Surah Al-Qadr adalah salah satu surah yang paling agung dalam Al-Qur'an, terletak pada urutan ke-97. Surah ini memberikan perhatian khusus pada peristiwa monumental dalam sejarah Islam: permulaan wahyu Al-Qur'an yang terjadi pada malam yang penuh berkah. Keutamaan surah ini tidak hanya terletak pada pengumumannya tentang kapan dan bagaimana Al-Qur'an diturunkan, tetapi juga pada penetapan nilai ibadah pada malam tersebut yang melampaui seribu bulan.
Bagi setiap Muslim yang mendalami ajaran Islam, memahami konteks, struktur, dan jumlah ayat Surah Al-Qadr adalah langkah awal yang esensial. Pertanyaan mendasar yang sering muncul, dan yang menjadi fokus utama kajian ini, adalah mengenai panjang surah yang ringkas namun padat makna ini.
Klasifikasi Surah Al-Qadr termasuk dalam golongan surah Makkiyah, meskipun ada beberapa pendapat minoritas yang mengklasifikasikannya sebagai Madaniyah. Pendapat yang paling kuat dan diterima secara luas oleh mayoritas ulama tafsir, termasuk Imam As-Suyuthi dan Al-Wahidi, adalah bahwa surah ini diturunkan di Makkah sebelum Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Isi surahnya yang membahas mengenai keagungan wahyu dan peristiwa supranatural Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan) sangat khas dengan tema-tema yang diangkat pada periode Makkah, yang berfokus pada penetapan akidah dan fondasi keimanan.
Meskipun jumlahnya hanya lima ayat, setiap ayat dari Surah Al-Qadr mengandung lautan hikmah dan penafsiran yang sangat mendalam, membutuhkan kajian bahasa, teologi, dan sejarah yang cermat untuk mengungkap seluruh maknanya. Kelima ayat ini merupakan fondasi utama bagi pemahaman kita tentang kemuliaan bulan Ramadan dan keutamaan Lailatul Qadr.
Untuk memahami kedalaman setiap ayat yang berjumlah lima ini, mari kita telaah teks Arabnya beserta terjemahan literal yang diterima secara umum:
Mencapai pemahaman yang komprehensif dari Surah Al-Qadr membutuhkan penelusuran kata per kata, sebagaimana dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Meskipun surah ini hanya terdiri dari lima ayat, kajian mendalam menunjukkan betapa luasnya cakupan tema yang disajikan.
Frasa إِنَّا أَنزَلْنَاهُ (Innaa Anzalnaahu - Sesungguhnya Kami telah menurunkannya) menunjukkan keagungan dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Penggunaan kata ganti 'Kami' (Naa) dalam bentuk jamak takzim (penghormatan) menegaskan pentingnya peristiwa yang sedang dibicarakan.
Kata kunci di sini adalah أَنزَلْنَاهُ (Anzalnaahu) yang berarti 'Kami menurunkannya secara keseluruhan' (inzal). Ini berbeda dengan tanzil, yang berarti penurunan secara bertahap selama 23 tahun. Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini merujuk pada peristiwa monumental di mana Al-Qur'an diturunkan dari Lauh Mahfuzh (Lembaga yang Terpelihara) ke Baitul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia. Dari langit dunia, barulah Jibril membawanya turun kepada Nabi Muhammad ﷺ secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dan peristiwa yang terjadi.
Peristiwa penurunan secara keseluruhan (inzal) ke langit dunia ini terjadi pada لَيْلَةِ الْقَدْرِ (Lailatul Qadr - Malam Kemuliaan). Ini berarti, malam tersebut adalah malam bersejarah yang menjadi saksi dimulainya pengiriman pesan ilahi terakhir kepada umat manusia. Tanpa Malam Qadr, tidak ada Al-Qur'an, dan tanpa Al-Qur'an, tidak ada petunjuk yang sempurna.
Para ahli bahasa Arab telah lama memperdebatkan makna sesungguhnya dari kata الْقَدْرِ (Al-Qadr). Terdapat setidaknya tiga makna utama, dan semua makna tersebut diyakini oleh para mufassir terkemuka seperti Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, saling melengkapi:
Ketiga penafsiran ini secara kolektif menegaskan bahwa Malam Qadr adalah malam yang memiliki nilai spiritualitas, ketetapan ilahi, dan kepadatan malaikat yang tak tertandingi oleh malam-malam lainnya sepanjang tahun.
Ayat kedua, وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (Wa maa adraaka maa Lailatul Qadr - Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?), adalah bentuk pertanyaan retoris yang bertujuan untuk menekankan keagungan dan misteri malam tersebut. Dalam konteks bahasa Arab Al-Qur'an, ketika Allah menggunakan frasa 'Wa maa adraaka', itu seringkali diikuti dengan penjelasan yang rinci oleh Allah sendiri, yang menunjukkan bahwa pengetahuan tentang hal tersebut di luar jangkauan pemahaman manusia biasa. Pertanyaan ini berfungsi untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kekaguman, dan penghargaan terhadap kemuliaan yang akan dijelaskan pada ayat berikutnya.
Menurut Imam Al-Qurtubi, pertanyaan ini menyiratkan bahwa nilai Lailatul Qadr sedemikian tingginya sehingga akal manusia tidak akan mampu mengukur kedahsyatannya tanpa petunjuk langsung dari wahyu. Ini adalah cara ilahi untuk mempersiapkan hati pendengar agar dapat menerima informasi luar biasa yang akan datang.
Banyak ulama juga menafsirkan bahwa pertanyaan retoris ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ pada saat wahyu diturunkan, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kita memahami bahwa Lailatul Qadr bukanlah sekadar malam biasa; ia adalah malam yang memiliki dimensi spiritualitas yang melampaui perhitungan materi.
Ini adalah ayat sentral yang mendefinisikan keutamaan Lailatul Qadr secara kuantitatif. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ (Lailatul Qadr Khairum min alfi syahr - Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan).
Seribu bulan sama dengan 83 tahun dan 4 bulan. Ini adalah rentang waktu yang hampir setara dengan umur rata-rata manusia pada zaman Nabi Muhammad ﷺ dan zaman modern. Ini berarti, beribadah dan melakukan kebaikan pada satu malam Lailatul Qadr akan menghasilkan pahala yang setara dengan beribadah selama 83 tahun lebih tanpa henti.
Penafsiran mengenai "seribu bulan" ini sangat kaya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa angka ini tidak dimaksudkan sebagai batasan mutlak, melainkan sebagai metafora untuk menunjukkan keutamaan yang luar biasa (khairun min). Artinya, pahala yang diperoleh jauh melampaui perhitungan manusiawi, bahkan lebih baik dari seribu bulan, bukan hanya sekadar sama dengan seribu bulan.
Sebagian mufassir, seperti yang diriwayatkan oleh Mujahid, menjelaskan bahwa angka seribu bulan ini diturunkan sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya. Hal ini dikarenakan Nabi melihat umur umat-umat terdahulu (seperti Bani Israil atau Nabi Nuh) yang jauh lebih panjang, memungkinkan mereka mengumpulkan lebih banyak amal saleh. Allah memberikan umat Muhammad sebuah "jalan pintas" spiritual: Malam Qadr, yang memungkinkan mereka menyamai, bahkan melampaui, akumulasi pahala umat-umat terdahulu meskipun dengan usia yang relatif pendek. Kajian ini menekankan sifat rahmat dan kemurahan Allah (Ar-Rahman) terhadap umat terakhir.
Banyak diskusi teologis berputar pada apakah ini berarti ibadah yang dilakukan pada malam itu secara otomatis menggandakan pahala atau apakah ini merujuk pada ketetapan ilahi yang dilakukan pada malam itu. Konsensusnya adalah bahwa ini adalah janji penggandaan pahala ibadah yang spesifik—sebuah kesempatan emas (golden opportunity) untuk mencapai puncak spiritual tahunan.
Oleh karena itulah, Surah Al-Qadr, yang hanya lima ayat, menjadi landasan teologis mengapa umat Islam sangat giat mencari malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan, melakukan i'tikaf (berdiam diri di masjid), dan meningkatkan qiyamul lail (shalat malam). Ini adalah strategi ibadah yang paling efisien dan efektif sepanjang tahun.
Ayat keempat, تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), menggambarkan aktivitas spiritual di bumi pada malam Qadr.
Penggunaan kata تَنَزَّلُ (Tanazzal), yang merupakan bentuk verbal intensif dari 'turun', menyiratkan penurunan yang berulang, bertahap, dan dalam jumlah yang sangat besar. Ini bukan hanya sekali turun, tetapi penurunan yang terus-menerus terjadi sepanjang malam, hingga fajar. Malaikat-malaikat (الْمَلَائِكَةُ) turun dalam barisan yang padat untuk menyaksikan dan mengaminkan ibadah hamba-hamba Allah serta membawa rahmat dan berkah.
Salah satu poin tafsir yang paling mendalam dalam ayat ini adalah mengenai identitas وَالرُّوحُ (Warrūḥ - dan Ruh). Karena "Ruh" disebutkan secara terpisah dari "Malaikat-malaikat", ini menimbulkan perdebatan teologis yang intensif:
Terlepas dari perbedaan penafsiran, inti dari ayat ini adalah bahwa pada malam Qadr, penghubung antara langit dan bumi terbuka secara maksimal. Seluruh malaikat, dipimpin oleh Jibril, turun ke bumi untuk melaksanakan segala urusan (مِّن كُلِّ أَمْرٍ) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk tahun tersebut, menyebarkan keberkahan, kedamaian, dan mendoakan kaum Muslimin yang sedang beribadah.
Frasa بِإِذْنِ رَبِّهِم (Bi-idzni Rabbihim - dengan izin Tuhan mereka) menekankan bahwa semua aktivitas ini terjadi atas kehendak mutlak dan pengaturan ilahi, bukan berdasarkan kehendak malaikat itu sendiri. Ini menegaskan konsep tauhid, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah.
Ayat penutup, yang juga merupakan ayat kelima dari Surah Al-Qadr, menyimpulkan keadaan spiritual malam tersebut: سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Salamun hiya hatta mathla'il fajr - Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).
Kata سَلَامٌ (Salām) berarti kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan. Ayat ini memiliki beberapa penafsiran:
Keadaan damai ini berlangsung حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Hatta Mathla'il Fajr - sampai terbit fajar). Ini memberikan batasan waktu yang jelas bagi Lailatul Qadr. Segala kemuliaan, penurunan malaikat, dan penetapan takdir terjadi dalam rentang waktu yang spesifik, dimulai setelah terbenam matahari hingga terbitnya fajar subuh. Batasan waktu ini mendorong umat Islam untuk memanfaatkan setiap detik malam tersebut dengan ibadah dan munajat.
Sifat kesinambungan kedamaian, yang berlangsung tanpa henti hingga datangnya fajar, adalah bukti kemurahan dan kasih sayang Allah. Ini adalah malam di mana rahmat menguasai murka, dan ampunan menaungi hukuman. Lima ayat ini, secara kolektif, memaparkan struktur teologis tentang bagaimana satu malam dapat menjadi penentu bagi keseluruhan perjalanan spiritual tahunan seorang individu Muslim.
Dalam Juz 'Amma (Juz ke-30) Al-Qur'an, banyak surah yang memiliki jumlah ayat yang pendek. Membandingkan Surah Al-Qadr (5 ayat) dengan beberapa surah lain memberikan perspektif tentang bagaimana Surah Al-Qadr, meskipun pendek, memiliki beban makna yang luar biasa:
Surah Al-Qadr, dengan lima ayatnya, memiliki keunikan karena fokusnya adalah pada waktu, bukan hanya pada ajaran akidah (seperti Al-Ikhlas) atau moral (seperti Al-Ashr). Ia menetapkan sebuah nilai waktu ibadah yang tak terukur, menjadikannya 'mutiara' di antara surah-surah pendek karena dampaknya yang langsung dan monumental terhadap praktik ibadah tahunan umat Islam.
Setiap surah yang pendek di dalam Al-Qur'an, termasuk Surah Al-Qadr yang hanya lima ayat, dipilih secara ilahi untuk menyampaikan pesan yang sangat terkonsentrasi. Lima ayat ini menyingkapkan misteri kosmik yang menghubungkan takdir, wahyu, malaikat, dan waktu, yang sangat jarang ditemui dalam surah-surah yang lain.
Kedalaman Surah Al-Qadr, yang hanya terdiri dari lima ayat, tidak dapat dipisahkan dari keindahan dan ketepatan stilistika bahasa Arab yang digunakan. Setiap pilihan kata dalam lima ayat tersebut memiliki resonansi linguistik dan teologis yang mendalam.
Penggunaan kata ganti orang pertama jamak إِنَّا (Innā - Sesungguhnya Kami) di awal surah (Ayat 1) segera menandakan sifat penting dari pernyataan yang akan disampaikan. Dalam konteks Al-Qur'an, penggunaan bentuk jamak takzim ini menunjukkan kemahakuasaan dan keagungan Dzat yang berfirman. Ini bukan sekadar pengumuman, melainkan proklamasi ilahi yang penuh bobot. Penggunaan bentuk ini secara linguistik menarik perhatian penuh pendengar terhadap peristiwa penurunan Al-Qur'an itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung, Surah Al-Qadr menggunakan bentuk أَنزَلْنَاهُ (Anzalnaahu), bentuk *if'āl* yang menandakan tindakan tunggal dan menyeluruh (penurunan seluruh Al-Qur'an ke langit dunia). Kontras antara *inzal* (penurunan sekaligus) dalam Ayat 1 Surah Al-Qadr dan penggunaan *tanzil* (penurunan berangsur) yang ditemukan di surah-surah lain menunjukkan bahwa Allah SWT dengan sengaja membedakan dua fase proses wahyu. Pembedaan ini dalam lima ayat tersebut memberikan dimensi baru bagi pemahaman kronologi wahyu.
Kelima ayat Surah Al-Qadr diakhiri dengan rima yang harmonis, yang dikenal dalam ilmu Balaghah (Retorika Arab) sebagai Fawāṣil. Ayat 1, 2, 3, dan 5 semuanya berakhir dengan fonem 'R', sementara Ayat 4 berakhir dengan rima 'R' yang sedikit berbeda namun masih selaras (الْقَدْرِ, الْفَجْرِ, شَهْرٍ, أَمْرٍ). Harmoni bunyi ini tidak hanya memperindah pembacaan, tetapi juga membantu menghafal dan menekankan keterkaitan tematik antara kelima ayat tersebut. Rima yang koheren ini menegaskan bahwa lima ayat ini merupakan satu kesatuan narasi yang sempurna.
Analisis fonetik menunjukkan bahwa nada Surah Al-Qadr memiliki keagungan yang sesuai dengan tema kosmiknya. Gaya bahasa yang ringkas dan padat ini adalah ciri khas gaya Makkah awal, di mana pesan-pesan utama disampaikan dengan kekuatan retoris yang maksimal untuk mengukuhkan akidah di tengah lingkungan yang menentang.
Kelima ayat Surah Al-Qadr tidak hanya menjelaskan fakta historis atau teologis, tetapi juga memberikan pedoman praktik ibadah yang fundamental bagi setiap Muslim.
Karena Ayat 3 secara eksplisit menyatakan bahwa malam itu lebih baik dari 1000 bulan, mencari Lailatul Qadr menjadi kewajiban moral spiritual. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah secara pasti menetapkan tanggalnya (kecuali dalam sepuluh malam terakhir Ramadan yang ganjil), motivasi untuk mencari malam tersebut ditanamkan kuat dalam lima ayat surah ini.
Jika pahala ibadah sunnah digandakan setara dengan ibadah wajib, dan ibadah wajib dilipatgandakan lebih jauh, potensi pahala yang bisa diraih dalam satu malam adalah tak terbatas. Implikasi dari Ayat 3 ini mendorong umat Islam untuk melakukan upaya maksimal yang dikenal sebagai Ijtihad (usaha keras) di malam-malam terakhir Ramadan.
Ayat 4, yang menjelaskan turunnya malaikat dan Ruh, mengindikasikan bahwa ini adalah malam penerimaan doa. Kehadiran ribuan malaikat yang membawa rahmat (min kulli amr) dan yang bersaksi atas ibadah hamba-hamba Allah menjadikan malam Qadr sebagai waktu terbaik untuk memohon ampunan, penetapan takdir yang baik (merujuk pada makna Al-Qadr sebagai Takdir), dan petunjuk. Doa yang paling dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, sebagai respons terhadap keagungan malam ini, adalah doa memohon ampunan (Allahumma Innaka Afuwwun).
Ayat 5, yang menekankan Salām (Kesejahteraan), menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan pada malam itu haruslah membawa kedamaian internal dan eksternal. Secara internal, kedamaian tercapai melalui ketundukan total kepada Allah. Secara eksternal, seorang Muslim yang mendapatkan berkah Lailatul Qadr diharapkan menjadi agen perdamaian dan keselamatan bagi lingkungannya, sesuai dengan makna universal dari kata 'Salam'. Kesejahteraan ini berlangsung secara terus-menerus dan intens hingga fajar tiba.
Walaupun Surah Al-Qadr yang hanya lima ayat itu secara tegas menetapkan keutamaan malam tersebut, Surah ini tidak menyebutkan tanggal spesifiknya. Hal ini memicu perdebatan panjang di kalangan ulama, namun konsensusnya didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Penyembunyian tanggal ini oleh hikmah ilahi memiliki tujuan spiritual yang penting: mendorong umat Islam beribadah dengan gigih di banyak malam, bukan hanya fokus pada satu malam saja.
Menurut mayoritas riwayat yang sahih, Lailatul Qadr terjadi di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, khususnya di malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, atau 29). Hadis dari Aisyah radhiyallahu 'anha memperkuat pencarian ini.
Hikmah dari penyembunyian waktu ini, yang hanya diisyaratkan dalam lima ayat agung Surah Al-Qadr, adalah untuk:
Kesimpulan dari kajian mendalam terhadap Surah Al-Qadr, yang secara pasti hanya terdiri dari lima (5) ayat, adalah bahwa surah ini merupakan pilar teologis dan praktis bagi umat Islam. Setiap ayat, meskipun ringkas, membawa muatan makna yang luar biasa, meliputi kronologi wahyu, nilai ibadah, hierarki malaikat, penetapan takdir, dan kedamaian universal.
Ayat pertama menetapkan fondasi keagungan, ayat kedua membangkitkan kekaguman, ayat ketiga memberikan nilai kuantitatif yang tak tertandingi, ayat keempat menjelaskan proses kosmik penurunan malaikat, dan ayat kelima menutupnya dengan janji kesejahteraan abadi hingga fajar.
Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna dari i’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an, di mana dalam lima baris kata yang singkat, Allah SWT telah mengemas pesan yang cukup untuk mengubah total cara seorang hamba menghabiskan hidupnya, terutama selama bulan suci Ramadan.
Memahami Surah Al-Qadr bukan hanya tentang mengetahui jumlah ayatnya yang lima, tetapi tentang meresapi janji ilahi di dalamnya—sebuah peluang spiritual yang diberikan kepada umat Muhammad ﷺ untuk mengumpulkan pahala sebanding dengan kehidupan yang panjang, hanya dalam satu malam, di bawah naungan rahmat dan salam yang melimpah.