Alt: Simbol dualitas malam dan siang yang melambangkan pilihan hidup.
Surah Al-Lail (bahasa Arab: الليل) berarti "Malam". Surah ke-92 dalam Al-Qur'an ini terdiri dari 21 ayat dan termasuk golongan surah Makkiyah, yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Makkiyah dikenal dengan fokusnya pada akidah, tauhid, Hari Akhir, dan penanaman nilai-nilai moral fundamental. Al-Lail merupakan salah satu surah yang paling ringkas namun sangat padat makna, berpusat pada dualitas takdir dan upaya manusia dalam meraih kebahagiaan sejati.
Tema sentral Surah Al-Lail adalah kontras abadi antara dua jalan hidup yang berlawanan. Melalui serangkaian sumpah kosmik, Allah SWT menegaskan bahwa meskipun manusia diciptakan dalam keadaan yang sama, takdir akhir mereka akan ditentukan oleh pilihan moral dan spiritual yang mereka ambil di dunia. Surah ini secara eksplisit membandingkan orang yang dermawan, bertakwa, dan membenarkan kebenaran (disebut sebagai Jalan Kemudahan, *Al-Yusra*) dengan orang yang kikir, merasa cukup diri, dan mendustakan kebenaran (disebut sebagai Jalan Kesulitan, *Al-Usra*).
Pemahaman mendalam tentang *al lail artinya* tidak hanya sebatas makna harfiahnya (malam), tetapi merangkum seluruh kerangka waktu dan ruang di mana ujian kehidupan ini berlangsung. Malam, dengan kegelapannya yang menyelimuti, sering kali menjadi metafora bagi rahasia, perjuangan batin, dan amal saleh yang tersembunyi, kontras dengan siang yang terang benderang, melambangkan aktivitas zahir dan tuntutan duniawi. Surah ini memastikan bahwa setiap tindakan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, memiliki konsekuensi kekal.
Surah Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah yang sangat kuat, menarik perhatian kepada fenomena alam yang paling fundamental dan universal, yang berfungsi sebagai landasan logis bagi pesan moral yang akan disampaikan kemudian. Sumpah ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara berpasangan dan berlawanan, yang merupakan cerminan dari dualitas pilihan moral manusia.
Terjemah:
(1) Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
(2) dan siang apabila terang benderang,
(3) dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
(4) sungguh usaha kamu itu beraneka ragam (berbeda-beda).
Sumpah pertama, وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ (Demi malam apabila menutupi), menunjuk pada fungsi alamiah malam, yaitu menyelimuti bumi, menenangkan aktivitas, dan menyembunyikan. Istilah *yaghsha* (menutupi, menyelimuti) sangat deskriptif. Malam adalah waktu istirahat, namun juga waktu di mana iman diuji dalam kesunyian. Ia bisa melambangkan kebodohan, kekufuran, atau amal tersembunyi yang dilakukan tanpa riya.
Sumpah kedua, وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (dan siang apabila terang benderang), kontras sempurna dengan malam. *Tajalla* (terang benderang, tampak jelas) menunjukkan keterbukaan, aktivitas, dan kejujuran. Siang adalah waktu mencari rezeki dan melakukan kewajiban sosial. Dualitas ini menegaskan bahwa hidup penuh dengan oposisi yang harus kita navigasi: terang dan gelap, kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Allah bersumpah dengan kedua kondisi ini untuk menunjukkan kesempurnaan sistem kosmik-Nya.
Sumpah ketiga sering menjadi titik diskusi di kalangan mufassir. Mayoritas mengartikannya sebagai "dan penciptaan laki-laki dan perempuan" (*Wama khalaqa dzakara wal untsa*). Ini melengkapi sumpah dualitas kosmik (siang-malam) dengan dualitas biologis. Penciptaan berpasangan ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah dan landasan bagi interaksi sosial dan kesinambungan kehidupan manusia.
Beberapa tafsir lain, berdasarkan bacaan yang berbeda (seperti Ibnu Mas’ud), menafsirkannya sebagai "Demi Dzat yang menciptakan laki-laki dan perempuan" (mengacu kepada Allah sendiri). Namun, makna intinya tetap sama: alam semesta diatur oleh keseimbangan, oposisi, dan interaksi antara dua kutub yang berlawanan.
Setelah tiga sumpah agung, kesimpulan moral tiba: إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ (sungguh usaha kamu itu beraneka ragam/berbeda-beda). *Sa'yakum* berarti usaha, kerja keras, atau amal. *Shatta* berarti berbeda, terpisah, atau beraneka ragam. Ayat ini adalah inti dari seluruh surah. Meskipun manusia diciptakan berpasangan dan hidup dalam lingkungan dualitas kosmik (malam-siang), usaha dan tujuan mereka tidaklah sama.
Perbedaan usaha ini adalah manifestasi kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia. Ada yang berusaha menuju surga, dan ada pula yang berusaha menuju api neraka. Perbedaan ini bukan terjadi karena takdir yang dipaksakan, melainkan karena jalan yang dipilih secara sadar oleh setiap individu, yang akan dibahas lebih lanjut di ayat-ayat berikutnya.
Ayat-ayat berikutnya menjelaskan bagaimana usaha manusia terbagi menjadi dua kelompok utama. Kelompok pertama adalah mereka yang memilih Jalan Kemudahan, jalan yang meski terkadang terasa sulit di awal karena menuntut pengorbanan, pada akhirnya akan membawa kemudahan dan kebahagiaan abadi.
Terjemah:
(5) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
(6) dan membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (Al-Husna),
(7) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Jalan Kemudahan dicapai melalui tiga karakteristik fundamental yang harus terintegrasi dalam diri seorang mukmin:
مَن أَعْطَىٰ (Orang yang memberikan/bersedekah). Ini adalah tindakan nyata dari iman. *A'tha* mencakup semua bentuk pemberian, baik materi (harta, waktu) maupun non-materi (ilmu, nasihat). Kedermawanan adalah lawan dari sifat egois dan kikir. Dalam konteks Surah Al-Lail, kedermawanan menjadi penanda utama bahwa seseorang menghargai akhirat lebih dari dunia.
Pentingnya *A'tha* ditekankan karena harta adalah ujian terberat bagi kebanyakan manusia. Ketika seseorang mampu mengatasi cintanya pada harta demi mengharap keridhaan Allah, ia telah melampaui hambatan ego terbesarnya. Tindakan memberi ini juga mencerminkan keyakinan yang mendalam bahwa rezeki tidak akan berkurang karena dikeluarkan, melainkan akan diganti dan diberkahi oleh Allah SWT.
وَٱتَّقَىٰ (dan bertakwa). Takwa adalah payung spiritual yang melindungi semua amal perbuatan. Takwa berarti menjaga diri dari murka Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedermawanan tanpa takwa bisa jadi hanya riya (pamer); sementara takwa tanpa kedermawanan bisa jadi hanya teori. Kedua sifat ini harus berjalan beriringan.
Ketakwaan memastikan bahwa motif di balik pemberian itu murni, ikhlas semata-mata karena Allah. Orang yang bertakwa senantiasa waspada terhadap hak-hak Allah dan hak-hak sesama, memastikan bahwa harta yang diberikan adalah halal dan pengorbanan yang dilakukan adalah yang terbaik. Ini adalah proses penyucian diri yang berkesinambungan.
وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ (dan membenarkan adanya balasan yang terbaik). *Al-Husna* (Yang Terbaik) di sini diinterpretasikan secara luas oleh para mufassir. Makna yang paling umum adalah Surga (Jannah), atau janji pahala yang melimpah dari Allah, atau kalimat Tauhid (*Laa Ilaaha Illallah*).
Jika dihubungkan dengan ayat 5 (memberi), membenarkan *Al-Husna* berarti meyakini sepenuhnya bahwa pengorbanan di dunia ini (seperti memberikan harta) akan dibalas dengan ganti yang jauh lebih baik dan kekal di akhirat. Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak bagi kedermawanan dan ketakwaan. Tanpa keyakinan teguh pada balasan akhirat, manusia cenderung menjadi kikir dan mementingkan keuntungan duniawi sesaat.
Bagi mereka yang memenuhi tiga syarat di atas, janjinya adalah فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ (maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah). Ini adalah balasan kontan di dunia dan akhirat.
Janji ini merupakan insentif ilahi. Meskipun jalan takwa terlihat menanjak dan sulit bagi nafsu, Allah menjamin bahwa Dia akan melapangkan jalan itu bagi hamba-Nya yang tulus.
Kontras yang tajam dihadirkan dalam ayat-ayat berikutnya, menjelaskan kelompok kedua, mereka yang memilih Jalan Kesulitan. Ini adalah jalan yang didasari oleh sifat kikir, kesombongan, dan pendustaan terhadap kebenaran mutlak.
Terjemah:
(8) Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup,
(9) serta mendustakan (balasan) yang terbaik (Al-Husna),
(10) maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit.
Jalan Kesulitan ditandai oleh tiga sifat buruk yang saling terkait:
مَنۢ بَخِلَ (Orang yang kikir/pelit). Ini adalah lawan langsung dari *A’tha* (memberi). Kekikiran tidak hanya terbatas pada tidak mau mengeluarkan zakat atau sedekah, tetapi juga kikir terhadap waktu, ilmu, dan tenaga. Sifat ini muncul karena kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan ketakutan akan kemiskinan.
Kekikiran secara fundamental merusak jiwa. Ia menghalangi seseorang dari melihat hak-hak orang lain atas hartanya dan menumbuhkan egoisme yang mematikan. Orang kikir menimbun harta seolah-olah dia akan hidup selamanya dan lupa bahwa harta itu hanyalah titipan dari Allah.
وَٱسْتَغْنَىٰ (dan merasa dirinya cukup). Sifat ini adalah kesombongan spiritual. Orang tersebut merasa dirinya tidak membutuhkan Allah, tidak memerlukan pahala, dan tidak takut akan azab. Ia merasa bahwa kesuksesan duniawi yang ia miliki murni berasal dari usahanya sendiri, bukan anugerah Ilahi.
Sikap *Istighna* adalah akar dari kekufuran. Ketika seseorang merasa cukup dan mandiri, ia berhenti memohon, berhenti beribadah, dan melihat dirinya lebih superior daripada orang lain. Ini adalah penolakan terhadap konsep ketergantungan mutlak kepada Sang Pencipta.
وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ (serta mendustakan balasan yang terbaik). Orang ini tidak percaya pada balasan akhirat, atau jika percaya, ia menganggapnya remeh. Ia mendustakan kebenaran (Surga) atau janji Allah. Karena ia tidak percaya pada balasan yang kekal, ia melihat harta yang ia tahan sebagai keuntungan murni, sehingga tidak ada motivasi untuk berkorban.
Penolakan terhadap *Al-Husna* membenarkan kekikiran dan kesombongannya. Jika akhirat hanyalah ilusi, maka menimbun kekayaan di dunia adalah tindakan yang paling rasional menurut logikanya yang dangkal.
Bagi kelompok ini, ancamannya adalah فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ (maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit).
Penyebutan "Kami akan menyiapkan baginya jalan" menunjukkan bahwa kesulitan ini adalah hasil dari pilihan bebasnya sendiri. Allah hanya memfasilitasi tujuan yang telah ia pilih. Orang yang memilih kekikiran, secara otomatis memilih konsekuensi sulit yang menyertainya.
Alt: Ilustrasi tangan yang memberi koin atau berkah, melambangkan kedermawanan.
Bagian penutup Surah Al-Lail menegaskan bahwa harta tidak akan mampu menyelamatkan pemiliknya dari kejatuhan abadi jika harta tersebut tidak digunakan di jalan Allah. Ayat-ayat ini juga menggarisbawahi peran Allah sebagai pemberi petunjuk dan menegaskan bahwa amal saleh haruslah dilakukan tanpa mengharapkan balasan duniawi dari manusia.
(11) Dan tidaklah bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi orang kikir. Kata *taradda* berarti jatuh atau binasa, merujuk pada kejatuhan ke dalam api neraka atau kematian. Pada saat kritis, harta yang dikumpulkan dengan susah payah dan kekikiran tidak akan menyelamatkannya sedikit pun. Di hadapan Allah, yang berbicara adalah amal, bukan saldo bank.
(12) Sesungguhnya kewajiban Kami hanyalah memberi petunjuk.
Ayat ini menunjukkan bahwa tugas Allah adalah menjelaskan jalan yang benar (*Al-Huda*). Allah telah menurunkan kitab suci dan mengutus para nabi untuk memperjelas mana jalan kemudahan (*Al-Yusra*) dan mana jalan kesulitan (*Al-Usra*). Setelah petunjuk diberikan, manusia bertanggung jawab penuh atas pilihan mereka.
(13) Dan sesungguhnya milik Kami lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.
Penegasan Tauhid ini memperkuat otoritas Allah. Dialah Pemilik mutlak dari segala sesuatu, baik di dunia maupun di akhirat. Kepemilikan ini membenarkan hak Allah untuk menetapkan aturan dan memberikan balasan yang sesuai dengan usaha manusia.
(14) Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka).
(15) Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (*al-ashqa*),
(16) yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling.
Neraka yang disebut di sini adalah *Naaran Talazzha* (api yang menyala-nyala dengan hebat). Hanya *Al-Ashqa* (orang yang paling celaka, yang paling sengsara) yang akan memasukinya. Siapakah *Al-Ashqa* itu? Ia adalah orang yang menggabungkan dua kejahatan: mendustakan ajaran Allah dan berpaling (meninggalkan amal saleh).
Ini adalah orang yang memiliki pilihan untuk mengikuti petunjuk, tetapi memilih untuk menolaknya, didorong oleh kekikiran dan kesombongan. Mereka secara aktif memilih Jalan Kesulitan (*Al-Usra*).
(17) Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa (*al-atqa*),
(18) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.
Di sisi lain, *Al-Atqa* (orang yang paling bertakwa) akan diselamatkan. *Al-Atqa* memiliki satu ciri utama: ia menggunakan hartanya (*yuti malahu*) dengan tujuan *yutazakka* (untuk menyucikan dirinya).
Penyucian ini adalah kunci. Harta adalah alat, dan penggunaannya harus diarahkan pada pembersihan spiritual dari dosa, kekikiran, dan keterikatan duniawi. Memberi bukan hanya kewajiban sosial, tetapi proses spiritual untuk mencapai kesucian batin.
(19) Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
(20) melainkan (dia memberikan itu) hanya karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
Dua ayat ini membahas masalah keikhlasan (*Ikhlas*). Amalnya *Al-Atqa* (yang paling bertakwa) dilakukan tanpa mengharapkan balasan jasa atau ucapan terima kasih dari manusia. Kedermawanan yang murni adalah kedermawanan yang dilakukan bukan untuk membalas budi yang pernah diterima, bukan karena tekanan sosial, melainkan murni karena mencari Wajah Allah (*Ibtighaa’a Wajhi Rabbihil A’laa*). Ini adalah tingkat ketakwaan tertinggi.
(21) Dan kelak dia akan benar-benar puas (dengan balasan-Nya).
Akhirnya, Allah menjanjikan keridaan abadi bagi *Al-Atqa*. Keridaan ini tidak hanya berupa Surga, tetapi juga kepuasan batin yang sempurna (*laysawfa yardha*). Ini adalah pencapaian tertinggi spiritual: mendapatkan keridaan Allah dan merasa puas dengannya, sebuah balasan yang jauh melampaui segala harta atau pujian dunia.
Meskipun Surah Al-Lail bersifat umum dan berlaku universal, banyak mufassir menyebutkan bahwa ayat-ayat 5 hingga 21 memiliki konteks penurunan khusus (*Asbabun Nuzul*) yang melibatkan dua individu yang sangat kontras di Mekkah, yaitu Abu Bakar As-Siddiq RA dan seorang tokoh Quraisy yang kikir.
Diriwayatkan bahwa ayat-ayat yang memuji orang yang memberi (*A’tha*) dan bertakwa diturunkan mengenai Abu Bakar. Sebelum hijrah, Abu Bakar dikenal sangat dermawan dan menggunakan hartanya untuk membebaskan para budak Muslim yang disiksa oleh majikan mereka karena keimanan mereka, termasuk Bilal bin Rabah, Amir bin Fuhairah, dan budak-budak lemah lainnya.
Abu Bakar melakukan ini tanpa mengharapkan balasan apa pun dari budak-budak tersebut. Tindakannya murni didorong oleh keinginan mencari keridaan Allah. Beberapa orang kafir Mekkah menuduh bahwa Abu Bakar hanya berbuat baik kepada orang-orang yang pernah berbuat baik kepadanya, atau bahwa ia membeli budak-budak yang kuat dan produktif. Namun, Abu Bakar justru membebaskan budak-budak yang lemah, tua, dan disiksa, yang tidak memiliki kemampuan untuk membalas budinya secara duniawi.
Ayat 19, وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ (Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya), secara spesifik diyakini turun untuk membenarkan keikhlasan Abu Bakar, menegaskan bahwa amal salehnya murni demi Allah.
Sebaliknya, ayat-ayat yang mencela kekikiran dan merasa cukup diri diyakini merujuk kepada tokoh-tokoh Quraisy yang kaya raya, sombong, dan menolak untuk membantu orang lain, serta mendustakan Islam dan Hari Akhir. Tokoh ini mewakili sifat *Al-Ashqa* yang mendustakan dan berpaling. Mereka tidak hanya menahan harta dari yang berhak, tetapi juga menahan hati mereka dari kebenaran.
Konteks historis ini memperkuat pesan bahwa dualitas moral yang disajikan dalam surah ini bukanlah sekadar teori, tetapi realitas hidup yang nyata, di mana manusia setiap hari membuat pilihan yang akan menentukan nasib kekalnya.
Pelajaran terpenting dari Surah Al-Lail adalah tentang kualitas, bukan kuantitas, amal. Kunci untuk menjadi *Al-Atqa* (yang paling bertakwa) adalah keikhlasan total, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 19-20. Memberi di jalan Allah harus bebas dari motif mencari pujian, status sosial, atau balasan duniawi. Ketika kita memberi karena Allah, maka kita telah membebaskan diri dari keterikatan pada makhluk dan fokus sepenuhnya pada Sang Pencipta.
Ikhlas adalah pembeda utama antara amal yang membawa kita ke Jalan Kemudahan dan amal yang, meskipun terlihat baik, tidak menghasilkan pahala karena motifnya yang cacat. Seorang kikir yang memberi karena riya masih tergolong dalam jalan kesulitan karena hatinya tetap terikat pada dunia.
Surah ini mendefinisikan kembali kekayaan dan kemiskinan sejati. Kekayaan sejati bukanlah jumlah harta yang dimiliki, tetapi kekayaan jiwa yang mampu memberi tanpa pamrih (*A’tha*). Kemiskinan sejati bukanlah kekurangan harta, tetapi kemiskinan spiritual karena kekikiran (*Bakhila*) dan perasaan cukup diri (*Istaghnaa*).
Orang yang merasa dirinya cukup dengan kekayaan duniawi adalah yang paling miskin di sisi Allah, karena ia memutuskan hubungannya dengan sumber rezeki dan pertolongan sejati. Sebaliknya, orang yang memberi, meskipun sedikit, adalah yang paling kaya secara spiritual karena ia menanam modal untuk kehidupan abadi.
Sifat kikir adalah penyakit hati yang kronis. Surah Al-Lail memberikan terapi: melawan kikir dengan kedermawanan yang tulus. Setiap harta yang kita keluarkan untuk *tazkiyah* (penyucian diri) adalah investasi dalam diri kita sendiri. Kekikiran membuat jalan hidup sulit (*Usra*), sementara kedermawanan membuka pintu kemudahan (*Yusra*).
Surah ini mendorong kita untuk merenungkan, saat malam menyelimuti (Al-Lail), apa pilihan batin yang kita ambil. Apakah kita mempersiapkan diri untuk kenyamanan yang kekal, atau justru membiarkan diri terbuai oleh kesulitan duniawi yang tak berkesudahan? *Al lail artinya* dalam konteks ini adalah pengingat bahwa masa tersembunyi kita menentukan hasil yang nyata.
Dari sumpah awal (malam/siang, laki-laki/perempuan), surah ini menetapkan bahwa dualitas adalah prinsip dasar alam semesta. Prinsip ini berlanjut pada dualitas moral: kebaikan versus keburukan. Tidak ada wilayah abu-abu. Manusia harus memilih salah satu jalur tersebut. Pesan utamanya adalah bahwa hidup adalah ujian pilihan yang akan mengantarkan kita pada salah satu dari dua hasil yang pasti: *Al-Yusra* atau *Al-Usra*.
Untuk memahami kedalaman surah ini, penting untuk meninjau beberapa istilah Arab yang digunakan dengan penuh presisi:
Kata *yaghsha* (dari *ghishwah*) berarti menutupi, menyelimuti, atau menguasai. Ini memberikan gambaran visual tentang bagaimana kegelapan malam "menelan" atau "menutup" cahaya siang. Secara spiritual, ini bisa merujuk pada dosa atau ketidakpedulian yang menyelimuti hati.
Kontrasnya adalah *tajalla*, yang berarti menampakkan diri, menjadi terang, atau jelas. Penggunaan bentuk kata ini menyiratkan proses pembersihan atau penyingkapan. Siang menyingkap apa yang disembunyikan malam. Dalam spiritualitas, ini melambangkan penyingkapan kebenaran atau datangnya petunjuk.
Istilah *Al-Husna* adalah bentuk superlative, yang berarti "yang paling baik" atau "yang terbaik". Meskipun sering diartikan sebagai Surga, penggunaannya dalam konteks ayat 6 dan 9 sangat strategis. Membenarkan *Al-Husna* berarti membenarkan seluruh rangkaian kebaikan dan balasan yang dijanjikan Allah, termasuk keesaan-Nya, kebenaran risalah, dan kepastian hari pembalasan.
Kesediaan untuk berkorban (memberi) hanya mungkin jika seseorang memiliki keyakinan mutlak pada *Al-Husna*. Mendustakan *Al-Husna* berarti meremehkan janji Allah, yang secara langsung menyebabkan kekikiran.
Kedua kata ini juga merupakan bentuk superlative yang berarti "yang paling mudah" dan "yang paling sulit/payah". Ayat 7 dan 10 menggunakan pola yang sangat mirip, menekankan bahwa Allah memfasilitasi jalur yang telah dipilih manusia. Jika seseorang berupaya menuju kemudahan (surga) dengan amal saleh, Allah akan memudahkan prosesnya. Sebaliknya, jika ia berupaya menuju kesulitan (neraka) dengan amal buruk, Allah tidak akan menghalanginya.
Konsep *Yusra* bukanlah jalan yang tanpa usaha, tetapi jalan yang berakhir dengan kemudahan abadi. Konsep *Usra* adalah jalan yang didominasi oleh kesenangan sesaat namun berujung pada kesulitan yang tak terhindarkan dan abadi.
Kata *Istaghna* berarti merasa tidak membutuhkan atau merasa cukup diri. Akar katanya adalah *ghina* (kaya). Dalam konteks Surah Al-Lail, ia bukan hanya tentang kaya harta, tetapi tentang kekayaan spiritual yang palsu. Orang yang *istaghna* mengklaim otonomi penuh atas hidupnya, menolak ide bahwa ia membutuhkan Rahmat atau Petunjuk Ilahi. Ini adalah inti kesombongan yang paling berbahaya.
Jika kekikiran adalah dosa tindakan, maka *Istaghna* adalah dosa sikap dan keyakinan, yang menjadi pemicu utama penolakan terhadap ketaatan.
Meskipun Surah Al-Lail adalah surah Makkiyah yang fokus pada akidah dan moral individu, pesan-pesannya memiliki dampak signifikan pada etika ekonomi dan sosial.
Surah ini menetapkan bahwa harta bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai penyucian diri (*yutazakka*). Pandangan ini bertentangan dengan materialisme yang mendewakan kekayaan. Islam mengajarkan bahwa kepemilikan harta adalah ujian; bagaimana harta itu diperoleh dan bagaimana ia dibelanjakan menentukan takdir seseorang.
Kedermawanan (*A’tha*) yang ditekankan dalam surah ini melampaui kewajiban zakat minimal. Ia mencakup infaq, sedekah, dan wakaf yang dilakukan secara sukarela dan didorong oleh takwa. Hal ini menciptakan sistem redistribusi kekayaan yang sehat dalam masyarakat, memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya (*kay laa yakuuna duulatan baynal aghniyaa’i minkum* - Surah Al-Hasyr: 7).
Kekikiran (*Bukhul*) yang diwarnai oleh sikap merasa cukup diri (*Istaghnaa*) adalah racun sosial. Ketika individu-individu kaya menahan harta mereka, hal itu menyebabkan kesenjangan yang parah, melukai kaum lemah, dan menimbulkan ketidakpuasan sosial. Surah Al-Lail memperingatkan bahwa kekikiran tidak hanya merugikan orang miskin, tetapi yang utama, merugikan jiwa orang kikir itu sendiri, menjatuhkannya ke dalam kesulitan abadi.
Tafsir atas ayat 11, وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ (Dan tidaklah bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh), memberikan perspektif ekonomi akhirat: harta yang ditahan di dunia adalah beban di Hari Kiamat, bukan aset. Harta yang sesungguhnya hanyalah yang telah dikeluarkan di jalan Allah. Oleh karena itu, *al lail artinya* juga relevan dalam pengelolaan kekayaan dan investasi moral.
Meskipun surah ini membahas tindakan memberi yang dilakukan di siang hari (transaksi sosial), pembukaan dengan sumpah demi malam (*Al-Lail*) menekankan pentingnya amal tersembunyi. Kualitas takwa sejati seringkali diuji dalam kesendirian dan kegelapan, jauh dari pandangan manusia. Kedermawanan yang murni adalah yang dilakukan tanpa sorotan, yang hanya diketahui oleh Allah.
Malam menjadi simbol bagi perjuangan batin yang menghasilkan keikhlasan total yang dituntut di akhir surah. *Al-Atqa* adalah orang yang membangun karakternya melalui amal tersembunyi yang dilakukan saat *Al-Lail* menyelimuti.
Surah Al-Lail, "Malam", adalah salah satu surah terkuat yang menjelaskan konsep pilihan bebas dan konsekuensinya dalam Islam. Dimulai dengan sumpah agung atas dualitas kosmik, surah ini menyalurkan perhatian kita pada dualitas moral manusia: Jalan Kemudahan (*Al-Yusra*) dan Jalan Kesulitan (*Al-Usra*).
Jalan Kemudahan dibangun di atas tiga pilar: kedermawanan, ketakwaan, dan keyakinan teguh pada balasan akhirat (Al-Husna). Sebaliknya, Jalan Kesulitan didirikan di atas kekikiran, kesombongan, dan pendustaan. Allah menjamin bahwa Dia akan memfasilitasi setiap hamba menuju tujuan yang telah ia pilih, menegaskan bahwa takdir abadi kita adalah hasil langsung dari usaha (*sa'y*) kita sendiri.
Pesan akhir Surah Al-Lail mengingatkan bahwa seluruh amal, terutama kedermawanan, harus dilakukan dengan keikhlasan murni, tanpa mengharapkan balasan dari siapa pun selain Allah SWT, demi mencapai *Rida* (Keridaan) Ilahi yang sempurna. Harta duniawi, seberapa pun besarnya, tidak akan mampu menyelamatkan jiwa ketika ia jatuh ke dalam neraka. Hanya kedermawanan yang didasari takwa dan keikhlasan yang akan membawa kita pada kepuasan abadi.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa *al lail artinya* bukan hanya waktu biologis, melainkan medan ujian abadi, di mana setiap detik menuntut kita untuk memilih antara kedermawanan yang membebaskan dan kekikiran yang membelenggu.