Al-Qur’an, sebagai kitab suci terakhir, merupakan samudra hikmah yang tak pernah kering. Di antara 114 surah yang terkandung di dalamnya, dua surah—Al-Fatihah dan Al-Baqarah—memiliki posisi yang tak tertandingi. Al-Fatihah (Pembukaan) berfungsi sebagai inti sari, ringkasan, dan doa universal yang wajib dibaca dalam setiap rakaat shalat. Sementara itu, Al-Baqarah (Sapi Betina) berfungsi sebagai konstitusi, landasan hukum, dan pemaparan terperinci atas jalan yang telah dipintakan dalam Al-Fatihah.
Kajian mendalam terhadap kedua surah ini bukan hanya menambah wawasan keislaman, tetapi juga menguatkan fondasi spiritual dan hukum bagi setiap Muslim. Hubungan antara keduanya bersifat sinergis: Al-Fatihah mengajukan permohonan universal untuk petunjuk (Shiratal Mustaqim), dan Al-Baqarah menjawab permohonan itu dengan menyediakan peta jalan, aturan, dan kisah-kisah historis yang memperjelas bagaimana petunjuk tersebut harus dihidupi dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Fatihah, yang terdiri dari tujuh ayat, memiliki puluhan nama, termasuk Ummul Kitab (Induk Kitab), As-Sab’ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), dan Al-Kanz (Harta Karun). Penempatannya di awal mushaf secara sempurna menandakan bahwa ia adalah kunci untuk memahami seluruh wahyu yang akan menyusul setelahnya.
Para ulama tafsir membagi Al-Fatihah menjadi dua bagian utama yang terbagi rata antara hamba dan Tuhan, sebagaimana hadis qudsi menyebutkan. Tiga ayat pertama berfokus pada pujian, pengagungan, dan pengakuan terhadap keesaan dan kekuasaan Allah (hak Allah), sedangkan empat ayat terakhir berfokus pada permohonan, janji, dan ikrar hamba (hak hamba).
Dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim, yang merupakan kunci dan pembuka segala amal kebaikan. Ayat ini diikuti dengan:
Ini adalah klimaks dari doa. Setelah memuji dan berikrar, hamba memohon hal yang paling esensial: hidayah. Shiratal Mustaqim bukan sekadar jalan, tetapi jalan yang konsisten, lurus, dan membawa kebahagiaan sejati. Ayat ini menggarisbawahi tiga kelompok manusia:
Al-Fatihah bertindak sebagai fondasi filosofis Al-Qur’an. Jika Al-Fatihah adalah kompas yang menunjukkan arah utara (hidayah), maka seluruh surah selanjutnya, khususnya Al-Baqarah, adalah peta rinci yang menunjukkan medan, rintangan, perbekalan, dan jalur yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Seluruh hukum, kisah, dan peringatan dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga hamba tetap berada di atas Shiratal Mustaqim yang telah dipintakan.
Surah Al-Baqarah adalah surah terpanjang dalam Al-Qur’an, terdiri dari 286 ayat. Hampir seluruhnya diwahyukan di Madinah, menandai fase baru dalam sejarah Islam: fase pembangunan negara, peletakan dasar hukum, dan pembentukan komunitas yang mandiri (ummah).
Periode Madinah menuntut hukum yang jelas untuk mengatur interaksi sosial, ekonomi, politik, dan militer. Al-Baqarah memenuhi tuntutan ini. Ia berfungsi sebagai konstitusi Madinah, memberikan pedoman rinci yang tidak hanya mencakup akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial), hukum keluarga (pernikahan, perceraian, warisan), dan hukum pidana (qisas).
Al-Baqarah langsung menjawab permohonan hidayah dari Al-Fatihah dengan mendefinisikan siapa yang akan menerima dan siapa yang akan menolaknya. Ayat 1-20 membagi manusia Madinah, dan seluruh manusia sepanjang sejarah, menjadi tiga kategori yang terkait langsung dengan hasil akhir dari perjalanan di Shiratal Mustaqim:
Mereka adalah orang-orang yang menerima petunjuk. Ciri-ciri mereka sangat operasional dan multidimensi, mencakup keyakinan terhadap yang gaib (iman), melaksanakan ibadah formal (shalat), berderma (infak), dan percaya pada wahyu-wahyu sebelumnya serta hari akhir. Mereka inilah yang berada di jalur An’amta ‘alaihim (orang yang diberi nikmat).
Mereka yang menolak petunjuk secara mutlak, meskipun kebenaran telah jelas. Penolakan mereka begitu keras sehingga Allah menyatakan hati mereka terkunci dan pendengaran mereka tertutup. Mereka berada di jalur penolakan yang ekstrem dan permanen.
Ini adalah kelompok paling berbahaya di Madinah. Mereka bersembunyi di balik pengakuan iman, tetapi hati mereka penuh penyakit, keraguan, dan kebencian. Mereka adalah perusak sejati. Kehadiran panjang ayat-ayat yang menjelaskan hipokrisi (kemunafikan) dalam Al-Baqarah menunjukkan bahwa musuh internal jauh lebih berbahaya bagi komunitas Muslim daripada musuh eksternal.
Sebagian besar paruh awal Al-Baqarah didominasi oleh kisah dan peringatan kepada Bani Israel (keturunan Nabi Ya’qub). Hal ini bukan sekadar narasi historis, melainkan pelajaran kritis bagi umat Islam yang baru dibentuk di Madinah. Allah memperingatkan kaum Muslimin untuk tidak mengulangi kesalahan fatal yang dilakukan umat terdahulu—kesombongan, memutarbalikkan firman Tuhan, dan kegagalan menerapkan ilmu yang telah diberikan.
Nama surah ini diambil dari kisah yang terdapat dalam ayat 67-73. Ketika terjadi pembunuhan misterius di antara Bani Israel, mereka diperintahkan Musa untuk menyembelih seekor sapi betina. Alih-alih patuh, mereka justru mengajukan pertanyaan yang berbelit-belit dan syarat yang rumit. Kisah ini melambangkan:
Peristiwa perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka’bah (Makkah) adalah titik balik fundamental. Ini adalah ujian keimanan dan penanda kedewasaan umat. Secara spiritual, perubahan ini berfungsi sebagai:
Setelah menetapkan kiblat, Al-Baqarah menekankan pentingnya kesabaran (sabr) dan shalat (shalāh) sebagai dua pilar utama pertolongan (2:153). Ujian hidup, kehilangan harta, dan kegagalan adalah hal yang pasti terjadi. Kekuatan untuk menghadapi semua itu hanya dapat ditemukan melalui keteguhan dalam ibadah dan kesabaran menghadapi takdir.
Paruh kedua Al-Baqarah adalah kompendium hukum (Fiqh) yang luas, mengatur hampir setiap aspek kehidupan masyarakat Madinah, mulai dari yang spiritual hingga yang transaksional. Ayat-ayat ini memberikan interpretasi praktis tentang bagaimana hidup di atas jalan yang lurus yang dipintakan dalam Al-Fatihah.
Ayat 177 adalah salah satu ayat terpenting yang mendefinisikan ‘kebajikan’ (Al-Birr). Allah menjelaskan bahwa kebajikan sejati bukanlah hanya menghadap ke timur atau barat dalam shalat, tetapi adalah kombinasi dari enam pilar:
Al-Baqarah menetapkan kewajiban puasa Ramadhan, menekankan bahwa tujuannya adalah pencapaian ketakwaan (la'allakum tattaqūn). Ayat-ayat puasa ini juga menunjukkan keadilan syariah, memberikan keringanan bagi orang sakit dan musafir, serta menjelaskan aturan mengenai batas waktu makan (sahur) dan berbuka. Ini adalah hukum yang mengarah pada penyucian jiwa.
Al-Baqarah memberikan rincian yang sangat adil dan terperinci mengenai hukum perceraian, menunjukkan bahwa Islam memandang perceraian sebagai langkah yang harus dihindari, tetapi jika tidak terhindarkan, harus dilakukan dengan cara yang paling terhormat. Ayat-ayat ini menetapkan hak-hak perempuan yang diceraikan, kewajiban nafkah, dan pentingnya rujuk yang dilakukan dengan niat baik. Penekanan pada ‘talak dua kali’ (talak raj’i) memberikan kesempatan pasangan untuk memperbaiki diri dan kembali bersama, menunjukkan bahwa pintu rekonsiliasi harus selalu terbuka.
Kepadatan hukum dalam Al-Baqarah menunjukkan bahwa petunjuk (hidayah) yang diminta dalam Al-Fatihah bukanlah konsep abstrak, melainkan panduan konkret untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Syariat adalah manifestasi dari Shiratal Mustaqim.
Salah satu pilar ekonomi yang ditetapkan dalam Al-Baqarah adalah pertarungan melawan riba (bunga/usury).
Allah membandingkan orang yang memakan riba dengan orang yang berdiri tidak stabil karena kerasukan setan. Riba dilarang karena ia menciptakan ketidakadilan, menumpuk kekayaan pada segelintir orang, dan menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, infak dan sedekah dipuji sebagai sarana penyucian harta dan penopang masyarakat.
Ayat 282 adalah ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, memberikan prosedur detail mengenai pencatatan utang-piutang dan transaksi bisnis. Detail ini menunjukkan betapa pentingnya kejujuran, transparansi, dan dokumentasi dalam muamalah. Perlunya saksi, juru tulis, dan jaminan (jika diperlukan) memastikan keadilan dan mencegah perselisihan, bahkan dalam hal yang tampaknya sepele. Ayat ini melambangkan perhatian Islam terhadap keadilan ekonomi dan hukum yang sekecil apa pun.
Surah Al-Baqarah ditutup dengan ayat-ayat yang memiliki keutamaan luar biasa, mengukuhkan kembali akidah dan permohonan yang telah diungkapkan dalam Al-Fatihah.
Ayat ini sering disebut sebagai ayat paling agung dalam Al-Qur’an karena ia merangkum Tauhid dalam bentuknya yang paling murni dan mulia. Ayat Kursi menegaskan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna:
Penutup surah ini adalah ringkasan akidah dan permohonan yang penuh kerendahan hati. Ayat-ayat ini menjadi penenang dan perlindungan.
Ini adalah deklarasi keimanan yang komprehensif, mencakup iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, dan para Rasul, tanpa membeda-bedakan satu pun Rasul-Nya. Bagian penutup ini juga mengandung permohonan penting:
Hubungan antara Al-Fatihah dan Al-Baqarah adalah hubungan antara tesis dan eksposisi, antara permintaan dan jawaban. Al-Fatihah adalah permintaan lisan yang diucapkan dalam setiap shalat: "Tunjukkan kami jalan yang lurus." Al-Baqarah adalah jawaban aktual yang disajikan dalam bentuk panduan hidup, lengkap dengan contoh-contoh sejarah, hukum, dan peringatan.
Al-Fatihah meminta Hidayah (Ihdinas Shiratal Mustaqim), sedangkan ayat kedua Al-Baqarah menegaskan, "Dzalikal Kitabu la raiba fih, hudal lil muttaqin" (Kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Ini adalah jawaban langsung. Permohonan telah dikabulkan, namun pengabulan itu datang dengan syarat—ia hanya menjadi petunjuk bagi mereka yang memilih untuk bertakwa (Al-Muttaqin), yang didefinisikan secara rinci di ayat-ayat selanjutnya.
Al-Fatihah mengajarkan pengenalan Allah melalui pujian dan ikrar ketaatan, bersifat ringkas dan emosional. Sementara itu, Al-Baqarah mengajarkan pengenalan Allah melalui hukum, sejarah (khususnya Bani Israel), dan struktur masyarakat, bersifat panjang dan logis. Kekuatan gabungan dari kedua surah ini adalah integrasi spiritualitas batiniah (Fatihah) dengan kewajiban lahiriah (Baqarah).
Setiap hukum dalam Al-Baqarah—dari puasa, qisas, utang-piutang, hingga larangan riba—selalu diakhiri dengan peringatan akan Allah (Ittaqullāh) atau penyebutan salah satu sifat-Nya (seperti Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Penyayang). Ini memastikan bahwa hukum syariah bukanlah sekumpulan aturan buatan manusia, tetapi perintah yang berakar pada keimanan yang absolut, sebagaimana diikrarkan dalam Iyyaka Na’budu.
Memahami kedua surah ini secara mendalam harus menghasilkan perubahan konkret dalam perilaku dan pandangan hidup. Al-Fatihah memastikan hati senantiasa terhubung dengan Rabb, dan Al-Baqarah memastikan tangan, lisan, dan tindakan senantiasa berada dalam kerangka syariah.
Ketika seorang Muslim membaca Al-Fatihah dalam shalat, ia memperbaharui kontrak: "Hanya kepada-Mu kami menyembah." Implementasi kontrak ini tercermin dalam kepatuhan terhadap hukum-hukum Al-Baqarah. Apakah ia jujur dalam utang-piutang (2:282)? Apakah ia menjauhi riba (2:275)? Apakah ia berlaku adil dalam perceraian (2:229)? Keputusan-keputusan praktis ini adalah ujian sejauh mana ikrar dalam Fatihah benar-benar dihayati.
Pelajaran terberat dari kisah Bani Israel dalam Al-Baqarah adalah bahaya memiliki ilmu tanpa mengamalkannya. Mereka tahu kebenaran (mengenai sapi, mengenai risalah, mengenai Nabi Muhammad), namun mereka menyembunyikan dan mengubahnya. Ini adalah jalur ‘yang dimurkai’ (Al-Maghdhubi ‘alaihim) dari Al-Fatihah. Umat Muslim diajarkan bahwa hidayah tidak hanya memerlukan niat yang tulus, tetapi juga ilmu yang benar untuk menghindari kesesatan (Adh-Dhāllīn).
Al-Baqarah menyeimbangkan tuntutan spiritual (puasa, shalat, jihad) dengan tuntutan material (bisnis, utang, warisan). Allah mengajarkan bahwa dunia adalah sarana untuk akhirat, dan kemakmuran harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menindas yang lemah. Keadilan sosial, yang merupakan tema sentral Al-Baqarah, adalah wujud nyata dari penghambaan kepada Allah.
Dalam konteks modern, hukum-hukum Al-Baqarah mengenai transaksi dan etika bisnis tetap relevan. Penekanan pada transparansi, larangan spekulasi yang merusak, dan kewajiban membantu yang membutuhkan, menyediakan cetak biru bagi sistem ekonomi yang beretika dan berkelanjutan, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat global saat ini.
Al-Fatihah adalah inti yang ringkas, permulaan yang mutlak. Tanpanya, shalat tidak sah dan perjalanan spiritual tidak memiliki kompas. Al-Baqarah adalah penjelasan yang luas, detail yang esensial. Tanpanya, hidayah hanya akan menjadi aspirasi kosong tanpa metode dan implementasi yang jelas.
Kedua surah ini saling melengkapi, membentuk fondasi ajaran Islam yang utuh dan komprehensif: akidah yang benar (Fatihah), sejarah yang mendalam (Baqarah), hukum yang adil (Baqarah), dan doa penutup yang penuh kerendahan hati (penutup Baqarah). Bagi seorang Muslim, perjalanan di Shiratal Mustaqim adalah perjalanan yang dipandu oleh Cahaya Al-Fatihah, dan diatur oleh Konstitusi Al-Baqarah.
Memahami surah-surah ini adalah langkah pertama menuju pengamalan Islam yang kaffah (menyeluruh), memastikan bahwa setiap langkah di dunia ini tidak hanya didasarkan pada iman, tetapi juga diikat oleh keadilan dan kebijaksanaan ilahi.