Ummul Kitab, Ibu Segala Kitab Suci
Ilustrasi Kitab Suci sebagai Pembuka Kehidupan
Surah Al-Fatihah, yang berarti 'Pembukaan', merupakan surah pertama dalam Al-Qur'an dan memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Ia dikenal dengan berbagai nama mulia, seperti Ummul Kitab (Induk Kitab), As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), dan As-Shalat (Doa/Shalat). Keutamaannya tidak tertandingi, menjadi rukun wajib yang menentukan sah atau tidaknya setiap shalat fardhu maupun sunnah. Memahami Al-Fatihah bukan hanya sekadar menghafal bacaannya, melainkan menelusuri samudera makna tauhid, janji, dan permohonan yang terkandung di setiap kata sucinya.
Artikel ini akan mengupas tuntas bacaan Al-Fatihah, mulai dari kajian linguistik, tafsir mendalam ayat per ayat, kaidah tajwid yang benar, hingga implikasi spiritual dan hukum fiqh terkait pembacaannya dalam ibadah harian. Kedalaman makna yang terhampar di tujuh ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah ringkasan sempurna dari seluruh pesan Al-Qur'an.
Para ulama sepakat bahwa tidak ada surah lain yang memiliki jumlah nama sebanyak Al-Fatihah, yang masing-masing nama mencerminkan keistimewaan dan fungsinya. Mengkaji nama-nama ini adalah langkah awal memahami kedudukan agung surah ini.
Nama ini diberikan karena Al-Fatihah memuat ringkasan sempurna dari seluruh tujuan dan maksud Al-Qur'an. Seluruh ajaran, mulai dari tauhid (keesaan Allah), janji dan ancaman (wa’ad wa wa’id), ibadah, hingga kisah-kisah umat terdahulu dan petunjuk jalan yang lurus, tersirat dalam tujuh ayatnya. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jika seseorang memahami Al-Fatihah dengan benar, ia seolah telah memahami garis besar seluruh Al-Qur'an.
Penamaan ini merujuk pada fakta bahwa Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan wajib diulang dalam setiap rakaat shalat. Pengulangan ini bukan sekadar rutinitas, melainkan penegasan kebutuhan spiritual hamba untuk terus memperbaharui janji dan meminta pertolongan kepada Allah dalam setiap fase kehidupannya.
Nabi Muhammad ﷺ menyebut Al-Fatihah sebagai "Harta Karun di bawah Arsy". Sementara itu, fungsinya sebagai penyembuh (Ruqyah) telah terbukti dalam banyak riwayat shahih. Kepercayaan penuh terhadap Tauhid yang terkandung di dalamnya memberikan kekuatan spiritual yang mampu mengusir penyakit fisik maupun hati.
Memahami bacaan Al-Fatihah memerlukan perincian tafsir yang memperhatikan konteks linguistik Arab klasik serta implikasi teologisnya. Kami akan membedah setiap frasa, yang merupakan dialog antara hamba dan Penciptanya.
Bacaan: Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
Makna: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kajian Mendalam: Terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai status Basmalah. Mazhab Syafi'i dan sebagian besar ulama Hijaz menganggapnya sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah. Sementara Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganggapnya sebagai bagian dari ayat pertama (atau bukan ayat, melainkan pemisah surah), namun wajib dibaca secara sirr (pelan) atau jahr (keras) tergantung pandangan. Terlepas dari status ayatnya, Basmalah adalah pembuka setiap perbuatan baik dalam Islam.
Frasa ini mengajarkan kita untuk memulai setiap aktivitas dengan mencari berkah (tabarruk) melalui nama Allah. Ini adalah deklarasi bahwa kekuatan, niat, dan hasil dari perbuatan itu sepenuhnya milik dan berada di bawah izin Allah.
Kedua nama ini berasal dari akar kata yang sama, rahmah (kasih sayang). Namun, memiliki spektrum makna yang berbeda:
Penyebutan keduanya secara berurutan dalam Basmalah menunjukkan bahwa Allah menggabungkan sifat belas kasih yang luas di dunia dengan belas kasih yang kekal di akhirat.
Bacaan: Al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn
Makna: Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
Kajian Mendalam: Kata Al-Hamd (pujian) berbeda dengan Asy-Syukr (syukur). Hamd adalah pujian yang diberikan atas kebaikan yang dilakukan secara sadar dan sukarela, yang mencakup sifat-sifat sempurna Allah (baik Dia memberi nikmat atau tidak). Dengan menggunakan kata sandang Al (segala), ini menunjukkan bahwa semua jenis pujian secara mutlak hanya milik Allah.
Frasa Rabbil 'Alamin mengandung Tauhid Rububiyyah—keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, Pemberi Rezeki, dan Penguasa mutlak atas seluruh alam semesta (jamak dari 'alam, yang berarti segala sesuatu selain Allah). Alam semesta yang dimaksud meliputi alam manusia, jin, malaikat, dan semua dimensi yang kita ketahui maupun tidak kita ketahui. Pengakuan ini wajib melahirkan ketaatan dan kepasrahan total.
Bacaan: Ar-raḥmānir-raḥīm
Makna: Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kajian Mendalam: Pengulangan Asmaul Husna ini setelah pujian pada Ayat 2 adalah penegasan luar biasa. Setelah hamba memuji Allah sebagai Rabb (Pengatur yang Kuasa), Allah mengingatkan bahwa Kekuasaan itu diiringi oleh Rahmat yang mendalam. Pengulangan ini menenangkan jiwa, memastikan bahwa kekuasaan Allah bukan didasarkan pada tirani, melainkan pada kasih sayang. Ini membuka pintu harapan bagi hamba yang berdosa untuk bertaubat dan kembali.
Bacaan: Māliki yawmid-dīn
Makna: Pemilik (atau Raja) Hari Pembalasan.
Kajian Mendalam: Terdapat dua versi bacaan yang shahih: Māliki (Pemilik, dengan alif panjang) dan Maliki (Raja, tanpa alif panjang). Keduanya sahih dan saling melengkapi maknanya. Allah adalah Raja (penguasa) dan Pemilik (yang memiliki otoritas penuh) atas Hari Pembalasan.
Yawmid-Dīn (Hari Pembalasan) adalah hari perhitungan, balasan, dan pengadilan abadi. Ayat ini menyuntikkan kesadaran akan tanggung jawab. Setelah memuji Rabb yang penuh rahmat, hamba harus ingat bahwa Rahmat Allah tidak menghapuskan keadilan-Nya. Ini menyeimbangkan antara harap (Raja Rahman) dan cemas (Raja Hari Pembalasan).
Walaupun Allah adalah Raja di dunia dan akhirat, penyebutan khusus "Raja Hari Pembalasan" menunjukkan bahwa pada Hari Kiamat, semua klaim kekuasaan atau kepemilikan oleh makhluk akan gugur sepenuhnya. Hanya kekuasaan Allah yang mutlak diakui. Ini adalah pilar Tauhid Mulkiyyah (Kekuasaan).
Bacaan: Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn
Makna: Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Kajian Mendalam: Ayat ini adalah titik balik di mana deskripsi Allah beralih menjadi dialog langsung (dari ghaib/orang ketiga menjadi hadhir/orang kedua). Ini adalah jantung dari seluruh Al-Fatihah dan merupakan deklarasi Tauhid Uluhiyyah (Keesaan Allah dalam Ibadah).
Peletakkan objek Iyyāka (hanya kepada Engkau) di awal kalimat dalam bahasa Arab klasik berfungsi sebagai hasr (pembatasan atau pengkhususan). Artinya, kami tidak menyembah siapa pun selain Engkau, dan kami tidak meminta pertolongan hakiki kepada siapa pun selain Engkau.
Hubungan antara ibadah dan pertolongan sangat erat: Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (hanya kepada Allah), dan pertolongan harus dicari hanya dari-Nya. Orang yang benar dalam ibadahnya pasti akan diberi pertolongan oleh Allah, dan sebaliknya.
Bacaan: Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm
Makna: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.
Kajian Mendalam: Setelah empat ayat pujian dan satu ayat janji (sumpah setia), enam ayat keenam ini adalah permohonan pertama dan utama hamba. Ini adalah kebutuhan primer spiritual setiap Muslim. Ṣirāṭ (jalan) yang dimaksud adalah jalan yang jelas, lebar, dan mengantarkan langsung kepada tujuan.
Al-Mustaqīm (yang lurus) adalah jalan yang tidak bengkok, seimbang, dan bebas dari ekstremisme (ghuluw) dan kelalaian (tafrith). Para ulama tafsir sepakat bahwa "Jalan yang Lurus" adalah Islam itu sendiri: berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, yang merupakan jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan orang-orang shalih.
Kata kerja Ihdinā (tunjukkanlah kami) mencakup dua dimensi:
Bacaan: Ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alaihim, ghairil-maghḍūbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn
Makna: (Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.
Kajian Mendalam: Ayat terakhir ini merinci definisi Jalan yang Lurus (Ayat 6) melalui contoh positif dan negatif. Ini adalah metodologi yang lengkap untuk mengidentifikasi kebenaran dan kesesatan.
1. Jalan Orang yang Diberi Nikmat (An‘amta ‘Alaihim): Ini merujuk pada empat golongan yang disebutkan dalam Surah An-Nisa’ (ayat 69): para Nabi, para Shiddiqin (orang yang sangat membenarkan kebenaran), para Syuhada (saksi kebenaran), dan orang-orang Shalih. Jalan mereka adalah jalan yang didasarkan pada ilmu yang benar dan amal yang lurus.
2. Bukan Jalan yang Dimurkai (Maghḍūbi ‘Alaihim): Menurut mayoritas mufassirin, ini merujuk pada kaum yang memiliki ilmu (kebenaran) namun enggan mengamalkannya. Mereka tahu perintah dan larangan Allah, tetapi melanggarnya karena kesombongan, kedengkian, atau mengikuti hawa nafsu. Secara historis, ini sering diidentikkan dengan Bani Israil (Yahudi) setelah mereka menolak ajaran Nabi Isa dan Nabi Muhammad ﷺ.
3. Bukan Pula Jalan Orang yang Sesat (Aḍ-Ḍāllīn): Ini merujuk pada kaum yang beribadah atau beramal tanpa didasari ilmu yang benar. Mereka bersemangat beribadah, tetapi tersesat dalam bid'ah (inovasi dalam agama) atau kesalahpahaman karena kebodohan. Secara historis, ini sering diidentikkan dengan umat Nasrani (Kristen) yang menyimpang dari tauhid murni setelah Nabi Isa.
Kesimpulan dari Ayat 7: Jalan yang lurus adalah kombinasi sempurna antara Ilmu dan Amal. Kita memohon agar tidak menjadi seperti yang dimurkai (berilmu tapi tidak beramal), dan tidak menjadi seperti yang tersesat (beramal tapi tanpa ilmu yang benar).
Kualitas bacaan (qira’ah) Al-Fatihah sangat krusial karena merupakan rukun shalat. Pelafalan yang salah bisa mengubah makna fatal, sehingga membatalkan shalat. Ilmu Tajwid, khususnya Makharijul Huruf (tempat keluarnya huruf), harus dikuasai dengan baik untuk surah ini.
Dalam Al-Fatihah, ada beberapa huruf yang sangat sensitif dan sering salah dilafalkan oleh penutur non-Arab. Kesalahan pada huruf-huruf ini dikenal sebagai Lahn Jali (kesalahan nyata) yang dapat mengubah makna dan merusak shalat.
Dalam frasa وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (Wa laḍ-Ḍāllīn), huruf Dhad adalah huruf yang paling sulit dalam bahasa Arab dan hanya terdapat dalam bahasa ini. Dhad harus dibaca dengan menempelkan sisi lidah ke gigi geraham. Jika dibaca dengan Dal (Wala Daallin), yang artinya 'orang yang kencing', maka maknanya berubah menjadi sangat buruk dan membatalkan shalat.
Beberapa mad (pemanjangan) wajib dipertahankan:
Kedudukan Al-Fatihah sebagai rukun shalat adalah salah satu poin yang membedakannya dari surah-surah lain. Hukum membaca Al-Fatihah memiliki perincian fiqh yang mendalam berdasarkan hadis Nabi ﷺ, "Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fātihatul Kitāb (Al-Fatihah)."
Mayoritas ulama (Mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Dzahiri) berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah adalah rukun (tiang) shalat. Jika ditinggalkan, baik karena lupa atau sengaja, shalat rakaat tersebut batal, atau jika ditinggalkan seluruhnya, shalat itu batal. Ini berlaku untuk Imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian, dan pada shalat fardhu maupun sunnah.
Ini adalah area yang paling banyak diperdebatkan (khilafiyah):
Penting untuk dicatat, dalam rangka kehati-hatian (ihtiyat), banyak ulama kontemporer menyarankan makmum untuk berusaha membaca Al-Fatihah secara diam-diam (sirr) meskipun imam sedang membaca keras, selama masih ada waktu luang.
Untuk dianggap sah dan gugur kewajibannya, bacaan Al-Fatihah harus memenuhi syarat-syarat fiqh tertentu:
Selain berfungsi sebagai rukun shalat, Al-Fatihah adalah inti dari semua doa dan sumber kekuatan spiritual. Allah menjadikan Al-Fatihah sebagai dialog yang sempurna, membagi surah ini menjadi dua bagian: tiga ayat pertama untuk Allah, dan tiga ayat terakhir untuk hamba, sementara Ayat 4 (Iyyaka Na’budu) adalah titik temu antara hak Allah dan hak hamba.
Al-Fatihah adalah doa yang terstruktur sempurna
Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: "Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."
Struktur ini mengajarkan adab berdoa: seseorang harus memuji dan mengakui keagungan Dzat yang ia mintai pertolongan, sebelum akhirnya mengajukan permintaan pribadinya.
Al-Fatihah disebut sebagai Asy-Syifa (Penyembuh) dan merupakan Ruqyah (jampi-jampi syar’i) yang paling utama. Kekuatan penyembuhan ini bersumber dari kedalaman tauhid yang dikandungnya. Keyakinan penuh bahwa segala pujian dan kekuasaan hanya milik Allah, dan hanya kepada-Nya pertolongan diminta, membersihkan hati dari ketergantungan kepada selain-Nya, yang merupakan akar dari banyak penyakit spiritual.
Kisah sahabat yang menggunakan Al-Fatihah untuk mengobati sengatan kalajengking dan berhasil, menunjukkan bahwa surah ini memiliki keberkahan istimewa untuk pengobatan, dengan izin Allah.
Surah Al-Fatihah, meskipun pendek, menjadi manifesto Tauhid yang komprehensif. Setiap ayat memperkuat salah satu dimensi Tauhid, memastikan bahwa konsep keesaan Allah meresap ke dalam jiwa pembacanya.
Rabbil ‘Ālamīn (Tuhan semesta alam) adalah pengakuan terhadap eksistensi dan peran Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemilik alam semesta. Ini adalah pondasi awal yang harus diyakini oleh setiap hamba. Jika seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah Rabbnya, maka seharusnya dia tidak beribadah kepada selain-Nya, menuntun kepada Tauhid Uluhiyyah.
Penyebutan Ar-Rahman dan Ar-Rahim (dan tersirat dalam Allāh) menunjukkan keharusan mengakui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna sebagaimana Dia deskripsikan diri-Nya. Menyembah Allah yang bernama Rahman dan Rahim berarti beribadah dengan rasa harap dan optimisme, menyeimbangkan rasa takut (Ayat 4) dan harap (Ayat 1 dan 3).
Ayat Iyyāka na‘budu adalah penegasan bahwa semua bentuk ibadah, baik yang tampak (shalat, puasa) maupun yang tersembunyi (cinta, takut, harap), harus diarahkan hanya kepada Allah. Ayat ini adalah anti-tesis dari syirik (menyekutukan Allah) dalam ibadah.
Permintaan hidayah adalah permohonan untuk dilindungi dari segala bentuk penyimpangan Tauhid. Jalan yang Lurus adalah jalan yang murni dari syirik (Uluhiyyah), murni dari kekeliruan dalam keyakinan (Asma wa Sifat), dan murni dari kesalahan dalam implementasi syariat (Rububiyyah).
Pembacaan Al-Fatihah yang penuh pemahaman (tadabbur) adalah kunci utama mencapai khusyuk dalam shalat. Jika seorang hamba hanya menggerakkan lidah tanpa menyertakan hati, ia akan kehilangan kesempatan terbesar untuk berkomunikasi langsung dengan Rabbnya.
Khusyuk tercipta saat hamba menyadari bahwa setiap ayat yang ia baca dijawab oleh Allah SWT. Ketika hamba membaca Al-Hamdu lillahi rabbil ‘ālamīn, Allah menjawab: "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Ketika hamba membaca Māliki yawmid-dīn, Allah menjawab: "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku."
Kesadaran akan dialog ini mengubah shalat dari ritual mekanis menjadi pertemuan pribadi dan sakral. Shalat menjadi lebih hidup, karena hamba merasakan respons langsung dari Dzat yang ia sembah.
Saat melafalkan Iyyāka na‘budu, seorang mukmin seharusnya merasakan kembali ikrar janji setia yang telah ia ucapkan. Ini adalah momen untuk meninjau kembali apakah ibadah yang dilakukan sehari-hari benar-benar murni hanya untuk Allah. Dan ketika melafalkan Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm, hati harus hadir dengan kesadaran akan kebutuhan yang mendesak terhadap hidayah Allah, memohon perlindungan dari jalan kesesatan dan kemurkaan.
Konsep Aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm yang diminta hamba dalam Al-Fatihah adalah istilah yang padat makna dan memerlukan pembahasan yang sangat detail, karena inilah tujuan akhir dari seluruh permohonan.
Al-Fatihah mengajarkan bahwa Jalan yang Lurus adalah jalan tengah, menghindari dua ekstrem yang merusak:
Para ulama salaf memiliki banyak interpretasi tentang Aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, namun semuanya kembali pada makna fundamental yang sama:
Semua penafsiran ini saling menguatkan: Jalan yang Lurus adalah hidup berdasarkan Al-Qur'an, yang diimplementasikan sesuai Sunnah Nabi, dan inti dari semua itu adalah menjaga Tauhid dalam setiap aspek kehidupan.
Permintaan hidayah ini tidak berakhir saat shalat selesai, melainkan harus diimplementasikan dalam keputusan harian, interaksi sosial, dan bahkan dalam niat tersembunyi. Memohon hidayah setiap hari adalah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh, mudah goyah, dan selalu membutuhkan bimbingan ilahi untuk menjaga konsistensi dan kebenaran tindakannya.
Kajian mendalam terhadap bacaan Al-Fatihah mengungkapkan bahwa surah ini lebih dari sekadar pembuka. Ia adalah perjanjian hamba dengan Tuhannya, sebuah peta jalan menuju kebahagiaan abadi, dan tiang penyangga bagi seluruh praktik ibadah seorang Muslim. Memperbaiki bacaan Al-Fatihah, baik dari segi tajwid maupun pemahaman maknanya, adalah investasi spiritual paling mendasar yang harus dilakukan oleh setiap individu yang mengaku beriman.
Keindahan Al-Fatihah juga terletak pada struktur bahasanya yang luar biasa, memadukan gaya narasi (Ayat 1-4) dan gaya dialog langsung (Ayat 5-7). Pergantian gaya ini, dari pujian ghaib (orang ketiga) ke seruan hadhir (orang kedua) pada ayat Iyyaka na‘budu, menciptakan momen intensitas spiritual yang tak tertandingi.
Meskipun shalat seringkali dilakukan sendiri, Al-Fatihah menggunakan kata ganti jamak: Nasta‘īn (kami memohon pertolongan), Na‘budu (kami menyembah), dan Ihdinā (tunjukkanlah kami). Penggunaan ‘Kami’ ini mengajarkan beberapa pelajaran:
Dalam Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn, kata penghubung wa (dan) menunjukkan keterkaitan yang tak terpisahkan. Ibadah (hak Allah) harus mendahului pertolongan (kebutuhan hamba). Ini menunjukkan bahwa jika seorang hamba telah memenuhi kewajibannya untuk beribadah secara tulus, maka dia berhak berharap dan meminta pertolongan dari Allah.
Sintesis antara Rububiyyah (Kekuasaan), Uluhiyyah (Ibadah), dan Mulkiyyah (Kedaulatan), yang diapit oleh rahmat Allah (Rahman dan Rahim), menjadikan Al-Fatihah sebagai dokumen teologis yang paling sempurna dan wajib diresapi maknanya dalam setiap detik kehidupan seorang mukmin.
Selain rukun shalat, para fuqaha (ahli fiqh) telah mengekstraksi sejumlah hukum dan kaidah penting dari setiap ayat Al-Fatihah, yang membentuk fondasi syariat Islam.
Kewajiban mensyukuri nikmat, yang melahirkan hukum sunnah mengucapkan 'Alhamdulillah' setelah makan, minum, atau mendapatkan kabar baik. Lebih jauh, ini menetapkan kaidah bahwa segala kesempurnaan dan kesucian mutlak hanya milik Allah (Tanzih), yang menjadi dasar untuk menolak segala bentuk syirik dalam sifat-sifat-Nya.
Ayat ini menjadi dasar akidah tentang wajibnya beriman kepada Hari Akhir (Hari Pembalasan). Secara fiqh, ini memengaruhi hukum-hukum tentang wasiat, warisan, dan tanggung jawab hukum (Taklif), karena semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan di Hari itu.
Ini adalah sumber hukum tauhid. Secara fiqh, ini menetapkan bahwa segala ibadah (doa, nazar, tawaf, qurban) yang ditujukan kepada selain Allah adalah haram dan termasuk syirik akbar. Ini juga menjadi dasar hukum niat dalam setiap ibadah, di mana niat harus murni hanya karena Allah (Ikhlas).
Ayat ini adalah sumber hukum untuk kewajiban mencari ilmu syar'i. Karena hidayah adalah hasil dari ilmu yang benar, maka kewajiban mencari petunjuk secara otomatis menetapkan kewajiban mencari pengetahuan (thalabul 'ilmi) untuk membedakan antara jalan yang lurus dan jalan yang sesat (antara Maghḍūbi ‘Alaihim dan Aḍ-Ḍāllīn).
Setiap bacaan Al-Fatihah adalah pengulangan sumpah dan penyegaran peta jalan hidup. Dengan memperbaiki kualitas bacaan dan mendalami tafsirnya, seorang Muslim tidak hanya memperbaiki shalatnya, tetapi juga memperbaiki seluruh visi dan misi hidupnya di dunia ini, menuju keridhaan Sang Rabb.