Empat pilar narasi dan ujian fundamental dalam Surah Al-Kahfi.
Surah Al-Kahfi (Gua), surah ke-18 dalam Al-Qur'an, seringkali disebut sebagai 'penyelamat' dan 'cahaya' bagi mereka yang membacanya, terutama pada hari Jumat. Lebih dari sekadar kumpulan kisah bersejarah, surah ini adalah peta jalan spiritual yang mendalam, dirancang oleh Ilahi untuk membentengi jiwa manusia dari empat fitnah (ujian) terbesar yang akan dihadapi, baik di masa hidup maupun di penghujung zaman.
Kekuatan surah ini terletak pada penyatuan empat narasi sentral yang, jika dipahami secara mendalam, menawarkan solusi etis dan teologis terhadap setiap bentuk kesesatan dunia. Keempat ujian tersebut adalah: fitnah keimanan (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah Dua Kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain). Semuanya bermuara pada satu ancaman terbesar di akhir zaman, yaitu fitnah Al-Masih Ad-Dajjal, yang akan menggunakan semua elemen ini untuk menguji umat manusia.
Kisah pertama dan yang paling dikenal, yang memberikan nama pada surah ini, adalah kisah tentang sekelompok pemuda beriman yang hidup di tengah masyarakat kafir yang kejam. Mereka menghadapi ujian terberat: memilih antara mempertahankan iman mereka atau mengikuti arus masyarakat dan menjamin keselamatan fisik serta kenyamanan duniawi. Keputusan mereka untuk melarikan diri adalah manifestasi tertinggi dari hijrah (perpindahan) demi keyakinan.
Pemuda-pemuda ini bukanlah pemberontak politik, melainkan pencari kebenaran sejati. Ketika mereka menyadari bahwa tidak mungkin lagi beribadah kepada Allah secara terbuka tanpa mengorbankan prinsip dasar tauhid, mereka mengambil keputusan radikal. Mereka meninggalkan segala kenyamanan, harta, dan kedudukan sosial di kota, memilih perlindungan alam yang terpencil—gua.
Tindakan mereka mengajarkan bahwa terkadang, untuk menyelamatkan jiwa, seseorang harus mengisolasi diri dari lingkungan yang toksik secara spiritual. Mereka berkata (yang artinya): "Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan bagimu sesuatu yang berguna dalam urusanmu." (QS. Al-Kahfi: 16).
Ayat-ayat mengenai mereka menekankan bagaimana Allah menidurkan mereka selama 309 tahun. Ini bukan hanya sebuah keajaiban fisik, tetapi juga pelajaran mendalam tentang Qadar (ketetapan Ilahi) dan waktu. Tidur panjang ini melambangkan penangguhan waktu duniawi bagi orang-orang yang teguh pada kebenaman. Ketika mereka bangun, dunia telah berubah, penguasa zalim telah tiada, dan iman telah berkembang. Kejadian ini menjadi tanda kebenaran janji hari kebangkitan (Ba'ts), membuktikan bahwa Allah mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematian panjang, persis seperti Dia mampu membangunkan mereka dari tidur selama berabad-abad.
Ujian Ashabul Kahfi adalah ujian bagi setiap individu yang merasa terasing dalam mempertahankan nilai-nilai keagamaan di tengah lautan hedonisme dan materialisme. Kisah ini menegaskan bahwa Allah akan selalu memberikan jalan keluar dan perlindungan, meskipun solusinya (seperti tidur 309 tahun) mungkin di luar logika manusia biasa. Kesabaran dan keyakinan mutlak adalah kunci untuk melewati fitnah keimanan.
Para mufasir memberikan perhatian khusus pada sebutan Raqim. Meskipun maknanya diperdebatkan—apakah itu nama gua, nama gunung, atau catatan yang menceritakan kisah mereka—kebanyakan sepakat bahwa ini merujuk pada peninggalan tertulis yang membenarkan kisah mereka. Kehadiran anjing, yang ikut menjaga di pintu gua, juga mengandung hikmah. Anjing tersebut, meskipun bukan manusia, diberikan kehormatan untuk disebutkan dalam Al-Qur'an karena kesetiaannya pada rombongan orang-orang beriman. Ini menunjukkan bahwa bahkan makhluk yang dianggap 'najis' dalam beberapa mazhab fiqh pun bisa mencapai kedudukan istimewa karena berada di sisi orang-orang yang mencintai Allah.
Kisah ini membekali kita dengan pelajaran bahwa iman adalah pondasi. Jika fondasi ini runtuh, semua kekayaan (ujian kedua), ilmu (ujian ketiga), dan kekuasaan (ujian keempat) tidak akan berguna di hadapan fitnah Dajjal, yang akan menyerang tepat pada titik keimanan yang lemah.
Setelah membahas ujian keimanan, Surah Al-Kahfi beralih ke ujian duniawi yang paling memikat dan sering menjatuhkan manusia: harta dan kekayaan. Kisah Dua Kebun menceritakan perbandingan antara dua orang laki-laki, salah satunya diberi kekayaan melimpah ruah, sementara yang lain hidup sederhana namun teguh dalam keimanannya.
Laki-laki yang kaya memiliki dua kebun anggur dan kurma yang subur, dikelilingi oleh sungai dan hasil bumi yang melimpah. Sayangnya, kekayaan ini menumbuhkan kesombongan dan keangkuhan dalam dirinya. Ia mulai melihat kekayaan itu sebagai hasil dari kecerdasannya sendiri dan sebagai penanda bahwa ia adalah orang yang disayangi Tuhan, sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan konsep tawakal.
Puncaknya, ia memasuki kebunnya dengan penuh kezaliman dan berkata (yang artinya): "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. Dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang..." (QS. Al-Kahfi: 35-36). Di sini, kekayaan telah membutakan mata dan hati, membuatnya menolak dua kebenaran fundamental: fana' (kefanaan dunia) dan Hari Kebangkitan. Fitnah harta seringkali memunculkan ilusi keabadian di dunia.
Saudaranya yang miskin namun beriman mencoba menasihatinya, mengingatkannya pada asal-usulnya yang sederhana (dari tanah) dan kekuasaan Allah yang mutlak. Saudaranya itu mengajarkan pentingnya mengaitkan setiap nikmat kepada Sang Pemberi Nikmat (Allah) dengan mengucapkan: "Maa shaa Allahu laa quwwata illaa billaah" (Semua ini terjadi atas kehendak Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
Namun, si kaya menolak nasihat tersebut. Sebagai konsekuensinya, Allah menghancurkan seluruh kebunnya dalam semalam. Pagi harinya, ia hanya bisa menyesali kekayaannya yang kini telah menjadi puing-puing. Penyesalannya datang terlambat, setelah nikmat dicabut.
Pelajaran Kunci: Ujian harta bukanlah pada kepemilikan harta itu sendiri, tetapi pada bagaimana harta itu mengubah hati pemiliknya. Jika harta membuat seseorang melupakan akhirat, sombong, dan menolak kebenaran hari kebangkitan, maka harta itu telah menjadi fitnah yang menghancurkan.
Kisah ini adalah penawar untuk materialisme Dajjal, yang akan menggunakan kekayaan, kesuburan bumi, dan hujan untuk menguji manusia. Dajjal akan menawarkan imbalan duniawi yang instan, tetapi mereka yang telah memahami kisah Dua Kebun akan tahu bahwa segala kemewahan duniawi bersifat sementara dan dapat lenyap dalam sekejap.
Di akhir narasi ini, Allah memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia (yang artinya): "Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, sehingga tumbuh-tumbuhan di bumi menjadi subur, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Kahfi: 45).
Perumpamaan ini menguatkan pesan: dunia, meskipun subur dan indah, adalah layaknya rumput yang cepat kering. Kehidupan sejati dan abadi adalah apa yang diusahakan dengan amal saleh. Harta dan anak hanyalah perhiasan yang memalingkan, sementara amal saleh adalah bekal yang kekal di sisi Tuhan.
Ujian ketiga adalah ujian terberat bagi mereka yang memiliki kecerdasan dan ilmu: Fitnah Ilmu. Ini adalah ujian keangkuhan intelektual, asumsi bahwa semua kebenaran harus dapat dijangkau oleh akal manusia semata. Kisah perjalanan Nabi Musa, seorang rasul yang paling berilmu di kalangan Bani Israil, dengan Khidir, adalah penegasan bahwa ada ilmu yang melampaui logika syariat, yaitu ilmu Ladunni (ilmu yang diberikan langsung dari sisi Allah).
Kisah ini bermula ketika Musa menyadari bahwa meskipun ia adalah seorang Nabi dan berilmu luas, mungkin masih ada hamba Allah yang memiliki ilmu yang tidak ia ketahui. Ia meminta izin untuk menemani Khidir, dengan janji akan bersabar dan tidak mengajukan pertanyaan sampai Khidir sendiri yang menjelaskannya. Janji ini penting, karena menuntut Musa untuk menanggalkan egonya sebagai seorang rasul dan merendahkan diri sebagai murid.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa ilmu sejati memerlukan kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan akal. Musa, meski seorang Nabi, gagal bersabar dalam tiga insiden yang tampak zalim di mata akal sehatnya, karena ia tidak dapat melihat hikmah di baliknya.
Khidir melakukan tiga tindakan yang secara lahiriah tampak bertentangan dengan hukum syariat dan moral, dan Musa tidak dapat menahan diri untuk tidak protes:
Ketika mereka menaiki perahu yang digunakan oleh orang-orang miskin, Khidir melubangi perahu itu. Musa memprotes keras: "Mengapa kamu melubanginya, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah berbuat sesuatu yang amat mungkar." (QS. Al-Kahfi: 71).
Hikmah Tersembunyi: Khidir menjelaskan bahwa ada raja zalim di hadapan mereka yang akan merampas setiap perahu yang utuh. Dengan melubanginya, perahu itu dianggap cacat dan diabaikan oleh raja tersebut. Kemudian, pemilik perahu dapat memperbaikinya. Tindakan merusak yang kecil menyelamatkan harta yang besar. Ini adalah pelajaran tentang melihat bahaya yang lebih besar di masa depan dan melakukan tindakan pencegahan yang tidak populer di masa sekarang.
Setelah insiden perahu, Khidir membunuh seorang anak muda. Protes Musa semakin keras, karena pembunuhan adalah dosa besar tanpa hak. Ini adalah pelanggaran syariat yang jelas.
Hikmah Tersembunyi: Anak itu, Khidir jelaskan, ditakdirkan untuk menjadi seorang yang kafir, durhaka, dan akan membebani serta menyesatkan kedua orang tuanya yang saleh. Allah berkehendak menggantikan anak itu dengan yang lebih baik dan lebih berbakti. Pelajaran ini sangat sulit diterima: bahwa terkadang, pengetahuan Ilahi mencakup pencegahan bencana spiritual masa depan, bahkan jika itu harus melalui takdir yang menyakitkan di masa sekarang. Ini menuntut keyakinan penuh pada keadilan dan kasih sayang Allah, bahkan ketika tindakan-Nya tampak keras.
Di suatu kota, Khidir memperbaiki dinding yang hampir roboh tanpa meminta upah. Musa mempertanyakan mengapa mereka tidak meminta upah di kota yang penduduknya pelit.
Hikmah Tersembunyi: Dinding itu adalah milik dua anak yatim piatu di kota tersebut, dan di bawah dinding itu tersimpan harta karun peninggalan orang tua mereka yang saleh. Jika dinding itu roboh, harta itu akan diambil oleh penduduk kota. Khidir melakukannya agar anak-anak itu, ketika dewasa, dapat mengambil harta mereka. Tindakan ini menekankan pentingnya amal saleh orang tua yang dapat memberikan manfaat bahkan setelah kematian, dan bagaimana Allah menjaga warisan anak yatim melalui cara yang tidak terduga.
Kisah ini menegaskan bahwa ada tingkat realitas yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra atau logika. Ilmu yang sejati adalah ilmu yang menggabungkan syariat (hukum yang terlihat) dengan hakikat (hikmah yang tersembunyi). Khidir bertindak atas perintah Allah dan ilmu Ladunni. Ujian bagi Musa, dan bagi kita, adalah apakah kita akan menolak kebenaran hanya karena kita tidak memahaminya, atau apakah kita akan tunduk pada kebijaksanaan yang lebih besar.
Dajjal akan menggunakan ilmu dan teknologi canggih untuk memukau manusia. Ia akan membawa 'surga' dan 'neraka' palsunya. Mereka yang tidak dapat membedakan antara ilmu yang hakiki (bersumber dari Allah) dan ilmu yang zalim (sebagai alat kesesatan) akan jatuh ke dalam fitnahnya. Kerendahan hati di hadapan ilmu adalah tameng terkuat.
Ujian terakhir adalah fitnah kekuasaan dan kepemimpinan. Kisah Dzulqarnain (Pemilik Dua Tanduk, atau Dua Masa/Kekuasaan), seorang raja yang saleh dan adil yang berkeliling dunia, mengajarkan bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan: bukan untuk memperkaya diri atau menindas, melainkan untuk melayani, menegakkan keadilan, dan membangun pertahanan bagi umat manusia.
Dzulqarnain, yang identitas historisnya sering diperdebatkan (seperti Cyrus Agung atau Alexander Agung), adalah simbol pemimpin ideal yang tunduk pada kehendak Allah. Allah memberinya kekuasaan penuh atas segala sesuatu, dan ia menggunakannya untuk berdakwah dan berbuat adil.
Di barat, ia menemukan suatu kaum yang zalim. Allah memberinya pilihan: menghukum mereka atau memperlakukan mereka dengan baik. Dzulqarnain memilih untuk menghukum yang zalim (sebagai penegak hukum Ilahi) dan menjanjikan ganjaran bagi yang berbuat baik. Pelajaran di sini adalah bahwa kekuasaan menuntut keadilan yang tegas—ganjaran bagi yang baik, hukuman bagi yang jahat.
Di timur, ia mendapati kaum yang hidup sangat sederhana, tanpa tempat berlindung. Dzulqarnain tidak menindas mereka tetapi berinteraksi dengan mereka secara damai. Kekuasaan harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, bukan hanya pada kekuatan militer.
Perjalanan terpentingnya adalah ketika ia mencapai suatu lembah di antara dua gunung, tempat tinggal kaum yang tidak mengerti bahasa dengan baik (mungkin karena terisolasi). Mereka mengeluh kepada Dzulqarnain tentang ancaman Ya’juj dan Ma’juj (Gog dan Magog), dua suku perusak yang selalu membuat kerusakan di bumi.
Kaum tersebut menawarkan upah kepada Dzulqarnain agar ia membangun tembok pertahanan. Dzulqarnain menolak upah (menunjukkan bahwa kekuasaan yang sejati tidak mencari keuntungan materi), tetapi menerima tantangan untuk membangun, atas dasar rahmat dari Tuhannya.
Ia meminta mereka membawa besi dan tembaga, dan ia mengajarkan kepada mereka metode pembangunan yang unggul, menggunakan api dan tiupan untuk melebur material hingga membentuk benteng yang sangat kokoh. Tembok ini menjadi pertahanan fisik yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj untuk keluar dan merusak dunia.
Hikmah Terkuat: Ketika tembok selesai, Dzulqarnain berkata (yang artinya): "Ini (tembok) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." (QS. Al-Kahfi: 98).
Bahkan kekuasaan terbesar dan konstruksi terkuat yang pernah dibuat manusia (tembok Dzulqarnain) adalah sementara. Tembok itu akan tetap kokoh hingga waktu yang ditentukan oleh Allah, yaitu menjelang Hari Kiamat, ketika Ya’juj dan Ma’juj dilepaskan sebagai salah satu tanda besar kiamat.
Ujian kekuasaan mengajarkan bahwa semua kekuatan dan kemampuan, betapapun hebatnya, berasal dari Allah. Pemimpin sejati adalah yang menggunakan kekuasaannya untuk kemaslahatan umat manusia, memahami bahwa ia hanyalah pelaksana kehendak Ilahi, dan bahwa semua pencapaiannya pada akhirnya akan musnah.
Empat kisah dalam Surah Al-Kahfi bukanlah narasi yang berdiri sendiri, melainkan elemen-elemen yang membentuk pertahanan spiritual terhadap fitnah terbesar dalam sejarah manusia: Dajjal, Al-Masih Ad-Dajjal.
Dajjal akan datang dengan empat fitnah utama yang secara langsung berhubungan dengan empat kisah ini:
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan umatnya untuk menghafal sepuluh ayat pertama atau sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi sebagai perlindungan dari Dajjal. Hal ini menunjukkan bahwa bukan sekadar ritual pembacaan, tetapi pemahaman dan internalisasi pelajaran dari surah inilah yang menjadi tameng spiritual. Membaca surah ini pada hari Jumat adalah pengingat mingguan atas empat ujian ini, mempersiapkan jiwa untuk menghadapi fitnah di akhir zaman.
Setelah menjabarkan empat kisah tersebut, Surah Al-Kahfi ditutup dengan dua ayat yang merangkum inti dari seluruh ajaran, sekaligus memberikan panduan praktis untuk melewati ujian-ujian hidup.
Ayat 109 berbicara tentang luasnya ilmu Allah, yang bahkan jika lautan dijadikan tinta dan pohon dijadikan pena, tidak akan cukup untuk menulis seluruh firman-Nya. Ini adalah penutup yang sempurna untuk kisah Musa dan Khidir, menegaskan bahwa pengetahuan manusia terbatas, dan hanya Allah yang Maha Mengetahui hikmah di balik segala sesuatu.
Ayat terakhir Surah Al-Kahfi adalah kesimpulan yang tegas dan universal, ditujukan kepada Rasulullah ﷺ untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia (yang artinya):
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.'" (QS. Al-Kahfi: 110).
Ayat ini menetapkan tiga pilar utama yang diperlukan untuk keselamatan dari semua fitnah dunia:
Ini adalah benteng melawan fitnah keimanan (Ashabul Kahfi). Tidak ada yang patut disembah selain Allah. Pengakuan ini membatalkan klaim Dajjal sebagai tuhan.
Ini adalah penawar bagi fitnah harta dan kekuasaan (Dua Kebun dan Dzulqarnain). Ketika fokus beralih dari pengumpulan harta fana menuju amal yang bermanfaat dan kekal, dunia menjadi sarana, bukan tujuan.
Ini adalah kunci spiritual untuk menghadapi semua fitnah (Musa dan Khidir). Keikhlasan memastikan bahwa motivasi kita dalam beramal saleh (termasuk mencari ilmu, menggunakan kekuasaan, dan berjuang mempertahankan iman) murni hanya untuk Allah, tanpa ada riya' atau mencari pujian manusia. Inilah yang membedakan ilmu Khidir (yang dilakukan karena Allah) dengan ilmu yang digunakan untuk kesesatan.
Dengan memegang teguh tiga pilar ini—Tauhid, Amal Saleh, dan Ikhlas—seorang mukmin telah melengkapi dirinya dengan perisai spiritual yang tak tertembus, siap menghadapi berbagai ujian dunia, dan terhindar dari fitnah terbesar di hari akhir.
Kisah Musa dan Khidir, meskipun pendek, adalah bagian yang paling padat secara filosofis dan memerlukan perenungan yang terus-menerus. Inti dari kisah ini adalah konflik antara keadilan yang tampak (zhahir) dan keadilan yang tersembunyi (bathin) atau keadilan yang berdasarkan Syariah dan keadilan yang berdasarkan Takdir (Qadar) Ilahi.
Musa adalah simbol ilmu Syariat. Beliau mengajarkan hukum-hukum yang jelas, yang berlaku universal bagi semua manusia. Dalam pandangan Syariat, merusak properti orang miskin, membunuh jiwa tanpa hak, dan bekerja tanpa upah adalah perbuatan yang salah. Ilmu Musa adalah ilmu tentang apa yang seharusnya dilakukan di dunia yang terlihat.
Khidir, sebaliknya, adalah simbol ilmu Hakikat atau Ladunni. Ilmunya adalah pemahaman terhadap rantai sebab-akibat yang sangat panjang yang ditetapkan oleh Allah (Takdir). Khidir tidak bertindak berdasarkan hukum dunia yang terlihat, melainkan berdasarkan arahan langsung dari Allah untuk mencegah bencana yang lebih besar di masa depan. Tindakannya adalah tindakan Qadar, yang seringkali tidak dapat dicerna oleh akal manusia yang terbatas pada masa kini dan tempat ini.
Pelajaran terpenting bagi kita adalah bahwa sebagai manusia, kita harus beroperasi berdasarkan ilmu Syariat (Musa), karena kita tidak diberi ilmu Ladunni. Namun, kita harus memiliki keyakinan yang mendalam (Khidir) bahwa di balik setiap kesulitan dan takdir yang menyakitkan (seperti kehilangan harta atau anak), pasti ada hikmah yang lebih besar dan keadilan yang melampaui pemahaman kita. Kegagalan bersabar Musa adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk menganggap bahwa dia berhak memahami setiap detail rencana Tuhan.
Insiden pembunuhan anak adalah titik balik spiritual. Dalam Syariat, tidak ada pembenaran untuk membunuh seorang anak. Namun, Khidir mengungkapkan bahwa anak itu akan membawa orang tuanya yang saleh menuju kekafiran. Ini adalah pelajaran yang sangat tajam tentang prioritas spiritualitas. Dalam pandangan Allah, menjaga keimanan dan kesalehan dua orang mukmin jauh lebih berharga daripada kehidupan seorang individu yang ditakdirkan menjadi sumber kekufuran bagi orang-orang terdekatnya.
Kisah ini memaksa kita untuk merenungkan: apakah kita benar-benar yakin pada janji Allah bahwa Dia akan menggantikan yang diambil dengan yang lebih baik? Fitnah Dajjal akan menyerang keyakinan ini. Dajjal akan mengambil, dan jika manusia tidak melihat penggantian yang instan, mereka akan ragu pada Takdir Ilahi. Surah Al-Kahfi mengajarkan untuk melihat melampaui kerugian saat ini menuju ganjaran dan keadilan akhirat.
Narasi Dzulqarnain memiliki relevansi yang sangat besar dengan kondisi global dan akhir zaman. Dzulqarnain adalah simbol khalifah (pemimpin) yang ideal: kuat, berteknologi tinggi (ia ahli dalam metalurgi dan konstruksi), dan saleh. Ia menggunakan kekuatannya untuk membangun, bukan menghancurkan.
Ya’juj dan Ma’juj sering ditafsirkan dalam dua cara: sebagai suku historis dan sebagai metafora untuk kekuatan destruktif yang akan dilepaskan di akhir zaman.
Secara literal, mereka adalah bangsa manusia yang dikurung, dan pelepasan mereka adalah salah satu tanda besar Kiamat. Namun, secara simbolis, mereka mewakili energi kejahatan yang tak terkendali, ketidakseimbangan global, dan kehancuran moral serta material yang meluas.
Tembok yang dibangun Dzulqarnain melambangkan usaha manusia untuk menegakkan ketertiban dan peradaban di tengah-tengah potensi kekacauan. Selama tembok itu kokoh, peradaban relatif aman. Tetapi di hari akhir, ketika tembok itu hancur luluh (atas kehendak Allah), kerusakan global akan tak terhindarkan. Hal ini mencerminkan kefanaan semua struktur politik dan keamanan buatan manusia.
Pelaksanaan kekuasaan oleh Dzulqarnain mengajarkan tawadhu’ (kerendahan hati). Setelah menyelesaikan proyek monumental yang menggunakan teknologi paling canggih saat itu, ia tidak mengambil pujian. Ia langsung mengaitkan keberhasilannya dengan rahmat Tuhannya. Ini adalah kontras yang tajam dengan para penguasa zalim yang sombong (seperti kaisar yang dihadapi Ashabul Kahfi atau pemilik kebun yang angkuh).
Di era modern, di mana kekuasaan dan teknologi (fitnah Dzulqarnain) semakin terpusat dan sering disalahgunakan, kisah ini berfungsi sebagai peringatan: kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah. Setiap kerajaan, setiap benteng, dan setiap kekuatan militer akan hancur ketika Janji Allah tiba.
Struktur Surah Al-Kahfi itu sendiri mengandung hikmah. Surah ini dimulai dengan pujian kepada Allah yang menurunkan Al-Qur'an dan menenangkan hati Nabi Muhammad ﷺ dari kerisauan terhadap kaumnya yang menentang. Kemudian, ia memperkenalkan empat kisah, dan di antara setiap kisah disisipkan peringatan tentang Hari Kiamat, perumpamaan dunia, atau penegasan tentang keterbatasan ilmu manusia. Pengulangan tema ini menciptakan ritme spiritual yang terus-menerus mengarahkan perhatian pembaca kembali kepada akhirat.
Menariknya, di tengah-tengah surah, setelah perumpamaan Dua Kebun, terdapat fokus pada kesederhanaan dan amal yang kekal. Ayat 46 menyebutkan bahwa harta dan anak hanyalah perhiasan hidup dunia, sedangkan amal saleh yang kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhan. Ini adalah pusat gravitasi moral surah: di tengah godaan iman, harta, ilmu, dan kekuasaan, nilai tertinggi tetaplah kesalehan yang tulus.
Kisah Ashabul Kahfi yang berlindung di gua, dan kisah Musa yang merendahkan diri mencari guru, hingga Dzulqarnain yang menolak upah, semuanya menegaskan bahwa keselamatan terletak pada penolakan terhadap nilai-nilai duniawi yang dangkal dan fokus pada nilai-nilai spiritual yang abadi.
Pembacaan Surah Al-Kahfi setiap Jumat bukanlah sekadar ritual keagamaan, melainkan praktik rekalibrasi jiwa mingguan. Bagaimana kita mengaplikasikan empat pelajaran ini:
Dalam kehidupan modern, fitnah iman muncul dalam bentuk tekanan sosial untuk mengorbankan prinsip-prinsip demi popularitas atau penerimaan. Pelajaran dari Ashabul Kahfi mengajarkan kita untuk tidak takut menjadi minoritas asalkan kita berada di pihak kebenaran. Kita harus memiliki "gua" spiritual kita sendiri—waktu khusus untuk beribadah dan merenung, di mana kita mengisolasi diri dari hiruk pikuk dunia untuk memperkuat tauhid.
Kita harus selalu mengingat perumpamaan air hujan dan tanaman yang layu. Setiap kali kita mendapatkan kenikmatan atau kekayaan, kita harus mengucapkannya dengan kerendahan hati (Maa shaa Allahu laa quwwata illaa billaah), mengakui bahwa itu adalah pinjaman. Prioritaskan infaq dan sedekah, karena ini adalah satu-satunya bagian dari harta yang akan kekal bersama kita di akhirat, dan ini adalah benteng terbaik dari kesombongan yang menghancurkan.
Kita harus menjaga kerendahan hati intelektual. Di tengah banjir informasi dan pengetahuan yang instan, sangat mudah merasa bahwa kita sudah tahu segalanya. Kisah Musa dan Khidir mengajarkan bahwa di balik setiap kejadian buruk, pasti ada hikmah yang lebih besar yang Allah ketahui. Ketika menghadapi musibah atau ketidakadilan yang tampak, respons pertama kita haruslah bersabar dan percaya pada Takdir Allah, bukan protes dan pemberontakan spiritual.
Kekuasaan tidak hanya berlaku pada raja atau presiden; ia berlaku pada setiap tingkat. Seorang ayah memiliki kekuasaan atas keluarganya, seorang manajer atas bawahannya, dan seorang individu atas anggota tubuhnya sendiri. Pelajaran Dzulqarnain adalah menggunakan kekuasaan untuk keadilan, menolak keuntungan pribadi (seperti menolak upah), dan selalu mengingat bahwa setiap kekuasaan akan berakhir (tembok pasti akan roboh). Selalu akhiri setiap pencapaian dengan mengaitkannya pada Rahmat Allah.
Surah Al-Kahfi adalah pengajaran komprehensif tentang bagaimana bertahan hidup secara spiritual di dunia yang penuh cobaan. Empat kisah tersebut adalah empat cermin yang harus kita hadapkan pada diri kita setiap minggu, memastikan bahwa hati kita siap menghadapi fitnah Dajjal, baik yang muncul dalam wujud fisik di akhir zaman, maupun fitnah Dajjal yang telah bekerja secara simbolis melalui godaan-godaan dunia di sepanjang hidup kita.
Dengan demikian, Surah Al-Kahfi menjadi petunjuk abadi yang menjanjikan cahaya (sebagaimana dijanjikan oleh hadis) yang menerangi jalan bagi mukmin, memimpin mereka dengan selamat melalui kegelapan ketidakpastian duniawi menuju cahaya kepastian Ilahi.
***