Perjalanan Mencari Hikmah: Analisis Mendalam Al-Kahfi Ayat 61-70
Surah Al-Kahfi menyimpan banyak kisah penuh makna, salah satunya adalah pertemuan yang luar biasa antara Nabi Musa AS, salah satu rasul ulul azmi, dengan sosok misterius yang disebut Khidir AS. Kisah ini bukan sekadar narasi sejarah, melainkan pelajaran fundamental tentang batas-batas pengetahuan manusia, hierarki ilmu, dan pentingnya kesabaran di hadapan takdir Ilahi yang tampak ganjil.
Sepuluh ayat pertama dari kisah ini, yaitu ayat 61 hingga 70, membentuk landasan naratif yang krusial. Ayat-ayat ini menceritakan titik perjumpaan, ujian yang mendahului, serta perjanjian suci antara guru dan murid. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, setiap frasa dalam ayat-ayat ini harus diurai, menyingkap dimensi linguistik, tafsir klasik, dan pelajaran spiritual yang terkandung di dalamnya.
Latar Belakang dan Ujian Pertama (Ayat 61-64)
Kisah ini bermula ketika Nabi Musa, dalam suatu khotbah, ditanya mengenai siapakah manusia yang paling berilmu. Musa menjawab bahwa dirinyalah yang paling berilmu, sebuah jawaban yang kemudian dikoreksi oleh Allah SWT. Allah mengarahkan Musa untuk mencari seorang hamba yang memiliki ilmu khusus, yang tidak diajarkan melalui jalur kenabian, melainkan melalui jalur langsung dari sisi-Nya (ilmu ladunni). Titik pertemuan yang ditetapkan adalah di lokasi bertemunya dua lautan (Majma’ul Bahrain). Tanda untuk mengenali lokasi tersebut adalah hilangnya ikan yang mereka bawa sebagai bekal.
Ayat 61: Hilangnya Tanda
(فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا)
Maka, ketika mereka sampai ke pertemuan dua lautan itu, mereka lupa akan ikan mereka, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh.
Analisis Linguistik dan Tafsir: Ayat ini sarat dengan makna simbolis. Kata kunci di sini adalah سَرَبًا (saraban), yang secara harfiah berarti "lubang" atau "lorong yang tersembunyi." Ikan yang dibawa Musa dan pemudanya (Yusya' bin Nun) telah mati, namun dengan mukjizat Ilahi, ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut. Cara ikan itu mengambil jalannya ke laut tidak seperti ikan pada umumnya, melainkan seolah-olah membentuk lorong kering di air. Ini adalah bukti fisik yang seharusnya langsung disadari sebagai tanda, namun mereka melupakannya—sebuah ujian ketelitian dan fokus.
Ujian ini menyoroti kelemahan manusiawi, bahkan pada level kenabian. Lupa (نَسِيَا - nasiya) adalah bagian dari proses pembelajaran. Ini bukan lupa karena kecerobohan semata, melainkan lupa yang ditakdirkan oleh Allah sebagai bagian dari rencana-Nya, agar perjalanan dilanjutkan, rasa lelah muncul, dan nilai pertemuan tersebut menjadi lebih mendalam. Kelupaan ini adalah ‘tabir’ yang diizinkan untuk sesaat menutupi tanda kebenaran.
Ayat 62: Kelelahan dan Kesadaran
(فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا)
Setelah mereka berjalan jauh, berkatalah Musa kepada pemudanya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Setelah melewati Majma'ul Bahrain dan melupakan tanda, mereka berjalan terus. Jarak yang ditempuh (جَاوَزَا - jaawazaa) menunjukkan bahwa kelupaan itu berlangsung cukup lama. Ketika rasa lelah (نَصَبًا - nashaban) menyerang, kebutuhan fisik—rasa lapar dan haus—mengingatkan mereka pada bekal yang seharusnya ada. Kelelahan fisik ini seringkali menjadi titik balik kesadaran spiritual; ketika tubuh mencapai batasnya, pikiran mulai mencari jawaban yang hilang.
Permintaan Musa terhadap makan siang (غَدَاءَنَا - ghada’ana) memicu ingatan pemudanya. Kelelahan yang dirasakan Musa bukanlah kelemahan, melainkan penegasan bahwa perjalanan mencari ilmu, bahkan bagi seorang Nabi, memerlukan pengorbanan fisik dan mental. Rasa letih ini menegaskan bahwa mereka telah melalui suatu fase yang intens dan penting.
Ayat 63: Pengakuan dan Syaitan
(قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا)
Pemudanya menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu besar itu? Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu, dan tidak ada yang membuatku lupa selain syaitan (untuk mengingatnya). Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang ajaib.”
Pemuda Musa mengakui kelalaiannya. Ia menyandarkan kelupaannya kepada Syaitan (إِلَّا الشَّيْطَانُ). Dalam konteks tafsir, ini menunjukkan bahwa melupakan tanda-tanda Allah atau tugas yang penting seringkali diakibatkan oleh intervensi spiritual negatif, yang mengalihkan fokus dari hal yang substansial kepada hal-hal yang kurang penting.
Penggunaan kata عَجَبًا (ajaban - ajaib/menakjubkan) di akhir ayat ini menunjukkan betapa hebatnya kejadian tersebut. Ini bukan hanya ikan yang hilang, tetapi mukjizat yang terjadi secara kasat mata, yang menuntut perhatian penuh. Pengakuan pemuda ini, meskipun terlambat, adalah kunci untuk melanjutkan perjalanan.
Ayat 64: Titik Balik
(قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا)
Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu, mereka kembali menelusuri jejak mereka semula.
Ayat ini adalah titik balik yang tegas. Musa segera menyadari bahwa kejadian hilangnya ikan secara ajaib adalah tanda yang dijanjikan Allah. Ungkapan ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ (itulah yang kita cari) menunjukkan bahwa Musa telah memahami tanda itu, meskipun ia sempat lupa dalam kelelahan. Seorang pencari ilmu sejati, ketika diingatkan tentang tanda, harus segera bereaksi dan kembali ke jalan yang benar.
Mereka kembali menelusuri jejak (فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا). Kata قَصَصًا (qashashan) berarti mengikuti jejak langkah secara detail. Ini mengajarkan bahwa dalam perjalanan spiritual atau ilmiah, jika kita kehilangan arah, kita harus kembali ke titik awal dengan teliti, mengulang langkah-langkah, dan memperbaiki kesalahan.
Pelajaran dari Ujian Awal:
- Kelalaian dan Takdir: Kelupaan manusiawi adalah bagian dari takdir yang disiapkan Allah untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
- Tanda-tanda Ilahi: Tanda-tanda kebenaran mungkin tampak aneh (ajaib/saraban), tetapi ia selalu hadir di sekitar kita jika kita waspada.
- Kebutuhan Fisik: Pencarian ilmu harus mempertimbangkan batas-batas fisik; kelelahan sering menjadi pemicu kesadaran.
Perjumpaan Agung: Ilmu Ladunni (Ayat 65)
Setelah kembali menelusuri jejak langkah mereka, Nabi Musa dan pemudanya akhirnya tiba di lokasi di mana tanda itu muncul, dan di sana mereka menemukan sosok yang dijanjikan.
Ayat 65: Definisi Khidir
(فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا)
Lalu, mereka dapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Ayat ini adalah inti dari seluruh kisah dan berfungsi sebagai pengantar resmi Khidir (meskipun namanya tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur'an, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah Khidir). Allah mendefinisikan Khidir melalui tiga atribut utama, yang membedakannya dari Nabi Musa atau nabi lainnya:
1. Hamba di Antara Hamba Kami (عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا)
Khidir disifati sebagai hamba Allah. Ini menekankan bahwa meskipun ia memiliki keistimewaan yang luar biasa, ia tetaplah makhluk yang tunduk. Statusnya sebagai 'abdun (hamba) merupakan kemuliaan tertinggi dalam Islam. Para ulama berbeda pendapat apakah Khidir adalah seorang nabi atau hanya wali (orang suci). Namun, sifatnya sebagai hamba yang diberikan anugerah khusus menunjukkan status spiritual yang sangat tinggi.
2. Rahmat dari Sisi Kami (رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا)
Rahmat ini adalah karunia spiritual dan perlindungan Ilahi yang memungkinkan Khidir melakukan perbuatan yang secara lahiriah tampak kejam atau tidak logis, namun mengandung kebaikan tersembunyi. Rahmat ini adalah izin dan dukungan langsung dari Allah untuk menjalankan tugas-tugas khusus yang tidak terikat oleh hukum sebab-akibat duniawi biasa.
3. Ilmu dari Sisi Kami (وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا)
Ini adalah poin terpenting. Ilmu Khidir disebut لَّدُنَّا عِلْمًا (ilmu ladunni), yang berarti "ilmu dari sisi Kami." Ilmu ini berbeda dari wahyu kenabian (yang dimiliki Musa) dan ilmu yang diperoleh melalui akal dan observasi. Ilmu ladunni adalah pengetahuan langsung, tanpa perantara, tentang takdir (qadar), rahasia batin, dan hakikat segala sesuatu yang akan terjadi.
Perbedaan ilmu inilah yang menjelaskan mengapa Musa harus belajar dari Khidir. Musa memiliki ilmu *dhahir* (lahiriah)—syariat, hukum, dan keadilan yang harus diterapkan di dunia. Khidir memiliki ilmu *bathin* (batiniah)—hakikat dan rahasia takdir. Pertemuan ini mengajarkan kepada Musa dan umat manusia bahwa ada dimensi pengetahuan yang melampaui logika syariat, meskipun syariat tetap menjadi panduan utama bagi seluruh umat manusia.
Syarat dan Perjanjian Mencari Ilmu (Ayat 66-70)
Setelah perjumpaan, Nabi Musa menunjukkan adab dan etika seorang murid yang ideal di hadapan gurunya, meskipun ia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di mata Allah (sebagai seorang rasul).
Ayat 66: Kerendahan Hati Seorang Murid
(قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا)
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu?”
Permintaan Musa (هَلْ أَتَّبِعُكَ - Hal attabi’uka) menggunakan gaya bahasa yang sopan dan merendahkan diri, menunjukkan adab yang tinggi dalam mencari ilmu. Musa tidak menuntut, melainkan memohon izin untuk mengikuti. Ia mengakui bahwa ilmu Khidir (رُشْدًا - rusydan, yaitu petunjuk/kebenaran) adalah sesuatu yang ia butuhkan, meskipun ia sendiri adalah pemegang risalah ilahi yang agung.
Fokusnya adalah meminta diajarkan "sebagian" (مِمَّا) dari ilmu Khidir, menunjukkan bahwa ia menyadari kedalaman dan luasnya ilmu ladunni itu, dan ia hanya membutuhkan porsi yang diperlukan untuk memperbaiki pandangannya terhadap hakikat takdir. Adab ini mengajarkan bahwa dalam mencari ilmu, status sosial atau prestasi masa lalu harus dikesampingkan demi kerendahan hati mutlak di hadapan sumber ilmu.
Ayat 67: Peringatan Keras
(قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا)
Dia (Khidir) menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.”
Khidir langsung menyatakan syarat yang paling sulit: kesabaran (صَبْرًا - shabran). Khidir tahu bahwa tindakan yang akan ia lakukan akan bertentangan dengan Syariat yang dibawa Musa, dan juga bertentangan dengan logika manusia biasa. Nabi Musa, sebagai Nabi yang sangat tegas dalam menegakkan keadilan, akan kesulitan menahan diri untuk tidak mengintervensi atau mempertanyakan tindakan Khidir.
Kata لَن تَسْتَطِيعَ (lan tastathi’a - kamu sama sekali tidak akan mampu) adalah penegasan yang kuat. Ini adalah ujian keimanan terhadap otoritas guru yang bertindak atas perintah Ilahi. Kesabaran di sini bukan hanya menahan diri dari marah, tetapi menahan diri dari penghakiman berdasarkan pengetahuan lahiriah yang terbatas.
Ayat 68: Akar Ketidaksabaran
(وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا)
“Dan bagaimana engkau akan sabar terhadap sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentangnya?”
Khidir menjelaskan akar dari ketidaksabaran Musa: kurangnya pengetahuan menyeluruh (مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا - maa lam tuhith bihi khubra). Musa, yang berpedoman pada hukum dan keadilan, hanya akan melihat permukaan tindakan Khidir (misalnya, merusak perahu orang miskin). Ia tidak akan melihat rahasia di baliknya (bahwa perahu itu akan dirampas oleh raja zalim jika tidak dirusak).
Ayat ini adalah refleksi mendalam mengenai epistemologi (teori ilmu pengetahuan). Manusia cenderung menghakimi berdasarkan informasi yang ia miliki. Ketidaksabaran muncul ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang melampaui batas pengetahuan kita, memaksa kita untuk mengakui bahwa ada kekuatan dan kebijakan yang jauh lebih besar dari apa yang dapat kita tangkap. Khidir menantang Musa untuk mempercayai hikmah yang tersembunyi, melebihi kebenaran yang tampak.
Ayat 69: Janji dengan Insha Allah
(قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا)
Musa berkata, “Insya Allah, engkau akan mendapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.”
Musa menjawab dengan janji yang diikat oleh kesadaran akan kehendak Ilahi (إِن شَاءَ اللَّهُ - Insha Allah). Penggunaan frasa ini menunjukkan kerendahan hati Musa yang mendalam setelah teguran sebelumnya. Ia mengakui bahwa kesabaran bukanlah hanya upaya pribadi, melainkan karunia yang harus dimohonkan kepada Allah.
Ia juga berjanji tidak akan menentang perintah Khidir (وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا), menunjukkan komitmen total terhadap adab seorang murid, meskipun ia sadar bahwa ujian kesabaran ini akan sangat berat. Janji ini menjadi kontrak formal antara keduanya, yang jika dilanggar, akan mengakhiri perjanjian belajar tersebut.
Ayat 70: Aturan Dasar Perjalanan
(قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا)
Dia (Khidir) berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang menerangkannya kepadamu.”
Ayat ini menetapkan aturan emas dalam metode pembelajaran Khidir: observasi tanpa interupsi. Syarat فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ (janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun) adalah permintaan untuk mematikan mode analitis dan kritis Musa, dan menggantinya dengan mode penyerahan diri dan pengamatan pasif, sampai guru (Khidir) sendiri yang memulai penjelasan (حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا).
Ini adalah pelajaran tentang disiplin spiritual. Dalam menghadapi fenomena yang melampaui akal, interogasi prematur akan menghalangi pemahaman yang hakiki. Pemahaman sejati seringkali datang setelah proses observasi selesai, dan penjelasan diberikan pada waktu yang tepat. Syarat ini menjadi kunci untuk menguji janji kesabaran yang baru saja diikrarkan Musa.
Implikasi Filosofis Kontrak Ilmu
Kontrak antara Musa dan Khidir bukan hanya tentang tata krama belajar, tetapi juga tentang hierarki ilmu. Khidir menetapkan bahwa Musa harus menanggalkan kerangka syariatnya sesaat dan menerima kerangka pandangan takdir. Ini menuntut Musa untuk sepenuhnya mempercayai Khidir sebagai perwakilan kehendak Ilahi dalam konteks tugas spesifik ini. Hal ini mengajarkan bahwa terdapat batas antara ilmu yang dapat diakses oleh akal (syariat) dan ilmu yang diwahyukan secara langsung (ladunni).
Kesabaran yang dituntut Khidir adalah kesabaran dalam menghadapi paradoks: kesabaran melihat kezaliman (menurut pandangan lahiriah) yang sesungguhnya adalah keadilan (menurut pandangan batiniah). Tanpa kesabaran ini, Musa akan gagal menangkap hikmah takdir yang lebih luas.
Refleksi Mendalam: Dari Tanda hingga Kontrak
Sepuluh ayat ini, dari 61 hingga 70, adalah arsitektur spiritual yang mendefinisikan pencarian ilmu tertinggi. Setiap elemen memiliki makna yang berlipat ganda, menunjukkan bahwa perjalanan Musa adalah perjalanan metaforis bagi setiap hamba Allah yang ingin mencapai tingkatan pemahaman yang lebih dalam.
Konsep Lupa sebagai Fungsi Ilahi
Kelupaan ikan (ayat 61) dan kelupaan Syaitan (ayat 63) adalah dua jenis kelalaian. Kelupaan yang ditimpakan Syaitan bersifat menghalangi, sementara kelupaan yang terjadi pada Musa dan pemudanya berfungsi sebagai penundaan yang disengaja oleh Allah untuk meningkatkan tingkat kesulitan perjalanan, sehingga nilai pencapaian menjadi lebih tinggi. Tanpa berjalan jauh dan merasakan kelelahan, Musa mungkin tidak akan menghargai Khidir atau ilmu yang dibawanya.
Hakikat Ilmu dan Ketidaktahuan (Khubra)
Ayat 68 menekankan bahwa ketidaksabaran adalah hasil langsung dari ketidaktahuan menyeluruh (Khubra). Ini adalah pelajaran bagi semua orang yang mudah menghakimi takdir atau peristiwa. Kita seringkali bereaksi dengan frustrasi atau kemarahan karena kita hanya melihat sepotong kecil dari narasi besar Ilahi. Ketika seseorang mengakui keterbatasan pengetahuannya (bahwa ia tidak memiliki Khubra), barulah ia bisa bersabar menerima ketetapan yang tampak ganjil.
Adab Murid dan Guru
Meskipun Musa adalah Nabi dan Rasul, ia tunduk pada Khidir dalam kapasitasnya sebagai murid yang mencari ilmu spesifik (ilmu ladunni). Ini mengajarkan pentingnya adab (etika) dalam mencari ilmu. Empat adab utama yang ditekankan Musa:
- Kerendahan Hati: Menggunakan gaya bahasa yang sopan ("Bolehkah aku mengikutimu").
- Komitmen: Berjanji untuk bersabar.
- Penyerahan Diri Total: Berjanji tidak akan menentang perintah.
- Ketergantungan pada Allah: Menyertakan
Insha Allah.
Aturan Khidir (ayat 70) tentang larangan bertanya hingga waktu yang ditentukan adalah pelajaran tentang menerima ilmu secara utuh, tanpa memotong proses penyingkapan hikmah. Ilmu ladunni tidak dapat diproses melalui logika deduktif biasa, melainkan melalui penyerahan intuitif dan kepercayaan mutlak.
Peran Penderitaan dan Kelelahan (Nashaban)
Rasa letih yang dialami Musa (nashaban di ayat 62) adalah harga yang harus dibayar untuk mencari ilmu otentik. Perjalanan spiritual sejati selalu disertai kesulitan fisik dan mental. Kelelahan ini membersihkan jiwa dan mempersiapkan hati untuk menerima ilmu yang tidak konvensional dari Khidir. Tanpa penderitaan dalam perjalanan, nilai dari pertemuan di Majma’ul Bahrain akan berkurang.
Implikasi Hukum Universal vs. Individu
Kisah ini sering disalahpahami sebagai lisensi untuk melanggar Syariat. Padahal, Khidir bertindak atas perintah dan ilmu khusus dari Allah, yang tidak berlaku universal. Musa tetap membawa Syariat yang bersifat universal bagi seluruh umatnya. Konflik dalam kisah ini adalah konflik internal antara hukum lahiriah (yang harus ditegakkan) dan hakikat batiniah (yang hanya diketahui oleh Khidir). Bagi umat manusia, Syariat Musa (dan Syariat Muhammad SAW setelahnya) tetap menjadi panduan mutlak. Ilmu Khidir adalah pengecualian yang harus dipahami sebagai pelajaran tentang takdir, bukan sebagai norma perilaku sehari-hari.
Secara keseluruhan, ayat 61-70 Al-Kahfi mengajarkan bahwa ilmu tertinggi menuntut pengorbanan, kerendahan hati yang ekstrem, pengakuan atas keterbatasan diri, dan yang terpenting, kesabaran yang teguh untuk menerima realitas yang melampaui kemampuan akal kita dalam memahami rahasia takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Penutup: Fondasi Hikmah
Ayat 61 hingga 70 dari Surah Al-Kahfi adalah fondasi yang kokoh bagi seluruh kisah Musa dan Khidir. Ayat-ayat ini bukan hanya menceritakan perjumpaan, tetapi juga merumuskan etika pencarian ilmu spiritual yang mendalam. Dari hilangnya ikan sebagai tanda Ilahi, kelelahan sebagai pemicu kesadaran, hingga penetapan kontrak pembelajaran yang menuntut kesabaran total, setiap frasa adalah panduan bagi mereka yang mencari pemahaman tentang sisi tersembunyi dari qada dan qadar.
Kisah ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi sekalipun memiliki batasan ilmu, dan selalu ada dimensi pengetahuan yang lebih tinggi, yang hanya dapat diakses melalui kerendahan hati yang ekstrem dan penyerahan diri total kepada kebijakan Allah yang tersembunyi di balik peristiwa dunia. Kesabaran (صَبْرًا) yang diuji Khidir adalah kunci untuk membuka pintu rahasia takdir. Tanpa kesabaran itu, kita akan selamanya terperangkap dalam penghakiman berdasarkan pandangan lahiriah yang dangkal.
Pelaksanaan janji Musa, dan pelanggarannya yang tak terhindarkan dalam ayat-ayat selanjutnya, hanya mungkin terjadi karena fondasi perjanjian dan peringatan yang diletakkan secara rinci dalam ayat 66 sampai 70 ini. Ini adalah kisah abadi tentang perjuangan manusia melawan keterbatasannya sendiri dalam upaya memahami keagungan hikmah Ilahi.