Surah Al Kahfi, sebuah surah yang penuh dengan pelajaran agung mengenai fitnah, kesabaran, dan kekuasaan ilahi, menyajikan kisah-kisah luar biasa, salah satunya adalah kisah Dzulqarnain. Di antara ayat-ayat yang menggarisbawahi kebesaran Dzulqarnain, Al Kahfi ayat 84 berdiri sebagai fondasi yang menjelaskan mengapa ia mampu menempuh perjalanan besar dan melaksanakan proyek-proyek monumental di seluruh penjuru bumi.
Terjemahan dari ayat yang mulia ini adalah: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." (QS. Al Kahfi: 84). Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah pernyataan teologis tentang sumber utama setiap pencapaian manusia: anugerah dan dukungan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Analisis terhadap ayat 84 ini memerlukan penyelaman mendalam terhadap dua konsep kunci: ‘Tamkin’ (Kekuasaan/Penetapan) dan ‘Sababa’ (Jalan/Sarana).
Ayat 84 dimulai dengan firman Allah, "إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ" (Innaa makkannaa lahu fil-ardh) – Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di muka bumi. Kata kunci di sini adalah مَكَّنَّا (Makkanna), yang berasal dari akar kata *makn* (tempat, posisi). Dalam konteks ini, ia berarti menempatkan seseorang dalam posisi yang kokoh, memberinya otoritas, stabilitas, dan kekuatan yang tak tergoyahkan. Ini adalah penetapan kekuasaan yang bersifat ilahiah, bukan sekadar hasil dari upaya militer atau politik semata.
Kekuasaan yang diberikan kepada Dzulqarnain melalui konsep *Tamkin* ini memiliki beberapa dimensi yang mendalam. Pertama, ini adalah Kekuasaan Politik; ia memerintah wilayah yang luas, memiliki tentara yang kuat, dan diakui sebagai penguasa yang sah. Kedua, ini adalah Kekuasaan Ekonomi; ia memiliki akses terhadap sumber daya yang memungkinkannya membiayai perjalanan dan proyek besar, seperti pembangunan tembok penahan Ya’juj dan Ma’juj. Ketiga, yang paling penting, ini adalah Kekuasaan Moral dan Spiritual; Allah memberinya kebijaksanaan untuk menggunakan kekuasaannya secara adil dan sesuai syariat, membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebagaimana terlihat dalam sikapnya terhadap kaum yang zalim dan kaum yang berbuat baik.
Pemberian kekuasaan ini menunjukkan bahwa meskipun Dzulqarnain adalah seorang raja atau pemimpin yang kuat, sumber kekuatannya adalah murni karunia Allah. Ini adalah pelajaran penting bagi setiap pemimpin di segala zaman, bahwa kekuasaan sejati tidak berasal dari jabatan atau harta, melainkan dari penetapan dan izin Sang Pencipta. Tanpa *Tamkin* ilahi, upaya manusia akan sia-sia. Stabilitas pemerintahannya, dominasi militernya, dan kemampuan logistiknya semuanya merupakan buah dari penetapan ilahi yang disebutkan dalam ayat 84 ini.
Lebih jauh, para mufasir menekankan bahwa *Tamkin* tidak hanya merujuk pada kekuasaan fisik, tetapi juga kemampuan mental dan spiritual untuk memikul tanggung jawab besar. Seorang raja yang memiliki kekuasaan besar namun hati yang lemah akan cepat jatuh dalam tirani. Namun, Dzulqarnain diberikan kekuatan batin untuk tetap rendah hati dan adil, meski diberikan dominasi absolut di muka bumi. Kekuatan *Tamkin* ini mencakup kemampuan untuk melakukan perjalanan ke timur dan barat, menaklukkan rintangan geografis, dan mengorganisir masyarakat yang berbeda-beda budayanya.
Bagian kedua dari ayat 84 adalah intisari dari kisah Dzulqarnain: "وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا" (wa aataynaahu min kulli shayin sababa) – dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu. Kata kunci di sini adalah سَبَبًا (Sababa). Secara harfiah, *sabab* berarti tali, penghubung, atau jalan menuju suatu tujuan.
Para ulama tafsir telah menguraikan *Sababa* sebagai anugerah yang multidimensional. Ini bukan hanya satu jenis alat, tetapi semua jenis sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. *Sababa* meliputi:
Konsep bahwa Dzulqarnain diberikan *sababa* "min kulli shayin" (dari segala sesuatu) menunjukkan kelengkapan dan kesempurnaan anugerah tersebut. Tidak ada satu pun tujuan yang ingin ia capai di dunia, yang berkaitan dengan urusan pemerintahan atau keadilan, kecuali Allah telah menyediakan jalan atau sarana untuk mewujudkannya. Keberadaan *sababa* ini menjelaskan mengapa, dalam ayat-ayat berikutnya, ia mampu mencapai tempat terbitnya matahari dan tempat terbenamnya matahari, dua ekstrem geografis di dunia yang dikenalnya saat itu.
Yang menarik dari penekanan pada *sababa* adalah penegasan bahwa kekuasaan ilahi (Tamkin) tidak meniadakan perlunya usaha manusia. Dzulqarnain adalah figur yang mengajarkan bahwa anugerah Allah harus disambut dengan perencanaan dan pelaksanaan yang maksimal. *Sababa* adalah jembatan antara karunia Allah dan ikhtiar manusia. Ia tidak hanya diberi kekuasaan, tetapi juga diberi cara bagaimana menggunakan kekuasaan itu secara efektif dan bertanggung jawab. Hal ini menolak pandangan fatalisme yang pasif; meskipun kekuasaan datang dari Allah, pengelolaannya membutuhkan sarana, usaha, dan ilmu pengetahuan yang aktif dicari dan digunakan.
Ayat 84 berfungsi sebagai premis utama yang menjelaskan keberhasilan tiga ekspedisi besar Dzulqarnain yang diuraikan dalam surah Al Kahfi. Tanpa kekuasaan dan sarana (Tamkin dan Sababa), perjalanan ini mustahil dilaksanakan, mengingat tantangan geografis, politik, dan logistik pada masanya.
Dzulqarnain melakukan perjalanan menuju lokasi yang dipersepsikan sebagai tempat matahari terbenam (QS. 18:86). Untuk perjalanan ini, *sababa* yang ia perlukan adalah navigasi dan perbekalan laut yang mumpuni, serta kemampuan untuk berinteraksi dengan komunitas yang ia temui di sana. Kekuasaan (*Tamkin*) diwujudkan saat Allah memberinya otoritas untuk memutuskan nasib kaum tersebut—apakah ia akan menyiksa mereka yang zalim atau memperlakukan dengan baik mereka yang beriman dan beramal saleh. *Sababa* dalam konteks ini adalah kebijaksanaan hukum dan kemampuan militer untuk menegakkan putusannya.
Dalam perjalanan menuju tempat terbitnya matahari (QS. 18:90), Dzulqarnain bertemu dengan kaum yang tidak memiliki pelindung dari panas matahari. Di sini, *sababa* yang dominan adalah adaptasi logistik terhadap lingkungan ekstrem dan kepekaan sosial untuk memahami kondisi hidup mereka. Kekuasaannya digunakan untuk tidak mengeksploitasi kaum yang lemah, tetapi untuk meneruskan perjalanannya dengan damai setelah memastikan keadilan ditegakkan, menunjukkan bahwa sarana yang diberikan Allah tidak harus selalu berupa pedang, tetapi bisa berupa kesabaran dan empati.
Puncak dari penggunaan *Tamkin* dan *Sababa* adalah ketika Dzulqarnain tiba di antara dua bukit dan diminta bantuan oleh kaum yang terancam oleh Ya’juj dan Ma’juj (QS. 18:93-96). Dalam proyek raksasa pembangunan tembok ini, *sababa* benar-benar terlihat dalam detail teknisnya:
Ayat 84 merupakan justifikasi mengapa Dzulqarnain memiliki pengetahuan teknik dan sumber daya untuk melakukan hal tersebut—semuanya disediakan melalui *sababa* ilahi.
Kisah Dzulqarnain dalam Al Kahfi ayat 84 memberikan cetak biru bagi kepemimpinan ideal dalam Islam. Ia bukan seorang nabi, namun ia adalah pemimpin yang memiliki *Tamkin* (kekuasaan yang diakui dan diteguhkan Allah) dan *Sababa* (kemampuan teknis dan moral). Kualitas kepemimpinannya adalah cerminan dari pemanfaatan yang sempurna terhadap sarana yang telah diberikan.
Kekuasaan (*Tamkin*) tanpa sarana untuk menegakkan keadilan (*Sababa*) akan sia-sia. Begitu pula sebaliknya, memiliki sarana tanpa kekuasaan untuk melaksanakannya akan menjadi impoten. Dzulqarnain berhasil menggabungkan keduanya. Ketika ia diberi pilihan untuk menghukum atau berbuat baik kepada kaum yang ia temui, ia menggunakan *Sababa* berupa kebijaksanaan untuk memilah; ia menghukum yang zalim, dan ia menjanjikan perlakuan yang baik kepada mereka yang beriman. Ini adalah demonstrasi bahwa sarana terbesar yang diberikan kepada pemimpin adalah keadilan yang diterapkan dengan ilmu.
Fokus pada *sababa* juga mengajarkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk mencari dan menguasai segala macam sarana kemajuan. Jika Dzulqarnain di masa lalu diberikan *sababa* berupa ilmu metalurgi dan strategi perang, maka umat Islam masa kini harus mencari *sababa* dalam ilmu pengetahuan modern, teknologi, ekonomi digital, dan manajemen global. Mencari dan menguasai *sababa* adalah bagian integral dari iman, karena hal itu merupakan prasyarat untuk menegakkan kekuasaan dan keadilan di muka bumi.
Representasi visual dari kekuasaan yang ditetapkan (lingkaran luar) dan jalan/sarana (garis-garis Sababa) yang diberikan oleh Ilahi (pusat kuning).
Di balik narasi historis dan logistik, Al Kahfi ayat 84 memberikan konsekuensi spiritual yang mendalam. Ayat ini menekankan konsep *tawakkul* (berserah diri) yang aktif. Dzulqarnain berserah diri kepada Allah (mengakui bahwa kekuasaan datang dari-Nya), namun ia tidak pasif; ia secara aktif menggunakan setiap *sababa* yang diberikan kepadanya.
Ayat ini mengajarkan bahwa sarana atau kekayaan (baik berupa ilmu, harta, maupun pengaruh) yang kita miliki adalah pinjaman dari Allah. Dzulqarnain, setelah menyelesaikan pembangunan tembok besar, dengan rendah hati menyatakan: “Ini adalah rahmat dari Tuhanku” (QS. 18:98). Hal ini memastikan bahwa penggunaan *sababa* harus dilandasi oleh kesadaran bahwa ia adalah karunia, bukan hasil kecerdasan pribadi semata.
Pelajaran etis ini relevan dalam konteks modern. Ketika seorang ilmuwan menemukan terobosan atau seorang pengusaha mencapai kekayaan, ayat 84 mengingatkan bahwa sarana (ilmu, modal, peluang) adalah pemberian. Jika sarana tersebut digunakan untuk kezaliman atau kesombongan, maka anugerah *Tamkin* dan *Sababa* tersebut akan dicabut.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Al Kahfi ayat 84, kita harus terus menggali interpretasi ulama mengenai keluasan frasa "min kulli shayin sababa" (jalan untuk mencapai segala sesuatu). Frasa 'segala sesuatu' di sini diartikan bukan sebagai pengetahuan absolut atau kekuasaan mutlak atas alam semesta (karena hanya milik Allah), melainkan segala sesuatu yang diperlukan untuk tugas dan misi yang diberikan kepadanya oleh Allah.
Para mufasir modern sering memperluas konsep *sababa* ke ranah non-materi. Misalnya, *sababa* bisa berarti ketenangan batin (sakinah) saat menghadapi krisis, atau kemampuan diplomasi untuk meredam konflik tanpa harus menggunakan kekuatan militer. Kekuatan karisma yang dimiliki oleh Dzulqarnain, yang membuatnya dihormati oleh berbagai bangsa, juga termasuk dalam kategori *sababa* spiritual dan emosional.
Kisah ini menekankan bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya diukur dari jumlah wilayah yang ia kuasai, tetapi dari efektivitas penggunaan sarana untuk menegakkan kebaikan. Dzulqarnain menggunakan sarana-sarana yang diberikan kepadanya untuk melindungi masyarakat yang lemah dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj. Ini adalah tujuan tertinggi dari setiap kekuasaan ilahi: menjadi pelayan keadilan, bukan tiran.
Dalam dunia kontemporer, penafsiran *sababa* harus mencakup penguasaan teknologi komunikasi, pembangunan infrastruktur pendidikan yang kuat, dan pengembangan sistem kesehatan yang adil. Jika kita ingin mencapai keadilan dan kesejahteraan, kita harus menguasai *sababa* modern tersebut. Ayat 84 memberikan dorongan teologis bagi umat Islam untuk menjadi pemimpin inovasi dan pembangunan, karena kita telah dijamin bahwa jalan (*sababa*) untuk mencapai tujuan baik telah tersedia, asalkan kita mau mencari dan menggunakannya.
Setiap penemuan ilmiah, setiap kemajuan dalam manajemen publik, setiap peningkatan efisiensi logistik adalah bagian dari *sababa* yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia secara umum. Dzulqarnain adalah contoh konkret bagaimana seseorang yang diberkahi secara khusus oleh Allah menggunakan sarana ini untuk kemaslahatan umat manusia.
Untuk memahami sepenuhnya kekayaan makna dalam Al Kahfi ayat 84, kita perlu melihat bagaimana ulama terdahulu dan kontemporer telah menafsirkan hubungan simbiotik antara *Tamkin* dan *Sababa*. Ayat ini adalah inti naratif yang memungkinkan segala aksi heroik Dzulqarnain terjadi, menjadikannya bukan sekadar cerita petualangan, tetapi sebuah studi kasus tentang pemerintahan yang ideal.
Meskipun Dzulqarnain diberikan kekuasaan yang besar (*Tamkin*), para ulama sepakat bahwa kekuasaan itu sendiri adalah ujian terbesar. Dalam konteks ayat 84, pemberian kekuasaan adalah anugerah, tetapi bagaimana ia menggunakannya—seperti yang ditunjukkan dalam pertemuannya dengan berbagai kaum—adalah cerminan dari keberhasilannya dalam ujian tersebut. *Sababa* yang ia miliki tidak digunakan untuk menumpuk harta atau memaksakan kehendak, tetapi untuk melayani dan membangun.
Konsep Tamkin selalu datang dengan tanggung jawab moral yang sangat berat. Dzulqarnain berhasil karena ia mengerti bahwa kekuasaan mutlak hanya milik Allah. Dengan demikian, kekuasaannya di bumi haruslah mencerminkan sifat-sifat keadilan dan kasih sayang Ilahi.
Penekanan pada *min kulli shayin* (dari segala sesuatu) menunjukkan bahwa Dzulqarnain tidak hanya diberikan sarana yang jelas terlihat (seperti tentara atau harta), tetapi juga sarana yang bersifat psikologis dan sosiologis. Ia mampu memahami mentalitas kaum-kaum yang berbeda, menjembatani perbedaan budaya dan bahasa, dan memotivasi mereka untuk bekerja sama dalam proyek monumental seperti pembangunan benteng. Kemampuan untuk membangun konsensus dan kerja sama antar etnis adalah salah satu *sababa* terpenting yang sering terabaikan dalam tafsir materi.
Kemampuan untuk berbicara dengan bahasa yang berbeda, memahami adat istiadat, dan menghormati otonomi lokal adalah *sababa* sosial yang fundamental. Dzulqarnain tidak berusaha menghapus identitas kaum yang ia temui; sebaliknya, ia memposisikan dirinya sebagai pelayan mereka, membantu mereka mengatasi ancaman eksternal. Ini menunjukkan keluasan interpretasi *sababa* yang melampaui batas-batas material.
Ayat 84 juga menyentuh isu filosofis yang fundamental dalam teologi Islam: hukum sebab akibat (*sunnatullah*). Allah bisa saja memberikan hasil tanpa sebab (mukjizat), tetapi dalam kisah Dzulqarnain, Allah memilih untuk menggunakan *sababa* (sebab-sebab yang jelas) sebagai jalan untuk mencapai tujuan.
Dengan mengatakan "wa aataynaahu min kulli shayin sababa", Allah menegaskan bahwa Dia menghormati dan menegakkan hukum kausalitas di alam semesta. Keberhasilan Dzulqarnain bukanlah keajaiban, melainkan hasil dari penggunaan sarana yang disediakan dengan maksimal. Ini mendorong umat Islam untuk menguasai ilmu pengetahuan alam dan sosial, karena ilmu-ilmu ini adalah sababa yang telah diletakkan Allah di dunia ini.
Seorang pemimpin tidak boleh duduk pasif menunggu bantuan ilahi; ia harus bergerak mencari sarana, mengumpulkan data, merencanakan strategi, dan menggunakan *sababa* yang ada di sekitarnya. Baik itu berupa bahan baku, tenaga ahli, atau bahkan sekadar waktu yang tepat. Semua elemen ini adalah bagian dari karunia *sababa* yang memungkinkan realisasi kekuasaan ilahi di bumi.
Kisah Dzulqarnain menjadi inspirasi bahwa kekuatan umat Islam di masa depan akan sangat bergantung pada seberapa baik kita menguasai dan mengelola *sababa* kontemporer. Jika umat lain menguasai *sababa* teknologi dan ekonomi, mereka akan mendapatkan semacam *Tamkin* (kekuasaan dan pengaruh) di dunia. Oleh karena itu, mencari ilmu dan menguasai teknologi bukan hanya kebutuhan duniawi, tetapi merupakan pelaksanaan langsung dari ajaran yang terkandung dalam Al Kahfi ayat 84.
Penguasaan *sababa* ini memerlukan investasi besar dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan infrastruktur. Tanpa perencanaan strategis yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, umat akan kehilangan *sababa* yang memungkinkan mereka bersaing dan menegakkan keadilan global. Ini adalah panggilan untuk bertindak, didasarkan pada premis bahwa jalan menuju setiap keberhasilan telah tersedia, menanti untuk ditemukan dan digunakan dengan benar.
Meskipun konteks Al Kahfi ayat 84 adalah tentang kekuasaan global Dzulqarnain, makna *Tamkin* dan *Sababa* memiliki implikasi mendalam bagi kehidupan spiritual dan pribadi setiap individu Muslim. Kita semua diberikan kekuasaan dalam lingkup kecil kita, dan kita semua diberikan sarana untuk mencapai tujuan hidup kita.
Setiap orang diberikan *Tamkin* (kekuasaan atau penguatan) atas dirinya sendiri, keluarganya, atau pekerjaannya. Kekuasaan atas anggota tubuh, kesehatan, dan waktu adalah bentuk *Tamkin* pribadi. Ayat 84 mengajarkan kita untuk menghargai dan bertanggung jawab atas kekuasaan kecil ini.
Jika Allah telah memberikan kita kesehatan (sebagai bentuk *Tamkin*), maka *Sababa* untuk menjaganya adalah nutrisi, olahraga, dan istirahat yang cukup. Jika Allah telah memberikan kita akal dan waktu luang, maka *Sababa* untuk memanfaatkannya adalah belajar, beribadah, dan beramal saleh. Setiap kegagalan dalam hidup seringkali bukan karena kurangnya karunia Allah, melainkan karena kegagalan memanfaatkan Sababa yang telah tersedia.
Keberhasilan Dzulqarnain bukanlah instan; ia adalah hasil dari konsistensi menggunakan *sababa* dalam perjalanannya. Hal ini mengajarkan pentingnya *istiqamah* (keteguhan) dalam mencari sarana. Dalam konteks ibadah, jika tujuan kita adalah mendapatkan kedekatan dengan Allah, *sababa* kita adalah shalat yang khusyuk, puasa, dan sedekah. Kita tidak bisa mengharapkan hasil tanpa menggunakan *sababa* yang telah ditentukan dalam syariat.
Dengan demikian, Al Kahfi ayat 84 melampaui batas-batas sejarah dan geografi. Ia menjadi peta jalan bagi keberhasilan spiritual dan material, baik bagi seorang pemimpin negara maupun bagi individu. Ayat ini adalah pengakuan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki jalannya, dan Allah telah mempermudah jalan tersebut bagi mereka yang bersungguh-sungguh dan menggunakan sarana yang telah disediakan-Nya.
Inti dari kisah ini adalah bahwa Dzulqarnain merupakan contoh paripurna dari seorang hamba yang memanfaatkan kekuasaan (Tamkin) dan sarana (Sababa) sepenuhnya untuk mencapai tujuan ilahi, yakni menegakkan keadilan dan melayani umat manusia, sekaligus selalu menyadari bahwa segala pencapaiannya adalah rahmat dari Tuhannya.
Setelah melakukan analisis mendalam terhadap struktur linguistik, konteks naratif, dan implikasi filosofis dari Surah Al Kahfi ayat 84, kita dapat menarik kesimpulan yang kuat tentang pentingnya ayat ini dalam keseluruhan Surah Al Kahfi. Ayat ini berfungsi sebagai kunci yang membuka misteri kemampuan Dzulqarnain. Tanpa pemahaman bahwa kekuasaan datang dari Allah (*Tamkin*) dan sarana datang dari Allah (*Sababa*), kisah tiga perjalanannya akan tampak hanya sebagai mitos yang tidak memiliki dasar logis.
Ayat 84 mengajarkan umat manusia bahwa potensi dan kemampuan tidak pernah lahir dari kevakuman. Keduanya adalah anugerah ilahi. Namun, anugerah ini menuntut aktivitas, ikhtiar, dan perencanaan yang matang dari penerimanya. Dzulqarnain tidak hanya menunggu mukjizat; ia bergerak, ia belajar metalurgi, ia memimpin pasukan, dan ia menerapkan keadilan. Itulah esensi dari menggunakan *Sababa*.
Oleh karena itu, ketika membaca Surah Al Kahfi, khususnya ayat 84, kita diingatkan bahwa jalan menuju keberhasilan di dunia maupun di akhirat telah terbentang. Tantangannya bukan pada ada atau tidaknya *sababa*, melainkan pada kemauan kita untuk mencari, memahami, dan memanfaatkan sarana tersebut dengan penuh tanggung jawab, di bawah kesadaran bahwa kekuasaan sejati adalah milik Allah semata. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang diberikan kekuasaan dan dibimbing untuk menggunakan setiap sarana dengan sebaik-baiknya.
Setiap detail yang diberikan dalam kisah Dzulqarnain, dari barat hingga timur, dari logam hingga semenanjung, semuanya berakar pada premis tunggal ini: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." Kebaikan dan kemajuan yang kita capai di dunia ini, baik secara individu maupun kolektif, adalah validasi dari janji Ilahi yang terangkum dalam ayat yang agung ini.
Penyampaian kekuasaan dan jalan oleh Allah kepada Dzulqarnain menggarisbawahi pentingnya persiapan dan perencanaan strategis. Tidak ada pemimpin yang dapat mencapai tujuan besar tanpa bekal yang memadai. *Sababa* yang disediakan meliputi kemampuan untuk menguasai teknologi yang paling canggih di zamannya, yaitu teknologi metalurgi, yang memungkinkan pembangunan tembok kokoh. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat menghargai dan mendorong penguasaan ilmu terapan sebagai sarana utama untuk membangun peradaban yang adil dan kuat.
Kekuatan naratif Al Kahfi ayat 84 terletak pada universalitas pesannya. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan, dalam bentuk apa pun, harus selalu dipandang sebagai amanah, bukan hak istimewa. Amanah ini disertai dengan segala sarana yang diperlukan untuk melaksanakannya, asalkan niatnya lurus dan penerapannya adil. Kegagalan Dzulqarnain untuk menuntut upah setelah menyelesaikan proyek raksasa Yajuj dan Majuj adalah manifestasi spiritual dari pemahamannya yang mendalam terhadap ayat 84. Ia menyadari bahwa sumber daya material maupun spiritual yang ia gunakan semuanya telah diberikan oleh Tuhannya, sehingga ia tidak merasa berhak atas imbalan duniawi dari manusia.
Kesinambungan pelajaran ini harus terus disematkan dalam hati setiap generasi. Generasi masa kini yang menghadapi tantangan globalisasi, perubahan iklim, dan konflik teknologi harus melihat Al Kahfi ayat 84 sebagai motivasi untuk mencari dan menguasai *sababa* baru. Kita tidak boleh berpuas diri dengan pengetahuan dan sarana yang diwariskan, tetapi harus terus berinovasi dan mencari jalan-jalan baru, sebagaimana Dzulqarnain mencari dan menemukan jalan menuju timur dan barat, dan jalan untuk membangun benteng yang mustahil. Misi ini adalah manifestasi praktis dari tawakkul yang sejati.
Ayat ini adalah janji: jika tujuan kita adalah menegakkan keadilan dan kebaikan (yang sesuai dengan kehendak Ilahi), maka Allah pasti akan menyediakan sarana dan jalan untuk mencapainya. Tugas kita adalah berjuang menemukan dan menggunakan jalan tersebut dengan ketekunan, ilmu, dan keikhlasan. Kekuasaan Dzulqarnain adalah cerminan dari potensi luar biasa yang dapat dicapai oleh manusia ketika ia menyelaraskan kekuasaan pribadinya dengan kehendak Tuhan, sambil menggunakan setiap *sababa* yang telah dihamparkan di alam semesta ini.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa *Sababa* yang disebutkan dalam ayat 84 tidak hanya terbatas pada alat-alat fisik atau pengetahuan yang terukur, tetapi juga mencakup faktor-faktor immaterial seperti kemauan keras, ketabahan, dan visi jangka panjang. Visi Dzulqarnain untuk melindungi kaum yang lemah dari ancaman Ya’juj dan Ma’juj memerlukan ketabahan luar biasa untuk menghadapi hambatan geografis dan logistik yang sangat besar. Ketabahan ini, menurut interpretasi esensial, adalah salah satu bentuk *sababa* spiritual yang memungkinkan keberhasilannya.
Penghayatan mendalam terhadap Al Kahfi ayat 84 mengarah pada kesadaran bahwa hidup ini adalah serangkaian sebab-akibat yang diatur oleh kehendak Ilahi. Kekuatan Dzulqarnain bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pengaturan sempurna oleh Allah. Ini mengajarkan bahwa dalam setiap kegelapan dan kesulitan (seperti yang dialami oleh kaum yang meminta perlindungan dari Ya’juj dan Ma’juj), selalu ada 'jalan' atau 'sababa' yang disediakan untuk menemukan solusi. Kita hanya perlu mengidentifikasi dan menggunakannya dengan benar, sesuai dengan tuntunan ilmu dan kebijaksanaan.
Maka, kita kembali pada inti dari ayat ini: *Tamkin* (kekuasaan) dan *Sababa* (jalan). Keduanya adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Kekuasaan tanpa sarana hanya akan menjadi impian, sementara sarana tanpa kekuasaan untuk menjalankannya akan menjadi potensi yang tidak terealisasi. Dzulqarnain mewujudkan integrasi sempurna dari kedua elemen ini, menjadikannya figur kepemimpinan yang abadi dalam sejarah Al-Qur'an.
Setiap langkah yang diambil Dzulqarnain—menghukum yang zalim, memberi hadiah pada yang saleh, membangun tembok, menjelajahi dunia—adalah bukti visual dari bagaimana *sababa* diimplementasikan. Tanpa ayat 84 sebagai latar belakang, tindakannya mungkin tampak seperti keajaiban belaka. Namun, Al-Qur'an menjelaskan bahwa itu adalah karunia *sababa* yang memungkinkan ia mencapai segala sesuatu yang menjadi tujuannya. Inilah kekayaan tafsir dan kedalaman hikmah yang terkandung dalam satu ayat yang ringkas namun maha penting ini.
Pemahaman yang utuh tentang *sababa* harus mencakup pengakuan terhadap peran inovasi dan penemuan. Dzulqarnain tidak menggunakan metode pembangunan kuno; ia menemukan atau menguasai metode yang paling efektif pada masanya (peleburan besi dan pengecoran tembaga). Ini menunjukkan bahwa sarana yang diberikan Allah kepada manusia tidak statis, melainkan dinamis, menuntut umat manusia untuk terus mencari pengetahuan dan mengembangkan teknologi baru sebagai bagian dari *sababa* di setiap era. Umat yang berhenti mencari dan mengembangkan *sababa* adalah umat yang melepaskan kekuasaan yang telah dianugerahkan kepadanya. Maka, jihad ilmu pengetahuan dan teknologi adalah implementasi modern dari perintah Ilahi dalam Al Kahfi ayat 84.
Kita menutup dengan penegasan bahwa tafsir atas Al Kahfi ayat 84 adalah seruan untuk aksi, sebuah pengingat bahwa potensi besar menanti mereka yang siap mencari dan memanfaatkan sarana. Kekuatan untuk mengubah dunia, untuk menegakkan keadilan, dan untuk mencapai tujuan-tujuan besar sudah ada di tangan kita, asal kita mengenali *Tamkin* sebagai anugerah dan *Sababa* sebagai jalan yang harus kita tempuh dengan sungguh-sungguh.
Demikianlah, analisis mendalam terhadap ayat 84 dari Surah Al Kahfi menawarkan lebih dari sekadar sejarah. Ia menawarkan panduan abadi tentang kepemimpinan, tanggung jawab, dan penggunaan sarana yang benar di bawah naungan kekuasaan Ilahi. Kita diajak merenungkan: apa *sababa* yang telah Allah berikan kepada kita hari ini, dan bagaimana kita akan menggunakannya untuk kebaikan?
Segala kemajuan yang dicapai Dzulqarnain, segala kesulitan yang ia atasi, dan segala keputusan yang ia ambil, semuanya tertuang dalam frasa yang penuh makna ini: "Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu." Ayat ini menutup perdebatan tentang asal-usul kekuatannya dan mengalihkan fokus kita pada pelajaran utama: bagaimana kekuasaan dan sarana harus digunakan untuk menegakkan *amar ma’ruf nahi munkar* di muka bumi.
Pelajaran terpenting dari eksplorasi menyeluruh ini adalah bahwa Dzulqarnain tidak pernah mengklaim kredit untuk kesuksesannya; ia selalu merujuknya kembali kepada Pemberi Kekuasaan dan Pemberi Jalan, Allah SWT. Pengakuan ini adalah bentuk ketakwaan tertinggi, menjadikan setiap *sababa* yang ia gunakan sebagai ibadah dan setiap kekuasaan yang ia miliki sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Maka, *Al Kahfi ayat 84* bukan hanya catatan sejarah, melainkan sebuah kurikulum lengkap tentang bagaimana mencapai potensi maksimal sebagai seorang hamba dan pemimpin. Ayat ini mengajak kita untuk mencari *sababa* dalam setiap aspek kehidupan, dan menggunakannya dengan kesadaran penuh bahwa pada akhirnya, segala kekuasaan kembali kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.