PENDAHULUAN: IDENTIFIKASI DAN KEDUDUKAN SURAH AL-LAHAB
Surah Al-Lahab, atau dikenal juga dengan nama Surah Al-Masad (Tali Sabut), menempati urutan yang sangat spesifik dan penting dalam mushaf Al-Qur'an. Berdasarkan tertib mushafi yang baku, Al-Lahab adalah surat ke-111 dari total 114 surah. Kedudukannya yang berada menjelang akhir Al-Qur'an, setelah Surah An-Nasr dan sebelum Surah Al-Ikhlas, sering kali memberikan kesan bahwa surah-surah pendek ini hanya ringkasan, padahal ia memuat implikasi teologis, historis, dan linguistik yang sangat padat dan mendalam. Surah ini tergolong ke dalam kelompok Surah Makkiyah, yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, pada fase awal dakwah yang penuh tantangan dan penentangan.
Nama Al-Lahab itu sendiri memiliki makna yang sangat kuat dan deskriptif: ‘api yang menyala-nyala’ atau ‘lidah api’. Nama ini diambil langsung dari gelar yang disematkan kepada tokoh utama yang menjadi subjek surah ini, Abu Lahab, paman Nabi Muhammad ﷺ, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Meskipun memiliki ikatan darah yang sangat dekat dengan Rasulullah, Abu Lahab justru menjadi salah satu penentang paling vokal, brutal, dan tak kenal lelah terhadap risalah Islam, yang menjadikan Surah Al-Lahab ini sebagai sebuah ‘proklamasi hukuman ilahi’ yang ditujukan kepada individu yang masih hidup pada saat pewahyuannya.
Al-Lahab sebagai Surah Pengecaman yang Spesifik
Keunikan utama dari Surah Al-Lahab terletak pada karakternya sebagai satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut nama tokoh musuh Islam yang masih hidup dan secara pasti memvonisnya dengan siksaan abadi. Hal ini bukan hanya sekadar kecaman moral, melainkan sebuah nubuat (prophecies) yang mutlak dan pasti. Seluruh isi surah ini – lima ayat yang ringkas namun padat – berpusat pada hukuman bagi Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, atas penentangan keras mereka terhadap misi kenabian. Analisis mendalam atas konteks historis dan linguistik sangat penting untuk memahami mengapa Al-Lahab memiliki urgensi sedemikian rupa dalam narasi Al-Qur'an.
KONTEKS HISTORIS: ASBABUN NUZUL (SEBAB TURUNNYA)
Kisah di balik turunnya Surah Al-Lahab merupakan salah satu momen paling dramatis dalam sejarah dakwah Islam di Makkah. Kisah ini diriwayatkan melalui berbagai jalur periwayatan, yang intinya menunjuk pada peristiwa pengumuman dakwah secara terbuka yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ di Gunung Safa. Sebelumnya, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun wahyu memerintahkan agar risalah disampaikan secara terang-terangan (Surah Asy-Syu’ara: 214).
Gambar 1: Simbolisasi Seruan Awal di Makkah, yang menjadi titik balik penentangan Abu Lahab.
Peristiwa di Gunung Safa
Dikisahkan bahwa Rasulullah ﷺ naik ke atas Gunung Safa dan mulai memanggil kabilah Quraisy, baik secara kolektif maupun individu, hingga mereka berkumpul di hadapannya. Beliau bertanya kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian jika aku mengatakan bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serentak menjawab, "Kami tidak pernah mendengar engkau berbohong." Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian di hadapan azab yang keras."
Di tengah keheningan yang menyelimuti perkumpulan tersebut, muncullah Abu Lahab. Ia bangkit dan melontarkan kalimat yang sangat kasar, yang menjadi pemicu langsung turunnya surah ini: “Celakalah engkau! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?” (Tabban lak!). Abu Lahab tidak hanya menolak risalah kenabian, tetapi ia juga menghina dan merendahkan status Nabi Muhammad ﷺ di hadapan kabilah-kabilah Makkah. Penghinaan yang dilakukan oleh paman kandungnya sendiri ini merupakan pukulan keras yang ditujukan untuk melemahkan otoritas moral dan garis keturunan Rasulullah ﷺ. Sebagai respons ilahi terhadap penghinaan ini, Surah Al-Lahab diturunkan, membalikkan kutukan yang dilontarkan Abu Lahab kepadanya sendiri.
Pesan Utama Surah Al-Lahab (Surat ke-111)
Al-Lahab berdiri sebagai kesaksian bahwa ikatan darah atau kedudukan sosial tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia menentang kebenaran secara sadar dan aktif. Ini adalah demonstrasi bahwa oposisi terhadap kenabian akan berakhir pada kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat.
TAFSIR AYAT PER AYAT DAN ANALISIS LINGUISTIK
Kita akan memulai kajian tafsir dengan membedah setiap ayat, fokus pada kekayaan linguistik Arab klasik yang digunakan, serta implikasi eskatologis yang dikandungnya. Kedalaman makna dalam lima ayat ini menunjukkan ketinggian retorika Al-Qur'an.
Ayat 1: Hukuman dan Prediksi Kehancuran
Analisis Kata Kunci: Tabbat (تبت)
Kata Tabbat (binasalah, celakalah) adalah inti dari ayat pertama ini. Ini merupakan respons langsung terhadap ucapan Abu Lahab, "Tabban lak!" (Celakalah engkau!). Al-Qur'an mengambil kata kutukan tersebut dan mengarahkannya kembali kepada si pengucap. Tabbat memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar 'celaka'; ia mengimplikasikan 'kerugian abadi', 'kebinasaan total', atau 'kegagalan total dalam segala upaya'. Para mufassir klasik seperti At-Tabari dan Ibn Kathir menjelaskan bahwa Tabbat merujuk pada kekeringan, kekecewaan, dan kehancuran. Ini adalah deklarasi bahwa semua rencana dan usaha Abu Lahab untuk memadamkan cahaya Islam akan sia-sia belaka, berujung pada kehancuran dirinya sendiri.
Analisis Metafora: Yada (يد - Kedua Tangan)
Penyebutan Yada Abi Lahab (kedua tangan Abu Lahab) adalah metonimia yang sangat kuat. Dalam budaya Arab, tangan sering melambangkan usaha, pekerjaan, kekuasaan, dan upaya. Dengan mengutuk kedua tangannya, Al-Qur'an mengutuk seluruh upaya, daya, dan pengaruh yang ia kerahkan untuk melawan Nabi Muhammad ﷺ. Ini bukan hanya kutukan fisik, melainkan kutukan fungsional—semua kekayaan dan kekuasaannya tidak akan memberinya manfaat. Pengulangan frasa wa tabb (dan sesungguhnya dia telah binasa) di akhir ayat menegaskan dualitas hukuman: kehancuran usahanya di dunia, dan kehancuran dirinya di akhirat.
Ayat 2: Ketiadaan Manfaat Harta dan Kedudukan
Analisis Ekonomis dan Spiritual
Ayat kedua ini menargetkan dua sumber kekuasaan utama Abu Lahab di Makkah: Maluhu (hartanya) dan Ma Kasaba (apa yang ia usahakan/peroleh). Abu Lahab adalah figur yang kaya dan berpengaruh, mewarisi kedudukan terhormat dari Bani Hasyim. Ayat ini menghancurkan anggapan bahwa kekayaan dan status sosial dapat menjadi penyelamat dari azab ilahi. Dalam konteks Mekkah saat itu, harta sering dianggap sebagai jaminan keselamatan dan superioritas.
Istilah Ma Kasaba seringkali ditafsirkan dalam dua makna utama: pertama, anak-anaknya (karena anak sering dianggap sebagai hasil usaha terpenting dalam masyarakat Arab patriarki), dan kedua, segala bentuk pengaruh, koneksi, atau keuntungan duniawi lainnya. Dalam konteks anak, ayat ini secara profetik menyatakan bahwa tidak satu pun dari keturunan Abu Lahab, yang mungkin diharapkan membela ayahnya, akan mampu menyelamatkannya dari siksa neraka. Ini menegaskan prinsip fundamental Islam: keselamatan adalah urusan individual dan tergantung pada iman, bukan pada warisan materi atau keturunan.
Poin teologis penting di sini adalah penekanan pada ketidakberdayaan material menghadapi takdir eskatologis. Siksa yang menanti Abu Lahab begitu hebatnya sehingga bahkan aset terbesar yang ia kumpulkan sepanjang hidupnya—yang mana aset tersebut mungkin digunakan untuk membiayai penentangannya terhadap Islam—tidak akan mampu menebusnya.
Ayat 3: Vonis Api Neraka (Al-Lahab)
Konfirmasi Nama dan Nasib
Inilah puncak vonis hukuman. Penggunaan kata Sayasla (kelak dia akan masuk/terbakar) menggunakan bentuk masa depan (sin, س) yang mengindikasikan kepastian yang tak terhindarkan. Ini adalah nubuat pasti, bukan sekadar ancaman. Yang lebih menakjubkan adalah penegasan nasibnya melalui kata Lahab, api yang menyala. Nama panggilan Abu Lahab (Bapak Api/Lidah Api) yang diberikan karena wajahnya yang cerah dan kemerahan (mirip api), kini berbalik menjadi deskripsi tempat kembalinya yang abadi—Neraka yang berapi-api.
Metafora ini luar biasa. Abu Lahab bangga dengan gelar dan kedudukannya, yang melambangkan kekuasaan duniawi. Namun, Al-Qur'an memastikan bahwa "api" yang ia miliki di dunia (kekuasaan, kemarahan, penentangan) akan berganti menjadi api hakiki di akhirat. Naran Dzata Lahab (Api yang memiliki Lahab) bukan sekadar api, tetapi api yang memancar, bergejolak, dan sangat panas, sesuai dengan intensitas permusuhan yang ia tunjukkan terhadap Nabi ﷺ dan risalahnya.
Ayat 4: Mitra Kejahatan dan Fitnah
Identitas Umm Jamil
Ayat ini memperkenalkan tokoh kedua dalam drama hukuman ini: istri Abu Lahab, Ummu Jamil, yang nama aslinya adalah Arwa binti Harb. Dia adalah saudara perempuan Abu Sufyan, tokoh Quraisy terkemuka lainnya (yang kemudian masuk Islam). Ummu Jamil adalah mitra aktif dalam permusuhan terhadap Nabi ﷺ. Ia dikenal karena perannya dalam menyebarkan gosip (fitnah) dan secara fisik menyabotase Nabi dengan meletakkan duri, kotoran, atau sampah di jalan yang dilalui Rasulullah ﷺ.
Analisis Metafora: Hammalatal Hatab (حمالة الحطب)
Frasa Hammalatal Hatab (pembawa kayu bakar) adalah metafora klasik Arab yang memiliki dua lapisan makna:
- Makna Literal: Merujuk pada tindakan fisiknya membawa duri dan ranting untuk ditempatkan di jalur Nabi ﷺ. Tindakan ini tidak hanya mengganggu secara fisik tetapi juga merupakan bentuk penghinaan yang disengaja.
- Makna Metaforis (Penyebar Fitnah): Dalam bahasa Arab, "membawa kayu bakar" adalah idiom kuno untuk 'menyebar fitnah' atau 'menghasut api perselisihan dan permusuhan' di antara manusia. Ummu Jamil menggunakan lidahnya untuk memicu konflik dan mendiskreditkan Nabi Muhammad ﷺ.
Ketika ia dihukum di akhirat, hukumannya akan mencerminkan kejahatannya di dunia. Jika di dunia ia membawa kayu bakar (duri/fitnah), maka di akhirat ia akan membawa kayu bakar neraka, yang digunakan untuk menyalakan api suaminya dan dirinya sendiri. Keterkaitan pasangan suami istri dalam hukuman ini menunjukkan bahwa penentangan terhadap kebenaran seringkali merupakan usaha yang sinergis dan kolektif.
Ayat 5: Simbol Belenggu dan Kehinaan
Analisis Term: Masad (مسد) dan Jid ( جيد)
Ayat terakhir ini menggambarkan keadaan Ummu Jamil di Neraka. Jidiha berarti lehernya. Sementara Hablum Min Masad berarti tali dari serat/sabut yang dipintal keras (misalnya, dari pohon kurma). Kata Masad inilah yang menjadi nama alternatif surah ini (Surah Al-Masad).
Hukuman ini adalah manifestasi eskatologis dari perbuatan dunianya. Jika di dunia ia membawa kayu bakar di punggungnya, yang diikat mungkin dengan tali kasar atau serat murahan (sesuai statusnya yang tidak dihormati meskipun kaya, karena pekerjaan menaruh duri dianggap rendah), maka di akhirat tali itu akan menjadi rantai yang mencekik. Masad (tali sabut yang kasar) melambangkan kehinaan, penderitaan, dan siksaan yang berkelanjutan. Ia akan terbelenggu oleh konsekuensi dari fitnah dan kejahatan yang ia pikul di dunia.
Gambar 2: Simbolisasi Tali Masad, yang melambangkan kehinaan dan belenggu abadi.
EKSPANSI TAFSIR DAN KEDALAMAN RETORIKA AL-QUR'AN
Untuk memahami sepenuhnya bobot Surah Al-Lahab, kita harus menyelami lapisan-lapisan tafsir yang lebih kompleks, terutama berkaitan dengan implikasi kenabian yang terkandung di dalamnya. Surah ini adalah bukti tak terbantahkan (hujjah) atas kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Bukti Nubuat (Prophecies) dalam Al-Lahab
Surah ini diturunkan pada saat Abu Lahab dan Ummu Jamil masih hidup, sehat, dan aktif menentang Islam. Ayat-ayat tersebut menyatakan dengan tegas: (1) Abu Lahab akan binasa total, (2) Hartanya tidak akan menyelamatkannya, dan (3) Dia pasti akan masuk neraka. Secara teologis, ini berarti Abu Lahab tidak akan pernah menerima Islam. Jika seandainya Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, bahkan hanya untuk membuktikan Al-Qur'an salah, maka nubuat ini akan gugur. Namun, sepanjang sisa hidupnya hingga kematiannya yang memilukan (beberapa hari setelah Perang Badar, karena penyakit menular yang mengerikan), Abu Lahab tetap dalam kekufurannya, membuktikan kebenaran mutlak dari nubuat Al-Qur'an. Ini adalah salah satu bukti paling kuat yang disajikan Al-Qur'an mengenai keabsahan risalah kenabian.
Analisis Pilihan Kata 'Abu Lahab'
Mengapa Al-Qur'an menggunakan nama panggilan (kunyah) Abu Lahab (Bapak Api) alih-alih nama aslinya, Abdul Uzza (Hamba Uzza)? Pemilihan nama ini sarat makna. Nama asli Abdul Uzza berarti ‘hamba berhala Uzza’, yang menunjukkan kemusyrikan dan kesetiaannya pada paganisme. Namun, Al-Qur'an menggunakan Abu Lahab karena:
- Kesesuaian Eschatologis: Nama panggilan ini secara harfiah meramalkan tempat kembalinya (api neraka). Ini adalah ‘ironi ilahi’.
- Penolakan Status: Dengan mengabaikan nama resminya, Al-Qur'an menolak pengakuan terhadap identitasnya yang terkait dengan berhala dan menekankan nasibnya yang akan datang.
Para ahli linguistik seperti Az-Zamakhsyari menekankan bahwa penggunaan nama julukan yang negatif ini adalah puncak dari ilmu balaghah (retorika) Al-Qur'an, yang secara efektif meruntuhkan status sosial Abu Lahab di mata masyarakat Makkah yang sangat menghargai kunyah dan nasab.
KEDALAMAN TAFSIR TENTANG HARTA DAN ANAK (MA KASABA)
Ayat kedua, “Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan (Ma Kasaba),” memerlukan pembahasan yang sangat mendalam karena menjadi titik persinggungan antara kekuasaan duniawi dan keadilan ilahi. Dalam masyarakat pra-Islam (Jahiliyah), seorang pria dinilai dari asetnya yang paling berharga: kekayaan material (harta, unta, perhiasan) dan keturunan (anak laki-laki yang akan membela garis keturunan dan membalas dendam).
Tafsir tentang Anak sebagai Aset yang Sia-sia
Sebagian besar ulama tafsir, termasuk Mujahid, Ibnu Abbas, dan Qatadah, menafsirkan Ma Kasaba secara spesifik sebagai anak-anak. Dalam kasus Abu Lahab, ia memiliki beberapa putra, di antaranya Utbah, Mu’attab, dan Utaibah. Utbah dan Mu’attab akhirnya memeluk Islam pada hari penaklukan Makkah (Fathul Makkah). Meskipun mereka kemudian menjadi Muslim, keislaman mereka terjadi setelah Surah Al-Lahab diturunkan dan setelah kematian Abu Lahab, yang berarti mereka tidak dapat membela atau menyelamatkan ayah mereka dari vonis kekufuran. Keislaman anak-anaknya justru semakin memperjelas kegagalan total Abu Lahab. Bahkan aset ‘terbaik’nya pun pada akhirnya membelot ke pihak Rasulullah ﷺ.
Analisis ini menunjukkan keutuhan Surah Al-Lahab sebagai hukuman yang mencakup dimensi material dan sosial. Hukuman ini melumpuhkan totalitas eksistensi Abu Lahab: tangannya (usahanya), hartanya (ekonomi), dan keturunannya (warisan sosial). Tidak ada satu pun aspek kehidupannya yang dapat lolos dari kehancuran yang telah dinubuatkan.
Kontinuitas Siksaan: Dari Lahab ke Masad
Struktur Surah Al-Lahab menunjukkan eskalasi dan kesinambungan siksaan, menghubungkan kejahatan duniawi dengan hukuman eskatologis:
- Ayat 1 & 2 (Duniawi): Kesejahteraan dan usaha Abu Lahab (tangan dan harta) telah binasa (Tabbat).
- Ayat 3 (Pribadi Akhirat): Ia akan masuk neraka api Lahab.
- Ayat 4 & 5 (Istri Akhirat): Istrinya, yang menjadi pembawa fitnah (kayu bakar), akan dihukum dengan Masad (tali sabut) di lehernya.
Hubungan antara kayu bakar (Hatab) dan tali sabut (Masad) sangat simbolis. Ia membawa kayu bakar di dunia (fitnah), dan ia akan diikat dengan tali sabut di akhirat. Para mufassir abad pertengahan sering membahas apakah Masad ini adalah tali biasa atau tali neraka. Mayoritas cenderung pada tafsir bahwa ini adalah tali yang dipintal dari api neraka itu sendiri, atau terbuat dari rantai besi yang menyerupai tali sabut yang kasar, yang memberikan penderitaan dan kehinaan yang ekstrem. Kehinaan ini merupakan balasan yang setimpal (jaza’an wifaqan) atas kehinaan yang ia coba timpakan kepada Rasulullah ﷺ.
DETAIL TENTANG UMM JAMIIL DAN PERANANNYA DALAM PENENTANGAN
Ummu Jamil binti Harb Al-Umawiyyah adalah karakter yang tidak kalah pentingnya dalam Surah Al-Lahab. Posisinya sebagai saudara perempuan Abu Sufyan dan istri dari paman Nabi menjadikannya figur sentral dalam permusuhan tingkat tinggi di antara Bani Quraisy.
Fitnah dan Sabotase Fisik
Ummu Jamil tidak hanya menyebarkan gosip (fitnah) terhadap Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan kejahatan verbal dan sosial yang disebut 'kayu bakar' yang membakar permusuhan, tetapi ia juga melakukan tindakan sabotase fisik yang sangat tercela. Diriwayatkan bahwa ia secara rutin mengambil duri-duri tajam dari semak belukar atau kotoran, dan meletakkannya di jalur-jalur yang biasa dilalui Nabi ﷺ, terutama pada malam hari atau di dekat rumah beliau. Tindakan ini menunjukkan kedengkian yang luar biasa, berbanding terbalik dengan kekayaan dan status sosialnya.
Ketika surah ini diturunkan, Ummu Jamil merasa sangat terhina. Diriwayatkan dalam beberapa hadis bahwa ketika ia mendengar Surah Al-Lahab, ia sangat marah hingga mencari Rasulullah ﷺ sambil membawa batu besar di tangannya. Ia berseru bahwa ia akan mencari Muhammad, dan bahwa ia hanyalah seorang penyair yang ditinggalkan (muzammam, kebalikan dari Muhammad/terpuji). Namun, Allah melindunginya, dan meskipun Nabi Muhammad ﷺ duduk di Ka'bah bersama Abu Bakar, Ummu Jamil tidak dapat melihat Nabi ﷺ, seolah-olah penglihatannya tertutup oleh penghalang ilahi. Ia hanya melihat Abu Bakar dan berkata, "Di mana temanmu? Aku dengar ia mencelaku. Demi Tuhan, jika aku menemukannya, aku akan timpakan batu ini ke mulutnya." Peristiwa ini semakin memperkuat nuansa nubuat dalam Surah Al-Lahab; bahkan sebelum ajal menjemput, hukuman (kebutaan spiritual dan kegagalan total) sudah mulai berlaku di dunia.
IMPLIKASI TEOLOGIS DAN PEDAGOGIS SURAH AL-LAHAB
Sebagai surat ke-111, Al-Lahab memberikan pelajaran yang universal, melampaui konteks Abu Lahab semata. Ini adalah pelajaran tentang konsekuensi penolakan, kembalinya keadilan ilahi, dan hakikat kekuasaan sejati.
Prinsip Keadilan Balasan (Jaza'an Wifaqan)
Surah ini mengajarkan prinsip Jaza'an Wifaqan—balasan yang setimpal. Hukuman yang diterima oleh Abu Lahab dan Ummu Jamil sangat erat kaitannya dengan kejahatan yang mereka lakukan:
- Ia menggunakan kekuasaannya (tangan/usaha) untuk menentang: Tangan dan usahanya dibinasakan.
- Ia mengandalkan harta dan status: Harta dan statusnya tidak berguna.
- Ia adalah 'Bapak Api' di dunia: Ia akan masuk ke api yang menyala-nyala (Lahab) di akhirat.
- Ia menyebarkan fitnah ('kayu bakar'): Ia akan membawa kayu bakar neraka dan dibelenggu dengan tali kasar (Masad).
Setiap detail hukuman merupakan cerminan akurat dari kejahatan mereka. Keadilan ilahi tidak hanya menghukum, tetapi juga memperlihatkan hubungan kausalitas yang sempurna antara amal dan balasan.
Pentingnya Kekuatan Iman di Atas Ikatan Darah
Surah Al-Lahab muncul dalam konteks di mana kekerabatan (nasab) sangat dihormati. Abu Lahab adalah paman Nabi, figur terdekat setelah Abu Thalib (yang juga tidak beriman, namun melindunginya). Penempatan Surah Al-Lahab dalam Al-Qur'an secara tegas membatalkan konsep keselamatan melalui garis keturunan atau status sosial. Ia menegaskan bahwa hubungan spiritual (keimanan) jauh lebih penting dan mutlak daripada hubungan biologis. Pesan ini sangat revolusioner di tengah masyarakat Makkah yang sangat klan-sentris.
ULASAN ULAMA KLASIK TENTANG KATA KUNCI LINGUISTIK
Mufassirun klasik telah menghabiskan waktu berabad-abad untuk membedah setiap kata dalam Al-Lahab. Perbedaan interpretasi, meskipun kecil, menambah kekayaan pemahaman tentang betapa detailnya pesan yang terkandung dalam lima ayat ini.
Pendapat Al-Qurtubi dan Fakhruddin Ar-Razi
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menekankan makna Tabbat sebagai kerugian total dalam perdagangan. Ia mengaitkan kehancuran kedua tangan Abu Lahab dengan kehancuran investasi dan bisnisnya, menyiratkan bahwa azab ilahi tidak hanya bersifat eskatologis, tetapi juga mencakup kegagalan di dunia. Abu Lahab adalah seorang pedagang, dan kutukan ini menyerang inti kehidupannya.
Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam Mafatih Al-Ghaib, memperluas interpretasi tentang Ma Kasaba. Ia mengajukan pandangan bahwa itu bisa berarti 'seluruh perbuatan jahatnya'. Jika ditafsirkan demikian, ayat tersebut menjadi universal: tidak ada amal buruk yang pernah dilakukan, seberapa pun besarnya atau berharganya di mata dunia (seperti harta hasil menindas), yang dapat berguna untuk menebus dosa-dosa di hadapan Allah. Tafsir Ar-Razi ini menggeser fokus dari konteks spesifik Abu Lahab menuju prinsip etika universal.
Fokus pada 'Masad' (Tali Sabut)
Tali Masad sering dianggap sebagai bahan yang sangat kasar dan tidak bernilai, biasanya digunakan untuk mengangkut barang berat yang kasar. Pilihan material yang hina ini—bukan rantai emas, bukan bahkan rantai besi mulia—menunjukkan tingkat kehinaan yang diderita Ummu Jamil. Ibnu Abbas menekankan bahwa Masad di neraka akan menjadi tali yang sangat panas dan berat, yang pada dasarnya menjepit dan mencekik lehernya, sebagai hukuman yang berkelanjutan atas perbuatannya.
Diskusi tentang Masad juga mencakup apakah tali tersebut adalah rantai api yang berbentuk sabut, atau tali fisik yang dihidupkan dengan api neraka. Intinya sama: ini adalah simbol belenggu kehinaan yang permanen, sesuai dengan fungsi tali yang mengikat beban yang kasar. Beban yang diikat di lehernya adalah dosanya sendiri.
KONKLUSI: AL-LAHAB SEBAGAI PELETAKAN BATU DASAR KEIMANAN
Surah Al-Lahab, meskipun singkat dan ditempatkan sebagai surat ke-111, adalah salah satu pondasi penting dalam ajaran Islam di Makkah. Ia menawarkan lebih dari sekadar sejarah lokal; ia menyajikan prinsip-prinsip abadi mengenai kepastian nubuat, keadilan balasan, dan kehampaan kekuasaan duniawi tanpa iman.
Kepastian Nubuat dan Implikasinya
Kisah Abu Lahab berfungsi sebagai peringatan bahwa ketika kebenaran telah datang, penolakan yang disengaja, ditambah dengan permusuhan aktif dan kezaliman, akan mengundang vonis ilahi yang tidak dapat dibatalkan. Kematian Abu Lahab dalam kekufuran memastikan bahwa setiap kata dalam Surah Al-Lahab adalah kebenaran yang terpenuhi (self-fulfilling prophecy), yang menjadi bukti konkret bagi para pemeluk Islam dan penentang di sepanjang sejarah. Takdirnya telah dituliskan dalam Al-Qur'an saat ia masih berjalan di bumi Makkah.
Surah ini, melalui lima ayatnya yang padat, membuktikan kepada dunia bahwa Al-Qur'an adalah firman ilahi, bukan karangan manusia, sebab ia mampu memprediksi masa depan psikologis dan eskatologis individu dengan akurasi yang absolut. Siapa pun yang berani menantang kenabian dengan permusuhan brutal akan berakhir pada kehancuran total, seperti yang dialami oleh Abu Lahab dan istrinya, sang pembawa kayu bakar fitnah.
Analisis yang sangat detail dan berulang-ulang terhadap setiap kata (Tabbat, Yada, Lahab, Kasaba, Hammalatal Hatab, Masad) menunjukkan bahwa Al-Lahab adalah mahakarya retorika yang menargetkan tidak hanya keyakinan spiritual, tetapi juga struktur sosial dan ekonomi masyarakat Makkah saat itu. Surat ke-111 ini adalah cerminan kemarahan ilahi yang adil, yang memastikan bahwa setiap upaya untuk memadamkan cahaya Islam akan, pada akhirnya, hanya membakar pelakunya sendiri.
Ketegasan Al-Lahab, sebagai salah satu surat Makkiyah awal, berfungsi untuk memberikan kekuatan moral kepada kaum Muslimin yang minoritas dan tertindas, meyakinkan mereka bahwa kekuatan penindas (yang diwakili oleh Abu Lahab dan Ummu Jamil) adalah kekuatan yang sementara dan ditakdirkan untuk binasa. Ini adalah janji dukungan dan kemenangan bagi kebenaran, terlepas dari intensitas tantangan yang dihadapi. Janji Tabbat Yada Abi Lahab bukanlah sekadar kutukan, melainkan sebuah deklarasi universal tentang akhir yang menyedihkan bagi semua penentang keras kebenaran.
ANALISIS FILOLOGI DAN STRUKTUR NARATIF (TAFSIR TERSAMBUNG)
Dalam ilmu filologi Arab, Surah Al-Lahab menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana Al-Qur'an membangun narasi hukuman. Struktur surah ini adalah sebuah kesatuan yang koheren, bergerak dari kutukan umum ke detail siksaan di akhirat.
Rangkaian Kausalitas dan Retorika
Ayat 1 mengumumkan kegagalan (Tabbat), menciptakan ketegangan. Ayat 2 memberikan justifikasi mengapa kegagalan ini terjadi, yaitu karena harta dan upaya (Ma Kasaba) tidak akan menyelamatkannya, menolak otoritas duniawi. Ayat 3 mengonfirmasi hukuman eskatologis (Sayasla Naran), yang merupakan jawaban pasti atas kegagalan duniawi tersebut. Kemudian, Surah beralih ke Ummu Jamil (Ayat 4 dan 5), menghubungkan hukuman suami (Api) dengan hukuman istri (Kayu Bakar dan Tali Sabut). Ini adalah munasabah (keterkaitan) yang sempurna, di mana nasib satu individu diselaraskan dengan nasib pasangannya dalam permusuhan dan hukuman.
Penggunaan kata kerja dan tata bahasa juga sangat presisi. Ayat 1 menggunakan bentuk kata kerja masa lalu dan masa depan yang disatukan: Tabbat (telah binasa – masa lalu yang pasti) dan wa tabb (dia pasti binasa – masa depan/penegasan). Ini menunjukkan bahwa kehancurannya adalah kenyataan yang tak terhindarkan dan sudah terjadi dalam pandangan ilahi, bahkan ketika ia masih hidup di bumi.
Makna Filosofis dari 'Tangan yang Binasalah'
Mengapa bukan jiwanya, atau matanya, melainkan kedua tangannya yang pertama dikutuk? Dalam tafsir modern, ini diinterpretasikan sebagai serangan terhadap agency (kekuatan bertindak) Abu Lahab. Tangan adalah simbol perbuatan, pekerjaan, sumpah, dan pemberian. Dengan mengutuk tangannya, Al-Qur'an membatalkan legitimasinya untuk bertindak di hadapan komunitas. Ketika seseorang dikutuk tangannya, itu berarti semua yang ia lakukan—dari mencari nafkah hingga memimpin peperangan—dikutuk dan tidak akan menghasilkan manfaat abadi. Dalam perbandingan spiritual, tangan yang tidak pernah berbuat baik atau tidak pernah terangkat dalam doa yang tulus, pantas binasa.
Perluasan makna ini juga menyentuh aspek psikologis. Kebinasaan kedua tangan menunjukkan keputusasaan total yang dialami Abu Lahab menjelang kematiannya, sebuah kondisi di mana ia tidak dapat lagi berbuat apa-apa, baik untuk melindungi dirinya dari penyakit maupun dari nasib buruk yang telah ditakdirkan baginya.
DETAIL TENTANG KEMATIAN ABU LAHAB DAN VERIFIKASI NUBUT
Keakuratan nubuat Al-Lahab diperkuat oleh detail kematian Abu Lahab, sebuah peristiwa yang mencerminkan kehinaan sempurna yang dijanjikan Surah ini.
Kematian yang Terisolasi
Abu Lahab meninggal beberapa hari setelah Perang Badar. Ia tidak ikut bertempur, tetapi setelah mendengar kekalahan telak Quraisy, ia jatuh sakit. Penyakitnya diyakini adalah Adasa (semacam penyakit cacar yang sangat menular dan menjijikkan saat itu). Penyakit ini sedemikian parahnya sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat Makkah.
Dalam masyarakat Arab yang sangat mementingkan kehormatan pemakaman dan kontak dengan jenazah, kematian Abu Lahab sangat memalukan. Karena ketakutan akan penularan, tidak ada satu pun anaknya yang mau mendekatinya atau merawatnya. Ia ditinggalkan sendirian hingga membusuk di rumahnya. Setelah beberapa hari, barulah para putranya menyewa beberapa budak dari suku Habasyah untuk mengurus jenazahnya dari jarak jauh, menggunakan tali. Mereka tidak menguburkannya dengan hormat, melainkan mendorong jenazahnya ke dalam lubang di luar Makkah dan menimpanya dengan batu, sehingga penguburannya menjadi tindakan yang sangat cepat dan tidak bermartabat.
Kematian dan pemakaman yang hina ini, yang bertentangan dengan tradisi penghormatan klan di Makkah, secara sempurna memenuhi kutukan Tabbat Yada Abi Lahab—kebinasaan total dalam kehinaan, di mana harta dan anak-anaknya tidak dapat membantunya sedikit pun.
SURAH AL-LAHAB DAN KONSOLIDASI IMAN
Dalam kerangka Makkiyah, Surah Al-Lahab memiliki peran krusial dalam konsolidasi keyakinan awal kaum Muslimin. Ini adalah surat yang memberikan yaqin (keyakinan) bahwa Allah akan campur tangan secara langsung untuk membela Rasul-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya, meskipun musuh tersebut adalah kerabat terdekat Nabi. Keberanian Nabi untuk membacakan Surah ini secara publik, meskipun Abu Lahab masih hidup, merupakan tindakan kenabian yang paling berani dan menegaskan kepercayaan mutlak pada wahyu.
Pesan Universal tentang Kekuasaan Mutlak
Surah ini mengajarkan bahwa kekuasaan absolut berada di tangan Allah. Manusia, seberapa pun kayanya (seperti Abu Lahab) atau seberapa pun berpengaruhnya (seperti Ummu Jamil), pada akhirnya tidak memiliki kendali atas nasib eskatologis mereka. Semua upaya duniawi, jika ditujukan untuk menentang kebenaran, akan berubah menjadi debu dan justru menjadi bahan bakar bagi siksa mereka di akhirat. Ini adalah pesan yang relevan bagi setiap generasi yang mungkin menghadapi kekuatan tiran yang menentang kebenaman.
Secara ringkas, Surah Al-Lahab, surat ke-111, berfungsi sebagai monumen peringatan abadi, bukan hanya tentang nasib tragis seorang paman Nabi, melainkan sebagai peringatan universal bagi setiap individu yang memilih permusuhan aktif terhadap risalah ilahi. Kehancuran tangannya, kesia-siaan hartanya, dan rantai sabut di leher istrinya menjadi deskripsi yang abadi tentang hukuman yang setimpal dan janji ilahi yang tidak pernah meleset.
***
Ketelitian dalam pemilihan kata, mulai dari Tabbat (kebinasaan), Lahab (api yang membakar), Hammalatal Hatab (pembawa kayu bakar fitnah), hingga Masad (tali sabut kehinaan), menunjukkan bahwa Surah Al-Lahab bukan hanya sebuah kritik, tetapi sebuah vonis hukum eskatologis yang terperinci. Setiap kata dalam lima ayat ini mengandung beban makna yang menjamin bahwa hukuman itu akan terjadi dengan cara yang paling memalukan dan mematikan, baik di dunia maupun di Hari Perhitungan.
Uraian panjang lebar ini menegaskan kembali mengapa Surah Al-Lahab tetap menjadi salah satu surah yang paling banyak dipelajari dalam konteks tafsir, sejarah Islam, dan studi retorika Al-Qur'an. Keberadaannya yang menempati posisi ke-111 dalam mushaf memberikan penutup yang dramatis bagi fase awal perjuangan dakwah Nabi, sekaligus menggarisbawahi kebenaran mutlak janji dan ancaman dari Zat Yang Maha Kuasa.
Penjelasan mengenai Surah Al-Lahab ini terus bergulir, menyingkap lapisan-lapisan baru interpretasi. Sebagai contoh, pertimbangkan konteks ketiadaan razaq (rezeki) dalam analisis harta. Ayat kedua tidak hanya mengatakan hartanya tidak berguna, tetapi juga secara implisit menyatakan bahwa sumber rezeki yang ia banggakan telah dikutuk. Seorang mufassir abad ke-19, menekankan bahwa kekayaan yang diperoleh melalui penindasan atau yang digunakan untuk menentang kebenaran adalah kekayaan yang secara inheren membawa malapetaka bagi pemiliknya. Dalam kasus Abu Lahab, kekayaan yang seharusnya menjadi sumber daya untuk melindunginya justru menjadi beban dan saksi memberatkannya di hari kiamat. Ini adalah pengajaran universal yang melampaui Abu Lahab, mengingatkan umat manusia tentang tazkiyah (penyucian) harta.
Lebih lanjut, mengenai aspek Hammalatal Hatab, beberapa ulama melihatnya sebagai representasi dari akumulasi dosa. Kayu bakar yang dikumpulkan secara harfiah maupun metaforis oleh Ummu Jamil adalah bahan bakar untuk api neraka yang akan menyala. Semakin banyak gosip (kayu bakar) yang ia sebarkan, semakin besar api yang menanti suaminya dan dirinya sendiri. Keterkaitan antara kejahatan lisan (ghibah/fitnah) dan hukuman fisik (membawa beban yang membelenggu) adalah pelajaran moral yang sangat tegas. Ia menggunakan lidahnya untuk menyakiti dan menyebar api, maka ia akan dibelenggu dan dipaksa membawa beban api di akhirat.
Penafsiran mendalam ini, yang terus menerus membedah setiap frasa, menggarisbawahi bahwa Surah Al-Lahab adalah masterplan hukuman yang sangat terstruktur, menargetkan setiap aspek kejahatan yang dilakukan oleh pasangan penentang ini. Keberadaannya di urutan ke-111, sebagai salah satu dari surat-surat terakhir dalam Al-Qur'an, menandakan bahwa pelajaran dari kisah ini adalah salah satu pelajaran paling fundamental dan abadi yang harus dibawa oleh umat Islam, yakni tentang konsekuensi dari penolakan yang arogan dan penuh kebencian. Kita melihat pengulangan analisis dan penekanan pada kata kunci sebagai upaya untuk meresapi setiap partikel makna yang dimaksudkan oleh wahyu ilahi, memastikan bahwa pesan kebinasaan ini tidak pernah terlupakan oleh generasi manapun.
***
Pengkajian berlanjut pada dimensi sastra dan estetika dari Surah Al-Lahab. Kekuatan retorisnya (balaghah) tidak tertandingi. Surah ini secara penuh memanfaatkan teknik i'jaz (kemukjizatan) linguistik Al-Qur'an, mengubah julukan yang dibanggakan (Abu Lahab) menjadi label hukuman eskatologis, dan mengubah perbuatan tercela yang dilakukan dengan tangan (menyebar duri) menjadi pembinasaan tangan itu sendiri.
Analisis tentang Masad, tali sabut yang dipintal, juga seringkali dihubungkan dengan kekayaan Ummu Jamil. Meskipun kaya raya, hukumannya diikat dengan tali yang paling murah dan kasar. Ini adalah pukulan telak terhadap kesombongan materialnya. Jika ia berpikir statusnya memberinya kekebalan, Al-Qur'an menunjukkan bahwa di neraka, ia akan diperlakukan sebagai budak yang rendah, terikat oleh material yang paling hina, menanggung beban kejahatannya sendiri. Ini adalah keadilan murni yang menolak hierarki sosial duniawi.
Surah Al-Lahab, surat ke-111, bukan hanya sejarah; ini adalah hukum. Hukum bahwa tidak ada yang bisa membeli keselamatan dari Tuhan, dan tidak ada ikatan darah yang dapat menghalangi keadilan absolut. Hukuman ini dirancang untuk memaksimalkan kehinaan, karena kehinaanlah yang coba mereka timbulkan pada Rasulullah ﷺ. Kehancuran (Tabbat) bersifat komprehensif, meliputi jiwa, raga, kekayaan, dan kehormatan. Pembahasan yang berulang-ulang dan mendetail pada setiap kata, dari Tabbat hingga Masad, menjamin bahwa kita memahami bobot penuh dari proklamasi ilahi yang abadi ini.
Demikianlah, Al-Lahab tetap berdiri sebagai Surah yang kekuatannya terletak pada kepastian nubuatnya dan kesempurnaan retorikanya, menempati urutan ke-111 sebagai pengingat abadi akan konsekuensi dari penentangan yang brutal terhadap cahaya kebenaran.