Surah Al-Lahab (Gejolak Api), yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad (Sabut), adalah salah satu surah Makkiyah terpendek, terdiri dari lima ayat yang padat makna dan mengandung nubuat yang tegas. Surah ini diturunkan sebagai respons langsung terhadap permusuhan ekstrem dan penentangan terbuka dari salah satu paman Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab, dan istrinya, Ummu Jamil binti Harb.
Keunikan Surah Al-Lahab terletak pada sifatnya yang profetik dan spesifik. Ia bukan hanya ancaman umum terhadap orang kafir, melainkan hukuman yang ditujukan kepada individu tertentu yang saat itu masih hidup. Ayat-ayatnya mengumumkan kehancuran duniawi dan siksa abadi bagi pasangan tersebut, sebuah deklarasi yang diyakini oleh ulama sebagai salah satu mukjizat kenabian yang paling jelas, sebab mereka meninggal tanpa pernah memeluk Islam, menggenapi nubuat Al-Qur'an.
Menurut riwayat yang sahih, surah ini turun ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali melaksanakan perintah Allah untuk menyampaikan dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Beliau naik ke Bukit Safa di Mekah dan memanggil semua klan Quraisy. Ketika mereka berkumpul, Nabi bertanya, "Jika aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak bahwa mereka pasti akan memercayainya karena Nabi dikenal sebagai Al-Amin (yang terpercaya).
Lalu, Nabi berseru, "Aku adalah pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih." Saat itu, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan nada mencemooh, "Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" Penghinaan yang kasar dan publik inilah yang segera dijawab oleh firman Allah SWT, yang dimulai dengan ayat pertama, "Tabbat yadā abī Lahabin watabb" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa).
Surah ini menegaskan bahwa permusuhan Abu Lahab terhadap Nabi SAW adalah permusuhan yang melampaui batas kekerabatan, dan ia pantas menerima hukuman ilahi yang sangat spesifik, yang berpuncak pada gambaran siksaan yang dialami istrinya, Ummu Jamil, yang dirincikan dalam ayat kelima.
Fokus utama kita adalah pada ayat terakhir dari surah yang mulia ini, yang mengunci gambaran kehancuran bagi pasangan yang menentang kebenaran. Ayat ini sepenuhnya didedikasikan untuk Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang perannya dalam memusuhi Islam sama destruktifnya dengan suaminya.
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Terjemah: Di lehernya ada tali dari sabut.
(Fī jīdihā ḥablum mim masad.)
Ayat ini berfungsi sebagai penutup yang visual dan kuat, mengikat gambaran hukuman akhirat dengan tindakan Ummu Jamil di dunia. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah setiap komponen linguistik dan teologisnya.
Kata Jīdihā (جِيدِهَا) secara spesifik merujuk pada leher, atau bagian kerongkongan. Pemilihan kata ini sangat penting. Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata untuk "leher" (seperti ‘unuq atau raqabah), tetapi jīd sering digunakan dalam konteks perhiasan atau kalung, menandakan sesuatu yang dilihat atau dipertontonkan. Penggunaan jīdihā mengindikasikan bahwa hukuman ini akan dipasang di bagian yang terlihat jelas, sebuah bentuk penghinaan publik.
Di dunia, Ummu Jamil adalah seorang wanita terpandang dari suku Quraisy, putri Harb bin Umayyah, dan saudara perempuan Abu Sufyan. Ia mungkin mengenakan kalung dan perhiasan mahal, sesuai statusnya. Namun, di akhirat, perhiasan kebanggaan itu akan digantikan oleh tali yang kasar dan hina. Ini adalah pembalikan total dari status sosialnya—kemuliaan duniawi digantikan oleh kehinaan abadi.
Kata Ḥablun (حَبْلٌ) berarti tali atau tambang. Tali biasanya melambangkan pengekangan, penarikan, atau beban. Dalam konteks ini, tali tersebut berfungsi ganda: sebagai alat penyiksaan dan sebagai simbol beban kejahatan yang ia pikul selama hidupnya.
Para mufasir menjelaskan bahwa tali ini akan digunakan untuk menyeretnya ke dalam api neraka atau untuk mengikatnya saat ia memikul kayu bakar (tindakan yang disinggung di ayat 4).
Inilah kata kunci yang memberikan nama alternatif bagi surah ini (Al-Masad). Kata Masad (مَّسَدٍ) merujuk pada sabut, khususnya serat kasar yang diekstrak dari pohon palem atau kurma. Tali dari sabut dikenal sangat kasar, bergerigi, dan menyakitkan jika bergesekan dengan kulit.
Para ulama tafsir melihat hubungan langsung antara bahan tali ini dan tindakan Ummu Jamil di dunia. Ayat sebelumnya (Ayat 4) menyebutkan bahwa ia adalah ḥammālat al-ḥaṭab (pembawa kayu bakar).
Tafsir klasik menawarkan dua interpretasi utama mengenai julukan "pembawa kayu bakar":
Apapun interpretasinya, kata Masad menegaskan bahwa tali itu bukanlah tali biasa, melainkan tali yang melambangkan kekasaran, penderitaan, dan kehinaan, bahan yang paling tidak layak untuk seorang wanita bangsawan.
Ilustrasi Tali Masad (Sabut Kasar) yang diyakini terbuat dari serat pohon kurma, melambangkan kekasaran dan kehinaan.
Ayat 5 tidak dapat dipisahkan dari Ayat 4 (wa imra’atuhū ḥammālat al-ḥaṭab). Ayat 4 mendeskripsikan perbuatannya (membawa kayu bakar/fitnah), dan Ayat 5 mendeskripsikan hukuman yang setimpal (tali dari sabut di lehernya).
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Ummu Jamil di dunia adalah wanita yang gemar menyebarkan fitnah. Fitnah adalah bahan bakar bagi api permusuhan. Maka, di akhirat, ia benar-benar akan menjadi "pembawa kayu bakar" yang disiapkan untuk suaminya di neraka, dan tali dari sabut kasar adalah rantai yang mengikatnya dalam tugas yang mengerikan ini.
"Ayat 5, 'Di lehernya ada tali dari sabut,' menunjukkan bahwa ia akan dirantai dan dipenjara dengan rantai di Neraka Jahannam, yang terbuat dari api dan sabut yang terbakar. Ini adalah balasan atas tindakannya membawa duri dan fitnah ke jalan Rasulullah."
Keterkaitan ini adalah contoh sempurna dari konsep Jazā’an Wifāqan (balasan yang sesuai) dalam Al-Qur'an. Karena kejahatannya bersifat verbal dan fisik (menyebarkan fitnah dan duri), hukumannya bersifat fisik dan simbolis (terikat dan tersiksa oleh sabut kasar).
Meskipun mayoritas mufasir sepakat bahwa masad merujuk pada sabut di dunia, terdapat interpretasi teologis yang lebih mendalam mengenai asal-usul tali tersebut di akhirat. Apakah tali itu secara literal tali sabut duniawi, atau apakah itu adalah metafora untuk rantai neraka?
Mayoritas ulama cenderung pada interpretasi kedua, bahwa meskipun namanya diambil dari material duniawi yang hina (sabut), di akhirat, tali tersebut terbuat dari substansi neraka yang menyebabkan rasa sakit tak terperikan, mengikat lehernya sebagai kalung kehinaan.
Surah Al-Lahab, khususnya ayat 5, menyajikan kontras yang tajam antara keangkuhan duniawi Ummu Jamil dan kehinaan yang menantinya. Ini bukan hanya sebuah ancaman, melainkan sebuah pernyataan faktual tentang masa depan.
Surah ini, diturunkan pada masa-masa awal dakwah, menyatakan dengan pasti bahwa Abu Lahab dan istrinya akan mati sebagai musuh Islam dan akan memasuki Neraka. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang kuat: Jika mereka ingin membuktikan Al-Qur'an salah, mereka hanya perlu mengucapkan syahadat (bahkan jika tidak tulus). Namun, mereka tidak pernah melakukannya. Nubuat ini, oleh karena itu, merupakan bukti nyata bahwa Al-Qur'an adalah wahyu ilahi, karena nasib akhir mereka telah ditetapkan sebelum kematian mereka.
Ayat 5 mengokohkan nubuat ini dengan menggambarkan detail siksaan bagi Ummu Jamil. Dia dihukum dengan alat yang paling hina, tali sabut, yang sangat kontras dengan perhiasan emas yang biasa menghiasi leher wanita kaya Quraisy.
Keadilan yang digambarkan dalam Ayat 5 adalah keadilan yang sangat spesifik dan personal. Hukuman ini dirancang agar cocok dengan kejahatan: ia menggunakan mulutnya untuk menyebarkan fitnah dan tangannya untuk membawa duri, maka di akhirat, mulutnya disumpal, tangannya binasa (Ayat 1), dan lehernya dilingkari oleh beban hasil kejahatannya.
Hal ini mengajarkan prinsip bahwa Allah SWT tidak menghukum secara acak, melainkan memberikan balasan yang sepadan dengan sifat kejahatan yang dilakukan oleh individu tersebut. Ummu Jamil, yang hidupnya dipenuhi dengan kebanggaan dan kemuliaan status sosial, dihukum dengan kehinaan yang paling mendalam.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau akar kata Arab yang membentuk Ayat 5, terutama kata Masad dan Jīdihā.
Akar triliteral M-S-D (م-س-د) dalam bahasa Arab klasik memiliki konotasi utama yang berkaitan dengan:
Penggunaan kata ini dalam surah bukan sekadar deskripsi material, tetapi sebuah gambaran yang memunculkan sensasi ketidaknyamanan, gesekan, dan siksaan yang berlangsung terus-menerus. Jika tali neraka terbuat dari bahan yang halus, maka penderitaannya mungkin berkurang. Namun, karena ia disebut Masad, ini menjamin tingkat kekasaran dan gesekan yang maksimal.
Akar J-Y-D (ج-ي-د) berhubungan dengan leher, khususnya bagian yang indah dan tinggi yang sering menjadi tempat perhiasan. Dalam puisi Arab pra-Islam, kata Jīd sering digunakan untuk memuji kecantikan wanita. Ini memperkuat ironi teologisnya: bagian yang dahulu dihiasi mutiara dan emas, kini dihiasi tali sabut. Ini adalah dekonstruksi simbolis terhadap semua yang diyakini Ummu Jamil sebagai sumber kemuliaan.
Meskipun inti maknanya universal, para mufasir besar memberikan nuansa yang memperkaya pemahaman kita tentang hukuman ini.
Imam Al-Tabari menekankan bahwa penggunaan Masad bisa merujuk pada dua hal yang terpisah namun terkait: sabut di dunia yang digunakan Ummu Jamil, dan rantai di akhirat. Al-Tabari mengutip riwayat bahwa tali itu panjangnya tujuh puluh hasta dan terbuat dari besi yang dipanaskan. Ia melihat Masad sebagai kiasan untuk kekerasan dan keburukan. Tujuannya adalah memastikan bahwa lehernya akan ditarik dengan tali yang paling kasar saat ia dipaksa melaksanakan tugasnya di neraka.
Al-Qurtubi lebih fokus pada interpretasi simbolis. Ia mencatat bahwa Ummu Jamil dikenal membawa fitnah dan memecah belah komunitas. Oleh karena itu, tali Masad adalah lambang dari beban dosa yang sangat berat, yang kini melilitnya. Al-Qurtubi juga menambahkan dimensi etis: ini adalah pelajaran bagi orang-orang yang gemar menyebarkan kebohongan; kehinaan menanti mereka.
Al-Razi melakukan analisis linguistik yang sangat detail. Ia berpendapat bahwa Masad dipilih karena ia mengingatkan orang Arab akan bahan yang paling hina dan paling mudah terbakar. Ia melihat korelasi antara api neraka (Al-Lahab) dan tali sabut (Masad), karena sabut adalah bahan yang sangat kering dan mudah terbakar. Dengan demikian, tali itu bukan hanya mengikat, tetapi juga berfungsi sebagai bahan bakar yang memperhebat siksaannya sendiri.
Ayat terakhir Surah Al-Lahab ini membawa serangkaian implikasi teologis yang mendalam mengenai sifat hukuman ilahi dan pentingnya integritas dalam bermasyarakat.
Surah ini menegaskan kedaulatan mutlak Allah SWT. Ketika Allah telah menetapkan hukuman bagi seseorang, tidak ada kekuatan di bumi yang dapat membatalkannya. Ayat 5, dengan detailnya yang mengerikan, menghilangkan semua keraguan tentang nasib Ummu Jamil.
Ummu Jamil adalah seorang bangsawan. Hukuman yang ia terima membuktikan bahwa status sosial, kekayaan, atau garis keturunan tidak akan memberikan perlindungan di hadapan Allah SWT. Hukuman yang melibatkan tali sabut—simbol kaum miskin dan bahan yang paling kasar—adalah penolakan ilahi terhadap nilai-nilai materi yang dipegang teguh oleh kaum Quraisy.
Jika kita menerima penafsiran bahwa Ummu Jamil adalah "pembawa kayu bakar" yang bersifat metaforis (penyebar fitnah), maka Ayat 5 berfungsi sebagai peringatan keras terhadap kejahatan lisan. Fitnah, gosip, dan hasutan dianggap sebagai dosa yang begitu besar sehingga hukumannya melibatkan rantai api yang mengikat leher sang pelaku. Lisan yang digunakan untuk menghancurkan kehormatan orang lain akan dihukum melalui kehinaan fisik di akhirat.
Dalam konteks modern, hal ini relevan sebagai peringatan terhadap penyebaran berita bohong atau hasutan kebencian, yang dalam Islam dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan sosial terbesar.
Untuk menggali lebih jauh makna Masad, kita harus memahami mengapa Surah ini secara spesifik menggunakan metafora ini yang begitu terikat pada aktivitas keseharian.
Ummu Jamil, yang bernama asli Arwa binti Harb, adalah sosok yang aktif dan berinisiatif dalam memusuhi Nabi SAW. Dia tidak hanya mendukung suaminya, tetapi juga secara proaktif merencanakan gangguan. Riwayat menyebutkan bahwa selain menyebarkan duri, dia juga menyusun syair-syair satire yang merendahkan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, ia memikul beban ganda: serangan fisik dan serangan psikologis.
Hukuman Masad adalah hukuman yang sangat personal. Sabut adalah material yang digunakan oleh orang-orang Arab untuk mengikat barang bawaan mereka, termasuk air dan kayu. Ummu Jamil mungkin sering melihat para budak atau pekerja miskin menggunakan tali sabut ini. Kenyataan bahwa ia, seorang bangsawan, akan dirantai dengan tali yang melambangkan kemiskinan dan kerja paksa adalah inti dari penghinaan abadi.
Api Neraka (Al-Lahab) menanti Ummu Jamil, yang dilingkari tali sabut, balasan yang setimpal dengan tindakan jahatnya.
Para mufasir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur'ān, sering menekankan aspek visual dan puitis dari ayat ini. Qutb menyatakan bahwa penggambaran Ummu Jamil, seorang wanita kaya yang diarak dengan tali sabut di lehernya sambil memikul kayu bakar, adalah puncak dari penghinaan. Ini adalah adegan neraka yang paling merendahkan martabat seorang wanita yang pernah bangga dengan perhiasannya. Visualisasi puitis inilah yang membuat Surah Al-Lahab begitu unik dalam sastra Al-Qur'an.
Pengulangan dan penekanan pada kata Masad dalam literatur tafsir menegaskan bahwa detail ini bukan sekadar aksesoris, melainkan elemen kunci dalam definisi hukuman. Hukuman di akhirat sering kali memiliki korelasi yang sangat presisi dengan dosa yang dilakukan di dunia.
Untuk memahami mengapa ancaman dalam Ayat 5 begitu kuat, kita harus menempatkannya dalam konteks kehormatan dan aib (‘Izzah wa Shayn) masyarakat Arab sebelum Islam. Bagi Quraisy, terutama bagi wanita bangsawan, kehormatan sangat tergantung pada penampilan luar, perhiasan, dan status. Kehilangan kehormatan berarti kehancuran sosial.
Ayat 5 secara efektif mengambil kehormatan Ummu Jamil, menggantikan kalung emasnya dengan tali sabut. Dalam masyarakat yang sangat menghargai simbol kekayaan, ini adalah kutukan yang paling dalam. Ketika Al-Qur'an menyebutkan bahwa ia akan membawa kayu bakar (sebuah tugas buruh rendahan) dan dilingkari tali kasar (simbol budak), ini meruntuhkan seluruh fondasi identitasnya di mata masyarakat Arab.
Inilah yang dimaksud dengan Shayn (aib atau kehinaan) yang abadi. Hukuman ini tidak hanya menyiksa secara fisik, tetapi juga menghancurkan harga diri dan statusnya selamanya, sejalan dengan keangkuhan yang ia tunjukkan saat memusuhi Nabi Muhammad SAW.
Meskipun kita fokus pada Ayat 5, makna penuh dari Masad baru tercapai ketika kita melihat bagaimana ia berinteraksi dengan empat ayat sebelumnya. Surah ini membentuk narasi yang kohesif tentang kehancuran total.
Menargetkan Abu Lahab, pemimpin dan perwakilan kekuasaan fisik dan material. Binasanya tangan melambangkan hilangnya kemampuan untuk bertindak dan mempertahankan diri. Hukuman di sini bersifat general untuk pemimpin permusuhan.
Menargetkan kekayaan dan keturunan, dua sumber utama kebanggaan Arab. Ayat ini menafikan nilai-nilai duniawi yang diandalkan Abu Lahab. Ini adalah kehancuran fondasi material.
Menargetkan Ummu Jamil sebagai mitra kejahatan, yang tugasnya adalah menyebarkan fitnah (bahan bakar). Ini adalah kehancuran fondasi moral dan sosial.
Puncak hukuman bagi Ummu Jamil, yang merangkum kehinaan fisik, hilangnya status, dan balasan yang setimpal. Tali Masad adalah simbol terakhir yang mengikat seluruh surah—bukti fisik dari kejatuhan yang diumumkan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, Masad bukan hanya detail fisik, tetapi juga kata penutup yang secara retoris mengakhiri narasi kehancuran total sebuah keluarga yang memilih permusuhan daripada kebenaran.
Al-Qur'an terkenal dengan keindahan linguistiknya (I'jaz Al-Qur'an). Ayat 5 menyumbang pada ritme surah ini dengan caranya sendiri.
Surah Al-Lahab menggunakan rima akhir yang konsisten (akhiran 'ab' atau 'ad' pada versi tertentu). Ayat-ayat sebelumnya diakhiri dengan tabb, kasab, lahab, ḥaṭab. Ayat 5, Fī jīdihā ḥablum mim masad, meskipun memiliki ritme yang berbeda, bunyi 'd' di akhir kata Masad memberikan penekanan yang tegas dan berat, memberikan penutupan yang bersifat final dan menentukan.
Bunyi yang keras dari Masad (dengan penekanan pada huruf Sin dan Dal) secara fonetik mencerminkan kekasaran dan kepedihan dari tali itu sendiri, memberikan pengalaman pendengaran yang selaras dengan makna penderitaan yang disampaikannya.
Ayat ini menciptakan kontras imajiner yang kuat. Pembaca atau pendengar dibayangkan melihat leher yang biasanya anggun (Jīdihā) ditarik dengan kasar oleh tali yang terbuat dari sampah (Masad). Penggunaan gambar yang kuat ini memastikan bahwa ancaman ilahi tidak hanya abstrak, tetapi sangat nyata dan dapat dibayangkan.
Ayat 5 Surah Al-Lahab memiliki nilai edukasi yang melampaui sejarah masa lalu, memberikan pelajaran abadi bagi umat Islam.
Kisah Abu Lahab dan Ummu Jamil adalah kisah tentang bagaimana permusuhan terhadap kebenaran dapat terjadi bahkan dalam lingkaran keluarga terdekat. Ayat ini menekankan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari hukuman jika ia menentang kebenaran. Kejahatan Ummu Jamil adalah kejahatan yang disengaja dan sistematis.
Ayat ini mendorong refleksi mendalam tentang nilai-nilai yang dikejar manusia. Harta, status, dan kebanggaan fisik adalah sementara dan tidak berarti di hadapan keadilan Tuhan. Bagi Ummu Jamil, perhiasan di lehernya digantikan oleh sabut, sebuah pengingat bahwa semua kemuliaan duniawi adalah fatamorgana jika tidak didasarkan pada keimanan.
Secara praktis, pelajaran terbesar yang diambil dari gambaran ḥablum mim masad adalah pentingnya menjaga lisan dari fitnah dan kebohongan. Jika hukuman bagi pembawa fitnah adalah tali api di leher, maka umat Islam wajib menjaga komunikasi mereka dari segala bentuk kebohongan, hasutan, dan pencemaran nama baik.
Tali Masad berfungsi sebagai metafora abadi bagi konsekuensi yang ditanggung oleh mereka yang menggunakan karunia komunikasi mereka untuk menyakiti dan memecah belah, bukannya untuk membangun dan mendamaikan.
Ayat kelima Surah Al-Lahab, Fī jīdihā ḥablum mim masad, adalah mahkota dari surah yang pendek namun penuh otoritas ilahi. Ayat ini merinci hukuman yang sangat spesifik dan personal bagi Ummu Jamil, istri Abu Lahab, yang perannya sebagai penyebar fitnah (pembawa kayu bakar) dikonfrontasi dengan balasan yang setimpal.
Tali dari sabut (Masad) melambangkan kontras antara kehinaan akhirat dan kesombongan duniawi. Ia adalah tali kasar yang akan mengikat lehernya—tempat di mana ia dahulu memamerkan perhiasan—sebuah simbol visual yang meruntuhkan status bangsawan dan menggantinya dengan tugas buruh yang hina di neraka.
Surah Al-Lahab secara keseluruhan, dan Ayat 5 secara khusus, tetap menjadi salah satu bukti kenabian yang paling kuat. Ia adalah pengumuman takdir yang terpenuhi, serta peringatan universal tentang konsekuensi mengerikan dari permusuhan yang disengaja terhadap kebenaran dan pentingnya menjaga integritas lisan serta perbuatan. Hukuman Masad adalah peringatan bahwa keadilan Ilahi mencakup detail terkecil dari perbuatan manusia.
Refleksi atas ayat ini seharusnya mendorong setiap mukmin untuk menjauhkan diri dari segala bentuk kesombongan, fitnah, dan penentangan terhadap ajaran Allah, mengingat bahwa bahkan perbuatan sekecil membawa 'kayu bakar' atau menyebarkan 'sabut' kebencian akan berakibat pada rantai yang mengikat di hari penghitungan kelak.
Surah ini, melalui lima ayatnya yang ringkas, mengajarkan bahwa korelasi antara perbuatan di dunia dan balasan di akhirat adalah absolut dan terperinci, sebagaimana tali sabut itu dilingkarkan pada leher sang pembawa fitnah.
Penggunaan istilah Masad di akhir surah tidak hanya memberikan nama alternatif, tetapi juga memberikan kesan akhir yang kuat. Tali kasar ini adalah simpul yang mengikat takdir kesombongan duniawi pada hukuman abadi. Ia adalah akhir cerita yang tak terhindarkan bagi mereka yang memilih jalan penentangan, terlepas dari kekayaan atau status yang mereka miliki.
Kisah ini menegaskan bahwa setiap individu, dari bangsawan hingga rakyat biasa, akan menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka. Ummu Jamil memilih untuk menyakiti dan memfitnah Rasulullah, dan balasannya adalah menjadi bagian dari bahan bakar neraka, terikat oleh tali yang melambangkan kehinaan total, jauh dari kemuliaan yang ia dambakan di dunia fana.
Oleh karena itu, setiap kata dalam Surah Al-Lahab, terutama detail visual dari Ayat 5, dipertahankan dalam memori umat Islam sebagai pelajaran mendalam tentang keadilan, konsekuensi, dan kepastian janji dan ancaman Ilahi.
Kita menutup dengan merenungkan kembali detail tali sabut tersebut. Di Mekah yang panas dan gersang, sabut adalah benda sehari-hari, kasar dan mudah didapat. Mengaitkan benda sepele ini dengan hukuman neraka memberikan gambaran bahwa alat paling sederhana yang digunakan untuk kejahatan di dunia akan menjadi rantai yang paling menyakitkan di akhirat. Ini adalah pesan yang sangat meresap, menggarisbawahi pentingnya setiap tindakan kecil dalam catatan amal manusia.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mengambil pelajaran dari setiap ayat Al-Qur'an dan menjauhkan diri dari jalan yang ditempuh oleh Abu Lahab dan istrinya.