Ilustrasi simbolis api (Lahab) dan wahyu Ilahi.
Surah Al-Lahab (Api yang Bergejolak), yang juga dikenal sebagai Surah Al-Masad (Tali dari Serabut), memiliki posisi yang sangat unik dan penting dalam Al-Qur’an. Ia adalah Surah ke-111, terletak di juz ke-30 (Juz Amma), tepat setelah Surah An-Nashr dan sebelum Surah Al-Ikhlas. Meskipun termasuk dalam surah-surah pendek (hanya terdiri dari lima ayat), maknanya sangat mendalam dan mencakup sejarah awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah.
Surah ini memiliki keistimewaan luar biasa karena secara eksplisit menyebutkan dan mengutuk salah satu penentang utama Islam pada masa-masa awal: Abu Lahab, paman Nabi sendiri. Wahyu ini bukan sekadar kutukan, melainkan sebuah nubuat pasti mengenai nasib buruk Abu Lahab dan istrinya di dunia dan akhirat. Penyebutan nama individu secara langsung ini sangat jarang terjadi dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa seriusnya penentangan yang dilakukan oleh individu tersebut terhadap Risalah Ilahi.
Konteks turunnya Surah ini adalah periode Makkah, ketika umat Islam masih berada dalam minoritas dan menghadapi penganiayaan brutal. Dengan turunnya Surah ke-111 ini, Allah ﷻ memberikan jaminan kepada Rasulullah ﷺ bahwa musuh terdekat dan paling keras kepala sekalipun pasti akan binasa.
Para ulama tafsir sepakat bahwa Surah ini dikenal dengan dua nama utama: Al-Lahab, merujuk pada ayat terakhir yang menyebutkan ‘api yang bergejolak’ yang merupakan nasib Abu Lahab, dan Al-Masad, merujuk pada ‘tali dari serabut’ yang akan melilit leher istrinya. Dalam penomoran standar Mushaf Utsmani, Surah ini secara definitif adalah Surah ke-111.
Surah yang singkat namun padat ini dibaca sebagai berikut, memuat lima pernyataan tegas mengenai kehancuran Abu Lahab:
Kisah di balik turunnya Surah Al-Lahab adalah salah satu narasi paling dramatis dalam sejarah Islam awal, dan merupakan kunci untuk memahami mengapa Surah ke-111 ini begitu personal dan eksplisit. Peristiwa ini dicatat dalam berbagai sumber hadis dan tafsir, termasuk Shahih Bukhari.
Ketika turun firman Allah ﷻ, "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (QS. Asy-Syu'ara: 214), Rasulullah ﷺ memutuskan untuk mengumumkan risalahnya kepada kaum Quraisy secara terbuka. Beliau naik ke Bukit Shafa, yang merupakan tempat strategis di Makkah.
Beliau berseru memanggil kabilah-kabilah Quraisy, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Adiyy!" dan seterusnya. Ketika semua suku berkumpul, termasuk mereka yang tidak bisa hadir namun mengirimkan utusan, Nabi Muhammad ﷺ memulai dengan pertanyaan retoris: "Bagaimana pendapat kalian, jika aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan berkuda yang akan menyerang kalian di belakang bukit ini, apakah kalian akan mempercayaiku?"
Mereka serentak menjawab, "Tentu saja, kami tidak pernah mendengar engkau berbohong."
Kemudian Nabi ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang pedih."
Di tengah kerumunan tersebut, hadir salah satu paman Nabi, Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, yang dikenal sebagai Abu Lahab (Bapak Api/Lidah Api) karena wajahnya yang cerah atau tempramennya yang panas. Dia adalah orang yang seharusnya paling mendukung Nabi, namun justru menjadi penentang paling keras dan jahat.
Mendengar pernyataan Nabi, Abu Lahab langsung berdiri dan berteriak dengan kebencian, melontarkan kata-kata kotor: "Celaka engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"
Dalam riwayat lain, Abu Lahab mengambil batu dan mengancam akan melemparkannya kepada Rasulullah ﷺ. Tindakan ini merupakan penghinaan publik yang sangat besar, menunjukkan permusuhan total terhadap keponakannya dan Risalah yang dibawanya.
Sebagai respons langsung terhadap penghinaan dan penolakan keras oleh Abu Lahab, Allah ﷻ menurunkan Surah Al-Lahab (Surah ke-111). Surah ini membalikkan kutukan Abu Lahab kepada Nabi ﷺ, mengembalikannya kepada Abu Lahab sendiri:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa!).
Penting untuk dicatat bahwa surah ini turun ketika Abu Lahab masih hidup. Nubuat bahwa dia akan mati dalam keadaan kafir dan pasti masuk neraka adalah bukti kebenaran Al-Qur'an. Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, memiliki kesempatan untuk menerima Islam untuk 'membatalkan' nubuat ini, namun mereka tidak pernah melakukannya hingga mereka meninggal dalam kekafiran, menggenapi janji Ilahi.
Untuk memahami kedalaman Surah ke-111 ini, kita harus menyelami makna linguistik dan kontekstual dari setiap ayat, merujuk pada tafsir klasik (seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Ath-Thabari). Analisis ini akan memperjelas mengapa hukuman yang diberikan kepada Abu Lahab dan istrinya begitu spesifik.
Kata Tabbat berasal dari kata dasar tabba (تب). Secara harfiah berarti "kerugian," "kebinasaan," atau "terputusnya amal." Ungkapan ini jauh lebih kuat daripada sekadar kutukan biasa. Para mufassir memberikan dua interpretasi utama:
Pengulangan Wa Tabba (dan dia sesungguhnya telah binasa) memberikan penekanan luar biasa. Tabbat (bentuk lampau/doa) di awal merujuk pada kerugian usahanya (tangan), sementara Wa Tabba (bentuk lampau yang bersifat deskriptif) menyatakan bahwa kebinasaan itu pasti dan telah terjadi (atau sedang terjadi) padanya. Ini adalah kepastian takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ.
Abu Lahab adalah tokoh yang kaya dan berkedudukan tinggi di kalangan Quraisy. Dia sangat bangga dengan status sosial dan kekayaannya. Ayat ini menafikan dua hal yang diandalkannya: Māluhu (harta bendanya) dan Mā Kasaba (apa yang ia usahakan/peroleh).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Mā Kasaba ditafsirkan sebagai anak-anaknya. Abu Lahab memiliki anak-anak yang kuat (Utbah dan Utaibah) yang ia andalkan untuk melanjutkan kekuasaannya. Namun, ayat ini menegaskan bahwa baik harta maupun anak-anak tidak akan bisa menyelamatkannya dari azab Allah ﷻ. Bahkan, anaknya, Utaibah, kemudian mati dengan cara yang tragis sebagai akibat dari kutukan Rasulullah ﷺ.
Ayat ini mengajarkan prinsip tauhid yang mendasar: kekayaan dan kekuasaan duniawi tidak bernilai apa-apa di hadapan kehendak Ilahi jika tidak disertai iman. Ini adalah pukulan telak bagi mentalitas Quraisy yang sangat menghargai materi dan garis keturunan.
Kata Sayaṣlā (سَيَصْلَىٰ) menggunakan partikel 'sa' (س), yang dalam bahasa Arab menunjukkan kepastian yang akan terjadi di masa depan, segera dan tak terhindarkan. Ini menegaskan bahwa nasib Abu Lahab adalah pasti, yaitu masuk Neraka.
Azab Neraka digambarkan secara spesifik sebagai Nāran Dhāta Lahab (Api yang memiliki gejolak/lidah api). Ini adalah ironi kosmis: Nama panggilannya, Abu Lahab (Bapak Api), akan menjadi kenyataan yang menyakitkan. Dia akan disiksa oleh api yang merupakan esensi dari namanya sendiri.
Nubuat ini memiliki dimensi historis yang sangat kuat. Ketika Surah ke-111 ini diwahyukan, Abu Lahab masih bisa berpura-pura masuk Islam untuk membuktikan Al-Qur'an salah, namun ia memilih tidak melakukannya, yang semakin menguatkan kebenaran nubuat Ilahi ini.
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil, Arwah binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan. Dia juga seorang musuh bebuyutan Nabi Muhammad ﷺ dan dikenal karena kebenciannya yang intens terhadap Islam.
Frasa ini memiliki dua penafsiran yang saling melengkapi:
Konteks Surah ke-111 ini menunjukkan bahwa dia dihukum karena kontribusinya dalam menentang dakwah melalui fitnah dan lisan yang jahat.
Ayat terakhir Surah Al-Lahab ini memberikan detail tentang azab di Neraka bagi Ummu Jamil.
Fī Jīdihā (فِى جِيدِهَا): Di lehernya. Ḥablum min Masad (حَبْلٌۭ مِّن مَّسَدٍۭ): Tali dari masad (serabut palem yang kasar dan keras).
Tali masad adalah tali yang sangat kasar yang digunakan oleh orang miskin di padang pasir. Ini sangat ironis karena Ummu Jamil adalah wanita bangsawan yang mengenakan kalung mutiara yang sangat mahal dan sering digunakan sebagai simbol status dan kebanggaan. Ketika ia dimintai sumbangan untuk menentang Nabi, ia dilaporkan bersumpah akan menjual kalungnya (atau kekayaannya) demi menghambat Islam. Sebagai hukuman, di Neraka kelak, kalung kebanggaannya akan diganti dengan tali kasar dari sabut (masad), yang akan menyeretnya ke dalam api yang bergejolak, sesuai dengan nasib suaminya.
Hukuman ini mencerminkan prinsip Jaza’ al-Wifaq (balasan yang sesuai dengan perbuatan). Karena dia menggunakan kekayaannya untuk menentang Islam dan menggunakan lidahnya untuk memfitnah (seperti membawa kayu bakar), balasan baginya adalah rasa malu di mana kehormatan dunianya (kalung) digantikan oleh benda yang paling hina (tali sabut) yang akan menariknya ke dalam azab Neraka.
Memahami mengapa Surah ke-111, Al-Lahab, menargetkan individu spesifik memerlukan pemahaman mendalam tentang siapa Abu Lahab dan bagaimana sikapnya membentuk sejarah awal Islam. Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muththalib, menjadikannya paman kandung Rasulullah ﷺ.
Abu Lahab adalah salah satu pemimpin terkemuka Bani Hasyim. Secara tradisi, Bani Hasyim seharusnya bertindak sebagai pelindung Nabi Muhammad ﷺ (seperti yang dilakukan pamannya yang lain, Abu Thalib, meskipun Abu Thalib tidak masuk Islam). Namun, Abu Lahab secara aktif menolak kewajiban ini. Ia adalah salah satu dari segelintir anggota keluarga terdekat yang menolak keras Nabi sejak awal.
Kejahatan Abu Lahab diperparah oleh kedekatan darahnya. Ketika dakwah dimulai, para penentang dari luar suku merasa terhalang oleh tradisi suku yang melindungi anggota kabilah. Tetapi ketika penentangan datang dari dalam rumah tangga Bani Hasyim sendiri, hal itu memberikan legitimasi bagi musuh-musuh luar untuk menyerang Nabi ﷺ tanpa takut melanggar kehormatan suku.
Penentangan Abu Lahab bukan hanya pasif (tidak menerima Islam), tetapi sangat aktif dan agresif:
Penentangan yang begitu sengit dan bersifat pribadi inilah yang membuat Allah ﷻ menurunkan wahyu yang abadi—Surah ke-111—untuk mengabadikan nasibnya sebagai pelajaran bagi generasi mendatang.
Nubuat Surah Al-Lahab tergenapi di dunia nyata. Abu Lahab tidak ikut dalam Perang Badar (tahun ke-2 Hijriah), tetapi ketika kekalahan Quraisy di Badar sampai ke Makkah, ia merasa sangat sedih dan dipermalukan. Tak lama setelah itu, ia terkena penyakit menular yang sangat menjijikkan, yang diyakini sebagai semacam bisul atau wabah (Adasah).
Karena penyakit tersebut sangat menular, tidak ada seorang pun, termasuk anak-anaknya, yang berani mendekatinya. Ia mati dalam kesengsaraan dan ditinggalkan. Ketika ia meninggal, tubuhnya dibiarkan membusuk selama beberapa hari. Akhirnya, anak-anaknya hanya mampu mendorong jenazahnya dengan kayu panjang hingga ke suatu liang (kuburan darurat) dan melemparinya dengan batu dari jauh, tanpa ada ritual pemakaman yang layak. Kematiannya adalah kehinaan yang sempurna, mencerminkan kebinasaan (tabbat) yang telah dinubuatkan dalam Surah ke-111.
Surah ke-111 ini, meskipun pendek, dianggap sebagai mahakarya retorika Al-Qur'an. Struktur bahasanya sangat kuat dan disengaja, berfungsi untuk menyampaikan pesan kepastian azab.
Dalam ayat pertama, “تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ,” kedua kata kerja Tabbat dan Tabba menggunakan bentuk lampau (māḍī). Dalam retorika Arab, penggunaan bentuk lampau untuk peristiwa masa depan (kematian dan azab Neraka) menunjukkan kepastian mutlak, seolah-olah peristiwa itu sudah terjadi. Ini adalah bentuk penegasan Ilahi bahwa nasib Abu Lahab tidak dapat diubah.
Ironi utama dari Surah ke-111 adalah nama panggilan Abu Lahab (Bapak Api/Lidah Api). Allah ﷻ menggunakan namanya sendiri untuk mendefinisikan azabnya: "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Nāran Dhāta Lahab)." Ini adalah balasan yang sangat cerdas, menunjukkan bahwa hal yang dia gunakan sebagai sumber kebanggaan (atau ciri fisik) di dunia akan menjadi sumber penderitaannya di akhirat.
Hubungan antara ayat 4 dan 5 menunjukkan simetri yang sempurna dalam hukuman. Istrinya dijuluki Ḥammālata al-Ḥaṭab (pembawa kayu bakar), sebuah metafora untuk membawa fitnah (bahan bakar). Balasannya adalah Ḥablum min Masad (tali dari serabut), yang melilit lehernya, mencerminkan pekerjaan fisik dan fitnah yang ia lakukan. Jika dia membawa kayu bakar ke dunia untuk menyulut api permusuhan, dia akan membawa tali di lehernya untuk ditarik ke api Neraka di akhirat.
Surah ke-111 ini menggunakan rima yang sangat konsisten, diakhiri dengan huruf 'B' (ba) yang memiliki bunyi kuat dan penutup (mutlaq): Wa Tabba, Wa Kasaba, Dhāta Lahab, Al-Ḥaṭab, Min Masad (meskipun ayat terakhir sedikit berbeda). Rima yang tegas ini memberikan kekuatan dan kesan kepastian yang menghantam saat dibaca.
Meskipun Surah Al-Lahab bersifat spesifik mengenai nasib Abu Lahab dan istrinya, ajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan abadi bagi umat Islam.
Pelajaran terpenting dari Surah ke-111 adalah bahwa ikatan akidah (iman) lebih utama daripada ikatan darah atau keluarga. Abu Lahab adalah paman Nabi, bagian dari keluarga inti. Namun, kekufuran dan penentangannya terhadap kebenaran menjadikannya musuh Allah ﷻ, dan Surah ini secara eksplisit memutuskan hubungan keluarga tersebut di mata agama. Dalam Islam, kesetiaan (wala') harus didasarkan pada tauhid, bukan pada nasab atau status sosial.
Surah Al-Lahab adalah salah satu mukjizat kenabian terbesar. Surah ini diturunkan di Makkah, menjamin bahwa Abu Lahab akan mati dalam kekufuran dan masuk Neraka. Selama beberapa tahun setelah wahyu ini, Abu Lahab memiliki kesempatan penuh untuk menyatakan keislaman, bahkan hanya berpura-pura, untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Namun, dia tidak pernah mampu melakukannya. Dia mati sebagai seorang kafir, menggenapi nubuat yang terperinci ini. Hal ini membuktikan bahwa wahyu ini datang dari Dzat yang Maha Mengetahui, yang mengetahui akhir dari segala sesuatu.
Ayat 2 secara tegas mengajarkan bahwa harta benda dan kekayaan tidak akan menyelamatkan seseorang dari azab Allah ﷻ jika ia menolak kebenaran. Pesan ini relevan bagi setiap individu yang mengandalkan materi (ماله) atau kekuasaan/pengaruh (ما كسب) sebagai jaminan keselamatan, padahal kebinasaan abadi menanti jika mereka ingkar.
Hukuman yang spesifik bagi Ummu Jamil mengajarkan bahaya dari penyebaran fitnah (ghibah dan namimah) serta penggunaan lisan untuk menyulut permusuhan. Perbuatan ini, yang digambarkan sebagai 'membawa kayu bakar,' memiliki konsekuensi serius di akhirat, setara dengan dosa besar yang dapat menyeret pelakunya ke dalam api neraka.
Surah Al-Lahab tidak hanya penting secara teologis, tetapi juga memiliki peran krusial dalam sejarah awal dakwah Islam. Periode Makkah adalah masa di mana Nabi Muhammad ﷺ membutuhkan dukungan psikologis dan spiritual terbesar, dan Surah ini memberikannya.
Bayangkan kesulitan psikologis yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ: pamannya sendiri, yang seharusnya menjadi pelindung terdekatnya, justru menjadi penganiaya utama. Surah ke-111 turun sebagai penegasan dari Allah ﷻ bahwa permusuhan ini tidak akan bertahan lama, dan kebenaran pasti akan menang. Ini adalah pelipur lara dan penegasan status kenabian di tengah tekanan yang luar biasa.
Pada saat itu, banyak orang Quraisy yang ragu-ragu. Ada yang menolak Nabi karena takut akan status sosial mereka, sementara yang lain merasa takut pada intimidasi Abu Lahab. Surah Al-Lahab, dengan menyebut nama secara langsung, memaksa setiap orang untuk mengambil sikap. Tidak ada lagi posisi abu-abu. Baik Anda bersama Abu Lahab, sang binasa, atau bersama Muhammad ﷺ, sang pembawa kebenaran.
Penyusunan Surah ke-111 tepat setelah Surah An-Nashr (Pertolongan) dalam susunan Mushaf juga memberikan nuansa teologis yang menarik. Meskipun An-Nashr secara umum dianggap sebagai surah Madaniyah yang turun menjelang akhir hayat Nabi ﷺ dan mengumumkan kemenangan Islam, Surah Al-Lahab (Makkah) diletakkan di sebelahnya untuk menegaskan bahwa sebelum kemenangan besar (An-Nashr), harus ada pembersihan dari musuh-musuh utama. Al-Lahab adalah penutup yang menegaskan bahwa permusuhan yang paling dekat dan keras pun akan dihancurkan oleh kekuatan Ilahi.
Para ulama tafsir telah membahas secara mendalam kata Tabbat dan Wa Tabba, menawarkan nuansa yang memperkaya pemahaman Surah ke-111. Perbedaan penafsiran ini berkisar pada apakah ayat tersebut adalah doa, berita, atau kombinasi keduanya.
Imam Ath-Thabari cenderung melihat ayat pertama sebagai kombinasi dari doa (kutukan) dan berita. Tabbat Yadā Abī Lahab adalah kutukan agar usaha tangannya sia-sia dan merugi. Sementara Wa Tabba yang kedua adalah berita atau penegasan bahwa kehancuran itu pasti dan sudah terjadi secara takdir, menunjukkan bahwa kerugian Abu Lahab bersifat mendalam dan menyeluruh.
Az-Zamakhsyari, dalam Al-Kashshaf, berfokus pada balaghah (retorika). Ia menekankan bahwa penghancuran tangan adalah metafora untuk menghentikan seluruh aktivitasnya, khususnya usaha kejahatannya. Pengulangan kata Tabba adalah untuk menekankan bahwa ia tidak hanya dikutuk, tetapi ia memang sudah berada dalam kondisi kehancuran moral dan spiritual, bahkan sebelum azab fisik Neraka datang.
Pembahasan mendalam juga terjadi pada frasa wa mā kasaba (dan apa yang ia usahakan). Sebagaimana yang telah disebutkan, tafsir umum merujuk pada anak-anaknya. Namun, beberapa ulama lain mengartikannya sebagai 'amalan buruknya' atau 'kekayaan yang diperolehnya melalui cara-cara yang haram/zhalim.' Dalam kedua kasus, tujuannya sama: apa pun yang ia anggap sebagai sumber kekuatan di dunia tidak akan berguna di hadapan keputusan Ilahi yang memastikan dia masuk ke dalam Nāran Dhāta Lahab.
Walaupun Surah ke-111 membahas dua individu spesifik yang hidup 14 abad yang lalu, pesan-pesan moral dan teologisnya tetap relevan dalam kehidupan modern.
Dalam konteks kontemporer, "Abu Lahab" bukanlah sekadar nama, tetapi sebuah arketipe. Dia melambangkan musuh-musuh kebenaran yang menggunakan kedekatan, kekayaan, status, dan kekuasaan mereka (ماله وما كسب) untuk melawan cahaya Islam. Ini termasuk mereka yang menggunakan media, politik, atau pengaruh ekonomi untuk menyebarkan kebencian, fitnah, dan propaganda yang bertujuan merusak moral umat Islam atau menghalangi dakwah.
Surah ini mengajarkan bahwa meskipun penentang memiliki sumber daya tak terbatas, jika tujuannya adalah memadamkan cahaya Allah ﷻ, nasib mereka (tabbat) sudah ditentukan—mereka akan mengalami kerugian total di dunia dan akhirat.
Ummu Jamil, si 'pembawa kayu bakar,' adalah simbol kejahatan lisan di era informasi. Di zaman media sosial dan komunikasi instan, penyebaran fitnah, hoaks, dan gosip destruktif menjadi wabah. Surah ke-111 ini berfungsi sebagai peringatan keras bahwa tindakan lisan yang merusak dan menyulut permusuhan (ḥammālata al-ḥaṭab) akan dibalas dengan hukuman yang sangat spesifik dan memalukan di akhirat.
Bagi umat Islam modern, Surah Al-Lahab menggarisbawahi pentingnya mempertahankan prinsip-prinsip iman bahkan ketika berhadapan dengan tekanan keluarga. Jika anggota keluarga atau kerabat dekat menuntut pengorbanan akidah demi keuntungan duniawi atau keharmonisan keluarga semu, Surah ini memberikan kekuatan untuk memprioritaskan ajaran Nabi Muhammad ﷺ.
Surah Al-Lahab, Surah ke-111, adalah bukti nyata dari janji Allah ﷻ, yang menjamin bahwa semua bentuk penentangan, sekecil atau sedekat apa pun, akan berakhir dengan kebinasaan bagi pelakunya, sementara kebenaran akan selalu ditegakkan.
Kisah mengenai Ummu Jamil memberikan dimensi tambahan pada Surah ke-111. Ia dikenal sebagai wanita yang sangat kaya dan sangat vokal. Setelah Surah ini turun, Ummu Jamil sangat marah. Diriwayatkan bahwa ia datang ke Ka'bah sambil membawa batu besar, mencari Rasulullah ﷺ.
Pada saat itu, Rasulullah ﷺ sedang duduk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ummu Jamil bersumpah untuk menyerang Nabi. Namun, melalui mukjizat Allah ﷻ, Ummu Jamil tidak dapat melihat Nabi ﷺ, meskipun Nabi duduk tepat di sebelahnya. Dia hanya melihat Abu Bakar.
Dia berkata kepada Abu Bakar, "Di mana temanmu? Saya mendengar bahwa dia mencerca saya. Demi Allah, jika saya menemukannya, saya akan memukulnya dengan batu ini! Dan saya adalah seorang penyair. Katakan padanya, saya telah menciptakan beberapa syair: 'Yang dicela, kami benci, dan perintahnya kami tentang, dan agamanya kami jauhi.'"
Ummu Jamil menyebut Nabi ﷺ dengan julukan "Mudhammam" (yang dicela), kebalikan dari nama beliau "Muhammad" (yang terpuji). Ketika dia pergi, Abu Bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, dia tidak melihatmu?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah telah mengambil penglihatannya dariku." Kisah ini menunjukkan bahwa permusuhan Ummu Jamil berlanjut bahkan setelah turunnya Surah ke-111, dan kebutaan spiritualnya (tidak mampu melihat kebenaran) diiringi dengan kebutaan fisik sesaat di hadapan Nabi.
Surah Al-Lahab, Surah ke-111 dalam Al-Qur'an, adalah satu dari sedikit wahyu yang secara langsung menyebut dan mengutuk musuh Islam. Keberadaannya dalam Mushaf adalah penegasan yang tak terbantahkan mengenai kepastian janji Allah ﷻ.
Lima ayat yang ringkas ini merangkum seluruh kisah permusuhan dan konsekuensi abadi bagi mereka yang menentang kebenaran setelah kebenaran itu jelas datang. Dari kehancuran harta benda (Ayat 2), hingga api yang bergejolak (Ayat 3), dan hukuman spesifik bagi penyebar fitnah (Ayat 4 dan 5), Surah ini adalah peringatan keras dan abadi.
Kepastian akan kebinasaan Abu Lahab (Tabbat) tidak hanya melegakan hati Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang tertindas di Makkah, tetapi juga menjadi fondasi keyakinan bagi setiap muslim bahwa tidak peduli seberapa besar atau berkuasa musuh kebenaran di dunia ini, kehancuran dan kerugian abadi menanti mereka di sisi Allah ﷻ.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah akar kata (lexical root) yang digunakan dalam Surah Al-Lahab, Surah ke-111. Pemilihan setiap kata dalam Al-Qur’an sangatlah disengaja dan sarat makna.
Akar kata L-H-B (Lahab) secara fundamental berarti nyala api yang murni, lidah api, atau api yang tidak berasap. Ini sangat kontras dengan kata api secara umum (nār). Allah ﷻ memilih kata ini, yang merupakan inti dari nama panggilan Abu Lahab, untuk menciptakan ikatan abadi antara nama dan azabnya.
Penggunaan kata ini menegaskan bahwa hukuman yang diterimanya adalah azab yang paling murni dan paling menyakitkan, sekaligus mengejek kehormatan duniawinya. Para ahli bahasa Arab kuno melihat ini sebagai salah satu contoh tertinggi dari balaghah (eloquence) Al-Qur'an.
Kata Masad (Serabut/Tali Serabut) tidak hanya merujuk pada tali kasar, tetapi juga membawa konotasi kemiskinan dan kesulitan. Tali yang digunakan oleh orang kaya biasanya terbuat dari kulit atau sutra; masad adalah tali yang dibuat dari serabut kasar pohon palem atau sabut kelapa yang sangat murah dan tidak nyaman.
Ibn Abbas, salah satu mufassir awal, menafsirkan bahwa hukuman Ummu Jamil adalah tali masad yang panas membara di lehernya. Penderitaan ini ganda: secara fisik karena panasnya api, dan secara psikologis karena dipakaikan simbol kerendahan dan kemiskinan, menghancurkan kehormatan seorang bangsawan Quraisy di hadapan semua makhluk.
Pembahasan mengenai Mā Kasaba (apa yang ia usahakan) adalah subjek dari banyak perdebatan teologis yang mendalam mengenai pertanggungjawaban di Hari Kiamat. Ulama Hanbali, khususnya, cenderung berpegangan pada tafsir bahwa Mā Kasaba secara spesifik merujuk pada anak-anak yang ia hasilkan, karena anak adalah usaha manusia untuk melanjutkan garis keturunan dan kekuasaan.
Namun, dalam pandangan yang lebih luas, kasaba mencakup segala sesuatu yang diperoleh manusia melalui usahanya, termasuk status, pengaruh politik, janji, dan bahkan sumpah palsu yang ia gunakan untuk melawan Nabi. Ayat kedua Surah ke-111 berfungsi sebagai penghapusan total terhadap seluruh saldo positif duniawi Abu Lahab.
Surah Al-Lahab memiliki peran unik sebagai dokumen historis yang mengabadikan realitas politik dan sosial di Makkah pada tahun-tahun pertama kenabian. Keberanian wahyu ini tidak dapat diremehkan.
Ketika Surah ke-111 turun, menantang seorang pemimpin suku terkemuka seperti Abu Lahab adalah tindakan yang secara politik sangat berbahaya. Masyarakat Makkah diatur oleh sistem perlindungan suku (jiwār). Nabi Muhammad ﷺ dilindungi oleh Bani Hasyim, di bawah pimpinan Abu Thalib.
Surah ini, dengan mengutuk Abu Lahab, secara tidak langsung menantang seluruh sistem jiwār. Surah ini menetapkan bahwa perlindungan Allah ﷻ lebih besar daripada perlindungan suku. Ini adalah deklarasi bahwa kabilah yang tidak berdasarkan tauhid tidak akan mampu melindungi anggotanya dari hukuman Ilahi.
Peran Ummu Jamil sebagai Ḥammālata al-Ḥaṭab menjadi sangat penting selama periode pemboikotan (sekitar tahun ke-7 kenabian), ketika Bani Hasyim dan Bani Muththalib dikucilkan di lembah Abu Thalib. Ummu Jamil dikenal sebagai salah satu yang paling aktif dalam memastikan boikot tersebut efektif, menimbun makanan dan menghasut orang lain untuk tidak menjual kebutuhan kepada umat Islam yang kelaparan. Dalam konteks ini, 'membawa kayu bakar' dapat diartikan sebagai tindakan nyata membawa bahan-bahan yang memperparah kesulitan boikot, menambahkan penderitaan fisik di atas fitnah lisan.
Surah Al-Lahab adalah pelajaran penting tentang keadilan Ilahi (al-'adl). Azab yang dijanjikan dalam Surah ke-111 sangat spesifik dan proporsional terhadap kejahatan yang dilakukan.
Dalam teologi Islam, seringkali hukuman di akhirat mencerminkan jenis dosa yang dilakukan di dunia. Ini disebut al-jaza' min jins al-'amal (balasan sesuai dengan jenis perbuatan):
Proporsionalitas ini menunjukkan bahwa keadilan Allah ﷻ tidak pernah meleset; setiap perbuatan, baik yang dilakukan secara fisik maupun lisan, akan mendapatkan balasan yang paling sesuai.
Pada akhirnya, Surah ke-111 adalah sumber ketenangan bagi orang beriman. Ini adalah janji bahwa bahkan dalam situasi yang paling menekan, ketika musuh tampak tak terkalahkan dan memiliki kekuasaan mutlak, kekuatan mereka adalah fatamorgana. Kepastian kebinasaan mereka adalah urusan Ilahi yang telah ditetapkan, dan bagi orang beriman, tugasnya hanyalah terus istiqamah dalam dakwah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Dengan demikian, Surah Al-Lahab, Surah ke-111, melampaui sejarahnya sebagai kutukan pribadi. Ia adalah piagam abadi tentang keadilan Allah ﷻ, konfirmasi kenabian, dan peringatan tegas terhadap bahaya kesombongan, kekayaan, dan permusuhan lisan terhadap kebenaran Ilahi.
Ketika mempelajari Surah ke-111, penting juga untuk melihat interpretasi dari perspektif tafsir yang lebih esoteris dan spiritual, seperti yang ditemukan dalam Ruhul Ma'ani oleh Alusi atau karya-karya ulama sufi. Tafsir jenis ini tidak menolak makna harfiah, melainkan menambahkan lapisan makna batin.
Dalam pandangan spiritual, 'kedua tangan' (yadā) Abu Lahab tidak hanya merujuk pada tangan fisik atau usahanya yang jahat, tetapi juga pada dua aspek utama tindakan manusia di dunia: niat dan aksi. Kerugian (tabbat) menimpa niatnya (yang korup dan penuh kebencian) dan aksinya (yang merusak). Ini adalah kehancuran total di tingkat batiniah dan lahiriah.
Lebih jauh lagi, bagi sufi, Abu Lahab mewakili nafs al-ammarah bi’l-sū' (nafsu yang memerintahkan kejahatan) yang ada di dalam diri setiap manusia. Peringatan dalam Surah Al-Lahab adalah panggilan untuk 'membinasakan' (tabbat) aspek diri yang menolak kebenaran, terlepas dari seberapa 'dekat'nya ia dengan fitrah manusia (sebagaimana Abu Lahab dekat dengan Nabi).
Konsep Nāran Dhāta Lahab dalam Surah ke-111 dapat ditafsirkan sebagai api yang membakar bukan hanya tubuh, tetapi juga hati. Api ini adalah hasil dari keangkuhan dan penolakan spiritual. Bagi sebagian mufassir sufi, api ini adalah hijab (penghalang) tebal yang mencegah Abu Lahab dari melihat keindahan dan kebenaran ajaran Nabi Muhammad ﷺ di dunia. Kebutaan spiritual ini kemudian bermanifestasi sebagai azab api abadi di akhirat.
Penting untuk diingat bahwa Surah Al-Lahab adalah Surah ke-111 dalam Tartib Mushafi (urutan penulisan dalam Al-Qur'an seperti yang kita lihat hari ini), tetapi urutannya dalam Tartib Nuzul (urutan pewahyuan) adalah salah satu yang paling awal. Para ulama berbeda pendapat, tetapi sebagian besar menempatkan Surah ke-111 ini sebagai Surah keempat atau kelima yang diturunkan, setelah Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzzammil, dan Al-Muddatstsir. Ini menjadikannya salah satu wahyu pertama yang bersifat konfrontatif.
Jika Surah ke-111 turun begitu awal, ini menunjukkan betapa cepatnya konflik terbuka antara kebenaran dan kekufuran dimulai di Makkah, dan betapa besarnya peran Abu Lahab sebagai katalis permusuhan. Allah ﷻ memilih untuk mengatasi masalah Abu Lahab secara langsung di awal dakwah untuk menghilangkan keraguan di hati Nabi ﷺ dan para pengikutnya bahwa kejahatan paling terorganisir pun tidak akan lolos dari hukuman.
Peletakan Surah Al-Lahab sebagai Surah ke-111, di akhir Mushaf (Juz Amma), menempatkannya di antara surah-surah yang membahas Tauhid (seperti Al-Ikhlas) dan kemenangan terakhir (An-Nashr). Ini memberikan kesimpulan yang kuat: Setelah kemenangan dan penegasan Tauhid, maka takdir akhir dari musuh-musuh abadi Islam harus diingat dan ditegaskan kembali. Surah ke-111 berfungsi sebagai peringatan penutup bahwa konsekuensi menolak kebenaran adalah azab yang abadi.
Surah Al-Lahab, Surah ke-111, adalah salah satu surah yang paling banyak dipelajari karena kepastian nubuatnya. Surah ini memberikan gambaran jelas mengenai keadilan Ilahi yang tidak pandang bulu, bahkan terhadap paman Nabi sendiri. Kehancuran (tabāb) yang dijanjikan dalam Surah ini bukan hanya kebinasaan fisik di dunia, tetapi kerugian total di akhirat.
Melalui analisis mendalam terhadap linguistik (Lahab dan Masad), asbabun nuzul (konflik di Bukit Shafa), dan tafsir yang beragam, kita melihat bahwa Surah ke-111 adalah fondasi penting dalam pemahaman kita tentang kebenaran Risalah. Ia mengajarkan kita bahwa kekayaan, status, dan kekerabatan tidak dapat menggantikan iman, dan bahwa fitnah lisan (seperti Ummu Jamil) adalah kejahatan yang dibalas dengan hukuman yang setimpal.
Surah Al-Lahab tetap menjadi mercusuar peringatan bagi setiap individu yang memilih jalur penolakan dan permusuhan terhadap cahaya kebenaran. Peringatan abadi yang terkandung dalam Surah ke-111 memastikan bahwa sejarah Abu Lahab akan terus dibaca dan diingat oleh umat manusia hingga Hari Kiamat.