Surah Al-Kahfi, surah ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang sarat dengan kisah-kisah penuh hikmah yang melintasi dimensi ruang dan waktu. Salah satu kisah paling mendalam, yang menyentuh inti hubungan antara pengetahuan manusiawi, takdir ilahi, dan kerendahan hati, adalah kisah perjumpaan Nabi Musa ‘alaihissalam dengan seorang hamba yang dianugerahi ilmu khusus, yang oleh tradisi Islam dikenal sebagai Al-Khidr. Titik sentral dari narasi monumental ini adalah Al-Kahfi ayat 65, sebuah ayat ringkas namun memuat seluruh kunci filosofis dan teologis dari peristiwa yang mengikutinya.
Ayat ini bukan sekadar keterangan tempat atau waktu; ia adalah deklarasi status spiritual Al-Khidr, mendefinisikan sumber pengetahuannya yang unik, yang disebut sebagai ilmu ladunni. Untuk memahami kedalaman kisah ini, kita harus terlebih dahulu menyelami teks suci itu sendiri dan konteks sebelum dan sesudah ayat krusial ini. Perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Musa, salah satu rasul ulul azmi, adalah perjalanan seorang manusia yang mencari pemahaman di luar batas-batas kenabiannya—sebuah pengingat bahwa bahkan mereka yang paling dimuliakan oleh wahyu pun masih harus tunduk pada kerahasiaan hikmah Ilahi yang lebih tinggi.
Ayat 65 dari Surah Al-Kahfi adalah inti dari pengantar figur misterius tersebut. Setelah Nabi Musa dan muridnya, Yusha bin Nun, berhasil menemukan tempat pertemuan (yang ditandai dengan kembalinya ikan yang telah mati), mereka bertemu dengan sosok yang sangat istimewa.
Terjemahan literal yang diterima secara umum adalah:
"Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (ilmu ladunni)."
Setiap frasa dalam ayat ini sarat makna teologis dan linguistik yang memerlukan analisis mendalam. Frasa ‘’abdun min ‘ibadina’ (seorang hamba di antara hamba-hamba Kami) menempatkan Al-Khidr dalam posisi kerendahan total di hadapan Allah, namun diikuti oleh dua anugerah luar biasa: rahmatan min ‘indina (rahmat dari sisi Kami) dan ‘allamnahu min ladunna ‘ilma (Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami).
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai ayat ini, kita harus membongkar tiga komponen utama yang menentukan esensi Al-Khidr dan peranannya dalam kisah ini:
Pemilihan kata ‘abdun (hamba) sangatlah signifikan. Dalam konteks Islam, gelar tertinggi yang dapat dicapai seseorang adalah menjadi hamba yang murni. Rasulullah ﷺ seringkali merujuk kepada dirinya sebagai ‘Abdullah (Hamba Allah). Dengan menyebut Al-Khidr hanya sebagai 'seorang hamba', Al-Qur'an secara halus menekankan bahwa statusnya—betapapun tingginya—berakar pada ketundukan mutlak kepada Ilahi, bukan pada gelar kenabian (meskipun status kenabian Al-Khidr adalah perdebatan abadi di kalangan ulama, yang akan kita bahas lebih lanjut).
Penghambaan ini adalah prasyarat spiritual untuk menerima ilmu yang tidak konvensional. Nabi Musa, sebagai Nabi yang memiliki wahyu syariat, mewakili ilmu yang bersifat eksternal (eksoterik), yang harus disampaikan dan dijelaskan kepada umat. Sementara Al-Khidr, sebagai hamba yang telah mencapai derajat tertentu, mewakili ilmu internal (esoterik) yang diterima langsung tanpa perantaraan wahyu syariat umum.
Rahmat dalam konteks ini tidak sekadar berarti belas kasih. Dalam bahasa Al-Qur'an, rahmat sering kali merujuk pada segala bentuk kebaikan ilahi, termasuk rezeki, petunjuk, dan perlindungan. Rahmat yang datang min ‘indina (dari sisi Kami) menyiratkan bahwa anugerah ini adalah langsung dari sumber Ilahi, tidak melalui sebab-sebab duniawi yang biasa. Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibn Kathir cenderung melihat rahmat ini sebagai perlindungan dan umur panjang, atau bahkan status kewalian yang tinggi. Rahmat ini adalah dasar etika dan spiritual Al-Khidr; tindakannya (yang akan dilihat Musa sebagai kejahatan) pada dasarnya berakar pada belas kasih yang tersembunyi, yang tidak terlihat oleh mata biasa.
Ini adalah frasa yang paling penting dan paling sering dibahas. Kata kunci di sini adalah Ladunna (dari sisi Kami, dari hadirat Kami). Inilah yang melahirkan istilah teologis terkenal: Ilmu Ladunni. Ilmu Ladunni adalah pengetahuan yang diperoleh bukan melalui proses belajar, akal, atau pengalaman biasa, melainkan melalui inspirasi langsung, ilham, atau ilham ilahi yang ditiupkan ke dalam hati seorang hamba pilihan.
Kata ‘ilma (ilmu) yang digunakan di sini menekankan bahwa pengetahuan ini bersifat substantif dan mendalam. Ini bukan sekadar tebakan atau firasat, tetapi pemahaman yang pasti mengenai hakikat segala sesuatu dan sebab-musabab takdir yang tersembunyi. Perbedaan antara pengetahuan Nabi Musa (yang diperoleh melalui wahyu dan hukum syariat) dan pengetahuan Al-Khidr (yang diperoleh melalui ilham takdir) adalah poros utama perdebatan ini.
Tafsir Razi sangat menekankan bahwa penggunaan kata ‘Ladunna’ menunjukkan bahwa ilmu ini sangatlah eksklusif dan terpisah dari ilmu yang diajarkan kepada nabi-nabi untuk syariat. Ini adalah ilmu yang berkaitan dengan rahasia takdir dan manajemen alam semesta yang tersembunyi dari pandangan umum.
Ilmu Ladunni: Pengetahuan yang datang langsung dari hadirat Ilahi.
Kisah ini bermula ketika Nabi Musa ditanya, "Siapakah orang yang paling berilmu di muka bumi?" Dengan keyakinan yang mungkin wajar bagi seorang nabi yang menerima wahyu langsung dari Allah, Musa menjawab, "Saya." Allah kemudian menegurnya, memberitahu bahwa ada seorang hamba Allah di Majma’ al-Bahrain (tempat bertemunya dua lautan) yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki Musa.
Perintah untuk mencari Al-Khidr adalah pelajaran kerendahan hati yang sangat mendasar bagi Musa dan bagi seluruh umat manusia. Ini mengajarkan bahwa pengetahuan itu berlapis-lapis. Ada ilmu syariat (hukum), ilmu tauhid (keimanan), dan ada ilmu hikmah takdir (ilmu ladunni) yang hanya ditampakkan kepada segelintir hamba pilihan. Pencarian Musa, yang diceritakan dalam ayat-ayat sebelumnya, melibatkan kesabaran, perjalanan yang panjang, dan ujian kehilangan tanda (ikan yang hidup kembali). Semua kesulitan ini adalah persiapan spiritual agar Musa siap menerima pelajaran dari Al-Khidr.
Penting untuk dipahami bahwa perjalanan ini bukanlah tentang membuktikan Musa kurang berilmu. Sebaliknya, ini adalah tentang memperluas cakrawala ilmunya, menunjukkan kepadanya bahwa di samping hukum dan perintah yang harus ia sampaikan, terdapat juga dimensi rahasia di mana tindakan yang tampak zalim atau salah menurut syariat dapat sepenuhnya dibenarkan di mata takdir Ilahi. Ini adalah inti dari Al-Kahfi ayat 65: Khidr bukan hanya memiliki ilmu yang berbeda, ia memiliki perspektif moral dan kausalitas yang sepenuhnya berbeda, yang dibentuk oleh rahmat dan ilmu langsung dari Allah.
Karena Al-Kahfi ayat 65 hanya menyebutnya sebagai ‘abdun min ‘ibadina (seorang hamba di antara hamba-hamba Kami), status Al-Khidr telah menjadi sumber perdebatan sengit di kalangan ulama selama berabad-abad. Perdebatan ini memiliki implikasi besar terhadap hukum syariat dan konsep kewalian dalam Islam.
Banyak ulama klasik, termasuk beberapa dari mazhab Syafi'i dan Hanbali, cenderung berpendapat bahwa Al-Khidr adalah seorang nabi (Nabi Khidr). Argumen utama untuk pandangan ini adalah:
Pendapat ini memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan Al-Khidr, menempatkannya di bawah payung otoritas Ilahi yang mutlak, yang diwakili oleh kenabian.
Sebagian ulama, khususnya dalam tradisi sufi dan beberapa penafsir modern, berpendapat bahwa Al-Khidr adalah seorang wali (kekasih Allah) yang sangat agung. Argumen ini seringkali menekankan pada teks Al-Kahfi ayat 65 itu sendiri, yang secara eksplisit tidak menggunakan kata ‘Nabi’ atau ‘Rasul’ tetapi hanya ‘hamba’ (‘abdun).
Jika Al-Khidr adalah wali, maka kisah ini menjadi dasar teologis yang kuat bagi konsep Karamat al-Awliya (karamah para wali) dan keberadaan ilmu esoterik yang diberikan kepada mereka yang mencapai kemurnian spiritual tertentu. Dalam pandangan ini, perjumpaan Musa adalah demonstrasi bahwa ilmu ilahi memiliki dua jalur utama: jalur syariat yang dipegang Musa, dan jalur hakikat yang dipegang Al-Khidr.
Meskipun perdebatan ini tetap terbuka, konsensus umum cenderung mengakui bahwa tingkat ilmu dan otoritas yang dimiliki oleh Khidr, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Kahfi ayat 65, menempatkannya di level yang sangat tinggi, bahkan jika ia bukan seorang nabi secara teknis, ia bertindak atas perintah ilahi yang setara dengan wahyu khusus.
Konsep Ilmu Ladunni, yang secara eksplisit dideklarasikan dalam ayat 65, adalah salah satu sumbu metafisika Islam. Jika ilmu biasa diperoleh melalui panca indra, akal, dan transmisi (belajar dari guru atau buku), Ilmu Ladunni adalah ilmu yang bersifat intuitif dan langsung. Ia bypass proses kognitif normal.
Ilmu yang dimiliki Al-Khidr adalah pengetahuan mengenai Takdir dan Kausalitas Tersembunyi. Ia melihat ujung dari sebuah rantai peristiwa sebelum rantai itu dimulai. Ketika ia merusak perahu, ia melihat masa depan di mana perahu itu akan dirampas oleh raja zalim jika tetap utuh. Ketika ia membunuh anak itu, ia melihat takdir spiritual anak tersebut yang akan membawa kesesatan besar bagi kedua orang tuanya yang saleh. Pengetahuan ini adalah anugerah yang sangat berat dan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kesabaran dan kejernihan hati yang luar biasa, sejalan dengan rahmatan min ‘indina yang juga disebutkan dalam ayat 65.
Ibnu Arabi, seorang sufi besar, membedakan ilmu Ladunni menjadi tiga tingkatan, namun intinya selalu sama: ilmu ini adalah manifestasi dari al-Haqq (Kebenaran Mutlak) dalam hati seorang hamba. Tanpa ilmu ini, tindakan Al-Khidr mustahil dapat dipertanggungjawabkan secara moral atau hukum. Ilmu Ladunni menjadi pembenar absolut bagi tindakannya, sebuah pembenar yang hanya diketahui oleh Khidr dan Allah, hingga akhirnya ia mengungkapkannya kepada Musa.
Pelajaran terpenting dari ini, yang berakar pada deklarasi Al-Kahfi ayat 65, adalah bahwa Hukum Syariat (yang diwakili Musa) harus tunduk pada Realitas Takdir (yang diwakili Khidr). Ini bukan berarti syariat dapat dilanggar sesuka hati, tetapi bahwa di mata Tuhan, terdapat dimensi hikmah yang melampaui batas pemahaman hukum lahiriah manusia.
Seluruh kisah, yang dipicu oleh perjalanan Musa mencari Khidr, adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Musa, meskipun seorang Nabi agung, harus bersabar dan mengakui adanya sumber ilmu di luar dirinya. Perintah Khidr kepada Musa, "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku," adalah pengakuan bahwa ilmu Ladunni membutuhkan kesabaran yang melampaui nalar. Kerendahan hati Musa untuk tunduk pada kondisi belajar dari Khidr, meskipun Khidr secara formal mungkin bukan Nabi, adalah puncak dari pencariannya.
Al-Kahfi ayat 65 menyingkap tirai ini: Musa bertemu dengan seorang hamba yang bukan hanya pandai, tetapi yang diberikan Rahmat dan Ilmu langsung dari Tuhan. Pengakuan ini wajib ditanamkan di hati setiap pencari ilmu: bahwa betapapun tingginya ilmu yang kita peroleh melalui usaha keras, akan selalu ada ‘ilmu dari sisi Kami’ (min ladunna ‘ilma) yang berada di luar jangkauan upaya manusia biasa.
Pertemuan dua dimensi ilmu di Majma’ al-Bahrain.
Kisah ini tidak akan lengkap tanpa menghubungkan deklarasi dalam Al-Kahfi ayat 65 dengan tiga tindakan kontroversial yang dilakukan Al-Khidr. Ayat 65 adalah premis; tiga tindakan itu adalah bukti empiris dari Ilmu Ladunni dan Rahmat Ilahi yang Khidr miliki.
Tindakan pertama Al-Khidr adalah merusak perahu milik sekelompok orang miskin. Dari sudut pandang Musa (Syariat), ini adalah perusakan properti dan tindakan zalim terhadap orang yang membutuhkan. Namun, pembenaran Khidr, yang diperoleh melalui Ilmu Ladunni, adalah bahwa di depan mereka ada seorang raja zalim yang suka merampas setiap perahu yang utuh. Dengan merusak perahu itu, Khidr menyelamatkan mereka dari kerampasan total. Kerusakan kecil mencegah kerugian besar.
Kisah perahu ini menunjukkan bagaimana Rahmatan Min ‘Indina (Rahmat dari sisi Kami) beroperasi. Rahmat Allah terkadang termanifestasi dalam bentuk kesulitan atau kehilangan yang sementara, demi mencegah bencana yang lebih besar di masa depan. Khidr bertindak bukan berdasarkan hukum manusia, tetapi berdasarkan hukum pertahanan takdir.
Tindakan kedua adalah yang paling mengejutkan dan secara hukum paling tidak dapat diterima: pembunuhan seorang anak muda. Reaksi Musa adalah yang paling keras di sini. Al-Khidr menjelaskan bahwa anak itu, jika dibiarkan hidup, akan menjadi sumber kekafiran dan kedurhakaan besar bagi kedua orang tuanya yang saleh. Al-Khidr tidak hanya membunuh anak itu; ia memastikan bahwa Allah akan menggantikannya dengan anak yang lebih baik, lebih suci, dan lebih berbakti.
Ini adalah manifestasi paling ekstrem dari Min Ladunna ‘Ilma (Ilmu dari sisi Kami). Ilmu Khidr memungkinkan dia untuk melihat potensi spiritual dan kerusakan masa depan yang tersembunyi. Tindakan ini tidak bisa ditiru atau dijadikan hukum; ia adalah keistimewaan yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang dianugerahi pengetahuan mutlak tentang jiwa dan takdir. Ini mengajarkan bahwa kadang-kadang, demi menjaga kesucian spiritual orang saleh, campur tangan takdir yang drastis diperlukan.
Tindakan ketiga adalah memperbaiki dinding yang hampir roboh di sebuah desa di mana penduduknya menolak memberi mereka makan. Musa mempertanyakan mengapa Khidr melakukan kebaikan tanpa bayaran di tempat yang menolak keramahan. Khidr menjelaskan bahwa di bawah dinding itu tersembunyi harta milik dua anak yatim, dan ayah mereka adalah orang yang saleh. Allah berkehendak agar harta itu tetap aman hingga mereka dewasa.
Kisah dinding ini menyatukan konsep rahmat dan ilmu. Tindakan memperbaiki dinding, meskipun tampak sepele, adalah manifestasi dari pemeliharaan Ilahi (Rahmat) yang bekerja melalui sebab-sebab yang tidak biasa, dan didorong oleh Ilmu Ladunni yang mengetahui keberadaan harta tersembunyi serta kesalehan ayah anak-anak yatim itu. Ini menunjukkan bahwa kesalehan seseorang (ayah mereka) dapat memberikan manfaat perlindungan bagi keturunannya, bahkan setelah kematiannya.
Dalam tradisi tasawuf, kisah Musa dan Khidr, yang diawali dengan deklarasi status Khidr di ayat 65, berfungsi sebagai metafora utama untuk jalan spiritual (tariqah). Musa mewakili nafs al-ammarah bis-su’ (jiwa yang cenderung memerintah kepada keburukan) atau setidaknya nafs al-lawwamah (jiwa yang mencela), yang selalu cepat menghakimi berdasarkan aturan lahiriah. Khidr mewakili nafs al-mutmainnah (jiwa yang tenang) atau bahkan tingkat yang lebih tinggi, yang tindakannya sepenuhnya selaras dengan kehendak Ilahi.
Pencarian Musa terhadap Khidr adalah pencarian spiritual setiap salik (penempuh jalan sufi) terhadap mursyid (guru spiritual) yang dapat membimbing mereka menuju hakikat. Seorang mursyid seringkali bertindak berdasarkan ilmu yang tidak dapat dijelaskan secara rasional (Ilmu Ladunni), dan murid (salik) dituntut untuk bersabar dan menyerahkan akal mereka kepada hikmah sang guru, sebagaimana Musa dituntut Khidr untuk tidak bertanya sebelum waktunya.
Deklarasi "Kami telah ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami" (Al-Kahfi 18:65) menjadi dasar filosofis untuk penerimaan pengetahuan yang melampaui logika duniawi dalam bimbingan spiritual. Kesabaran adalah mata uang utama dalam transaksi spiritual ini.
Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun lalu, pelajaran yang terkandung dalam Al-Kahfi ayat 65 relevan secara mendalam dalam kehidupan modern yang serba rasional dan terburu-buru menghakimi.
Di era informasi di mana setiap orang merasa memiliki akses kepada "kebenaran" melalui internet, kisah ini mengajarkan pentingnya mengakui batas-batas pengetahuan kita. Nabi Musa, yang memiliki akses ke wahyu Tuhannya, tetap harus mengakui adanya dimensi ilmu yang tidak ia miliki. Ini adalah seruan untuk kerendahan hati intelektual. Ketika kita menghadapi kemalangan atau peristiwa yang tampak tidak adil (seperti perahu yang dirusak atau kematian yang tak terduga), ayat ini mengingatkan kita bahwa ada dimensi Rahmat dan Ilmu Ilahi yang jauh melampaui apa yang dapat kita pahami melalui statistik, data, atau hukum lahiriah.
Peristiwa-peristiwa yang kita anggap buruk (seperti penyakit atau kegagalan bisnis) mungkin berfungsi sebagai 'kerusakan perahu' yang mencegah 'perampasan total' yang lebih besar dalam takdir kita. Perspektif ini berakar pada pemahaman bahwa semua tindakan, baik yang menyakitkan atau menyenangkan, diatur oleh Rahmat (rahmatan min ‘indina) dan Ilmu rahasia (min ladunna ‘ilma).
Masyarakat modern cenderung menilai segala sesuatu berdasarkan hasil yang instan dan terlihat. Khidr, berkat Ilmu Ladunni-nya, menilai berdasarkan konsekuensi spiritual jangka panjang. Dia menyelamatkan orang tua yang saleh dari kesesatan rohani. Pelajaran ini mendesak kita untuk menilai tindakan bukan hanya berdasarkan keuntungan atau kerugian materi, tetapi berdasarkan implikasi spiritual dan moralnya di akhirat.
Dengan demikian, Al-Kahfi 18:65 adalah sebuah gerbang menuju pemahaman bahwa realitas tidak hanya terdiri dari apa yang terlihat. Di balik layar kehidupan, ada mekanisme takdir yang beroperasi berdasarkan hukum yang lebih tinggi, yang hanya diketahui oleh ‘abdun min ‘ibadina yang telah dianugerahi rahmat dan ilmu dari sisi-Nya.
Untuk melengkapi pembahasan tentang al kahfi ayat 65, perlu ditegaskan bahwa Ilmu Ladunni yang diberikan kepada Al-Khidr tidak bertujuan untuk membatalkan Syariat Nabi Musa. Sebaliknya, ia melengkapi dan memperdalam pemahaman Syariat. Syariat mengatur perilaku lahiriah dan interaksi sosial. Ilmu Ladunni mengatur pemahaman mendalam tentang rahasia takdir yang mempengaruhi pelaksanaan Syariat.
Nabi Musa mewakili hukum yang harus diketahui oleh publik, hukum yang stabil dan dapat diterapkan secara universal. Al-Khidr mewakili pengetahuan esoterik yang bersifat situasional, yang hanya relevan bagi individu atau peristiwa tertentu, dan yang tidak boleh dijadikan patokan hukum umum. Jika Ilmu Ladunni Khidr dijadikan hukum umum, maka setiap orang akan merasa berhak merusak properti atau membunuh dengan alasan 'telah diilhami oleh takdir', yang akan membawa kekacauan besar dalam tatanan masyarakat. Oleh karena itu, Musa tetaplah Rasul yang wajib ditaati, sementara Khidr adalah pengecualian yang harus dipelajari hikmahnya, bukan dicontoh tindakannya secara lahiriah.
Ayat 65 menjamin bahwa ilmu Khidr berotoritas karena ia datang min ladunna (dari sisi Kami). Otoritas ini adalah hak prerogatif Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang terpilih, bukan karena usaha kerasnya, tetapi karena Rahmat Ilahi yang mendahului ilmu tersebut: ātaināhu rahmatan min ‘indinā.
Rahmat yang diberikan kepada Al-Khidr, sebagaimana disebutkan dalam Al-Kahfi ayat 65, berfungsi sebagai latar belakang moral bagi semua tindakannya. Rahmat ini mengindikasikan bahwa motivasi Khidr selalu bersifat altruistik dan restoratif, meskipun metode yang digunakan tampak kejam atau merusak. Seringkali, manusia melihat rahmat hanya dalam bentuk kemudahan dan kebahagiaan. Kisah ini mengajarkan pandangan yang lebih luas mengenai rahmat.
Ketika Khidr merusak perahu, rahmat Allah hadir dalam bentuk perlindungan dari musibah yang lebih besar. Ketika ia membunuh anak itu, rahmat Allah hadir dalam bentuk penyelamatan keimanan bagi orang tua yang saleh. Ini adalah rahmat yang bekerja melalui jalur takdir yang tersembunyi. Bagi orang yang beriman, memahami Rahmatan Min ‘Indina berarti menerima bahwa apa pun yang terjadi, di baliknya terdapat niat baik Ilahi yang mungkin tidak terjangkau oleh akal kita yang terbatas.
Jika Khidr tidak memiliki rahmat ini, mustahil baginya untuk menjalankan perintah yang begitu berat secara emosional dan moral. Rahmat inilah yang memurnikan niatnya dan membebaskannya dari belenggu keraguan manusiawi, memungkinkannya bertindak sebagai agen takdir Ilahi.
Meskipun fokus utama dalam pertemuan ini adalah Musa dan Al-Khidr, peran Yusha bin Nun, murid yang menemani Musa, juga penting untuk dipahami. Yusha adalah saksi bisu, orang yang berada di antara dua ilmu besar. Dialah yang lupa memberi tahu Musa tentang ikan yang hidup kembali, yang merupakan tanda pertemuan yang telah ditetapkan Allah. Kelupaan ini, meskipun tampak sebagai kesalahan kecil, adalah bagian penting dari skenario takdir Ilahi.
Kehadiran Yusha sebagai saksi menunjukkan bahwa ilmu yang didapatkan Musa bukanlah untuk dirinya sendiri semata, tetapi juga untuk generasi berikutnya. Yusha kelak menjadi penerus Musa dalam memimpin Bani Israil. Dia menyaksikan secara langsung bahwa pengetahuan kenabian (yang diwakili Musa) harus dilengkapi dengan kerendahan hati dan pengakuan akan adanya Hikmah tersembunyi (yang diwakili oleh Khidr, berdasarkan ayat 65). Yusha adalah penghubung antara ilmu yang bersifat umum dan ilmu yang bersifat sangat khusus.
Dalam konteks modern, Yusha mewakili orang awam atau murid yang menyaksikan perdebatan antara rasionalitas dan spiritualitas. Ia belajar bahwa kerendahan hati dan kepatuhan dalam proses pencarian ilmu adalah prasyarat untuk pertumbuhan spiritual, sebuah pelajaran yang diperkuat oleh otoritas Khidr yang dideklarasikan oleh Allah di ayat 65.
Surah Al-Kahfi ayat 65 bukan hanya sebuah pengantar naratif; ia adalah landasan teologis yang menopang seluruh kisah Nabi Musa dan Al-Khidr. Ayat ini secara definitif menetapkan Al-Khidr sebagai seorang hamba pilihan yang dibekali dengan dua anugerah tertinggi: Rahmat langsung (rahmatan min ‘indina) dan Ilmu Ladunni (min ladunna ‘ilma).
Kisah yang mengikuti ayat ini menjadi demonstrasi bahwa di bawah permukaan hukum dan logika yang terlihat, terdapat dimensi takdir yang dipimpin oleh hikmah dan kasih sayang Ilahi yang tak terbatas. Pelajaran yang paling fundamental adalah bagi para pencari ilmu: bahwa betapapun luasnya pengetahuan yang kita miliki, kita harus selalu bersikap rendah hati dan terbuka terhadap kemungkinan adanya kebenaran dan hikmah yang melampaui kemampuan nalar kita. Kehidupan adalah rangkaian takdir, dan kita harus percaya bahwa di balik setiap 'perusakan perahu' dan 'kehilangan' terdapat Rahmat Allah yang sedang bekerja, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada hamba-Nya, Al-Khidr, ilmu dari sisi-Nya.
Deklarasi dalam Al-Kahfi ayat 65 abadi sebagai pengingat akan keagungan ilmu Allah dan keharusan kerendahan hati spiritual bagi semua manusia.