Surah Al-Lahab, atau yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah terpendek namun memiliki muatan historis dan teologis yang sangat padat dalam Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari lima ayat dan diturunkan di Makkah (Makkiyah), menjadikannya salah satu wahyu awal yang secara langsung menargetkan seorang individu yang hidup pada masa kenabian, yang merupakan paman dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri: Abu Lahab.
Nama surah ini, Al-Lahab, berasal dari kata Arab yang bermakna 'nyala api' atau 'bara api yang menyala-nyala'. Pemberian nama ini bukan sekadar deskripsi azab di akhirat, tetapi juga terkait erat dengan nama panggilan dari individu yang menjadi sasaran utama surah tersebut. Memahami Surah Al-Lahab membutuhkan analisis komprehensif, mulai dari akar linguistik kata tersebut, konteks sejarah penurunannya, hingga implikasi teologisnya yang abadi.
Kata Al-Lahab (ٱللَّهَبِ) secara harfiah merujuk pada "nyala api yang murni" atau "api yang sangat terang dan berkobar-kobar." Kata ini memiliki akar kata yang sama dengan nama panggilan Abu Lahab, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Ia dipanggil Abu Lahab, yang berarti "Bapak Api yang Menyala," karena wajahnya yang konon cerah, merah, dan bercahaya, mirip dengan nyala api yang kemerahan. Ironisnya, nama panggilan yang diberikan karena penampilan fisik yang menawan ini, kemudian diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai penentu nasibnya di akhirat, di mana ia akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya sungguh-sungguh menyala.
Penggunaan kata Lahab dalam konteks azab memberikan gambaran intensitas siksaan. Ini bukan api biasa, melainkan api yang melahap dan membakar tanpa ampun. Para ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa lahab berbeda dengan kata lain yang merujuk pada api, seperti nar (api umum) atau sa'ir (api yang berkobar). Lahab secara spesifik menekankan pada bagian lidah api yang murni, yang paling panas, dan paling dahsyat kekuatannya. Pilihan kata ini menunjukkan bahwa sanksi bagi Abu Lahab adalah yang paling mengerikan dan mematikan, sesuai dengan tingkat permusuhannya yang begitu ekstrem terhadap Rasulullah dan dakwah tauhid.
Surah Al-Lahab dibuka dengan kata تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ (Tabbat yada Abi Lahabin wa tabb). Kata Tabbat (تَبَّتْ) adalah kata kerja lampau yang bermakna 'binasa', 'rugi', 'celaka', atau 'gagal total'. Ini adalah pernyataan profetik dan doa sekaligus. Dalam konteks ayat ini, maknanya adalah kepastian kehancuran dan kerugian total. Kalimat ini ditekankan dua kali: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia telah binasa."
Pengulangan kata Tabbat memperkuat makna kepastian dan keabadian kehancuran tersebut. Frasa "kedua tangan" (yada) sering digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk pada usaha, pekerjaan, dan hasil dari segala daya upaya seseorang. Artinya, bukan hanya dirinya yang celaka, tetapi segala hasil usaha, kekayaan, dan pengaruhnya di dunia tidak akan berguna dan telah celaka sejak awal. Interpretasi para mufassir menekankan bahwa ini adalah penghancuran total, baik di dunia (hilangnya kehormatan dan kekuasaan) maupun di akhirat (siksa neraka).
Nama lain surah ini, Surah Al-Masad, diambil dari ayat terakhir: فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Fī jīdihā ḥablum mim masad). Kata Masad (مَّسَدٍ) merujuk pada tali yang terbuat dari serabut atau sabut pohon kurma yang kasar dan kuat. Dalam konteks surah ini, tali sabut tersebut adalah gambaran rantai atau belenggu yang akan melilit leher istri Abu Lahab, Ummu Jamil, di neraka.
Pilihan tali sabut kurma memiliki signifikansi yang mendalam. Tali sabut adalah simbol kekerasan, kekasaran, dan beban yang berat. Ia kontras dengan kekayaan dan perhiasan yang biasa dikenakan oleh Ummu Jamil. Selain itu, tali sabut juga memiliki konotasi dengan kayu bakar yang ia kumpulkan untuk dilemparkan ke jalan Nabi Muhammad ﷺ sebagai bentuk gangguan. Jadi, tali tersebut akan menjadi balasan yang setimpal atas aktivitas permusuhannya di dunia, di mana ia membawa kayu bakar (simbol fitnah dan permusuhan) dan di akhirat, ia akan membawa tali sabut yang kasar sebagai rantai azabnya.
Abu Lahab adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, paman kandung Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah saudara dari Abdullah (ayah Nabi) dan Abu Thalib. Sebagai bagian dari Bani Hasyim, kabilah terhormat suku Quraisy, Abu Lahab memegang posisi sosial yang signifikan. Pada awalnya, hubungan antara Abu Lahab dan Nabi Muhammad cukup baik. Bahkan, dua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah, menikah dengan dua putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, meskipun pernikahan ini kemudian dibatalkan atas perintah Abu Lahab saat dakwah mulai terang-terangan.
Kekuatan dan pengaruh Abu Lahab terletak pada kekayaan dan kemuliaannya. Ia adalah tokoh yang dihormati di Makkah, dan penolakannya terhadap dakwah Nabi menjadi pukulan telak bagi Nabi ﷺ, karena permusuhan datang dari lingkaran keluarga terdekat. Ini adalah ujian yang sangat berat bagi Rasulullah, menunjukkan bahwa dalam urusan iman, ikatan darah tidak lebih penting daripada ikatan tauhid.
Surah Al-Lahab diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaumnya. Peristiwa kunci terjadi ketika Rasulullah naik ke Bukit Safa, mengumpulkan seluruh kabilah Quraisy (Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Taim, dll.) untuk menyampaikan risalah ilahi.
Setelah orang-orang berkumpul, Nabi ﷺ bertanya: "Jika aku katakan kepada kalian bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang siap menyerang, apakah kalian akan mempercayaiku?" Mereka menjawab serempak: "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berbohong." Kemudian Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan adanya azab yang pedih di hadapan."
Saat itu, Abu Lahab berdiri dan berkata dengan keras di hadapan semua orang, berusaha mengacaukan pertemuan: تَبًّا لَّكَ سَآئِرَ ٱلْيَوْمِ أَلِهَٰذَا جَمَعْتَنَا؟ (Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?). Ia tidak hanya mencela, tetapi juga menolak dan menghina dakwah tauhid secara publik. Tindakan ini merupakan puncak dari penentangan dan penghinaan, yang kemudian dibalas langsung oleh Allah SWT melalui wahyu ini. Allah SWT membalas ucapan Abu Lahab dengan mengarahkan kutukan yang sama persis kepadanya, tetapi dengan otoritas ilahi yang mutlak, menegaskan bahwa dialah yang sesungguhnya celaka.
Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil binti Harb (saudari dari Abu Sufyan), menjadi garda terdepan dalam memusuhi dan menyakiti Rasulullah ﷺ. Mereka tinggal bersebelahan, dan permusuhan mereka bersifat personal dan intens.
Intensitas permusuhan inilah yang membedakan Abu Lahab dari penentang Quraisy lainnya, seperti Abu Jahal. Meskipun Abu Jahal memusuhi risalah secara politik dan ideologis, permusuhan Abu Lahab bersifat pribadi, kejam, dan datang dari anggota keluarga terdekat, menjadikannya sasaran unik wahyu ilahi.
Surah Al-Lahab (Al-Masad) adalah surah ke-111 dalam mushaf. Ia merupakan pernyataan definitif mengenai nasib musuh yang paling gigih dari Rasulullah.
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia telah binasa!"
Ayat pertama ini merupakan pukulan telak yang menggarisbawahi kegagalan total dari segala upaya Abu Lahab untuk memadamkan cahaya Islam. Ketika Allah SWT menyebut "kedua tangan," itu adalah metonimia yang merujuk pada segala usaha, perencanaan, kekuasaan, dan kekayaan yang ia gunakan untuk melawan Nabi. Semua itu sia-sia dan berakhir dengan kerugian.
Pengulangan wa tabb (dan sungguh dia telah binasa) menunjukkan dua tingkatan kehancuran. Tafsir klasik memandangnya sebagai: (1) kutukan terhadap usaha yang ia lakukan di masa lalu, dan (2) penegasan bahwa nasibnya di masa depan telah pasti celaka, yaitu di akhirat. Ini adalah keajaiban profetik Al-Qur'an; surah ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup, tetapi secara pasti meramalkan bahwa ia akan mati dalam keadaan kufur dan celaka. Tidak ada kesempatan baginya untuk bertaubat atau berpura-pura masuk Islam, karena jika ia beriman, ramalan Al-Qur'an akan salah. Kenyataannya, Abu Lahab meninggal dunia setelah Perang Badar karena penyakit yang disebut al-Adasah (sejenis wabah yang sangat menular), mati dalam kehinaan dan tanpa ada yang mau mendekat, mengkonfirmasi kepastian ayat ini.
Aspek retorika dan balaghah dalam ayat ini sangat kuat. Syaikh Abdurrahman as-Sa'di menjelaskan bahwa pemilihan kata tabbat yang bersifat pasif (binasa) menunjukkan bahwa kehancuran itu sudah merupakan fakta yang tidak terhindarkan, sebuah ketetapan ilahi yang tidak dapat diganggu gugat oleh kekuatan manusia mana pun. Ini juga berfungsi sebagai penghiburan yang luar biasa bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang pada saat itu sedang berada dalam situasi dakwah yang penuh tekanan dan ancaman dari pamannya sendiri.
مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ
"Tidaklah berguna baginya harta bendanya dan apa yang ia usahakan."
Ayat kedua menepis dua sumber utama kekuatan dan kebanggaan Abu Lahab di Makkah: harta (maluhu) dan anak-anak (wa ma kasab, yang banyak ditafsirkan sebagai anak-anaknya, karena anak dianggap sebagai hasil usaha atau 'pendapatan' seseorang di masa depan).
Di dunia Arab pra-Islam, kekayaan dan keturunan adalah penentu utama status sosial. Abu Lahab beranggapan bahwa kekayaan klannya akan melindunginya dari azab Allah, sebagaimana banyak orang Quraisy lainnya yang mengandalkan harta mereka. Ayat ini menegaskan bahwa di hadapan keadilan ilahi, semua perlindungan material dan sosial akan runtuh. Harta benda yang ia gunakan untuk membiayai permusuhan dan usaha yang ia lakukan untuk mengumpulkan pengikut, semuanya tidak akan menolongnya sedikit pun dari api neraka.
Penafsiran yang luas mengenai wa ma kasab (apa yang dia usahakan) mencakup tidak hanya anak-anak, tetapi juga status sosial, kedudukan, pengikut, dan segala bentuk pencapaian duniawi lainnya. Intinya adalah penegasan bahwa keberhasilan duniawi tidak memiliki nilai sama sekali sebagai penyeimbang atau penolak siksa akhirat jika tidak disertai dengan iman. Ayat ini memberikan pelajaran universal bahwa perlindungan sejati hanya datang dari Allah, bukan dari akumulasi kekayaan atau kekuasaan.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Al-Lahab)."
Ayat ketiga ini adalah puncak dari penegasan nasib Abu Lahab, sekaligus titik di mana nama panggilannya bertemu dengan takdirnya. Kata سَيَصْلَىٰ (sayasla) adalah bentuk kata kerja masa depan yang mengandung makna kepastian, yaitu "pasti akan masuk" atau "pasti akan merasakan." Kata ini merujuk pada pembakaran secara menyeluruh, di mana seseorang akan tenggelam dalam api tersebut.
Penggunaan frasa نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (naran dzata lahab) secara harfiah berarti "api yang memiliki nyala murni," yang merupakan Neraka Jahanam. Ayat ini menegaskan ironi tragisnya: Abu Lahab, sang "Bapak Api yang Menyala" di dunia karena kecerahannya, akan menjadi penghuni abadi dari Neraka yang juga menyala-nyala di akhirat, tetapi dengan cara yang jauh lebih mengerikan. Ini adalah balasan yang setimpal (jaza’an wifaqa), di mana nama duniawinya menjadi predikat azab ukhrawinya.
Para mufassir abad pertengahan, seperti Imam Al-Qurtubi, sering menekankan bahwa sifat api neraka dalam ayat ini adalah api yang terus berkobar tanpa pernah redup. Kontras antara api dunia yang sementara dan api akhirat yang kekal dan menyiksa tanpa henti adalah inti dari peringatan ini. Kepastian azab ini berfungsi sebagai penenang bagi orang-orang beriman yang menyaksikan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh Abu Lahab dan kelompoknya.
وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ
"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar."
Surah ini tidak hanya menghukum Abu Lahab, tetapi juga pasangannya, Ummu Jamil (Arwa binti Harb), karena partisipasinya yang aktif dalam permusuhan. Dia dijuluki حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ (Hammaalatul Hataab), "pembawa kayu bakar."
Frasa ini memiliki dua interpretasi utama yang saling melengkapi:
Kedua makna ini menunjukkan betapa aktifnya peran Ummu Jamil dalam perang melawan Islam. Dia bukan hanya pasif dalam kekufuran suaminya, tetapi seorang pelaku kejahatan yang setara. Oleh karena itu, hukumannya pun disandingkan langsung dengan suaminya, sebagai pasangan yang bersatu dalam permusuhan dan bersatu pula dalam siksaan abadi.
فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
"Di lehernya ada tali dari sabut (yang dipintal)."
Ayat penutup ini menggambarkan hukuman spesifik bagi Ummu Jamil. جِيدِهَا (jīdihā) berarti lehernya. Ia akan dibelenggu atau diikat dengan tali yang terbuat dari masad (sabut kurma) yang kasar dan panas. Tali ini bukan sekadar alat pengekang, tetapi merupakan siksaan yang menyakitkan.
Dalam konteks akhirat, tali sabut ini bisa ditafsirkan sebagai rantai dari api neraka. Namun, tafsir yang lebih menarik menghubungkannya kembali dengan perbuatannya di dunia. Jika dia adalah pembawa kayu bakar di dunia (secara harfiah maupun metaforis), maka di neraka dia akan terus membawa beban tersebut, diikat dengan tali yang kasar, yang melambangkan beratnya dosa dan permusuhan yang ia pikul. Ini adalah balasan yang spesifik dan memalukan bagi seorang wanita bangsawan Quraisy, yang biasa mengenakan perhiasan mahal, tetapi di akhirat ia akan dihiasi dengan tali sabut kasar yang menyakitkan.
Penggambaran detail tentang hukuman ini—Abu Lahab dengan api yang menyala dan istrinya dengan tali sabut di leher—memperkuat pesan keadilan ilahi. Siksaan di akhirat akan disesuaikan dengan jenis dosa dan cara permusuhan yang dilakukan di dunia.
Surah Al-Lahab merupakan salah satu bukti kenabian Muhammad ﷺ yang paling kuat dan definitif. Ini bukan hanya karena surah tersebut meramalkan nasib buruk, tetapi karena surah ini meramalkan kematian Abu Lahab dan istrinya dalam keadaan kekufuran, padahal mereka masih hidup dan memiliki waktu lebih dari sepuluh tahun setelah surah ini diturunkan.
Bayangkan posisi Abu Lahab. Setelah surah ini diturunkan, ia hanya perlu mengucapkan syahadat sekali saja—walaupun pura-pura—untuk membuktikan bahwa ramalan Al-Qur'an salah, dan dengan demikian meruntuhkan fondasi dakwah Islam. Namun, ia tidak melakukannya. Ia tetap teguh dalam kekufurannya dan permusuhannya hingga akhir hayat, mengkonfirmasi kebenaran mutlak ayat tersebut. Allah SWT mengetahui apa yang ada di dalam hati Abu Lahab dan menetapkan takdirnya sebagai kekal dalam kekufuran.
Kepastian takdir ini menunjukkan bahwa Surah Al-Lahab bukanlah sekadar kutukan yang dilemparkan, melainkan pengetahuan ilahi yang mengungkapkan masa depan, menegaskan bahwa ada orang-orang tertentu yang telah menyegel takdir mereka sendiri melalui keangkuhan dan penentangan yang ekstrem, sehingga tidak ada lagi ruang bagi hidayah bagi mereka.
Surah Al-Lahab mengajarkan prinsip fundamental dalam Islam: Ikatan iman jauh lebih penting dan abadi daripada ikatan darah atau keluarga. Abu Lahab adalah paman Nabi, bagian dari keluarga terdekat yang seharusnya menjadi pelindung utama. Namun, permusuhannya yang keras membuatnya diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai contoh kekufuran.
Ayat ini berfungsi sebagai batas pemisah (furqan) antara kaum Muslimin dan keluarga mereka yang menolak tauhid. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ sangat mencintai pamannya, Abu Thalib (yang melindunginya tetapi tidak sempat memeluk Islam), ia harus menerima bahwa dalam hal ketetapan akhirat, relasi darah tidak memberikan perlindungan. Surah ini memberikan kekuatan kepada para sahabat yang mengalami penganiayaan dari keluarga mereka sendiri (seperti Mus'ab bin Umair yang ditentang ibunya, atau Umar bin Khattab yang menentang keluarganya sebelum masuk Islam), bahwa kebenaran Allah melampaui loyalitas klan.
Seluruh surah ini menggambarkan prinsip keadilan yang setimpal (pembalasan yang sesuai). Nama panggilan Abu Lahab yang melambangkan kebanggaan duniawinya (api yang terang) menjadi substansi azabnya. Istrinya, yang menjadi pembawa kayu bakar (fitnah dan duri) di dunia, akan membawa tali sabut yang melilit di lehernya di akhirat.
Keadilan ini menegaskan bahwa setiap tindakan, baik yang terlihat kecil (seperti menabur duri) maupun yang besar (seperti menentang risalah), akan mendapatkan balasan yang spesifik dan adil dari Allah SWT. Ini adalah peringatan keras bagi semua orang yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, atau posisi sosial mereka untuk menindas kebenaran dan keimanan.
Kematian Abu Lahab terjadi segera setelah Pertempuran Badar, meskipun ia sendiri tidak ikut serta dalam pertempuran tersebut. Ia mengirimkan wakilnya dan membiayai sebagian pasukan Quraisy. Ketika berita kekalahan telak Quraisy di Badar mencapai Makkah, Abu Lahab sangat terpukul dan malu.
Beberapa hari setelah berita itu, Abu Lahab diserang oleh penyakit yang sangat menjijikkan dan menular yang disebut al-Adasah. Penyakit ini menyebabkan bisul-bisul besar dan bau busuk yang membuat orang takut mendekatinya. Pada masa itu, penyakit menular semacam ini dianggap sangat tabu dan dihindari.
Karena takut tertular, bahkan anggota keluarga dan anak-anaknya menjauhinya. Ketika ia meninggal, tubuhnya dibiarkan membusuk selama tiga hari. Akhirnya, anak-anaknya terpaksa menggunakan budak dari Abisinia untuk mendorong tubuhnya menggunakan kayu panjang ke dalam lubang di luar Makkah, kemudian dilempari batu dari jauh. Kematiannya begitu hina dan terisolasi, menggenapi kutukan tabbat (celaka) di dunia sebelum ia menerima azab yang lebih besar di akhirat, dan menunjukkan bahwa kekayaan serta status sosialnya sama sekali tidak berguna.
Kontras yang tajam terjadi pada Abu Thalib, paman Nabi lainnya. Meskipun Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak beriman, ia menggunakan seluruh kekuasaan dan pengaruhnya untuk melindungi Nabi ﷺ. Allah memberikan keringanan azab bagi Abu Thalib karena perannya sebagai pelindung, berbeda sekali dengan Abu Lahab yang aktif memusuhi dan meninggal dalam kehinaan total.
Meskipun Al-Qur'an sering menyebutkan para penentang iman secara umum (seperti Firaun, Namrud, dan orang-orang munafik), Surah Al-Lahab adalah kasus yang unik karena menargetkan individu secara spesifik, yang bahkan masih hidup. Perbedaan Abu Lahab dengan antagonis besar lainnya, seperti Abu Jahal dan Walid bin Mughirah, terletak pada:
Abu Jahal adalah musuh politik dan ideologis yang sangat berbahaya. Namun, Abu Lahab adalah musuh dari ranah keluarga. Kegigihan permusuhan Abu Lahab melanggar norma-norma kesukuan Arab yang mengharuskan perlindungan terhadap anggota klan. Dengan menentang Nabi, ia tidak hanya menentang risalah, tetapi juga merusak tatanan sosial Bani Hasyim, menjadikannya penghinaan yang lebih dalam.
Sementara Abu Jahal menggunakan kekuatan politik dan militer, Abu Lahab menggunakan taktik psikologis dan sosial. Ia menggunakan pengaruh pamannya untuk menipu orang luar dan merusak moral Nabi secara pribadi. Peran Ummu Jamil yang melibatkan aktivitas fisik merugikan (melempar duri) juga menambah dimensi kekejaman personal yang dibalas oleh Allah secara spesifik.
Ayat-ayat yang diturunkan kepada Abu Lahab adalah final. Tidak ada surah lain yang memberikan ketetapan nasib kekal di neraka kepada individu yang masih hidup selain Surah Al-Lahab. Ini menunjukkan tingkat kepastian kekufuran yang tidak bisa diubah, serta bahaya ekstrem dari permusuhan terhadap utusan Allah.
Walaupun Surah Al-Lahab secara historis merujuk kepada seorang individu di Makkah, pesan-pesannya tetap relevan dan bersifat universal bagi umat Islam di setiap zaman.
Surah ini mengajarkan bahwa ketika kebenaran (Haq) berhadapan dengan kekuasaan dan kekayaan yang zalim, pada akhirnya kekuasaan yang zalim itulah yang akan binasa. Kisah Abu Lahab memberi semangat kepada umat Islam yang mungkin merasa kecil dan tertindas, mengingatkan mereka bahwa penentang terbesar pun, meskipun kaya dan berkuasa, pada akhirnya akan menghadapi kehancuran total di hadapan kekuasaan Allah.
Peringatan terhadap Ummu Jamil sebagai "pembawa kayu bakar" memiliki relevansi yang sangat tinggi di era modern. Siapa pun yang menyebarkan fitnah, berita bohong, gosip yang merusak kehormatan, atau hasutan yang memecah belah umat dan menghalangi kebenaran, masuk dalam kategori 'pembawa kayu bakar' metaforis. Mereka sedang mengumpulkan "kayu bakar" dosa yang akan menjadi bahan bakar bagi api mereka sendiri di akhirat. Pelajaran ini menekankan pentingnya menjaga lisan dan integritas dalam bermasyarakat.
Surah ini menekankan bahwa setiap orang bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Abu Lahab tidak dapat menyalahkan silsilah keluarganya atau kekayaannya. Ia diadili berdasarkan niat dan tindakan permusuhannya yang nyata. Ini mengingatkan bahwa status sosial, keturunan, atau hubungan dekat dengan orang saleh tidak akan menyelamatkan seseorang yang hatinya dipenuhi kekufuran dan kezaliman.
Penutup yang kuat dari Surah Al-Lahab, yang meramalkan nasib Abu Lahab dan istrinya dengan detail, memberikan ketenangan dan kepastian iman. Ia menegaskan bahwa janji Allah tentang pahala dan hukuman adalah kebenaran yang mutlak dan pasti terwujud. Bagi orang beriman, hal ini menjadi sumber motivasi untuk tetap teguh di jalan tauhid, terlepas dari seberapa besar tekanan dan permusuhan yang mereka hadapi dari dunia luar.
Secara keseluruhan, Surah Al-Lahab bukan sekadar lembaran sejarah yang mengisahkan musuh Nabi. Ia adalah cetak biru keadilan ilahi, sebuah mukjizat kenabian, dan pelajaran abadi tentang konsekuensi dari keangkuhan, penentangan terhadap kebenaran, dan kegunaan kekayaan yang disalahgunakan.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Surah Al-Lahab, penting untuk menggali lebih jauh tentang simbolisme yang terkandung dalam kata *Masad* dan mengapa Allah memilih tali sabut yang kasar sebagai rantai untuk Ummu Jamil. Makna dari *Masad* dan kaitannya dengan azab ini jauh melampaui sekadar deskripsi fisik rantai neraka.
Ummu Jamil, sebagai istri dari tokoh terpandang Quraisy, tentu hidup dalam kemewahan. Lehernya kemungkinan besar dihiasi dengan kalung-kalung emas atau perak yang mahal. Tali *Masad* adalah kebalikannya: itu adalah tali yang digunakan oleh para pekerja kasar atau hamba sahaya untuk mengikat beban berat, terbuat dari serat yang keras, tebal, dan sangat menyakitkan jika bergesekan dengan kulit.
Penggunaan *Masad* sebagai belenggu merupakan penghinaan dan siksaan ganda. Penghinaan karena ia dipaksa menanggung simbol perbudakan dan kesulitan, meskipun ia adalah seorang wanita merdeka dan bangsawan; Siksaan karena kekasaran tali tersebut, yang dalam konteks neraka, tentu terbuat dari api dan panas, akan membakar dan menyayat lehernya secara terus menerus, sesuai dengan beban permusuhan yang ia pikul di dunia.
Para mufassir juga melihat *Masad* sebagai referensi langsung pada tindakan Ummu Jamil. Ketika ia mengumpulkan kayu bakar untuk mengganggu Nabi, ia sering mengikat kayu-kayu tersebut dengan tali. Tali sabut tersebut, yang pernah ia gunakan untuk mengikat sarana kejahatan di dunia, kini diikatkan ke lehernya sebagai buah dari kejahatan itu sendiri. Dalam pemahaman ini, tali *Masad* adalah wujud material dari beban dosa-dosa yang ia kumpulkan. Dosa-dosa tersebut, yang dulunya terasa ringan di bahunya, kini berubah menjadi belenggu yang berat dan panas.
Selain itu, tali melambangkan keterikatan yang tidak dapat dilepaskan. Dalam konteks neraka, tali *Masad* menunjukkan bahwa Ummu Jamil terikat abadi pada azab suaminya dan tidak akan pernah bebas dari konsekuensi perbuatannya. Ini adalah penutup yang kuat untuk seluruh surah, menunjukkan kesatuan takdir pasangan tersebut dalam kekufuran dan siksaan.
Satu poin retorika yang sangat penting adalah mengapa Al-Qur'an menggunakan nama panggilan *Abu Lahab* (Bapak Api) alih-alih nama aslinya, Abdul Uzza (Hamba Uzza). Nama aslinya sendiri membawa konotasi syirik, karena Uzza adalah salah satu berhala utama Quraisy yang disembah. Penggunaan nama aslinya mungkin akan efektif secara ideologis, tetapi Allah memilih nama panggilan yang ia banggakan.
Pilihan nama *Abu Lahab* sangat jenius dari segi retorika. Nama panggilan ini adalah sumber kebanggaannya di dunia, merujuk pada ketampanan atau kemuliaannya. Namun, Allah SWT mengubah makna nama yang bangga itu menjadi predikat siksaannya. Dengan menyebutnya *Abu Lahab* dan kemudian menjanjikannya *Naran Dzata Lahab*, Al-Qur'an menciptakan resonansi yang kuat: Nama yang ia banggakan menjadi ironi yang menyakitkan, menegaskan bahwa apa pun yang disombongkan manusia di dunia akan dibalikkan menjadi sumber kehinaan di akhirat jika ia kufur.
Jika Allah menggunakan nama *Abdul Uzza*, fokus utama mungkin akan bergeser ke pembahasan syirik. Akan tetapi, dengan menggunakan *Abu Lahab*, fokus tetap pada permusuhan pribadi, kezaliman, dan penolakan langsung terhadap risalah kenabian. Hal ini memperkuat pesan bahwa permusuhan yang disengaja terhadap utusan Allah, bahkan dari kerabat terdekat, memiliki konsekuensi yang spesifik dan langsung dari sisi ilahi, terlepas dari detail ideologi syiriknya.
Analisis mendalam terhadap Surah Al-Lahab memperlihatkan bahwa setiap kata, setiap struktur, dan setiap pilihan nama dalam surah ini memiliki makna yang berlapis dan terencana dengan sempurna. Surah ini adalah peringatan yang abadi, sebuah deklarasi kepastian takdir, dan sekaligus penghiburan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan semua orang beriman yang menghadapi permusuhan dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung mereka.