Amalan yang hilang (Khusran)
Surah Al Kahfi, yang dikenal sebagai pelindung dari fitnah Dajjal dan penerang di hari Jumat, menyimpan lautan hikmah dan peringatan. Di antara rangkaian ayat-ayatnya yang agung, terdapat sebuah ancaman sekaligus pelajaran mendalam mengenai hakikat amalan, yaitu pada ayat-ayat yang mengisahkan tentang nasib orang-orang yang merugi di akhirat. Fokus kita tertuju pada konteks yang diangkat oleh Ayat 101, yang menjadi pintu gerbang menuju pemahaman tentang hakikat al-khāśirīn (orang-orang yang paling merugi).
Ayat ini mengajarkan kita bahwa ibadah dan pekerjaan yang dilakukan di dunia ini, seberapapun besar dan terlihat salehnya, bisa menjadi debu yang berterbangan tanpa bobot di hadapan Allah SWT. Ini adalah peringatan keras bagi setiap Muslim untuk tidak hanya fokus pada kuantitas, tetapi terutama pada kualitas, niat, dan kesesuaian syariat dalam setiap laku perbuatan.
Ayat 101, dalam konteks umumnya, membuka pembahasan mengenai sifat-sifat orang kafir yang kelak akan dipaparkan nasibnya. Meskipun fokus utama deskripsi kerugian mendalam terdapat pada ayat 103 dan 104, Ayat 101 menjadi fondasi penolakan mereka terhadap keimanan. Rangkaian ini berbunyi:
Setelah pendahuluan ini, Allah SWT melanjutkan dengan pertanyaan retoris tentang orang-orang yang menyangka dirinya berbuat baik padahal amalnya sia-sia (Ayat 103-104), menciptakan sebuah kontras yang tajam. Mereka yang mata hatinya tertutup (Ayat 101) adalah mereka yang akhirnya tertipu oleh amalannya sendiri (Ayat 104).
Makna ‘mata hati yang tertutup’ bukanlah cacat fisik, melainkan kegagalan spiritual dan intelektual untuk menerima kebenaran. Mereka hidup di dunia, menyaksikan keagungan penciptaan, menerima nikmat yang tak terhitung, namun hati mereka diselubungi selimut tebal yang menghalangi cahaya hidayah. Selimut ini tercipta dari kesombongan, fanatisme buta, dan kecintaan berlebihan terhadap kehidupan duniawi.
Para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘zikrî’ (peringatan-Ku) di sini mencakup Al-Qur’an, tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta, serta ajaran yang dibawa oleh para nabi. Kerugian mereka bermula bukan dari ketiadaan amal, melainkan dari penolakan terhadap sumber hukum yang benar. Ketika sumbernya ditolak, semua amalan yang dibangun di atas dasar yang salah otomatis menjadi rapuh dan tidak bernilai di timbangan akhirat.
Untuk memahami sepenuhnya peringatan yang tersirat dalam Ayat 101, kita harus menengok pada klimaksnya, di mana Allah SWT secara eksplisit menjelaskan nasib para perugi. Ayat-ayat inilah yang paling sering dikutip ketika membahas amalan yang sia-sia:
Inilah puncak dari kengerian kerugian: melakukan segalanya, mengerahkan tenaga, waktu, dan harta, namun hasilnya nihil. Bahkan yang lebih menyakitkan adalah keyakinan diri yang teguh bahwa apa yang mereka lakukan adalah kebaikan tertinggi, padahal sejatinya adalah kesesatan.
Istilah Al-Akhsarīn A’mālā menggunakan bentuk superlatif, menunjukkan tingkat kerugian tertinggi. Mengapa kerugian mereka ini yang paling parah? Karena kerugian ini bersifat dua kali lipat:
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, kelompok ini mencakup orang-orang yang beribadah kepada selain Allah, seperti kaum Nasrani yang mengira ibadah mereka benar, atau kelompok bid’ah dalam Islam yang beribadah dengan cara yang tidak disyariatkan, sambil meyakini bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah. Intinya adalah kurangnya dua syarat fundamental penerimaan amal: keikhlasan (Niat hanya karena Allah) dan kesesuaian (Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW).
Kerugian yang digambarkan dalam Ayat 104 tidak terjadi secara kebetulan; ia adalah hasil dari penyimpangan mendasar dalam akidah dan manhaj (metodologi beragama). Dua faktor utama yang mengubah amal saleh menjadi debu adalah syirik (menyekutukan Allah) dan bid’ah (inovasi dalam agama).
Syirik, baik syirik akbar (besar) maupun syirik ashghar (kecil, seperti riya' atau pamer), secara langsung merusak niat. Niat adalah ruh dari amal. Ketika seseorang beramal—bahkan shalat, puasa, atau haji—namun niatnya tercampuri keinginan pujian manusia, ketenaran, atau tujuan duniawi lainnya, maka amalnya menjadi cacat fatal.
Peringatan dari Riya': Riya' adalah syirik kecil yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW, karena ia sangat tersembunyi. Ia memungkinkan seorang ahli ibadah untuk tampak saleh di mata manusia, namun di hari akhir, ibadahnya ditolak karena tidak murni dipersembahkan kepada Sang Pencipta. Inilah yang paling sesuai dengan frasa: "sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya."
Kesucian niat menuntut pembersihan hati yang berkelanjutan. Setiap kali amal dilakukan, hati harus ditanya: "Untuk siapakah ini dilakukan?" Jika jawaban muncul sedikit saja mengarah pada makhluk, maka amalan itu terancam menjadi sia-sia, persis seperti yang digambarkan dalam Al Kahfi.
Syarat kedua penerimaan amal adalah Mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW). Allah tidak akan menerima ibadah yang dikerjakan dengan cara yang tidak pernah diajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah. Jika seseorang beramal dengan niat tulus (ikhlas), tetapi caranya menyimpang dari syariat (bid’ah), maka amalan tersebut tetap tertolak.
Orang-orang yang melakukan bid’ah seringkali beroperasi di bawah ilusi bahwa mereka lebih bersemangat atau lebih cinta kepada agama, sehingga mereka menciptakan cara ibadah baru yang mereka anggap lebih baik. Mereka tidak merasa melenceng, justru merasa berada di garis depan kesalehan. Keyakinan diri yang menyesatkan inilah yang menjadikan mereka termasuk dalam golongan al-khāśirīn a’mālā. Mereka tulus, tetapi salah jalan, dan ketulusan tidak bisa menambal kerusakan manhaj.
Ayat 105 dan 106 melanjutkan deskripsi tentang nasib orang-orang yang merugi ini. Mereka adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya. Konsekuensinya sangat jelas dan mengerikan:
Frasa "فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ وَزْنًا" (Kami tidak akan mengadakan suatu timbangan pun untuk mereka) adalah hukuman tertinggi bagi amal yang sia-sia. Amal mereka, yang mereka sangka berat dan berharga, bahkan tidak memiliki bobot sekecil apapun di Mizan (Timbangan Allah). Seluruh usaha seumur hidup, yang mungkin melibatkan pengorbanan harta, waktu, dan keringat, berubah menjadi habithat a’māluhum (amalan mereka terhapus).
Mizan adalah simbol keadilan mutlak Allah. Ketika amal seseorang tidak ditimbang, itu berarti amal tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak memenuhi syarat minimum penerimaan. Hal ini berlaku bagi orang kafir yang seluruh amal baiknya (seperti sedekah atau perbuatan kemanusiaan) tidak bernilai di akhirat karena didasari kekufuran. Namun, pelajaran yang sangat vital bagi kaum Muslimin adalah agar amalan mereka tidak masuk dalam kategori yang 'tidak ditimbang' karena kurangnya ikhlas atau mutaba’ah.
Ayat 101-104 adalah panggilan untuk introspeksi mendalam. Bagaimana seorang mukmin dapat memastikan bahwa ia tidak termasuk dalam golongan yang paling merugi, yang tertipu oleh ilusi kesalehan?
Introspeksi niat harus dilakukan sebelum, selama, dan setelah beramal. Jika amal dilakukan karena manusia, ia adalah riya'. Jika amal ditinggalkan karena manusia, ia adalah syirik khafi (tersembunyi). Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa membersihkan niat adalah jihad terbesar seorang hamba. Niat yang tulus harus senantiasa diarahkan pada wajah Allah SWT semata (ibtighā'i wajhillah).
Seseorang yang berbuat baik tetapi berniat agar dunia memujinya, atau agar dia mendapatkan jabatan tertentu, atau agar orang lain berutang budi padanya, sesungguhnya sedang menukarkan pahala abadi dengan imbalan fana. Inilah transaksi terburuk, yang pada akhirnya akan membuatnya merasakan penyesalan mendalam ketika layar terungkap di Padang Mahsyar.
Bukanlah cinta kepada Rasulullah jika kita menambah-nambahkan atau mengurangi ajarannya. Kesempurnaan syariat berarti tidak ada ruang bagi penambahan yang dianggap sebagai ibadah. Setiap ibadah harus memiliki sandaran dalil yang shahih.
Konsistensi dalam Mutaba'ah berarti kita belajar Fiqih dan Hadits, memahami tata cara ibadah yang benar, dan menghindari segala bentuk ritual keagamaan yang tidak memiliki asal usul dari sumber primer Islam. Tindakan ini merupakan benteng pertahanan paling kuat melawan bid’ah yang secara halus dapat menggerus nilai amal.
Peringatan dalam Surah Al Kahfi ini tidak hanya berlaku bagi umat di masa Nabi, tetapi abadi hingga akhir zaman. Kekhawatiran akan amal yang sia-sia adalah ciri khas orang-orang saleh.
Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, salah satu sahabat Nabi yang paling mulia, sering menangis karena khawatir amalnya tidak diterima. Kekhawatiran ini, yang disebut khauf (rasa takut), adalah dorongan untuk senantiasa memperbaiki diri dan menjauhi sifat ujub (kagum pada diri sendiri) yang merupakan awal dari kerugian.
Ayat 104 menjelaskan bahwa mereka 'menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya'. Sifat ujub adalah penyakit hati yang paling berbahaya karena ia meracuni amal dari dalam. Ketika seseorang merasa bahwa amalnya sudah cukup dan hebat, ia berhenti introspeksi dan secara tidak sadar membuka pintu bagi riya' dan kesombongan.
Ujub membuat seseorang merasa superior dibandingkan orang lain, bahkan merasa lebih berhak atas surga. Padahal, diterimanya amal adalah murni karunia Allah, bukan hasil dari kehebatan individu. Membebaskan diri dari ujub berarti mengakui bahwa amal yang kita lakukan adalah pemberian, dan kita selalu harus memohon agar amal tersebut diterima, bukan menuntut penerimaannya.
Walaupun sering ditafsirkan dalam konteks ibadah ritual, kerugian yang disebutkan dalam Surah Al Kahfi Ayat 101-104 juga mencakup segala bentuk amal perbuatan di dunia, termasuk aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Banyak organisasi atau individu yang melakukan pekerjaan sosial masif—membangun sekolah, rumah sakit, atau menyumbang dalam jumlah besar—namun landasan niatnya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, pengaruh, atau popularitas global. Amalan-amalan ini mungkin memberikan manfaat sementara di dunia (seperti pujian dan status), tetapi jika niatnya bukan karena Allah dan tidak sesuai syariat, maka di akhirat, semua catatan kemanusiaan itu akan kosong.
Seorang pemimpin yang menegakkan keadilan semata-mata demi mempertahankan kekuasaannya, bukan karena ketaatan pada hukum Allah, akan menemukan bahwa keadilan yang ia tegakkan itu tidak memiliki bobot spiritual. Semua usahanya, dari pagi hingga malam, sia-sia karena tidak didasari keikhlasan akidah yang benar. Ini adalah puncak kerugian dunia dan akhirat.
Surah Al Kahfi dibaca untuk melindungi diri dari fitnah Dajjal. Apa hubungannya kerugian amalan dengan Dajjal? Fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar yang menguji iman dan amal. Dajjal akan menampilkan mukjizat palsu dan memberikan kemudahan materi. Orang yang tidak memahami hakikat amal sejati (ikhlas dan mutaba’ah) akan mudah tertipu oleh kemudahan yang ditawarkan Dajjal.
Orang-orang yang amalannya sia-sia di dunia ini adalah mereka yang mendasarkan kebenaran pada tampilan lahiriah dan kemewahan materi. Dajjal memanfaatkan kecenderungan ini. Mereka yang hanya mencari pengakuan duniawi dalam ibadah akan mudah mengikuti Dajjal yang menawarkan kemakmuran duniawi sebagai ganti ketaatan sejati kepada Allah.
Dengan mengamalkan pelajaran Ayat 101-104, kita belajar untuk menolak segala bentuk kemewahan yang datang dengan harga kehilangan iman atau kemurnian amal. Kita dilatih untuk menilai sesuatu berdasarkan timbangan Allah, bukan timbangan manusia.
Untuk menghindari nasib Al-Khāśirīn, kita harus membangun empat benteng perlindungan dalam diri:
Iman bukanlah status statis, melainkan dinamis yang harus diperbaharui setiap hari. Memperbaharui iman berarti terus belajar tauhid, menguatkan keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan menjauhi segala bentuk syirik kecil maupun besar. Jika akidah kuat, fondasi amal pun kokoh.
Orang yang melupakan akhirat cenderung melakukan amalan karena motif duniawi. Mengingat kematian dan Hari Perhitungan secara teratur akan menyaring niat, memaksa kita bertanya: "Apakah amal ini akan bermanfaat ketika aku sendiri di hadapan Allah?"
Para Nabi, seperti Nabi Ibrahim AS, setelah membangun Ka’bah, masih berdoa: "Rabbanā taqabbal minnā..." (Ya Tuhan kami, terimalah amal dari kami). Sikap kerendahan hati ini sangat penting. Kita tidak boleh merasa yakin bahwa amal kita pasti diterima, melainkan harus senantiasa memohon penerimaan dan perlindungan dari amal yang sia-sia.
Kecenderungan manusia adalah melihat kebaikan dalam diri sendiri (ujub). Kita membutuhkan nasihat dari orang-orang saleh dan ulama untuk mengoreksi cara ibadah dan niat kita. Sikap terbuka terhadap koreksi adalah obat penawar bagi ilusi kesalehan yang diangkat dalam Surah Al Kahfi ini.
Kata 'dhalala' dalam bahasa Arab berarti hilang atau tersesat. Ketika Allah berfirman bahwa usaha mereka hilang, ini menggambarkan sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan, yang pada akhirnya membawa mereka ke tujuan yang salah. Mereka berjalan, berlari, dan mengerahkan seluruh energi spiritual, namun GPS spiritual mereka salah alamat.
Sia-sianya usaha mereka (Dhalala Sa'yuhum) adalah gambaran tragis tentang orang yang mengisi hidupnya dengan kerja keras, namun karena niatnya terdistorsi atau caranya menyimpang dari petunjuk, semua kerja keras itu dibatalkan. Ini kontras dengan orang yang mungkin melakukan sedikit amal, tetapi dengan niat tulus dan sesuai tuntunan, amalnya tumbuh dan berlipat ganda di sisi Allah.
Penting untuk dipahami bahwa upaya fisik saja tidak pernah cukup. Islam menekankan integrasi sempurna antara upaya fisik (amal), upaya spiritual (ikhlas), dan upaya metodologis (mutaba’ah). Jika salah satu pilar ini roboh, seluruh bangunan amal akan runtuh, mengubah amalan yang terlihat megah di mata manusia menjadi puing-puing di hari perhitungan.
Peringatan dalam Surah Al Kahfi, yang dimulai dengan penutupan mata hati (Ayat 101) dan diakhiri dengan hapusnya seluruh amalan dan ketidakberatan timbangan di Hari Kiamat (Ayat 105), merupakan salah satu pesan terpenting Al-Qur'an tentang kualitas hidup beragama.
Ayat 101-104 bukanlah hanya cerita masa lalu atau peringatan untuk kaum non-Muslim semata. Ia adalah cermin bagi setiap Muslim untuk secara terus menerus mengevaluasi diri: Apakah amalku murni karena Allah? Apakah aku beribadah sesuai petunjuk Rasulullah SAW? Apakah aku telah membebaskan diriku dari ujub dan riya'?
Hakikat ibadah bukan terletak pada berapa banyak yang kita kerjakan, tetapi seberapa murni dan benar cara kita mengerjakannya. Keberuntungan sejati adalah ketika amal yang sedikit diterima dan diberkahi, jauh lebih mulia daripada amal yang banyak namun berujung pada kerugian abadi. Mari kita jadikan Al Kahfi Ayat 101 sebagai pengingat harian untuk mencari wajah Allah dalam setiap langkah kehidupan kita.
Kisah tentang orang-orang yang paling merugi amalnya ini menawarkan refleksi mendalam mengenai kesadaran diri dalam beribadah. Mereka yang merugi adalah mereka yang terperangkap dalam ego spiritual, percaya bahwa usaha mereka sudah final dan sempurna. Mereka kurangnya kesadaran untuk mencari validasi dari wahyu, melainkan mencari justifikasi dari akal atau tradisi yang menyimpang.
Dalam konteks modern, hal ini terwujud dalam berbagai bentuk, misalnya aktivisme keagamaan yang didorong oleh ambisi politik atau popularitas media sosial, alih-alih dorongan murni untuk meninggikan kalimatullah. Amalan-amalan ini mungkin memberikan dampak besar dalam jangka pendek di dunia, mendapatkan apresiasi yang luas, dan bahkan mengubah struktur sosial. Namun, jika motivasi utamanya adalah pengakuan massa atau keuntungan elektoral, maka usaha tersebut sama sekali tidak terlepas dari ancaman al-khāśirīn a’mālā.
Perjuangan untuk menjaga keikhlasan adalah perjuangan yang tak pernah usai. Ia adalah medan perang batin antara jiwa yang cenderung pada pengakuan dan hati yang merindukan keridhaan Ilahi. Hanya dengan penjagaan niat yang ketat dan kepatuhan yang teguh pada sunnah, seorang hamba dapat berharap amalnya akan berbobot di Hari Kiamat, terhindar dari nasib tragis orang-orang yang mata hatinya tertutup dari Peringatan Allah, sebagaimana diuraikan dalam Surah Al Kahfi Ayat 101 dan rangkaian setelahnya.
Ayat ini adalah mercusuar. Ia bersinar terang untuk menunjukkan bahaya tersembunyi bagi para pekerja keras dalam agama: bahaya melakukan hal yang benar dengan alasan yang salah, atau melakukan hal yang salah dengan alasan yang (dianggap) benar. Kualitas amal menentukan nasib akhirat, dan kualitas amal ditentukan oleh kemurnian niat dan kebenaran metode. Tidak ada jalan pintas menuju keridhaan Allah selain melalui pintu keikhlasan sejati dan keteladanan Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, setiap kali seorang mukmin membaca atau mendengar ayat-ayat mulia ini, ia harus merasakan getaran ketakutan dan harapan secara bersamaan. Takut akan kemungkinan bahwa amalnya selama ini hanyalah fatamorgana spiritual, dan harapan bahwa Allah SWT, melalui rahmat-Nya, akan menerima dan memurnikan amalan yang telah dipersembahkan dengan niat tulus.
Penyelamatan dari status al-khāśirīn a’mālā terletak pada kesediaan hamba untuk senantiasa kembali kepada sumber kebenaran, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, dan menempatkan keridhaan Allah di atas segala pujian dan ambisi duniawi. Inilah esensi utama dari kehidupan yang beriman, yang memastikan bahwa setiap langkah dan setiap helaan napas yang dihabiskan di dunia ini tercatat sebagai investasi yang menguntungkan di akhirat, bukan usaha yang sia-sia dan berakhir tragis.
Implikasi kerugian ini bukan hanya teologis, tetapi juga memiliki dimensi psikologis spiritual yang mendalam. Mereka yang merugi adalah individu yang hidup dalam penipuan diri (delusi). Mereka membangun identitas diri di atas panggung kesalehan yang disaksikan manusia, tetapi fondasinya kosong di mata Tuhan.
Ketika kebenaran terungkap pada Hari Kiamat, kejutan dan penyesalan yang mereka rasakan akan menjadi siksaan tersendiri sebelum siksaan api. Mereka melihat hasil kerja keras orang lain yang jujur dan ikhlas terpancar terang, sementara catatan mereka sendiri gelap gulita. Mereka telah menghabiskan modal hidup mereka, yaitu waktu dan kesempatan, pada proyek yang ditolak secara total.
Maka, hikmah dari Ayat 101 dan konteksnya adalah seruan untuk beragama dengan akal yang jernih dan hati yang ikhlas. Akal harus digunakan untuk memahami dalil dan membedakan antara sunnah dan bid’ah. Hati harus dijaga agar hanya tertuju pada Allah semata, membebaskan diri dari belenggu validasi manusia. Dengan kombinasi keduanya, seorang Muslim dapat berharap untuk terhindar dari kerugian terbesar yang dijelaskan dalam Surah Al Kahfi.
Surah Al Kahfi, dengan kisah Ashabul Kahfi, Musa dan Khidir, Dzulqarnain, dan kini peringatan tentang amal yang sia-sia, adalah peta jalan bagi umat Islam untuk menghadapi empat fitnah utama: fitnah agama (tidur dalam kebenaran), fitnah harta (Kisah dua pemilik kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain). Ancaman amal yang sia-sia (Ayat 101-104) berdiri sebagai peringatan penutup, menjamin bahwa bahkan setelah mengatasi fitnah-fitnah tersebut, kualitas amalan tetap menjadi penentu akhir keselamatan.
Dengan demikian, Al Kahfi Ayat 101 bukan sekadar kutipan, melainkan sebuah prinsip hidup: Pastikan mata hatimu terbuka terhadap petunjuk Ilahi, dan pastikan setiap langkah usahamu diarahkan murni hanya untuk mendapatkan keridhaan-Nya, sehingga usaha hidupmu yang fana ini dapat menghasilkan pahala yang kekal abadi, terhindar dari kehampaan total di Hari Perhitungan.
Kesalehan sejati adalah kesalehan yang tersembunyi, yang tidak mencari panggung, yang tidak membutuhkan pengakuan, dan yang bersandar sepenuhnya pada firman dan sunnah. Inilah satu-satunya benteng yang menjamin bahwa amal kita tidak akan masuk dalam kategori al-khāśirīn a’mālā, melainkan menjadi bekal terbaik menuju kehidupan yang kekal.
Ketika kita mengupas lebih dalam makna "dhalala sa'yuhum", kita melihat betapa sentralnya peran Ikhlas. Segala amal ibadah yang ditujukan kepada selain Allah, tidak peduli seberapa heroik, tidak ada bedanya dengan membangun istana di atas pasir yang akan dibawa pergi oleh ombak kepalsuan di hari akhir. Ikhlas adalah fondasi yang menjaga bangunan amal tetap tegak di tengah badai pengujian. Tanpa Ikhlas, tidak ada amal, hanya ilusi. Dan ilusi terbesar adalah ketika pelakunya merasa puas diri dan yakin bahwa dia telah mencapai kesalehan puncak.
Peringatan ini perlu diulang-ulang dalam konteks modern, di mana citra diri seringkali lebih penting daripada substansi. Pengaruh media sosial telah menciptakan budaya di mana amalan saleh terkadang dikomersialkan atau dipamerkan. Seseorang mungkin beramal dengan baik, tetapi niatnya secara halus bergeser dari "kerana Allah" menjadi "kerana followers" atau "kerana pujian." Transformasi niat ini, sekecil apa pun pergeserannya, adalah racun yang bekerja lambat, mengubah pahala menjadi dosa, dan amal menjadi sia-sia. Inilah manifestasi modern dari dhalala sa'yuhum.
Kita harus menjadikan kesucian niat sebagai prioritas utama, bahkan di atas kuantitas ibadah. Sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama salaf, mereka lebih mementingkan menjaga amalan dari riya' setelah dikerjakan, daripada hanya berfokus pada kuantitasnya. Sebab, riya' yang muncul setelah amal selesai dapat menghapusnya, menjadikan amalan itu termasuk dalam kategori mereka yang merugi.
Setiap Muslim harus menjalani hidup dengan prinsip bahwa dirinya adalah hamba yang penuh kekurangan dan amalnya sangat rentan terhadap kegagalan. Hanya dengan rasa takut yang konstan terhadap kerugian amal, dan harapan yang besar pada rahmat Allah, seorang hamba dapat menjaga dirinya di jalur yang lurus, menjauh dari kegelapan mata hati (Ayat 101) dan kehampaan amal (Ayat 104).
Ayat-ayat ini adalah penutup yang sempurna bagi surah yang penuh keajaiban dan peringatan ini, memastikan bahwa setelah semua hikmah disampaikan, fokus utama tetap pada inti tauhid dan kesucian amal. Jadilah hamba yang sadar, bukan hamba yang tertipu. Itulah pesan abadi Surah Al Kahfi Ayat 101.