Membedah Surah ke-111 Al-Qur'an: Sejarah Kontroversial Abu Lahab, Asbabun Nuzul, dan Makna Teologis di Balik Kutukan yang Abadi.
Surah Al Lahab (Arab: المسد, Al-Masad, yang berarti 'Sabut/Serabut' atau 'Al-Lahab', yang berarti 'Api yang Menyala-nyala') merupakan surah ke-111 dalam Al-Qur'an. Surah ini termasuk dalam golongan Makkiyah, diturunkan di Mekah pada masa-masa awal dakwah Rasulullah ﷺ, dan dikenal memiliki konteks historis yang sangat spesifik dan personal.
Surah ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki surah lain dalam Al-Qur’an: Surah ini merupakan satu-satunya surah yang secara eksplisit menyebutkan nama seseorang yang masih hidup pada saat wahyu diturunkan, yaitu Abu Lahab. Nama ini bukan hanya sebutan, melainkan juga sebuah vonis ilahi tentang nasibnya di akhirat.
Bagi umat Muslim di seluruh dunia, terjemahan dan transliterasi Latin menjadi alat penting untuk memahami makna dan melafalkan surah dengan benar. Transliterasi Latin dari Surah Al Lahab, terutama pada ayat pertama, merupakan inti dari identifikasi surah ini secara non-Arab, sering dikenal sebagai Tabbat Yada Abi Lahab.
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm
1. Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb.
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
2. Mā agnā 'anhu māluhū wa mā kasab.
2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
3. Sayaṣlā nāran żāta lahab.
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).
4. Wamra'atuhū ḥammālatal-ḥaṭab.
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
5. Fī jīdihā ḥablum mim masad.
5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Visualisasi simbolik Al Lahab (Api yang Menyala) dan Al Masad (Tali Sabut).
Memahami Surah Al Lahab tidak mungkin tanpa menelaah secara mendalam sosok sentral yang dikutuk di dalamnya: Abu Lahab, nama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia adalah paman kandung Nabi Muhammad ﷺ.
Abu Lahab adalah salah satu putra Abdul Muthalib, kakek Nabi, yang berarti ia adalah saudara kandung ayah Nabi, Abdullah. Hubungan keluarga ini seharusnya menjadi ikatan yang melindungi. Dalam tradisi suku Quraisy, paman adalah pelindung utama keponakan yang yatim. Sayangnya, Abu Lahab memilih jalur permusuhan yang intens terhadap dakwah kenabian.
Nama "Abu Lahab" (Bapak Api/Jilatan Api) sendiri bukanlah nama lahirnya, melainkan julukan yang diberikan ayahnya, Abdul Muthalib, karena wajahnya yang tampan dan berseri (merah bercahaya), seolah-olah memancarkan api. Ironisnya, julukan ini kemudian menjadi vonis ilahi, merujuk pada takdirnya sebagai penghuni api neraka yang menyala-nyala.
Ia adalah seorang yang kaya raya, berwibawa, dan memiliki status tinggi di antara klan Quraisy, khususnya Bani Hasyim. Kekayaan dan status inilah yang dikira Abu Lahab akan melindunginya dari azab, sebagaimana disebutkan dalam ayat kedua surah ini. Ia adalah cerminan dari kesombongan materialistik yang menolak kebenaran spiritual.
Ketika Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya secara terang-terangan di Bukit Shafa, Abu Lahab menjadi penentang pertama dan paling vokal. Ketika Nabi berdiri dan menyerukan peringatan kepada klan-klan Quraisy, Abu Lahab segera merespons dengan penghinaan yang mencolok di depan umum, sebuah tindakan yang memalukan bagi seorang paman terhadap keponakannya.
Riwayat menyebutkan, setelah Nabi berkata, "Wahai Bani Hasyim, seandainya aku katakan kepadamu bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerangmu, apakah kalian percaya?" Dan mereka menjawab, "Ya, kami percaya." Lalu Nabi melanjutkan dakwahnya. Saat itulah Abu Lahab melompat dan berteriak, "Tabbal laka! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?" (Celakalah engkau!)
Kata-kata kutukan Abu Lahab inilah yang kemudian menjadi pembuka surah Al Lahab, tetapi dibalikkan oleh Allah ﷻ sebagai kutukan yang ditujukan kepada Abu Lahab sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penentangan Abu Lahab bersifat mendasar dan agresif sejak awal, bukan hanya ketidakpercayaan biasa, tetapi permusuhan aktif.
Ketika Bani Hasyim, dipimpin oleh Abu Thalib (paman Nabi yang lain, yang meski tidak masuk Islam, tetap melindungi Nabi karena ikatan darah), memutuskan untuk melindungi Nabi selama masa pemboikotan (sekitar tahun ke-7 kenabian), Abu Lahab adalah satu-satunya anggota Bani Hasyim yang memisahkan diri dan bergabung dengan pihak Quraisy yang memboikot. Tindakan ini merupakan puncak pengkhianatan terhadap klan dan ikatan darahnya, menunjukkan kebenciannya yang tidak terbatas terhadap ajaran Islam.
Abu Lahab tidak menyaksikan kemenangan Muslim di Badar. Ia tetap berada di Mekah dan meninggal tak lama setelah kekalahan besar Quraisy di Badar. Riwayat menyebutkan ia meninggal karena penyakit menular yang sangat menjijikkan (sejenis wabah atau luka yang busuk, yang dikenal sebagai al-'adasah), yang membuat keluarganya enggan mendekatinya. Ia ditinggalkan dan bahkan setelah meninggal, jenazahnya harus didorong dengan kayu panjang ke dalam lubang yang telah digali, karena takut akan penularan penyakit. Kematian yang hina ini dipandang oleh para mufassir sebagai pemenuhan awal dari kutukan ilahi yang diturunkan dalam surah Al Lahab.
Surah Al Lahab tidak hanya mengutuk sang suami; ia juga mengutuk sang istri, Arwa binti Harb, yang lebih dikenal dengan julukan Ummu Jamil. Ummu Jamil adalah saudara perempuan Abu Sufyan, tokoh Quraisy yang belakangan memeluk Islam.
Ayat 4 surah ini menyebutnya sebagai “ḥammālatal-ḥaṭab” (pembawa kayu bakar). Para ulama tafsir memberikan dua interpretasi utama terhadap frasa ini, keduanya merujuk pada kejahatannya:
Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang secara aktif berusaha menyakiti Nabi. Salah satu metodenya yang terkenal adalah meletakkan duri, ranting tajam, dan kotoran di jalur yang biasa dilalui Nabi Muhammad ﷺ, khususnya di malam hari, untuk menyakiti beliau secara fisik dan mental.
Ayat terakhir, “Fī jīdihā ḥablum mim masad” (Yang di lehernya ada tali dari sabut), juga memuat dua tafsir yang mendalam:
Surah Al Lahab menggambarkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran sering kali merupakan upaya yang disatukan, melibatkan pasangan suami istri dalam satu front kejahatan. Kedua pasangan ini, yang memiliki kekayaan dan status, menggunakan aset mereka (kekayaan Abu Lahab, fitnah Ummu Jamil) untuk menentang wahyu ilahi, dan oleh karena itu, mereka akan berbagi azab yang sama.
Frasa Tabbat yadā berarti "Binasalah kedua tangan" atau "Keringlah kedua tangan". Dalam bahasa Arab, tangan sering kali melambangkan kekuatan, usaha, dan kekuasaan. Jadi, kutukan ini bukan sekadar kutukan fisik, melainkan kutukan terhadap seluruh daya upaya dan kekuasaan yang dimiliki Abu Lahab untuk melawan kebenaran.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah respons langsung terhadap perkataan Abu Lahab di Bukit Shafa. Ketika Abu Lahab mengutuk Nabi ("Celakalah engkau"), Allah membalasnya dengan kutukan yang lebih kuat dan abadi. Penggunaan kata kerja lampau (Tabbat) mengindikasikan bahwa vonis tersebut sudah ditetapkan dan pasti terjadi, meskipun pada saat itu Abu Lahab masih hidup dan menentang.
Pengulangan kata wa tabb (dan sungguh dia telah binasa/telah rugi) memperkuat makna kutukan. Frasa pertama (Tabbat yadā) adalah doa atau prediksi atas kerugian usahanya, sementara frasa kedua (wa tabb) adalah penegasan bahwa kerugian dan kehancuran total telah menimpanya, baik di dunia maupun di akhirat.
Ayat ini menyasar inti dari kesombongan Abu Lahab: kekayaan dan apa yang ia usahakan (anak-anak dan status sosial). Di Mekah, kekayaan adalah pelindung dan jaminan sosial. Abu Lahab percaya bahwa kekayaan dan jumlah anaknya (terutama anak laki-laki) akan menyelamatkannya dari segala marabahaya, termasuk ancaman akhirat yang disampaikan Nabi.
Tafsir Al-Thabari menekankan bahwa frasa "wa mā kasab" (dan apa yang ia usahakan) sering diinterpretasikan sebagai anak-anaknya. Dalam budaya Arab pra-Islam, anak laki-laki dianggap sebagai aset terbesar yang menjaga warisan dan kehormatan klan. Dengan ayat ini, Allah menegaskan bahwa semua aset duniawi—harta, kekuasaan, dan keturunan—tidak akan mampu menolongnya sedikit pun dari ketetapan azab.
Ayat ini adalah pelajaran universal: kekuasaan material tidak dapat membeli keselamatan spiritual. Ketika takdir ilahi telah ditetapkan, semua benteng material yang dibangun manusia akan runtuh tak berguna.
Ini adalah pengumuman takdir yang sangat spesifik. Sayaṣlā berarti "dia akan dibakar" atau "dia akan masuk". Neraka yang akan ia masuki disebut nāran żāta lahab, yang berarti "api yang bergejolak" atau "api yang memiliki nyala".
Tentu saja, kata lahab (nyala api) di sini merujuk langsung pada julukannya sendiri (Abu Lahab). Ini adalah sebuah sindiran yang sangat tajam dan ironis. Julukan yang awalnya diberikan untuk memuji ketampanan dan kecemerlangannya diubah oleh takdir menjadi ciri dari tempat penderitaannya abadi. Wajahnya yang dulunya berseri kini akan bersinar karena panasnya api neraka.
Kepastian nasib ini, yang diwahyukan ketika Abu Lahab masih hidup, merupakan salah satu mukjizat Al-Qur'an. Setelah surah ini diturunkan, Abu Lahab memiliki waktu bertahun-tahun untuk membuktikan surah ini salah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, dia tidak pernah melakukannya, membenarkan vonis ilahi bahwa dia pasti akan berakhir di api yang menyala-nyala.
Ayat ini mengalihkan perhatian kepada Ummu Jamil. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perannya sebagai ḥammālatal-ḥaṭab (pembawa kayu bakar) secara konsisten diartikan sebagai penyebar fitnah dan permusuhan. Dalam tafsir, fitnah dan gosip yang merusak hubungan dan menciptakan perpecahan sering disamakan dengan api neraka, karena ia "membakar" amal baik seseorang dan tatanan sosial.
Qatadah, seorang tabi'in, menafsirkan bahwa Ummu Jamil adalah penghasut yang membawa permusuhan antar suku dan menyebarkan kebohongan di antara orang-orang Mekah tentang Nabi ﷺ. Dengan demikian, ia layak dihukum sebagai seorang yang menyalakan api fitnah di dunia, sehingga di akhirat ia akan dijerat dengan tali yang sesuai dengan usahanya.
Jīd adalah bagian leher, dan ḥablum mim masad adalah tali yang terbuat dari sabut atau serat kasar. Sabut adalah tali yang paling kasar dan kuat pada masanya, biasanya digunakan untuk mengikat barang berat atau ember air. Penggunaan tali sabut ini dalam konteks azab memberikan kesan penderitaan, kekasaran, dan kehinaan.
Imam Al-Qurtubi dan para mufassir lainnya menjelaskan bahwa tali ini akan menggantikan kalung permata yang ia banggakan di dunia. Dalam neraka, tali sabut ini akan melilit lehernya, membawa kayu bakar (fitnahnya), dan menghantarkannya ke dalam api. Ini adalah balasan yang setimpal (jaza’an wifaqan) bagi orang yang berstatus sosial tinggi tetapi berhati busuk.
Konteks historis penurunan Surah Al Lahab adalah salah satu yang paling jelas tercatat dalam sejarah Islam, berkaitan langsung dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk memulai dakwah secara terbuka kepada kaum keluarganya.
Setelah bertahun-tahun berdakwah secara rahasia, turunlah wahyu (kemungkinan Surah Asy-Syu’ara ayat 214) yang memerintahkan Nabi untuk memberikan peringatan kepada kerabatnya yang terdekat. Nabi Muhammad ﷺ kemudian memanggil semua klan Quraisy—Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Naufal, dan lainnya—dengan naik ke Bukit Shafa, tempat di mana pengumuman penting biasa disampaikan.
Nabi menyampaikan peringatan keras tentang azab Allah dan pentingnya keimanan. Ketika Nabi sedang berbicara dengan penuh hikmah, Abu Lahab, yang hadir di tengah kerumunan, tidak dapat menahan amarahnya. Responsnya yang segera dan terbuka, "Tabbal laka! Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?", merupakan tindakan penghinaan publik yang ekstrem terhadap misi kenabian.
Surah Al Lahab turun segera setelah peristiwa ini. Ini menunjukkan sifat responsif dan protektif wahyu terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Nabi dikutuk oleh pamannya sendiri, Allah ﷻ segera membalas dan mengutuk balik sang paman, menegaskan bahwa Nabi tidak sendirian dan bahwa permusuhan yang diarahkan kepadanya adalah permusuhan terhadap Allah.
Penurunan surah ini memiliki dampak psikologis yang luar biasa. Pertama, ia menguatkan hati Nabi yang sedang menghadapi permusuhan dari lingkaran terdekat. Kedua, ia berfungsi sebagai peringatan publik yang tegas. Setelah Surah Al Lahab turun, Abu Lahab dan Ummu Jamil tahu bahwa nasib mereka telah diputuskan oleh Kekuatan yang Maha Tinggi. Bahkan, Ummu Jamil pernah mencoba mencari Nabi untuk melampiaskan amarahnya setelah surah itu turun, namun ia tidak dapat melihat Nabi yang berada tepat di depannya, karena Allah melindunginya (Imam Ahmad meriwayatkan). Ini menunjukkan bahwa ketetapan ilahi (vonis Al Lahab) bersifat mutlak dan tidak bisa dihindari.
Pilihan kata dalam Surah Al Lahab sangat spesifik dan kuat, memberikan kedalaman makna yang melampaui terjemahan sederhana. Memahami akar kata dalam bahasa Arab adalah kunci untuk menghayati kekuatan surah ini.
Akar kata T-B-B (تب) mengandung makna: merugi, binasa, kering, dan gagal total. Ini adalah istilah yang sangat keras untuk kegagalan total yang tidak bisa diperbaiki lagi. Dalam Al-Qur'an, kata ini jarang digunakan, menjadikannya sangat signifikan di sini.
Akar kata L-H-B (لهب) berarti lidah api, nyala api yang murni tanpa asap. Ini adalah api yang paling panas dan paling cerah. Penggunaan kata ini dalam konteks azab memberikan visualisasi yang mengerikan tentang panas yang akan dialami Abu Lahab.
Kata Kasab (apa yang ia usahakan) sering diartikan sebagai "harta yang diperoleh" atau "kekayaan", tetapi dalam konteks Arab klasik, ia mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau dihasilkan oleh seseorang. Tafsir sering membagi māluhū (hartanya) dan mā kasab (usaha/anak-anaknya). Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun hasil dari hidupnya yang bisa menyelamatkannya.
Masad (مسد) adalah tali yang terbuat dari serat palem atau sabut yang dipilin dengan kuat. Ia dikenal karena kekasarannya, kekuatannya, dan nilainya yang rendah (berbeda dengan sutra atau emas). Al-Qur'an memilih kata ini untuk menekankan kehinaan azab Ummu Jamil.
Dengan demikian, Al Lahab adalah mahakarya retorika yang menggunakan kata-kata yang mengandung ironi, visualisasi mengerikan, dan kepastian hukum ilahi. Semua elemen linguistik bekerja sama untuk memberikan vonis yang sempurna.
Meskipun Surah Al Lahab sangat spesifik ditujukan kepada dua individu, implikasi teologisnya bersifat universal dan abadi, mengajarkan beberapa prinsip fundamental dalam Islam.
Surah ini adalah salah satu bukti paling jelas tentang pengetahuan mutlak Allah (Ilm Al-Ghayb). Allah telah mewahyukan nasib akhir Abu Lahab sebagai penghuni neraka, dan karena Al-Qur'an adalah kebenaran, mustahil bagi Abu Lahab untuk masuk Islam setelah surah ini diturunkan. Jika ia masuk Islam, maka surah tersebut akan salah, dan Al-Qur'an tidak mungkin salah.
Fakta bahwa Abu Lahab tidak pernah mengucapkan syahadat sampai akhir hayatnya membuktikan bahwa Allah mengetahui siapa yang akan menolak kebenaran secara total dan permanen. Ini bukan predestinasi yang memaksa, melainkan pengetahuan Allah tentang pilihan bebas yang akan diambil oleh Abu Lahab, yaitu penolakan yang keras kepala hingga akhir.
Al Lahab meruntuhkan konsep perlindungan klan yang sangat diagungkan di Mekah. Abu Lahab adalah paman Nabi, dan Nabi adalah seorang yang paling dekat nasabnya. Namun, ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia menolak kebenaran. Dalam Islam, yang membedakan manusia di hadapan Allah adalah ketakwaannya, bukan kekerabatan atau kekayaan. Pelajaran ini relevan sepanjang masa, mengingatkan bahwa ikatan spiritual lebih tinggi daripada ikatan biologis.
Ayat 2 secara spesifik menargetkan benteng materialnya (harta dan usaha), memperkuat ajaran bahwa pada Hari Kiamat, manusia akan datang sendirian, tanpa perlindungan klan atau kekayaan, melainkan hanya dengan amal perbuatannya.
Penyebutan Ummu Jamil bersama suaminya mengajarkan prinsip keadilan ilahi bahwa hukuman dijatuhkan secara individual, bahkan pada pasangan yang bersekutu. Ummu Jamil dihukum bukan hanya karena menjadi istri Abu Lahab, tetapi karena kejahatannya sendiri: menyebarkan fitnah (kayu bakar) dan secara aktif menyakiti Nabi ﷺ.
Ini menekankan bahwa tanggung jawab moral dan spiritual sepenuhnya berada pada setiap individu. Wanita dan pria sama-sama memikul beban amal mereka, baik dalam kebaikan maupun kejahatan, tanpa bisa bersembunyi di balik peran pasangan mereka.
Surah ini mendefinisikan kerugian sejati (khusran) sebagai kegagalan untuk menerima bimbingan ilahi. Abu Lahab mungkin sukses secara finansial dan sosial, tetapi karena ia gagal dalam tugas utamanya sebagai hamba Allah, ia dinilai sebagai orang yang rugi total (tabb).
Al Lahab menjadi cermin bagi siapa saja yang menggunakan kekayaan, status, atau pengaruhnya untuk menindas kebenaran dan menyakiti pembawa pesan kebenaran. Kerugian terbesar bukanlah hilangnya harta, melainkan hilangnya kesempatan untuk bertaubat dan meraih keselamatan abadi.
Surah Al Lahab, yang terletak di ujung Al-Qur’an, memberikan kontras yang menarik dengan surah-surah Makkiyah lainnya dan surah-surah terdekatnya.
Tepat di depan Al Lahab terdapat Surah Al Kautsar. Kedua surah ini sering disandingkan karena sama-sama merupakan jawaban ilahi terhadap penghinaan yang diterima Nabi Muhammad ﷺ. Surah Al Kautsar turun sebagai hiburan ketika Nabi dihina sebagai "abtar" (terputus keturunannya, tanpa masa depan).
Kedua surah ini menunjukkan mekanisme perlindungan Allah: ketika Nabi dihina, Allah tidak hanya membela, tetapi juga membalikkan kutukan musuh menjadi vonis yang abadi terhadap diri mereka sendiri.
Surah-surah Makkiyah awal berfokus pada Tauhid (Keesaan Allah) dan Hari Kebangkitan. Al Lahab menambahkan dimensi penting: penolakan terhadap Tauhid sering kali berasal dari ego, kesombongan, dan ikatan materialistik yang kuat. Konflik dalam Al Lahab adalah konflik internal klan, yang merupakan tantangan terberat bagi dakwah awal Nabi.
Surah ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar bagi keimanan seringkali datang dari orang-orang terdekat yang menolak prinsip dan lebih memilih tradisi atau kekuasaan duniawi.
Keunikan Al Lahab dalam menyebut nama seseorang secara eksplisit memicu diskusi teologis. Mengapa hanya Abu Lahab yang disebutkan namanya? Para ulama berpendapat bahwa hal ini dilakukan untuk:
Tidak ada pemimpin Quraisy lain (seperti Abu Jahal, yang juga musuh bebuyutan) yang disebutkan namanya, karena nasib mereka mungkin tidak sekeras Abu Lahab, atau karena vonisnya sudah harus ditetapkan secara publik untuk peristiwa spesifik di Bukit Shafa.
Meskipun kisah Abu Lahab terjadi lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu, pelajaran moral dan spiritual dari Al Lahab Latin tetap relevan bagi Muslim modern.
Di era modern, semangat Abu Lahab dan Ummu Jamil bermanifestasi dalam berbagai bentuk: individu yang menggunakan kekayaan, media, atau jabatan untuk meremehkan kebenaran, menyebarkan keraguan, dan menyulut api perpecahan (fitnah) di tengah umat (ḥammālatal-ḥaṭab modern).
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kita harus waspada terhadap orang-orang yang menggunakan status atau kekayaan mereka untuk menjauhkan orang lain dari jalan yang lurus. Kekuatan terbesar dalam perlawanan bukanlah fisik, melainkan melalui penghinaan dan manipulasi informasi, yang merupakan esensi dari kejahatan Ummu Jamil.
Surah ini mengingatkan bahwa ikatan keluarga, meskipun suci, tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan prinsip keimanan. Jika kerabat terdekat menuntut penolakan terhadap kebenaran, maka loyalitas harus diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kisah ini adalah contoh ekstrem di mana ikatan darah tidak dapat menyelamatkan keimanan. Ini mengajarkan pentingnya menjaga Tauhid bahkan di tengah tekanan keluarga.
Ayat 2 memberikan peringatan keras tentang tujuan kekayaan. Harta benda harus digunakan untuk beribadah dan berbuat kebaikan. Jika harta hanya menjadi sumber kesombongan dan alat untuk menindas kebenaran, ia akan menjadi sia-sia, dan tidak akan memiliki nilai di akhirat. Konsep mā agnā 'anhu māluhū wa mā kasab harus selalu menjadi pengingat bagi mereka yang mengejar kekayaan duniawi tanpa batas. Nilai sejati dari usaha (kasab) adalah kualitas amal, bukan kuantitas materi yang diperoleh.
Nasib Ummu Jamil—dirantai dengan tali sabut karena membawa kayu bakar—menekankan betapa seriusnya dosa fitnah (namimah) dan gosip dalam Islam. Lidah yang digunakan untuk menghancurkan reputasi orang lain atau menyebarkan kebohongan diganjar dengan azab yang mengerikan. Fitnah dianggap sebagai salah satu kejahatan terberat karena ia merusak tatanan sosial dan memicu kebencian, layak disandingkan dengan bahan bakar neraka itu sendiri.
Surah Al Lahab adalah dokumen kenabian yang sangat penting, berfungsi sebagai peringatan abadi terhadap konsekuensi dari penolakan yang sombong dan agresi terhadap kebenaran. Transliterasi Latinnya, yang sering diucapkan oleh jutaan Muslim, membawa resonansi historis yang mendalam: kisah tentang kegagalan total yang menimpa seorang pemimpin besar Mekah yang mengira kekayaan dan statusnya akan melindunginya dari Tuhan.
Dari kutukan binasalah kedua tangan (Tabbat yadā) hingga takdir tali sabut (masad) di leher, setiap kata dalam surah ini diukir dengan kepastian dan keadilan ilahi. Surah ini memberikan kepastian kepada Nabi Muhammad ﷺ dan seluruh umat Islam bahwa pada akhirnya, mereka yang berusaha memadamkan cahaya Islam akan menjadi bahan bakar bagi api yang mereka coba nyalakan. Ini adalah kisah tentang kegagalan harta, kegagalan ikatan darah, dan kemenangan mutlak kebenaran, bahkan di tengah permusuhan yang paling pribadi dan kejam.
Pemahaman mendalam tentang Surah Al Lahab, melalui teks aslinya, transliterasi Latin, dan tafsir historis, memperkuat keyakinan bahwa kekuatan duniawi apa pun tidak akan pernah bisa melawan kehendak Allah ﷻ. Abu Lahab dan Ummu Jamil tetap menjadi simbol universal dari penolakan yang sia-sia, dan nasib mereka berfungsi sebagai pelajaran yang menggema sepanjang zaman, menegaskan bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang dari vonis Allah jika ia memilih jalan permusuhan abadi terhadap utusan-Nya.
Lebih dari itu, kajian terhadap surah ini menuntut refleksi diri yang terus-menerus. Setiap individu harus menanyakan pada dirinya, apakah "tangan" usahanya digunakan untuk membangun kebaikan atau untuk menyebarkan "kayu bakar" fitnah, dan apakah kita cenderung menyombongkan harta benda seperti Abu Lahab atau mengutamakan kerendahan hati dan ketakwaan. Surah Al Lahab, dalam kejelasan dan ketegasannya, menetapkan standar yang tinggi untuk integritas spiritual dan sosial.
Kedalaman historis dan teologis surah ini memerlukan penjelajahan yang berkelanjutan, melibatkan perbandingan interpretasi dari ulama klasik hingga kontemporer. Misalnya, diskusi tentang makna "kasab" dalam ayat kedua seringkali diperluas hingga mencakup pengaruh negatif yang ditimbulkan seseorang kepada generasi selanjutnya. Apakah warisan yang ditinggalkan Abu Lahab (selain kekafiran) dapat dianggap sebagai bagian dari usahanya yang tidak berguna? Tafsir modern seringkali memasukkan pemikiran ini, menunjukkan bahwa dampak buruk spiritual yang diwariskan kepada anak cucu juga termasuk dalam kerugian yang disebutkan.
Dalam konteks linguistik, pemilihan kata lahab dan masad bukan hanya simbol, tetapi juga berfungsi sebagai perangkat mnemonik yang kuat, membantu kaum Muslim Mekah saat itu untuk dengan mudah mengingat dan mengaitkan surah ini dengan musuh-musuh mereka yang terkenal. Penggunaan bahasa yang tajam dan retoris menjadikan surah ini mudah dihafal namun sulit dilupakan, sebuah pedang bermata dua yang memotong hati orang beriman dan mengancam para penentang.
Sejumlah riwayat hadis menguatkan konteks Asbabun Nuzul. Diriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Ummu Jamil semakin marah. Dia datang membawa batu besar ke Ka’bah, bertekad menyakiti Nabi. Namun, Allah ﷻ menutup pandangannya sehingga ia tidak melihat Nabi yang sedang duduk bersama Abu Bakar. Ummu Jamil hanya melihat Abu Bakar dan berkata, "Hai Abu Bakar, di mana temanmu? Aku dengar dia mengejekku." Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, dia tidak mengejekmu." Peristiwa ini menunjukkan perlindungan ilahi yang menyertai vonis Al Lahab, sekaligus memvalidasi kebenaran mutlak dari firman Allah.
Mengkaji surah ini juga membawa kita pada refleksi tentang konsep kepemimpinan. Abu Lahab adalah seorang pemimpin klan. Kejatuhannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang berlandaskan pada kesombongan, kekayaan, dan permusuhan terhadap kebenaran pasti akan berakhir dengan kehinaan total, terlepas dari seberapa tinggi kedudukan seseorang di mata masyarakat dunia. Kepemimpinan sejati, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, harus didasarkan pada kerendahan hati dan kepatuhan terhadap ajaran ilahi.
Perluasan makna dari ḥablum mim masad (tali dari sabut) juga mencakup konsep beban. Sabut adalah bahan yang digunakan untuk membuat tali pengikat beban berat. Ini menyiratkan bahwa di hari akhir, Ummu Jamil akan memikul beban kejahatan dan fitnah yang ia sebarkan di dunia, sebuah beban yang berat dan kasar yang melilit lehernya sebagai hukuman yang berkelanjutan. Tali tersebut adalah representasi fisik dari konsekuensi dosa-dosanya.
Kajian Al Lahab juga terkait erat dengan prinsip al-Wala’ wal-Bara’ (loyalitas dan penolakan), meskipun ini adalah surah Makkiyah awal. Surah ini secara tegas memisahkan barisan keimanan dari barisan kekafiran, bahkan ketika garis pemisah itu harus melewati batas-batas kekerabatan yang paling intim. Dalam dakwah awal, pemisahan yang tegas ini sangat penting untuk membangun komunitas Muslim yang kokoh dan berprinsip, tidak terombang-ambing oleh tekanan sosial atau ikatan keluarga yang menentang. Ini menetapkan preseden bahwa iman adalah kriteria tertinggi dalam semua hubungan.
Penyebaran Islam di kemudian hari menunjukkan pemenuhan janji kemenangan bagi Nabi dan kehancuran bagi Abu Lahab. Anak-anak Abu Lahab, kecuali Utbah, akhirnya memeluk Islam. Ini adalah ironi lain: harta dan usaha Abu Lahab binasa, tetapi beberapa keturunannya diselamatkan oleh rahmat Allah, menunjukkan bahwa bahkan di tengah kutukan yang paling keras, rahmat Allah tetap terbuka bagi mereka yang memilih jalan tobat. Namun, bagi Abu Lahab sendiri, penolakan yang disengaja dan konsisten membuatnya mendapatkan vonis terberat.
Oleh karena itu, ketika membaca atau mendengarkan Surah Al Lahab dalam transliterasi Latin, seorang Muslim diingatkan bukan hanya tentang sejarah seorang musuh lama, tetapi tentang prinsip abadi bahwa permusuhan terhadap cahaya kebenaran, sekecil apa pun bentuknya, akan membawa kerugian abadi. Kerugian ini adalah tabb—kerugian total—yang menghapus semua keuntungan duniawi dan menempatkan pelakunya di tengah api yang bergejolak, setimpal dengan julukan yang pernah ia sandang.
Dalam konteks modern yang sarat akan informasi palsu dan perpecahan, surah ini menjadi pengingat profetik akan konsekuensi serius dari penggunaan lidah dan pengaruh untuk menyebarkan fitnah dan permusuhan. Ummu Jamil adalah representasi dari setiap individu yang secara aktif menyebarkan "kayu bakar" kebohongan. Pesan Al Lahab adalah seruan untuk berhati-hati terhadap lidah, harta, dan kekuasaan, agar semua itu digunakan untuk meraih keselamatan, bukan untuk mendatangkan kutukan yang abadi.
Studi terhadap Surah Al Lahab juga membuka wawasan tentang cara Allah berkomunikasi dengan umat manusia. Kadang-kadang, peringatan datang dalam bentuk kisah universal (seperti kisah nabi-nabi terdahulu), dan kadang-kadang, seperti dalam Al Lahab, peringatan datang dalam bentuk vonis yang sangat spesifik dan personal. Pendekatan personal ini memaksa pendengar Mekah saat itu untuk secara langsung mengaitkan ajaran Al-Qur'an dengan realitas sosial dan politik mereka, menjadikan pesan tersebut tak terhindarkan dan sangat mendesak.
Fokus pada kehinaan dan ketiadaan manfaat harta (ayat 2) juga menjadi kritik terhadap sistem ekonomi dan nilai-nilai pra-Islam yang menempatkan kekayaan di atas moralitas. Abu Lahab mewakili aristokrasi Mekah yang percaya bahwa uang dapat membeli apa saja, termasuk kekebalan dari hukum ilahi. Al-Qur'an secara radikal membalikkan hierarki nilai ini, menegaskan bahwa integritas dan keimanan adalah modal utama, sedangkan harta hanyalah ilusi perlindungan. Ketiadaan manfaat harta ini adalah pesan kuat bagi kapitalisme modern yang seringkali memuja kekayaan tanpa batas moral.
Akhirnya, Al Lahab adalah sebuah surah yang penuh dengan harapan bagi kaum tertindas dan mereka yang berjuang di jalan kebenaran. Melihat bagaimana Allah membela Nabi-Nya dari permusuhan internal keluarga terdekat memberikan kekuatan dan validasi spiritual. Ini adalah jaminan bahwa, tidak peduli seberapa besar atau berkuasa musuh, Kekuatan Ilahi akan selalu mengintervensi untuk menetapkan keadilan dan mengutuk mereka yang secara sengaja dan keras kepala menentang kebenaran yang jelas. Nasib Abu Lahab adalah bukti bahwa kekalahan akhir selalu milik para penindas kebenaran, sementara kemenangan abadi milik para pembelanya.
Membaca Al Lahab Latin harus selalu diiringi dengan penghayatan akan kedalaman vonis ini, sebuah pengingat yang menyala-nyala tentang batas antara iman dan kesombongan, antara keselamatan dan kehancuran. Surah ini menutup lembaran perseteruan dengan sebuah ironi tragis, di mana julukan kehormatan seorang pangeran Mekah diubah menjadi nama api nerakanya sendiri. Dan di leher istrinya, kalung permata ditukar dengan tali sabut, simbol dari kegagalan upaya duniawi mereka.
Semua ini menegaskan bahwa setiap individu, tanpa memandang status atau kekerabatan, akan menghadapi konsekuensi dari pilihan spiritualnya. Al Lahab bukan hanya sejarah; ia adalah hukum universal tentang balasan setimpal (jaza'an wifaqan) bagi penolakan yang paling keras kepala.