Ilustrasi: Keharmonisan dalam Pernikahan
Surah Al-Baqarah, ayat 221 hingga 230, merupakan bagian penting dalam Al-Qur'an yang mengupas tuntas mengenai pernikahan, larangan-larangan yang terkait dengannya, serta petunjuk untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Ayat-ayat ini memberikan panduan yang jelas bagi umat Islam dalam memilih pasangan, serta batasan-batasan yang harus dijaga demi keharmonisan keluarga dan masyarakat.
"Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, seorang hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah (pula) kamu menikahkan anak perempuan (mu) dengan laki-laki musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, seorang hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka (orang musyrik itu) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mendapat pelajaran." (QS. Al-Baqarah: 221)
Ayat ini secara tegas melarang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik, dan sebaliknya, yaitu perempuan Muslim dengan laki-laki musyrik. Penekanannya adalah pada keimanan. Seorang budak yang beriman lebih utama daripada orang merdeka yang musyrik, karena keimanan adalah fondasi terpenting dalam membangun rumah tangga yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Pernikahan dengan orang musyrik dikhawatirkan akan membawa pengaruh buruk, menjauhkan dari ajaran agama, dan mengarahkan pada kesesatan.
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, 'Haid adalah suatu kotoran (gangguan).' Maka jauhilah perempuan pada masa haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)
Ayat selanjutnya memberikan penjelasan mengenai hukum terkait haid. Haid dipahami sebagai kondisi alami yang memerlukan perhatian khusus dalam hubungan suami istri. Selama masa haid, suami diperintahkan untuk menjauhi hubungan suami istri. Namun, larangan ini hanya bersifat sementara, hingga istri dinyatakan suci dari haid. Setelah suci, hubungan intim dapat kembali dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat. Ayat ini juga menekankan pentingnya taubat dan penyucian diri, yang merupakan aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim.
"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu bagaimana saja kamu suka. Dan utamakanlah (yang baik) bagi dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah: 223)
Ayat ini menyamakan istri dengan ladang bagi suami, yang memiliki makna mendalam. Ini mengindikasikan bahwa hubungan intim adalah hak suami istri dan harus dijalankan sesuai dengan cara yang diizinkan oleh Allah SWT. Suami diperintahkan untuk mengutamakan kebaikan dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Lebih penting lagi, ayat ini mengingatkan untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dan bahwa setiap amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Memberikan kabar gembira bagi orang beriman adalah sebuah motivasi positif.
"Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai halangan untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mendamaikan manusia. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 224)
Ayat ini menekankan pentingnya tidak menjadikan sumpah atas nama Allah sebagai alasan untuk tidak berbuat baik. Seseorang yang telah bersumpah atas nama Allah untuk tidak melakukan suatu kebaikan, atau untuk melakukan sesuatu yang dilarang, hendaknya tidak terhalang oleh sumpahnya tersebut. Islam menganjurkan untuk senantiasa berbuat kebajikan, bertakwa, dan menjaga kedamaian antar sesama. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan kita.
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah). Maka tebusannya (kifaratnya) adalah memberi makan sepuluh orang miskin, dari makanan tengah-tengah apa yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukan yang demikian, maka berpuasalah tiga hari. Yang demikian itu adalah tebusan sumpahmu bila kamu bersumpah. Jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 225)
Ayat ini menjelaskan mengenai kifarat (tebusan) bagi sumpah yang disengaja namun dilanggar. Sumpah yang tidak disengaja tidak dikenakan hukuman. Namun, jika seseorang bersumpah dengan sengaja dan melanggarnya, ia wajib menebusnya dengan salah satu dari tiga pilihan: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, maka tebusannya adalah berpuasa selama tiga hari. Ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan sumpah, serta memberikan solusi ketika sumpah terlanggar.
"Bagi (suami) yang ingin menyempurnakan persusuan, hendaknya mereka menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (ibu-ibu) dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesusahan karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita kesusahan) karena anaknya. Dan waris yang wajib atas ahli waris pun demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, maka tidak ada dosa atas mereka. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat 233 ini sebenarnya terkait dengan topik yang berbeda, yaitu pengaturan mengenai masa menyusui dan tanggung jawab orang tua pasca-perceraian. Namun, dalam konteks rangkaian ayat yang dibahas (221-230), ayat-ayat tersebut lebih fokus pada larangan pernikahan, hak dan kewajiban dalam pernikahan, serta aturan terkait sumpah dan perceraian. Terdapat kesalahpahaman dalam penomoran ayat yang disebutkan di awal, karena ayat 233 berbicara tentang topik yang berbeda dari ayat 221-230 yang fokus pada larangan musyrik dan petunjuk pernikahan.
Mari kita kembali fokus pada ayat-ayat yang relevan dengan rentang 221-230.
Ayat-ayat ini secara keseluruhan memberikan gambaran komprehensif mengenai aspek-aspek penting dalam pernikahan dan keluarga dalam Islam. Dari larangan keras terhadap pernikahan dengan orang musyrik demi menjaga kemurnian akidah, hingga penjelasan mengenai haid yang mengatur hubungan intim secara syar'i, serta penekanan pada takwa dan tanggung jawab. Semua ini bertujuan untuk membangun rumah tangga yang kokoh, penuh berkah, dan diridhai oleh Allah SWT.
Memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran dalam surah Al-Baqarah ayat 221-230 ini sangat krusial bagi setiap Muslim yang hendak atau sedang membina rumah tangga. Dengan berpegang teguh pada pedoman ilahi, diharapkan setiap keluarga dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.