Kisah Musa dan Khidr: Etika Pelayanan, Keadilan Ilahi, dan Ketulusan
Dinding yang diperbaiki tanpa imbalan, menyimpan rahasia perlindungan bagi anak yatim.
Surah Al-Kahfi, yang sering dibaca pada hari Jumat, adalah lautan hikmah yang membicarakan empat kisah utama: pemuda Ashabul Kahfi (penghuni gua), pemilik dua kebun, Dzulqarnain, dan yang paling kaya akan misteri teologis dan etika adalah kisah perjalanan Nabi Musa AS bersama seorang hamba Allah yang dianugerahi ilmu khusus, yang dikenal sebagai Khidr.
Kisah ini merupakan pelajaran fundamental mengenai keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran (sabar), dan kerelaan menerima takdir yang tampak tidak adil di mata zahir. Dalam perjalanan ini, Khidr melakukan tiga tindakan yang secara sekilas bertentangan dengan syariat Musa: merusak perahu, membunuh seorang anak muda, dan memperbaiki dinding di sebuah kota yang kejam. Fokus kita tertuju pada peristiwa ketiga, yang diabadikan dalam ayat ke-77.
Tindakan Khidr memperbaiki dinding tanpa meminta upah di sebuah desa yang menolak memberikan makanan atau keramahan, menyajikan kontradiksi etika yang mendalam. Dalam konteks ekonomi sosial, memperbaiki sesuatu membutuhkan tenaga dan biaya, apalagi setelah penduduk desa menunjukkan sikap pelit dan tidak beradab. Inilah yang memicu protes terakhir Musa AS, sebelum akhirnya Khidr menjelaskan rahasia di balik setiap tindakannya.
Ayat 77 dari Surah Al-Kahfi adalah puncaknya. Ia bukan hanya sebuah deskripsi naratif, tetapi merupakan fondasi etika kerja, konsep keadilan yang melampaui perhitungan materi, dan bagaimana amal kebaikan bisa menjadi investasi jangka panjang yang tidak terduga bagi generasi mendatang. Kita akan membedah teks ini secara komprehensif, menggali setiap nuansa linguistik dan teologisnya.
Terjemahan literal dari ayat ini secara umum adalah: "Maka keduanya berjalan hingga sampai kepada penduduk suatu negeri. Mereka meminta dijamu penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapati di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, lalu Khidr menegakkannya. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu.'"
1. فَانْطَلَقَا (Fāntalaqā – Maka keduanya berjalan): Kata kerja ini menunjukkan kelanjutan perjalanan setelah insiden pembunuhan anak muda. Penggunaan ‘fā’ (maka) menunjukkan urutan peristiwa yang cepat dan logis dalam narasi, menyoroti bahwa pelajaran selalu berlanjut dan tidak ada waktu untuk berpuas diri dalam pencarian ilmu.
2. أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ (Atayā Ahla Qaryatin – Keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri): Istilah ‘Qaryah’ merujuk pada pemukiman, desa, atau kota. Tafsir kontemporer sering menekankan bahwa ini adalah kota yang relatif makmur namun miskin etika, karena mereka menolak kewajiban sosial dan moral dasar—memberi makan musafir.
3. اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا (Istath’amā Ahlahā – Mereka meminta dijamu/diminta makanan): Kata 'Istath’amā' memiliki konotasi permintaan yang sopan atau permohonan untuk hak dasar kemanusiaan, yaitu makanan. Permintaan ini, yang seharusnya mudah dikabulkan oleh masyarakat beradab, ditolak secara tegas.
4. فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا (Fa-Abaw An Yudhayyifūhumā – Mereka menolak menjamu keduanya): Penolakan (‘Abaw’) adalah poin kritis. Sikap ini menggambarkan kekerasan hati dan ketiadaan adab (akhlak) sosial, yang dalam pandangan syariat Islam dan etika universal, merupakan dosa moral yang serius terhadap hak musafir. Penolakan ini menjadi pembenar teologis bagi tindakan Khidr selanjutnya, yang beroperasi berdasarkan hukum Ilahi yang lebih tinggi.
5. فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا (Fa-Wajadā Fīhā Jidāran – Keduanya mendapati di sana sebuah dinding): Dinding ini (‘Jidāran’) bukan sekadar tembok, melainkan simbol kerapuhan dan kehancuran yang akan segera terjadi (‘yurīdu an yanqadḍa’). Istilah ‘yurīdu’ (berkehendak) adalah metafora linguistik yang kuat (majaz), menggambarkan dinding itu dalam keadaan kritis, seolah-olah ia sendiri ingin roboh karena usianya atau fondasinya yang lemah.
6. فَأَقَامَهُ (Fa-Aqāmahu – Lalu Khidr menegakkannya): Ini adalah tindakan fisik Khidr. Menegakkan kembali dinding yang hampir roboh menunjukkan kerja keras dan keahlian yang Khidr miliki. Poin utamanya adalah Khidr melakukan pekerjaan ini secara instan dan tanpa biaya, menunjukkan kekuatan yang diberikan Allah kepadanya serta ketidakbergantungan Khidr pada imbalan duniawi.
7. لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (Lāttakhażta ‘alaihi Ajran – Niscaya kamu dapat meminta upah untuk itu): Inilah protes logis Nabi Musa. Dalam etika ekonomi normal, kerja keras harus dibayar, terutama karena mereka berada dalam kondisi lapar dan memerlukan uang. Musa melihat peluang untuk memperoleh rezeki dari jasa yang mereka berikan, sebagai kontras yang tajam terhadap kedermawanan Khidr.
Peristiwa dinding Al-Kahfi 77 menciptakan konflik antara etika sosial, hukum ekonomi, dan kearifan Ilahi. Penduduk kota telah melanggar prinsip dasar kemanusiaan. Dalam hukum Musa, mereka seharusnya tidak mendapatkan kebaikan apa pun; mereka layak ditinggalkan dalam kesulitan mereka.
Tindakan Khidr melampaui konsep keadilan timbal balik (retributive justice). Khidr tidak membalas keburukan dengan keburukan, melainkan membalas keburukan dengan kebaikan (Ihsan). Mereka yang berhak menerima hukuman sosial (dibiarkan tanpa bantuan) justru menerima manfaat fisik berupa dinding yang diperbaiki. Namun, kebaikan ini tidak ditujukan kepada penduduk yang pelit, melainkan ditujukan kepada pihak ketiga yang tidak bersalah: dua anak yatim.
Ini mengajarkan bahwa amal saleh sejati tidak bergantung pada kelayakan penerima. Khidr mewakili prinsip bahwa amal dilakukan Lillah Ta’ala (hanya karena Allah), dan manfaatnya seringkali bersifat multidimensi, menjangkau ruang dan waktu yang tidak dapat kita bayangkan.
Musa mengusulkan agar Khidr mengambil upah, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang kelaparan. Penolakan Khidr mengambil upah, meskipun mereka butuh, adalah poin sentral yang membedakan motivasi seorang hamba yang beroperasi di bawah wahyu Ilahi dari motivasi manusia biasa.
Mengambil upah dari penduduk yang pelit akan memberi legitimasi pada pekerjaan yang dilakukan. Khidr menolak meletakkan nilai material pada pekerjaan itu agar tujuan amal tersebut murni, yaitu: Hifzh al-Mal (perlindungan harta) bagi anak yatim. Jika dia mengambil upah, perbaikan dinding itu akan menjadi transaksi ekonomi biasa, bukan tindakan kemurahan hati yang terselubung untuk menegakkan keadilan Ilahi.
Penolakan upah ini adalah penegasan terhadap prinsip ‘amal shalih’ yang tidak ternilai. Khidr secara efektif mengubah dinding itu dari sekadar objek fisik menjadi monumen perlindungan Ilahi, yang tidak boleh dikotori oleh perhitungan untung-rugi duniawi.
Untuk memahami sepenuhnya ayat 77, kita harus melihat penjelasannya pada ayat-ayat berikutnya (yang merupakan bagian integral dari peristiwa ini).
"Adapun dinding rumah itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya tersimpan harta benda milik mereka berdua, sedang ayah mereka adalah orang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan harta simpanan itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang aku lakukan bukanlah atas kehendakku sendiri. Itulah tafsiran dari apa yang kamu tidak sabar terhadapnya." (Al-Kahfi: 82)
Poin paling menyentuh adalah bahwa perlindungan tersebut diberikan bukan karena kesalehan anak-anak itu sendiri (yang mungkin masih kecil dan yatim), melainkan karena kesalehan ayah mereka. Ini adalah konsep sentral dalam teologi Islam: amal kebaikan seseorang dapat memberikan manfaat langsung dan perlindungan bagi keturunannya.
Kesalehan adalah investasi abadi. Ayah mereka mungkin telah wafat, tetapi jejak kebaikan (saleh) yang ia tinggalkan terus berfungsi sebagai tameng spiritual dan material bagi anak-anaknya.
Dinding yang hampir roboh menyimpan ‘kanz’ (harta karun). Jika dinding itu roboh, harta itu akan terlihat, dan karena penduduk kota itu pelit dan tamak, harta tersebut pasti akan dirampas. Tindakan Khidr adalah tindakan preventif ilahi, memastikan bahwa hak waris anak yatim terjaga sampai mereka cukup dewasa untuk mengelola harta mereka sendiri.
Khidr menegakkan dinding itu agar ia bertahan sampai anak-anak itu ‘baligh’ (dewasa). Ini menunjukkan pentingnya waktu dalam rencana Ilahi. Keadilan tidak selalu datang segera; terkadang ia membutuhkan penundaan agar individu yang bersangkutan siap secara fisik, mental, dan spiritual untuk menerima berkah atau tantangan yang ditakdirkan.
Jika harta itu muncul sekarang, ia akan menjadi bencana. Jika ia muncul saat mereka dewasa, ia akan menjadi bekal. Dengan demikian, tindakan Khidr adalah manajemen waktu Ilahi yang sempurna.
Kisah Al-Kahfi 77 ini memiliki resonansi mendalam dalam berbagai bidang, mulai dari etika kerja hingga hukum Islam (fiqh).
Ayat ini menjadi dalil kuat bagi praktik Ihtisab: melakukan kebaikan dan pelayanan (seperti kerja bakti, memperbaiki fasilitas umum, atau membantu yang membutuhkan) dengan niat murni mencari keridhaan Allah, tanpa mengharapkan imbalan dari manusia. Khidr mengajarkan bahwa nilai pekerjaan sejati tidak diukur dari upah yang diterima, tetapi dari niat dan tujuan akhirnya yang melayani keadilan Ilahi.
Dalam konteks modern, ini dapat diterapkan pada filantropi, sukarelawan (volunteerism), dan kerja sosial. Walaupun masyarakat tersebut telah menolak mereka, Khidr tetap melaksanakan kewajiban moral untuk menjaga hak anak yatim, menunjukkan bahwa amal tidak boleh terhalang oleh kekecewaan manusia.
Salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga harta (Hifzh al-Mal). Tindakan Khidr adalah aplikasi tertinggi dari prinsip ini. Islam sangat menekankan perlindungan terhadap harta anak yatim, dan ayat ini menunjukkan bahwa perlindungan ini dapat meluas hingga ke intervensi supranatural (ilmu Khidr) untuk memastikan hak mereka terpenuhi. Ini menegaskan bahwa Allah adalah pelindung utama anak yatim, dan para hamba-Nya diamanatkan untuk menjadi perantara perlindungan tersebut.
Banyak ulama fiqh menggunakan kisah ini sebagai landasan bahwa wali (orang yang bertanggung jawab) diizinkan melakukan tindakan yang tampak kontradiktif, demi menjaga kepentingan jangka panjang anak yatim atau pihak yang lemah.
Perjalanan Musa dan Khidr secara keseluruhan adalah pelajaran tentang Al-Adl al-Khafiyy (Keadilan yang Tersembunyi). Manusia sering mengukur keadilan dari hasil segera atau perhitungan material. Musa, sebagai nabi yang berpegang pada syariat yang jelas, menilai tindakan Khidr berdasarkan etika yang terlihat. Sebaliknya, Khidr beroperasi berdasarkan Keadilan Kosmik yang hanya dapat dipahami jika seluruh rentetan peristiwa dan dampaknya di masa depan diungkap.
Pelajaran dinding ini mengajarkan bahwa ketika kita melihat ketidakadilan atau peristiwa yang menyakitkan, seringkali ada mata rantai kebaikan yang tidak kita sadari, yang akan terungkap di masa depan. Kebaikan Khidr, yang bertentangan dengan kebutuhan pribadi mereka (lapar), adalah keadilan bagi yang tertindas (anak yatim).
Para mufasir besar telah memberikan penekanan yang berbeda pada hikmah yang terkandung dalam Al-Kahfi 77. Perbedaan penafsiran ini memperkaya pemahaman kita tentang dimensi spiritual dan sosial ayat tersebut.
Imam Qurtubi fokus pada isu penolakan keramahan. Beliau berpendapat bahwa penolakan menjamu musafir adalah dosa besar dalam etika Arab dan Islam. Ini menciptakan pembenaran moral bagi tindakan Khidr yang tidak meminta upah—karena penduduk kota tersebut tidak layak untuk mendapatkan jasa dagang yang transaksional. Jika Khidr meminta upah, itu akan memberi kehormatan kepada mereka yang tidak berhak dihormati.
Qurtubi juga menekankan bahwa kesalehan ayah (Abuhuma Salihan) adalah landasan utama. Ini menunjukkan nilai kesalehan yang melampaui masa hidup seseorang. Kesalehan adalah aset lintas generasi.
Ar-Razi membedah secara filosofis hubungan antara Khidr dan Musa. Ia melihat peristiwa dinding ini sebagai bukti bahwa hukum moral dan hukum positif (syariat) memiliki titik temu dan titik pisah. Syariat Musa mengajarkan bahwa kerja harus dibayar. Ilmu Khidr mengajarkan bahwa terkadang, etika yang lebih tinggi (melindungi anak yatim) menuntut kita mengesampingkan hukum ekonomi yang terlihat.
Ar-Razi menekankan bahwa perbaikan dinding itu adalah 'amal shalih' murni yang tidak boleh dicemari oleh motivasi materi. Ia adalah simbol kesempurnaan tindakan (Ihsan), dilakukan bukan karena paksaan atau imbalan, melainkan karena perintah Ilahi.
Dalam tafsir kontemporer, seperti yang diutarakan oleh ulama modern, kisah ini sering digunakan untuk mempromosikan tanggung jawab sosial dan pembangunan komunitas. Dinding yang roboh dapat diibaratkan sebagai institusi sosial yang gagal atau infrastruktur yang rusak. Khidr mengajarkan kita bahwa kita harus berkontribusi untuk memperbaiki kelemahan masyarakat, bahkan ketika masyarakat itu sendiri menunjukkan keengganan atau keburukan.
Pesan utamanya adalah: jangan biarkan keburukan orang lain (pelitnya penduduk kota) menghalangi kebaikan Anda (perbaikan dinding). Tindakan kebaikan harus bersifat independen dan didorong oleh niat internal.
Harta karun (kanz) yang tersembunyi di bawah dinding bukanlah sekadar emas atau perak; ia melambangkan keberkahan (barakah) yang tidak terlihat. Dinding berfungsi sebagai penutup, menjaga keberkahan itu dari tangan-tangan yang tidak berhak.
Tradisi tafsir menyebutkan perbedaan pendapat mengenai hakikat ‘kanz’ tersebut. Beberapa mengatakan itu adalah kepingan emas dan perak. Tafsir yang lebih dalam menyatakan bahwa ‘kanz’ itu adalah lempengan batu yang diukir dengan hikmah dan nasihat, seperti: "Wahai anak Adam, sungguh ajaib orang yang yakin kepada takdir, tetapi ia masih merasa sedih."
Jika kanz adalah nasihat, ini berarti warisan yang paling berharga dari seorang ayah saleh kepada anaknya bukanlah materi, melainkan kebijaksanaan (hikmah) dan ketakwaan. Dinding yang diperbaiki Khidr melindungi warisan kebijaksanaan ini sampai anak-anak yatim itu cukup dewasa untuk memahaminya dan mengamalkannya.
Ayat 77, dan penjelasannya pada ayat 82, mengubah definisi "harta" dari sekadar kekayaan fisik menjadi aset moral dan spiritual yang diwariskan dari orang tua saleh. Keberkahan adalah perlindungan yang tak kasat mata yang menempel pada warisan tersebut.
Seluruh perjalanan Musa dan Khidr adalah ujian sabar bagi Musa. Insiden dinding adalah ujian terakhir. Musa gagal bersabar karena ia menilai tindakan Khidr berdasarkan etika jangka pendek: kelaparan mereka dan ketidaklayakan penduduk kota.
Kita sering bertindak seperti Musa. Ketika kita melihat kesulitan atau keanehan dalam takdir (misalnya, mengapa seseorang yang jahat malah mendapatkan rezeki yang melimpah), kita cenderung langsung menghakimi berdasarkan informasi yang kita miliki. Ayat 77 mengajarkan bahwa pandangan kita selalu terbatas pada 'Jidar' (dinding) yang terlihat, sementara hikmah Ilahi selalu tersembunyi di baliknya.
Khidr mengajarkan bahwa kearifan sejati menuntut kita untuk bersabar dan mengakui bahwa kita tidak memiliki informasi lengkap. Tindakan yang tampak tidak logis (bekerja gratis untuk orang pelit) mungkin merupakan kebaikan terbesar bagi pihak yang tidak terlihat (anak yatim).
Dalam hidup sehari-hari, kita sering diminta untuk ‘memperbaiki dinding’ (melakukan kebaikan) meskipun kita merasa tidak mendapatkan imbalan atau penghargaan yang layak. Ayat ini mendorong kita untuk tetap berbuat baik, karena imbalan sesungguhnya sudah diatur, dan mungkin ditujukan untuk melindungi sesuatu yang kita sayangi di masa depan.
Peristiwa dinding Al-Kahfi 77 juga menyediakan wawasan tentang etika pekerjaan dan kewajiban kolektif dalam masyarakat.
Musa menegaskan hak pekerja untuk diupah (Ajran). Ini adalah prinsip ekonomi yang sah dan dihormati dalam Islam (memberi upah sebelum keringat buruh mengering). Namun, Khidr memilih menangguhkan haknya demi tujuan yang lebih tinggi: perlindungan sosial dan pelaksanaan perintah Ilahi.
Ini bukan berarti bahwa semua pekerjaan harus tanpa upah, tetapi menunjukkan bahwa dalam situasi konflik etika (kepelitan versus perlindungan), prioritas harus diberikan pada keadilan sosial, bahkan jika itu merugikan kepentingan pribadi sesaat. Khidr menunjukkan bahwa kadang-kadang, profesi dan keahlian kita harus digunakan sebagai alat ibadah (taqarrub) kepada Allah, bukan hanya sebagai sumber penghidupan.
Penduduk kota itu gagal menjalankan tanggung jawab mereka untuk menjamu tamu. Namun, tanggung jawab Khidr adalah kepada Allah dan anak yatim, bukan kepada etika buruk penduduk kota. Hal ini mengajarkan bahwa ketika suatu komunitas gagal menegakkan standar moral, tanggung jawab individu yang saleh untuk melakukan kebaikan justru semakin meningkat.
Kita tidak boleh menunggu masyarakat menjadi sempurna sebelum kita berbuat baik. Kita harus memperbaiki 'dinding yang roboh' dalam masyarakat kita, terlepas dari rasa terima kasih atau pengakuan yang kita terima.
Bagian krusial yang sering diulang dalam tafsir Surah Al-Kahfi 77 adalah penekanan pada frasa "dan ayah mereka adalah orang yang saleh" (و كان أبوهما صالحا). Frasa ini adalah inti filosofis yang menjelaskan seluruh tindakan yang telah dilakukan Khidr. Tanpa kesalehan ayah ini, tindakan Khidr mungkin akan berbeda, atau harta itu mungkin tidak dijaga dengan cara demikian.
Konsep kesalehan ayah menjadi payung teologis yang melindungi keturunannya. Para ulama banyak merenungkan hakikat kesalehan ini. Apakah kesalehan itu berupa ibadah ritual yang banyak? Atau apakah itu adalah etika muamalah (interaksi sosial) yang jujur dan kedermawanan? Kemungkinan besar, ia mencakup keduanya, menciptakan reputasi dan keberkahan yang Allah ridhai, sehingga Ia memberikan perlindungan istimewa bagi anak-anak yang ditinggalkannya.
Dalam konteks modern, hal ini memberikan dorongan luar biasa bagi orang tua untuk berinvestasi dalam kesalehan diri mereka. Mereka tidak hanya mengumpulkan harta materi bagi anak-anak, tetapi juga mengumpulkan "harta karun spiritual" yang akan memastikan anak-anak mereka berada di bawah pengawasan dan perlindungan Ilahi, bahkan setelah orang tua tiada. Dinding yang diperbaiki Khidr adalah manifestasi fisik dari perlindungan spiritual ini.
Surah Al-Kahfi sering disebut sebagai penangkal fitnah Dajjal. Mengapa? Karena Dajjal mewakili godaan materialisme, ilusi kekuasaan, dan kebohongan yang terlihat benar. Kisah dinding di ayat 77 ini secara langsung melawan godaan tersebut. Dinding ini mengajarkan bahwa nilai sejati (harta karun) tersembunyi, dan tindakan yang paling bermanfaat adalah tindakan yang dilakukan tanpa pamrih (anti-materialisme).
Ia mendorong seorang Muslim untuk melihat melampaui perhitungan keuntungan instan (yang diusulkan Musa) dan memahami bahwa investasi terbaik adalah investasi dalam niat murni dan amal saleh yang hasilnya mungkin baru terlihat di masa depan atau hanya diketahui oleh Allah SWT.
Setiap kali seorang Muslim dihadapkan pada situasi di mana ia harus memilih antara keuntungan material segera dan kebaikan moral jangka panjang, ia diingatkan pada kisah dinding Khidr. Apakah kita akan mengambil upah dari orang yang menolak kita, ataukah kita akan melakukan perbaikan itu demi prinsip yang lebih besar, demi orang-orang yang lemah dan yang tidak terlihat?
Pelajaran sabar yang ditekankan Khidr, "Itulah tafsiran dari apa yang kamu tidak sabar terhadapnya," adalah penutup yang kuat. Ia merangkum seluruh esensi ayat 77 dan seluruh kisah: manusia adalah makhluk yang tergesa-gesa dalam menilai. Kesabaran bukan hanya menahan diri dari marah, tetapi menahan diri dari menghakimi takdir atau tindakan orang lain yang tampak aneh, karena kita tidak memiliki ilmu yang dimiliki Khidr—ilmu yang berasal dari sisi Allah.
Hingga kini, ulama dan cendekiawan terus menggali implikasi sosial dari Al-Kahfi 77. Hal ini mencakup etika kepemimpinan, di mana pemimpin atau pengelola aset publik harus bertindak dengan kearifan Khidr—melakukan tindakan yang mungkin tidak populer atau tidak dipahami oleh massa, tetapi yang bertujuan melindungi masa depan komunitas atau generasi berikutnya. Tindakan Khidr adalah model kepemimpinan visioner yang mengorbankan popularitas segera demi kebaikan struktural jangka panjang.
Di penghujung analisis yang mendalam ini, kita menyadari bahwa Surah Al-Kahfi ayat 77 bukanlah sekadar kisah lama tentang nabi dan guru misterius. Ia adalah cetak biru abadi untuk memahami kompleksitas keadilan Ilahi, kekuasaan niat yang murni, dan keagungan dari amal shalih yang melampaui batas ruang dan waktu, melindungi anak yatim dan warisan mereka berkat kesalehan seorang ayah yang telah lama tiada.
Dinding itu tetap berdiri tegak, bukan hanya sebagai struktur fisik yang kokoh, tetapi sebagai monumen keimanan bahwa setiap tindakan kebaikan, sekecil apa pun ia terlihat, sedang dihitung dan dijaga oleh penjagaan Allah Yang Maha Bijaksana.