Surah Al-Lahab, surah ke-111 dalam Al-Qur'an, menempati posisi unik dan menantang dalam sejarah wahyu Islam. Diturunkan di Mekah, surah ini merupakan satu-satunya teks ilahi yang secara eksplisit mengutuk dan menubuatkan kehancuran pribadi musuh utama Nabi Muhammad ﷺ saat ia masih hidup. Kejelasan, ketegasan, dan keberanian surah ini menjadikannya studi kasus penting, tidak hanya dalam konteks teologis tetapi juga dalam pemahaman dinamika konflik awal dakwah Islam. Surah ini, yang hanya terdiri dari lima ayat, merangkum konsekuensi fatal dari permusuhan yang didasarkan pada keangkuhan, kekerabatan yang dikhianati, dan kekuasaan materi yang disalahgunakan.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Lahab, penting untuk menempatkannya dalam konteks sosial dan politik Mekah. Surah ini menargetkan Abu Lahab, nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ. Ikatan darah ini menjadikan penentangan Abu Lahab terasa jauh lebih menyakitkan dan memicu krisis legitimasi di mata kabilah Quraisy.
Peristiwa yang paling sering dikaitkan dengan turunnya surah ini adalah momen ketika Nabi Muhammad ﷺ pertama kali diperintahkan untuk menyampaikan dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Beliau naik ke Bukit Safa, bukit strategis di Mekah, dan memanggil setiap klan Quraisy, menggunakan metode peringatan tradisional: "Jika aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan kavaleri di balik bukit ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?" Semua menjawab setuju. Setelah membangun kepercayaan ini, beliau kemudian menyampaikan pesan utama: peringatan tentang azab yang pedih dan panggilan untuk beriman.
Di tengah kerumunan yang mendengarkan, muncullah Abu Lahab. Reaksinya tidak hanya penolakan, tetapi juga penghinaan terbuka. Dengan suara lantang yang didengar oleh banyak orang, ia berseru: "Celakalah engkau, hai Muhammad! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Penghinaan publik ini merupakan tantangan langsung terhadap otoritas kenabian dan ancaman serius terhadap dakwah yang baru dimulai. Dalam tradisi tafsir, seruan inilah yang langsung dijawab oleh wahyu ilahi, mencerminkan ketidaksetujuan dan murka dari langit terhadap tindakan dan niat Abu Lahab.
Nama 'Abu Lahab' secara harfiah berarti 'Bapak Api' atau 'Pemilik Nyala Api'. Nama panggilan ini konon diberikan karena wajahnya yang cerah, berseri, dan memerah. Ironisnya, nama panggilannya yang mulanya menggambarkan penampilan fisik kini menjadi metafora yang mengerikan bagi takdirnya. Surah ini secara cerdas menggunakan nama panggilan yang disukai Abu Lahab untuk meramalkan hukuman abadi yang akan menimpanya. Ia adalah bapak api di dunia (dalam permusuhannya) dan bapak api di akhirat (dalam siksanya).
Kekuatan Abu Lahab berasal dari dua sumber: kekayaan materi yang besar dan kedudukannya sebagai pemimpin suku. Ia dan istrinya, Ummu Jamil, adalah kolaborator aktif dalam upaya melemahkan dan menganiaya Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menggunakan pengaruh sosial, ejekan, dan intimidasi ekonomi untuk menghentikan penyebaran Islam. Hal ini membedakan mereka dari musuh-musuh lain; mereka bukan sekadar menolak pesan, tetapi secara aktif berkomitmen untuk memadamkan cahayanya, sebuah permusuhan yang meluas hingga ke tingkat pribadi dan keluarga.
Terjemahan: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Ayat pertama dibuka dengan kata kerja yang sangat kuat: تَبَّتْ (Tabbat). Akar kata ini, tabba, memiliki arti mendalam yang mencakup kehancuran, kekalahan, kerugian total, dan keterputusan. Ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah pernyataan definitif tentang nasib yang tidak terhindarkan.
Penggunaan kata ini pada awal surah menetapkan nada yang tegas, menyatakan bahwa perjuangan Abu Lahab melawan kebenaran adalah perjuangan yang sejak awal telah ditakdirkan untuk kalah. Ini adalah ancaman ilahi yang menanggapi penghinaan yang ia lontarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Frasa يَدَا أَبِي لَهَبٍ (Yada Abi Lahab), yang berarti 'kedua tangan Abu Lahab', tidak hanya merujuk pada tangan secara harfiah. Dalam bahasa Arab, 'tangan' sering kali melambangkan:
Ketika Allah berfirman, "Binasalah kedua tangan Abu Lahab," itu adalah penghancuran total atas setiap aspek kekuatan dan pengaruhnya. Ia tidak hanya akan gagal, tetapi kegagalannya akan menjadi kegagalan yang tampak nyata, di mana kekayaan dan usahanya tidak akan berarti apa-apa.
Ayat pertama diakhiri dengan pengulangan yang tegas: وَتَبَّ (Wa Tabb). Ini adalah penekanan yang mengubah pernyataan dari kutukan atas tindakannya menjadi kepastian takdirnya. Ada dua interpretasi utama mengenai pengulangan ini:
Keunikan ayat ini adalah bahwa ia tidak hanya memprediksi kehancuran di masa depan, tetapi mengutuknya dengan menggunakan kata kerja lampau (Tabbat), menyiratkan bahwa bagi Allah, kehancuran Abu Lahab sudah merupakan fakta yang terjadi, bahkan ketika ia masih hidup dan aktif menentang Islam.
Ilustrasi simbolis tentang kehancuran total upaya (tangan) Abu Lahab.
Terjemahan: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan (atau anak-anaknya).
Ayat kedua langsung menyerang fondasi utama kekuatan Abu Lahab di Mekah: harta dan status sosial. Dalam masyarakat pra-Islam, kekayaan, terutama yang diukur dari jumlah anak laki-laki dan kekayaan yang dihasilkan, adalah penentu kehormatan dan kekuasaan.
Abu Lahab adalah pria yang kaya raya. Hartanya memberinya posisi tawar dan perlindungan. Namun, Al-Qur'an secara eksplisit menolak validitas kekayaan ini di hadapan takdir ilahi. Mā aghnā ‘anhu māluhu (Tidaklah berguna baginya hartanya) menegaskan prinsip fundamental Islam: kekayaan tidak dapat membeli keselamatan, baik dari azab dunia maupun dari azab akhirat.
Pernyataan ini memiliki relevansi teologis yang mendalam. Para penentang kenabian sering kali berargumen bahwa jika Muhammad benar, mengapa ia tidak diberikan kekayaan yang melimpah (seperti yang dimiliki para pemimpin Quraisy)? Ayat ini membalikkan logika tersebut: justru kekayaan para penentang itu yang akan menjadi sia-sia dan tidak dapat berfungsi sebagai alat tawar-menawar dengan Tuhan.
Frasa وَمَا كَسَبَ (Wa mā kasab) memiliki dua penafsiran utama, keduanya relevan dengan keangkuhan Abu Lahab:
Surah ini menunjukkan bahwa di hadapan kebenaran ilahi, semua simbol kekuatan duniawi—uang, kekuasaan, dan keluarga—akan runtuh dan menjadi abu. Ini adalah serangan total terhadap ideologi materialisme Quraisy.
Terjemahan: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (yang memiliki nyala api).
Kata kerja سَيَصْلَىٰ (Sayaslā) adalah kata kerja futuratif yang kuat, yang menunjukkan kepastian mutlak di masa depan. Penggunaan huruf sīn (Sa) di awal kata kerja menunjukkan peristiwa yang akan terjadi tanpa keraguan. Ini adalah nubuat langsung, yang menjamin bahwa Abu Lahab tidak akan pernah menemukan jalan kembali atau kesempatan untuk penebusan di akhirat.
Puncak ironi teologis terletak pada frasa نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Nāran dhāta lahabin)—api yang bergejolak, atau api yang memiliki nyala api. Ini menghubungkan kembali takdirnya dengan nama panggilannya. Ia adalah Abu Lahab (Bapak Nyala Api) di dunia karena wataknya yang membara dalam permusuhan, dan sebagai balasannya, ia akan memasuki api yang sesungguhnya (nyala api yang hebat) di akhirat.
Penyebutan *lahab* (nyala api) di sini bukan hanya deskripsi api neraka, tetapi sebuah pengkhususan hukuman yang disesuaikan secara pribadi. Seolah-olah Surah itu berkata: Karena engkau bangga dengan sebutan 'Bapak Nyala Api' dan menggunakan api permusuhanmu di bumi, maka neraka pun telah menyiapkan nyala apinya yang sesungguhnya untukmu.
Implikasi dari ketiga ayat pertama ini sangat besar. Surah ini bukan sekadar peringatan moral, tetapi sebuah klaim kenabian yang paling berani. Jika Abu Lahab pernah beriman, bahkan di ranjang kematiannya, nubuat Al-Qur'an akan terbantahkan. Namun, ia mati sebagai seorang kafir, memenuhi ramalan tersebut hingga ke detail terakhir. Ini adalah bukti kuat bagi para pengikut Nabi Muhammad ﷺ bahwa kata-kata dalam Kitab Suci adalah kebenaran mutlak dari Tuhan Yang Maha Mengetahui masa depan.
Surah ini tidak berhenti pada hukuman terhadap Abu Lahab saja, melainkan meluas kepada kolaborator terdekatnya, istrinya, yang bernama Arwa binti Harb, lebih dikenal sebagai Ummu Jamil. Inilah yang membuat Surah Al-Lahab menjadi gambaran lengkap dari keluarga yang secara sistematis menentang kebenaran.
Terjemahan: Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
Ummu Jamil adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan (sebelum ia masuk Islam) dan dikenal karena peran aktifnya dalam menganiaya Nabi dan para sahabat. Julukan حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammālat al-Haṭab)—pembawa kayu bakar—adalah istilah kunci yang memerlukan tafsir mendalam.
Sebagian besar mufassir sepakat bahwa ini adalah makna kiasan. Dalam budaya Arab, 'membawa kayu bakar' adalah ungkapan kiasan untuk nammāmah, yaitu orang yang menyebarkan gosip, fitnah, dan hasutan (adu domba) antar manusia. Ummu Jamil terkenal karena upaya tanpa henti untuk menciptakan perselisihan, menyebarkan kebohongan tentang Nabi Muhammad ﷺ, dan meningkatkan permusuhan terhadap Islam.
Kayu bakar yang ia bawa adalah bahan bakar (fitnah) yang ia lemparkan ke dalam api permusuhan yang telah dinyalakan oleh suaminya. Jika Abu Lahab adalah 'Bapak Api', maka istrinya adalah 'Pembawa Bahan Bakar' yang memastikan api itu tidak pernah padam.
Interpretasi yang lebih literal (dan sering dikaitkan dengan hukuman akhirat) menyatakan bahwa di Neraka, Ummu Jamil akan dihukum dengan tugas yang sangat merendahkan: membawa kayu bakar (atau duri) dan melemparkannya ke atas suaminya sendiri, menambah panas api yang menyiksanya. Tugas yang ia gunakan di dunia (membawa api fitnah) akan menjadi pekerjaan fisik dan hina di akhirat.
Penyertaan istri dalam hukuman ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban dalam Islam adalah individual, dan bahwa kolaborasi dalam kejahatan, terutama permusuhan terhadap pesan ilahi, akan dibalas secara kolektif. Ia tidak dihukum karena menjadi istrinya, tetapi karena tindakannya sendiri sebagai musuh aktif kebenaran.
Terjemahan: Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipintal).
Ayat penutup, فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Fī jīdihā ḥablun min masad), memberikan gambaran yang paling jelas tentang kehinaan yang menanti Ummu Jamil.
Kata masad merujuk pada tali yang dipintal dari serat kasar pohon kurma atau serat ijuk. Tali semacam ini kasar, murah, dan biasanya digunakan untuk mengikat hewan atau memanggul beban berat. Kontrasnya sangat tajam:
Ayat kelima ini menyimpulkan Surah dengan gambaran yang sangat personal dan menghinakan bagi musuh-musuh Islam, memastikan bahwa mereka tidak hanya menghadapi api, tetapi juga kehinaan dan perendahan diri di hadapan kekuasaan ilahi. Penghukuman itu pas, adil, dan simetris dengan kejahatan yang mereka lakukan.
Surah Al-Lahab adalah salah satu surah Mekah yang paling revolusioner. Fungsinya melampaui sekadar kutukan; ia berfungsi sebagai pilar penting dalam membuktikan kenabian Muhammad ﷺ dan prinsip keadilan ilahi.
Surah ini memiliki keunikan karena diturunkan di saat kedua target utamanya (Abu Lahab dan istrinya) masih hidup dan sangat vokal dalam permusuhan mereka. Ayat 1 dan 3 secara tegas menubuatkan bahwa Abu Lahab akan binasa dan masuk ke Neraka. Ini berarti bahwa dia TIDAK AKAN PERNAH beriman kepada Islam. Jika dia pernah mengucapkan syahadat, bahkan sekali seumur hidup, nubuat Al-Qur'an akan runtuh.
Namun, Abu Lahab meninggal dalam kekafiran total. Setelah Pertempuran Badr, Abu Lahab jatuh sakit (konon menderita penyakit menular yang mirip cacar) dan meninggal dalam keadaan mengenaskan. Mayatnya tidak disentuh selama beberapa hari karena takut tertular, hingga akhirnya dikuburkan secara tergesa-gesa oleh para pelayannya dengan menggunakan air dan didorong ke dalam lubang. Kematiannya yang hina dan status kekafirannya yang abadi membuktikan Surah ini sebagai mukjizat kenabian. Al-Qur'an berbicara tentang masa depan mutlak dengan otoritas yang tak tertandingi.
Surah Al-Lahab juga berfungsi sebagai penolakan terhadap konsep proteksionisme kesukuan yang dominan di Mekah. Orang-orang Arab sangat mengandalkan ikatan darah dan kesukuan untuk perlindungan. Abu Lahab percaya bahwa sebagai paman Nabi, ia kebal dari konsekuensi buruk karena ikatan kekerabatannya.
Surah ini dengan tegas menghancurkan gagasan bahwa hubungan darah lebih penting daripada hubungan akidah (keimanan). Itu menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya. Hubungan keluarga yang dilanggar melalui permusuhan terhadap kebenaran tidak hanya tidak memberikan perlindungan, tetapi justru menarik hukuman yang lebih tegas karena pengkhianatan terhadap hubungan itu sendiri.
Ayat kedua, yang menolak manfaat harta dan usaha Abu Lahab, memberikan pelajaran abadi mengenai jebakan materialisme. Di setiap zaman, ada 'Abu Lahab' baru—orang-orang yang menggunakan kekayaan, platform, dan kekuasaan mereka untuk menindas kebenaran, menyebarkan fitnah, dan merasa superior. Surah ini mengingatkan bahwa semua kekuatan materi yang digunakan untuk melawan kebenaran hanya akan menjadi beban dan kesia-siaan di hari perhitungan. Kekuatan sejati adalah iman dan ketaatan, bukan rekening bank atau pengikut sosial.
Untuk memahami sepenuhnya kalimat "Binasalah kedua tangan Abu Lahab," kita harus menjelajahi kekayaan linguistik kata yad (tangan) dalam sastra pra-Islam dan Al-Qur'an. Ini bukan hanya organ tubuh, melainkan sinonim metaforis untuk daya, otoritas, dan bahkan takdir seseorang.
Dalam konteks sosial Quraisy, 'tangan' sering digunakan untuk menunjukkan kepemilikan dan kontrol. Ungkapan "di bawah tangan Fulan" berarti di bawah otoritas Fulan. Ketika kedua tangan Abu Lahab dikutuk untuk binasa, ini adalah penghapusan total otoritasnya. Ia tidak hanya kehilangan kemampuan fisik untuk menyerang, tetapi ia juga kehilangan kendali atas lingkungannya dan, yang lebih penting, atas nasib spiritualnya.
Pikirkan tentang tangan yang digunakan untuk menjabat (tanda persetujuan), tangan yang digunakan untuk mengumpulkan emas, dan tangan yang digunakan untuk menunjuk dan mengejek. Setiap gerakan yang dilakukan Abu Lahab untuk melawan Nabi Muhammad ﷺ, baik itu tindakan finansial, politik, atau verbal, dieksekusi melalui kekuasaannya, yang secara metaforis diwakili oleh kedua tangannya. Dengan binasanya tangan itu, seluruh infrastruktur permusuhannya dibongkar.
Secara teologis, hukuman terhadap yada Abi Lahabin (tangan Abu Lahab) diletakkan dalam kontras yang tajam dengan konsep Yadullah (Tangan Allah) yang disebutkan di bagian lain Al-Qur'an. Tangan Allah melambangkan kekuasaan, karunia, dan perlindungan yang tak terbatas.
Ketika Abu Lahab menggunakan tangannya untuk menolak karunia Ilahi dan menindas Rasul-Nya, ia dihadapkan pada Tangan kekuasaan tertinggi yang membalikkan usahanya. Tangan manusia, meskipun kuat di dunia, tidak berdaya melawan kehendak Ilahi. Surah Al-Lahab mengajarkan bahwa ketika kekuatan fisik manusia diarahkan untuk melawan kebenaran, ia akan dikalahkan oleh kekuasaan yang lebih besar.
Analisis tentang Ummu Jamil sebagai 'Pembawa Kayu Bakar' tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga mencerminkan pemahaman mendalam Al-Qur'an tentang psikologi sosial konflik. Ummu Jamil memainkan peran penting yang sering terabaikan: peran sebagai penyebar propaganda dan pemelihara api permusuhan.
Di Mekah, sebelum ada media massa, fitnah dan gosip (terutama yang disebarkan oleh wanita terhormat yang memiliki akses ke banyak rumah tangga) adalah alat yang sangat efektif untuk merusak reputasi. Ummu Jamil menggunakan statusnya untuk menyebarkan cerita palsu, memutarbalikkan ajaran Islam, dan memastikan bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya diisolasi secara sosial.
Kayu bakar yang ia bawa adalah kata-kata tajam, tuduhan palsu, dan bisikan jahat yang ia tanamkan dalam pikiran orang-orang. Dalam tafsir, tindakan ini dianggap sama berbahayanya, atau bahkan lebih merusak, daripada permusuhan fisik yang mungkin dilakukan oleh suaminya.
Tali sabut (masad) di lehernya sebagai hukuman akhirat sangat sesuai dengan kejahatannya di dunia. Jika Ummu Jamil hidup dengan kalung emas dan bangga akan kemewahannya, menggunakan lidahnya sebagai senjata yang tajam dan tak terlihat, maka hukuman untuknya adalah perendahan visual (tali kasar) dan beban fisik dari kejahatan lidahnya (menarik beban dosanya).
Hukuman ini menegaskan bahwa kejahatan yang dilakukan melalui lidah dan propaganda akan mendapatkan balasan yang sama nyatanya seperti kejahatan yang dilakukan melalui pedang atau tangan. Nilai dari Surah ini adalah pengakuan bahwa fitnah dan kerusakan reputasi adalah dosa besar yang memerlukan hukuman yang setara.
Mengapa Al-Qur'an memilih untuk mengutuk Abu Lahab secara spesifik, sementara banyak musuh lain yang juga menentang Nabi? Perbandingan dengan surah lain yang mengutuk musuh (misalnya, Surah Al-Humazah yang mengutuk para pencela, atau surah yang ditujukan kepada para munafik) memperjelas keunikan Al-Lahab.
Abu Lahab adalah saudara kandung ayah Nabi, membuatnya menjadi penjaga kehormatan (walaupun dalam praktiknya ia gagal). Penolakan dan permusuhannya merupakan pengkhianatan tingkat tertinggi terhadap ikatan keluarga. Kehancurannya yang dinubuatkan secara eksplisit berfungsi sebagai penegasan bahwa dalam konflik antara kebenaran dan kebatilan, darah tidak lebih tebal dari air kebenaran. Pengutukan ini harus sangat terbuka karena penentangannya juga sangat terbuka dan merusak.
Berbeda dengan surah-surah yang mengutuk sifat-sifat buruk secara umum (misalnya, orang yang menimbun kekayaan atau orang yang meremehkan doa), Surah Al-Lahab menunjuk nama, Abu Lahab, dan secara implisit menunjuk istrinya. Ini adalah "nubuat yang bisa diuji" (testable prophecy). Keberanian ilahi dalam membuat klaim yang dapat diverifikasi ini adalah inti dari bukti kenabian Al-Qur'an. Jika Abu Lahab beriman, Al-Qur'an akan salah. Karena ia tidak beriman, kredibilitas Al-Qur'an ditegaskan selamanya.
Implikasi teologisnya adalah bahwa Surah ini adalah pengecualian. Abu Lahab dan istrinya telah melewati batas toleransi ilahi; mereka telah menutup semua jalan menuju tobat bagi diri mereka sendiri melalui permusuhan yang gigih, sistematis, dan tanpa penyesalan. Mereka adalah model prototipe bagi setiap penentang yang menggunakan segala sumber daya, termasuk keluarga dan kekayaan, untuk melawan utusan Tuhan.
Meskipun Surah Al-Lahab ditujukan kepada individu spesifik di abad ke-7 Mekah, pelajaran yang dikandungnya tetap universal dan relevan untuk semua zaman. Kita dapat mengidentifikasi manifestasi modern dari sifat ‘Abu Lahab’ dan ‘Ummu Jamil’.
Manifestasi sifat Abu Lahab hari ini adalah keyakinan bahwa kekayaan dan kekuasaan materi adalah penentu nilai seseorang dan bahwa hal-hal ini dapat digunakan untuk membungkam kritik atau memenangkan pertarungan melawan kebenaran. Saat ini, "tangan" yang binasa mungkin melambangkan jaringan perusahaan, platform media, atau kerajaan finansial yang digunakan untuk menindas keadilan dan menyebarkan kebohongan. Surah ini adalah pengingat bahwa pada akhirnya, semua kekayaan digital dan fisik akan *mā aghnā ‘anhu māluhu* (tidak bermanfaat baginya hartanya).
Ummu Jamil adalah master propaganda. Di era informasi, 'pembawa kayu bakar' adalah orang-orang yang secara aktif terlibat dalam pembuatan dan penyebaran informasi palsu (hoaks dan fitnah) untuk menghancurkan reputasi orang yang membawa pesan kebenaran. Kayu bakarnya kini adalah viral content yang memicu kemarahan, memecah belah komunitas, dan menyuburkan permusuhan.
Surah Al-Lahab menegaskan bahwa bagi mereka yang dengan sengaja mendedikasikan hidup mereka untuk menghasut dan menyebar api fitnah (kayu bakar), hukuman yang sesuai adalah membawa tali kehinaan dan menderita akibat api yang mereka nyalakan sendiri.
Surah Al-Lahab, meskipun pendek, adalah manifesto ketuhanan yang kuat tentang konsekuensi dari penolakan yang angkuh dan permusuhan yang disengaja. Dari ayat 1 hingga ayat 5, Surah ini memberikan gambaran yang lengkap dan terpadu:
Surah ini menjamin bagi orang-orang yang beriman bahwa meskipun musuh mungkin tampak perkasa di dunia, kekuasaan ilahi akan selalu menang, dan kebinasaan para penentang kebenaran adalah kepastian yang tidak terhindarkan.
Keindahan Surah Al-Lahab juga terletak pada struktur ritmik dan meternya yang kuat, sebuah ciri khas dari surah-surah Mekah awal. Surah ini menggunakan rima yang cepat dan berdentum, yang memperkuat ketegasan pesannya.
Ayat 1, 3, dan 5 diakhiri dengan rima yang serupa (Tabb, Lahab, Masad), menciptakan efek resonansi yang tajam. Pola suara ini tidak hanya mempermudah penghafalan bagi masyarakat Arab yang lisan, tetapi juga menyampaikan urgensi dan finalitas. Kata Lahab (nyala api) dan Masad (sabut/tali) terdengar keras, mencerminkan kekasaran dan kekejaman hukuman yang dinubuatkan.
Dalam konteks dakwah, Surah ini adalah palu yang menghantam. Ketika dibacakan di Mekah—di mana Abu Lahab masih hidup dan mendengar—surah ini menjadi tantangan publik yang luar biasa dan jaminan moral bagi para sahabat yang lemah dan teraniaya. Mereka yang menderita di tangan Abu Lahab dan Ummu Jamil diberi kepastian bahwa penindas mereka tidak hanya akan gagal dalam usaha duniawi mereka, tetapi juga akan menghadapi hukuman yang terperinci di akhirat.
Bagi komunitas Muslim yang kecil dan rentan, Surah Al-Lahab berfungsi sebagai bentuk propaganda positif. Ia mengalihkan fokus dari kekuasaan nyata Abu Lahab di Mekah kepada kebinasaan absolutnya yang telah diputuskan di hadapan Allah. Ini memberikan keberanian yang diperlukan untuk bertahan dalam menghadapi penganiayaan. Pesan itu jelas: jangan takut pada kekuatan material penindas, karena kekayaan dan upaya mereka telah dikutuk dan akan menjadi sia-sia.
Surah ini mengajarkan bahwa oposisi terhadap kebenaran, bahkan ketika dipimpin oleh kerabat terdekat dan didukung oleh kekayaan besar, pada akhirnya adalah perjuangan yang sia-sia, sebuah jalan menuju kerugian dan kehinaan yang permanen, sebagaimana telah dirangkum dengan sempurna dalam lima ayat tegas ini.