Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, mengandung banyak sekali hikmah dan petunjuk bagi umat manusia. Di dalamnya, terdapat dua ayat yang seringkali menjadi bahan renungan mendalam, yaitu ayat 170 dan ayat 190. Kedua ayat ini memiliki korelasi kuat dalam mengingatkan manusia tentang pentingnya mengikuti ajaran Allah dan menjauhi segala bentuk kesesatan, terutama yang berlandaskan pada tradisi leluhur yang tidak sesuai dengan kebenaran.
Ayat 170 dari surah Al-Baqarah adalah sebuah peringatan keras terhadap praktik mengikuti tradisi atau ajaran nenek moyang secara membabi buta, tanpa melakukan kajian dan pertimbangan akal sehat. Ayat ini menyeru agar manusia senantiasa berpegang teguh pada petunjuk Allah, bukan pada apa yang telah diwariskan secara turun-temurun jika warisan tersebut bertentangan dengan wahyu ilahi.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka berkata, "Tetapi kami mengikuti tradisi nenek moyang kami." Apakah (mereka akan mengikuti) nenek moyang mereka, meskipun nenek moyang mereka tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
Dalam ayat ini, Allah SWT mengisahkan tentang sikap kaum musyrik yang menolak seruan untuk mengikuti Al-Qur'an. Mereka lebih memilih untuk meneruskan kebiasaan dan ajaran yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. Allah SWT kemudian mempertanyakan logika mereka: apakah mereka akan tetap mengikuti jejak nenek moyang mereka, meskipun nenek moyang tersebut tidak memiliki pemahaman yang benar dan tidak berada dalam petunjuk Allah? Pertanyaan retoris ini sangat tajam, menekankan ketidaklogisan dan kesesatan dari sikap tersebut.
Pesan utama dari ayat ini adalah pentingnya penggunaan akal dan kebijaksanaan dalam menerima ajaran. Segala sesuatu harus ditimbang dengan neraca kebenaran dari Allah. Mengikuti tradisi semata tanpa dalil yang kuat adalah sebuah kekeliruan yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Ini mengajarkan kita untuk selalu kritis terhadap segala informasi dan tradisi, serta membandingkannya dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.
Selanjutnya, ayat 190 dari surah Al-Baqarah memberikan konteks yang lebih spesifik terkait pertempuran dalam rangka membela agama dan mempertahankan diri. Ayat ini menegaskan bahwa peperangan diperintahkan dalam rangka melawan musuh yang memerangi umat Islam, bukan untuk melakukan agresi atau melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah.
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Ayat ini adalah pedoman fundamental dalam hukum perang dalam Islam. Ia mengajarkan bahwa perang bukanlah tujuan, melainkan sebuah sarana untuk membela diri, menegakkan keadilan, dan melindungi kaum yang tertindas. Perintah untuk "berperang di jalan Allah" menunjukkan bahwa motivasi pertempuran haruslah suci dan dalam kerangka menegakkan kalimatullah.
Yang terpenting, ayat ini secara tegas melarang sikap melampaui batas (i'tida'). Ini mencakup larangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua, pendeta, orang yang tidak ikut berperang, merusak pohon, mengganggu ibadah, atau melakukan kerusakan yang tidak perlu. Keadilan dan kemanusiaan harus selalu dijaga, bahkan dalam situasi perang.
Meskipun tampak berbeda, kedua ayat ini memiliki benang merah yang kuat. Ayat 170 berbicara tentang penolakan terhadap tradisi yang sesat dan pentingnya mengikuti petunjuk Allah. Sementara itu, ayat 190 memberikan panduan mengenai bagaimana menghadapi ancaman dan konflik, dengan tetap berpegang pada batasan syariat.
Keterkaitannya terletak pada prinsip dasar: ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kaum yang dalam ayat 170 menolak mengikuti wahyu Allah karena terikat tradisi, dapat saja dalam situasi lain (seperti yang digambarkan ayat 190) menjadi pihak yang memerangi kebenaran. Oleh karena itu, sikap kritis yang diajarkan dalam ayat 170 harus terus menerus dipupuk, agar dalam menghadapi berbagai situasi, termasuk ancaman fisik, umat Islam tetap berada di jalan yang diridhai Allah, tidak bertindak melampaui batas, dan senantiasa menegakkan kebenaran dengan cara yang benar.
Kedua ayat ini mengingatkan kita untuk selalu mengintegrasikan iman dan akal dalam setiap aspek kehidupan. Iman memberikan landasan dan tujuan, sementara akal yang tercerahkan oleh wahyu membantu kita menavigasi kompleksitas dunia dan mengambil keputusan yang tepat, baik dalam hal keyakinan, ibadah, maupun interaksi sosial dan pertahanan diri. Memahami dan mengamalkan kedua ayat ini adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadi pribadi yang senantiasa berada dalam petunjuk-Nya.