak kita untuk senantiasa mengoreksi diri, memperdalam pemahaman terhadap Al-Qur'an, dan menjadikan ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, semata-mata mengharap ridha-Nya.