Ayat kedua dari Surah Al-Lahab menegaskan bahwa harta dan segala daya upaya tidak akan memberikan manfaat sedikit pun di Hari Perhitungan.
Surah Al-Lahab, atau yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah Makkiyah yang pendek namun mengandung pelajaran teologis dan etis yang sangat padat. Ia secara eksplisit menyinggung tentang nasib seseorang yang memilih jalan permusuhan terhadap kebenaran, yaitu Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini bukan sekadar kutukan personal, melainkan sebuah manifestasi universal tentang konsekuensi dari pengingkaran yang dilakukan secara arogan dan berlandaskan pada kekuasaan serta kekayaan duniawi.
Di antara lima ayatnya yang ringkas, al lahab ayat 2 memegang peran sentral dalam menyampaikan inti pelajaran moral dan eskatologis: futilitas absolut dari segala akumulasi material dan usaha keras yang dilakukan tanpa dasar iman yang benar. Ayat ini berbunyi:
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Terjemahannya yang umum dikenal adalah: "Hartanya dan apa yang telah diusahakannya tidaklah berguna baginya."
Untuk memahami kedalaman al lahab ayat 2, kita harus menilik kembali latar belakang turunnya surah ini (Asbabun Nuzul). Abu Lahab adalah salah satu figur yang paling gigih menentang dakwah Nabi Muhammad ﷺ sejak awal. Ketika Rasulullah berdiri di atas bukit Safa untuk menyampaikan wahyu secara terbuka kepada kaumnya, Abu Lahab merespons dengan caci maki yang keras, bahkan mengutuk Nabi. Sikap permusuhan ini diperparah oleh kedudukan sosialnya yang tinggi dan kekayaannya yang melimpah, menjadikannya simbol kekuasaan Makkah yang menolak pesan tauhid.
Dalam konteks ini, Ayat 2 turun sebagai penegasan ilahi bahwa otoritas dan modal yang digunakan oleh Abu Lahab untuk melawan kebenaran akan menjadi sia-sia belaka. Ia mengandalkan kekuatannya sebagai kepala suku dan hartanya sebagai tameng, namun Allah SWT menafikan efektivitas dari tameng-tameng duniawi tersebut di hadapan takdir ilahi.
Pada masyarakat Makkah pra-Islam, ukuran kehormatan, kekuatan, dan keselamatan (bahkan dari balasan musuh) sangat erat kaitannya dengan harta benda ('mal') dan jumlah keturunan serta budak ('kasab'). Abu Lahab, dengan kekayaan dan posisinya sebagai paman Rasulullah, merasa dirinya berada di atas angin dan kebal dari ancaman apapun, termasuk ancaman Hari Kiamat yang dibawa oleh Islam. Ayat ini memotong akar keyakinan materialistik tersebut, menyatakan bahwa kekayaan yang ia banggakan tidak akan menyelamatkannya.
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata Arabnya yang ringkas namun mutlak, menegaskan kekosongan makna dari kekayaan duniawi ketika niatnya telah rusak.
Frasa ini secara harfiah berarti "tidak memberi manfaat/tidak mencukupi/tidak menjauhkan darinya." Penggunaan kata kerja 'Aghnaa' (dari kata dasar *Ghina*, kekayaan atau kecukupan) dalam bentuk negasi 'Maa' adalah penegasan mutlak. Ini bukan sekadar menyatakan bahwa hartanya tidak 'cukup', tetapi bahwa hartanya sama sekali 'tidak berdaya' atau 'tidak berguna' untuk menolak azab yang telah ditetapkan.
Istilah 'Maal' merujuk pada segala bentuk harta benda yang dimiliki: emas, perak, properti, ternak, dan aset lainnya. Dalam konteks modern, ini mencakup saham, obligasi, rekening bank, dan semua bentuk kapital. Ayat ini menargetkan sumber daya finansial yang dibanggakan Abu Lahab.
Tafsir klasik sering menekankan bahwa harta yang tidak digunakan di jalan kebenaran (infak, zakat, sedekah) secara otomatis kehilangan daya penyelamatnya di Akhirat. Harta menjadi beban, bukan penolong.
Bagian inilah yang paling luas tafsirannya dan esensial untuk mencapai pemahaman yang komprehensif. 'Kasaba' (usaha/perolehan) dapat ditafsirkan dalam beberapa dimensi:
Beberapa ulama tafsir, termasuk sebagian mufassir di kalangan Sahabat, menafsirkan 'wa ma kasab' sebagai merujuk kepada anak-anak (keturunan). Dalam budaya Arab, anak laki-laki sering dianggap sebagai 'kasab' (hasil perolehan) terpenting bagi seorang pria, yang akan memberikan perlindungan di dunia dan membantu menjaga nama baik. Anak-anak Abu Lahab, yang tidak membela ayahnya dari kutukan ilahi, membuktikan bahwa bahkan keturunan pun tidak dapat menyelamatkan seseorang dari hukuman Allah.
Tafsir yang lebih umum dan luas menyatakan bahwa 'wa ma kasab' mencakup segala sesuatu yang diusahakan atau diperoleh seseorang, baik itu:
Dengan demikian, al lahab ayat 2 bukan hanya menihilkan harta, tetapi juga menihilkan seluruh capaian hidup seorang hamba yang menolak tauhid. Segala upaya fisik dan mental yang telah ia curahkan untuk mencapai kesuksesan duniawi akan terhapus nilainya ketika dihadapkan pada timbangan akhirat.
Ayat ini berfungsi sebagai pernyataan teologis yang kuat mengenai superioritas nilai-nilai Akhirat dibandingkan segala yang fana di dunia. Ini adalah kritik langsung terhadap pandangan materialistik yang menganggap harta sebagai sumber kekuatan dan keselamatan abadi.
Dalam Islam, setiap amal (kasab) harus didasarkan pada niat yang murni (ikhlas) kepada Allah SWT. Jika amal, bahkan yang tampaknya 'baik' (seperti memberi sedekah atau membangun sesuatu), dilakukan hanya untuk mencari pujian, kekuasaan, atau peningkatan status duniawi, maka ia akan menjadi bagian dari 'ma kasab' yang tidak berguna. Ayat 2 mengajarkan bahwa tanpa iman, segala jerih payah manusia adalah seperti debu yang beterbangan (Q.S. Al-Furqan: 23).
Ini menegaskan bahwa usaha atau 'kasab' yang dimaksud dalam al lahab ayat 2 adalah usaha yang tidak terintegrasi dengan tujuan spiritualitas. Abu Lahab mungkin berusaha keras dalam perdagangan, politik, dan hubungan sosial, tetapi karena keseluruhan usahanya digunakan untuk menentang kebenaran, ia kehilangan esensi penyelamatannya.
Harta adalah ujian terbesar (fitnah) bagi manusia. Al lahab ayat 2 mengingatkan bahwa harta yang menipu, yang membuat pemiliknya lupa diri dan sombong (seperti yang ditunjukkan oleh Abu Lahab), akan berbalik menjadi bumerang. Harta itu tidak mampu membeli satu detik pun waktu dari Hari Kiamat, tidak mampu meredakan satu jilatan pun dari api neraka (Al-Lahab Ayat 3).
Pelajaran mendasar dari ayat ini adalah bahwa kekayaan sejati bukanlah yang dapat dihitung di dunia, melainkan yang telah dikirimkan ke Akhirat melalui amal saleh dan niat yang lurus. Kekayaan yang disimpan di dunia akan ditinggalkan; kekayaan yang diinfakkan di jalan Allah akan menanti di Hari Perhitungan.
Konsep futilitas harta tanpa iman yang ditekankan dalam al lahab ayat 2 diperkuat oleh banyak ayat lain dalam Al-Quran, menunjukkan bahwa ini adalah prinsip esensial dalam ajaran Islam.
Surah At-Takatsur secara eksplisit mengecam perlombaan dalam mengumpulkan harta hingga maut menjemput. Kedua surah ini berbagi pesan bahwa fokus berlebihan pada kekayaan duniawi (al-mal dan al-kasab) akan mengalihkan perhatian dari tujuan utama hidup. Sementara At-Takatsur berbicara kepada masyarakat secara luas, Al-Lahab memberikan contoh ekstrem melalui sosok Abu Lahab.
Surah Al-Humazah (Ayat 2-3) juga menyerang sifat orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dan yang mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Hal ini sangat mirip dengan keadaan mental Abu Lahab—ia mengira kekayaan dan kedudukannya akan memberinya keabadian atau kekebalan. Al-Lahab Ayat 2 adalah jawaban langsung terhadap kesombongan ini: harta sama sekali tidak memberi manfaat (Ma aghna). Surah Al-Humazah dan Al-Lahab, meskipun berbeda konteks turunnya, menyajikan kritik paralel terhadap materialisme yang angkuh.
Allah SWT berfirman dalam Surah Ali ‘Imran (Ayat 10):
"Sesungguhnya orang-orang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikit pun tidak dapat menolak siksaan Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka."
Ayat ini adalah konfirmasi umum atas apa yang ditegaskan secara spesifik dalam al lahab ayat 2. Harta (maal) dan anak-anak (yang termasuk dalam kasab) tidak akan mampu menjadi penebus dosa di hadapan keadilan ilahi.
Meskipun diturunkan sebagai peringatan spesifik kepada Abu Lahab, pesan universal dari al lahab ayat 2 sangat relevan dalam masyarakat modern yang didominasi oleh ideologi materialisme dan kapitalisme ekstrem.
Di era modern, 'kasab' (usaha) tidak hanya berarti keuntungan materi, tetapi juga meliputi gelar akademik, popularitas media sosial, pencapaian profesional, dan citra publik. Banyak individu mencurahkan seluruh hidup mereka untuk mengumpulkan 'kasab' ini, namun seringkali dengan mengorbankan integritas spiritual dan etika. Ayat 2 mengajukan pertanyaan mendasar: Jika seluruh energi dan ambisi Anda dihabiskan untuk meraih capaian yang fana, apakah yang tersisa untuk tujuan abadi?
Jika seseorang meraih kekayaan dan kekuasaan (maal dan kasab) namun menggunakannya untuk menindas orang lain, menyebarkan kebohongan, atau hanya untuk memuaskan ego, maka seluruh 'kasab' tersebut akan dieliminasi nilainya di Hari Pembalasan. Ini adalah peringatan bagi para pemimpin, pebisnis, dan mereka yang berkuasa: kekuatan duniawi Anda adalah ilusi jika tidak dilandasi kebenaban.
Kapitalisme yang tidak terkontrol mendorong individu untuk percaya bahwa 'maal' dan 'kasab' adalah satu-satunya indikator kesuksesan dan bahkan penebusan diri. Ayat 2 menentang pandangan ini secara radikal. Kesuksesan finansial dan kekayaan yang luar biasa (maaluhu) tidak memberikan perlindungan moral atau spiritual. Seberapa pun besarnya kekaisaran bisnis yang dibangun seseorang (wama kasab), kekaisaran itu akan roboh nilainya jika dibangun di atas pengingkaran terhadap kebenaran.
Jika 'wa ma kasab' diartikan sebagai keturunan, ayat ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya mendidik generasi penerus. Harta dan anak-anak menjadi manfaat hanya jika mereka beriman dan beramal saleh. Jika harta warisan malah menjerumuskan anak-anak ke dalam kesombongan dan jauh dari agama, maka harta tersebut menjadi bumerang, menggenapi makna bahwa ia "tidaklah berguna" bagi pewarisnya dan si pewaris.
Untuk benar-benar menggali kedalaman al lahab ayat 2, kita perlu membedah bagaimana harta dan usaha dapat menyebabkan kehancuran spiritual.
Istidraj adalah pemberian kenikmatan duniawi oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang durhaka, sebagai bentuk penundaan hukuman dan ujian yang lebih berat. Abu Lahab mungkin menikmati peningkatan kekayaan dan status meskipun menentang Nabi. Ayat 2 berfungsi untuk menelanjangi ilusi Istidraj ini. Kekayaan yang tampaknya 'menguntungkan' di dunia sebenarnya adalah jerat yang menjauhkannya dari tobat. Ketika Istidraj berakhir di Akhirat, 'maaluhu wama kasab' sama sekali tidak bisa menawar atau mengurangi siksa.
Usaha ('kasab') yang dilakukan manusia membentuk karakternya. Jika usaha didominasi oleh hasrat untuk menumpuk harta, menipu, atau mencari pujian semata, maka usaha tersebut akan mengerasakan hati dan menjauhkan dari kebenaran. Jiwa yang terbentuk melalui usaha yang tercela akan sulit menerima hidayah. Dalam kasus Abu Lahab, 'kasab'nya dalam menentang Rasulullah telah mengeraskan hatinya, sehingga kekayaan yang ia hasilkan pun turut menjadi racun spiritual.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'kasab' yang merujuk pada amalan juga mencakup dosa dan kejahatan yang dilakukan. Artinya, orang yang menumpuk harta dengan cara zalim, dan kemudian menggunakan harta tersebut untuk menindas, berarti ia telah mengumpulkan harta (maal) dan perbuatan buruk (kasab) yang keduanya akan memberatkannya di Hari Kiamat. Kedua elemen ini saling mendukung dalam kehancuran spiritualnya.
Pesan utama dari al lahab ayat 2 melampaui kutukan; ia adalah fondasi etika Islam tentang hubungan antara manusia, kekayaan, dan Sang Pencipta.
Jika 'maaluhu wama kasab' yang tidak berguna adalah harta dan usaha yang dicemari oleh kekafiran, maka kebalikannya adalah harta dan usaha yang diberkahi. 'Kasab' yang berguna di Akhirat adalah:
Ayat ini secara implisit mendorong umat Islam untuk mengubah fokus 'kasab' dari akumulasi murni duniawi menuju investasi abadi. Harta itu hanyalah alat; fungsinya ditentukan oleh niat penggunaannya.
Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya atau berusaha keras. Namun, al lahab ayat 2 menetapkan batasnya: Jangan sampai kekayaan atau kesibukan duniawi membuat Anda melupakan tujuan akhir. Kekayaan Abu Lahab menjadi sia-sia karena ia menjadikannya Tuhan, bukan alat untuk mencapai Tuhan. Keseimbangan menuntut bahwa setiap usaha, sekecil apapun, harus memiliki kaitan dengan tujuan spiritual agar nilainya tidak musnah di Hari Perhitungan.
Seorang mukmin dapat memiliki harta yang melimpah, asalkan harta itu tidak 'menguasai' dirinya dan digunakan untuk mendukung kebenaran (seperti halnya para Sahabat Nabi yang kaya raya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf). Bagi mereka, 'maal' dan 'kasab'nya justru menjadi modal keselamatan.
Konsep kerugian dalam surah ini sangat mendalam. Kerugian Abu Lahab bukanlah kerugian finansial, melainkan kerugian total eksistensi (al-khusr al-mubin).
Frasa 'Ma aghna 'anhu' menggambarkan kerugian mutlak. Dalam konteks perdagangan (di mana Makkah adalah pusatnya), seorang pedagang yang cerdas akan selalu berusaha memastikan bahwa ia memiliki aset cadangan. Abu Lahab, pedagang ulung, berpikir bahwa ia memiliki 'cadangan' berupa kekayaan dan pengaruh. Namun, al lahab ayat 2 menghilangkan ilusi cadangan itu. Di Akhirat, tidak ada aset yang tersisa untuk diperdagangkan atau ditebus.
Ini adalah kontras dramatis dengan gambaran surga, di mana orang-orang beriman menerima 'ajrun ghairu mamnun' (pahala yang tidak terputus) dan 'tijarah lan tabur' (perdagangan yang tidak akan pernah merugi). Kerugian Abu Lahab adalah kebalikan total dari keuntungan orang beriman.
Bagi orang Arab, kehormatan dan warisan nama baik adalah bagian dari 'kasab'. Surah Al-Lahab memastikan bahwa Abu Lahab tidak hanya kehilangan hartanya di akhirat, tetapi juga nama baiknya di dunia. Namanya abadi dalam Al-Quran sebagai simbol perlawanan terhadap kebenaran. Ini adalah kerugian reputasi abadi, sebuah hukuman di dunia yang melengkapi hukuman di Akhirat.
Para ulama tafsir sepanjang sejarah telah memberikan bobot besar pada penafsiran 'wa ma kasab' karena luasnya cakupan makna yang terkandung di dalamnya.
Ibnu Katsir memperkuat pandangan bahwa 'maaluhu' (hartanya) dan 'wama kasab' (apa yang diusahakannya) berarti kekayaan materi dan anak-anaknya. Beliau menekankan bahwa kedua hal yang paling disayangi dan dibanggakan oleh manusia tidak akan mampu melindungi seseorang dari siksa Allah, jika ia tidak beriman.
Al-Qurtubi menyoroti aspek linguistik dari 'Ma Aghna', menekankan bahwa kekayaan yang melimpah (ghina) tidak akan menghasilkan manfaat sedikit pun (maa aghna). Ia juga secara tegas memasukkan perbuatan buruk dan dosa yang dikumpulkan sebagai bagian dari 'kasab' yang tidak menguntungkan.
Dalam tafsir modern, seringkali ditekankan relevansi sosial ayat ini. Mereka melihat al lahab ayat 2 sebagai kritik terhadap otoritarianisme yang didukung oleh kekayaan. Kekuatan politik atau sosial yang diakumulasi oleh seorang tiran (kasab) tidak akan mampu menyelamatkannya dari kejatuhan atau hukuman ilahi, menunjukkan bahwa keadilan ilahi akan mengalahkan kekuasaan manusia, sekuat apapun modalnya.
Untuk memahami sepenuhnya pesan Surah Al-Lahab Ayat 2, kita harus melihat bagaimana tiga elemen utamanya—negasi mutlak, harta, dan usaha—berinteraksi:
Ayat ini secara efektif menetralkan baik kekayaan yang diwarisi atau dimiliki (maaluhu) maupun kekayaan yang diperjuangkan dan dicapai (wama kasab). Keduanya menjadi nol (nihil) di Hari Kiamat bagi mereka yang memilih jalan kekafiran dan permusuhan.
Pesan ini memperingatkan umat manusia untuk tidak terjerumus pada ilusi otonomi material. Manusia sering merasa 'cukup' (ghina) karena kekayaan mereka, padahal kecukupan sejati hanya datang dari Allah SWT. Ketika manusia merasa dirinya mandiri dari Tuhan karena kekayaannya, saat itulah dia berada di jalan yang sama dengan Abu Lahab.
Dengan demikian, Al Lahab Ayat 2 bukan hanya tentang Abu Lahab yang malang; ini adalah cetak biru abadi mengenai nasib akhir dari semua orang yang memilih materialisme dan arogansi sebagai prinsip hidup mereka. Ini adalah seruan untuk introspeksi, untuk menilai kembali setiap usaha dan setiap kepemilikan, memastikan bahwa semuanya didedikasikan untuk mencapai manfaat yang abadi, bukan sekadar keuntungan yang fana.
Setiap jam yang dihabiskan dalam pekerjaan, setiap rupiah yang diinvestasikan, setiap hubungan yang dijalin—semuanya adalah bagian dari 'kasab' yang akan dipertanyakan. Jika 'kasab' tersebut tidak didasarkan pada Tauhid, ia hanyalah penumpukan debu yang akan disapu bersih oleh angin Hari Kebangkitan. Kekayaan dan jerih payah yang tidak dapat menolong di alam kubur dan Padang Mahsyar adalah definisi sejati dari kerugian yang tidak terbayangkan.
Keselamatan sejati, menurut ayat ini, terletak pada investasi abadi yang melampaui kemampuan harta untuk membeli dan usaha untuk mencapai. Hanya rahmat Allah, yang dicapai melalui keimanan dan amal saleh yang ikhlas, yang dapat menjadi 'maal' dan 'kasab' yang benar-benar berguna.
Penghayatan terhadap al lahab ayat 2 harus memicu perubahan paradigma: dari pertanyaan 'Berapa banyak yang saya miliki?' menjadi 'Berapa banyak yang telah saya siapkan untuk kehidupan yang abadi?' Jawabannya akan menentukan apakah harta dan usaha kita akan menjadi penyelamat atau justru penghalang di Hari Kiamat. Kekuatan harta duniawi adalah terbatas, tetapi balasan Ilahi adalah mutlak, dan tidak ada yang dapat menawar balasan itu. Inilah inti dari pesan yang dibawa oleh surah pendek namun penuh makna ini.