Perdebatan mengenai kesetaraan gender dalam Islam sering kali menimbulkan berbagai tafsir dan pandangan. Namun, jika kita menggali lebih dalam sumber-sumber ajaran Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, kita akan menemukan bahwa konsep kesetaraan gender bukanlah hal yang asing, melainkan merupakan prinsip fundamental yang telah ditekankan sejak awal penyebarannya. Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki nilai, martabat, dan potensi yang setara, meskipun dengan perbedaan peran dan tanggung jawab yang unik.
Al-Qur'an berulang kali menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu, yaitu Adam dan Hawa. Surah An-Nisa' ayat 1 menjelaskan, "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak." Ayat ini secara implisit menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang sama, memiliki asal-usul yang setara, dan merupakan bagian dari satu kesatuan umat manusia.
Lebih lanjut, Al-Qur'an menggarisbawahi bahwa nilai seorang hamba di hadapan Allah tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya, melainkan oleh ketakwaannya. Surah Al-Hujurat ayat 13 menyatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antaramu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Ini berarti bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kedudukan mulia di sisi Tuhan melalui kebaikan amal dan ketakwaan mereka.
Dalam konteks ibadah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Shalat, puasa, zakat, dan haji adalah kewajiban yang berlaku bagi keduanya. Dalam sejarah Islam, banyak perempuan Muslimah yang memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dakwah, dan kepemimpinan. Khadijah binti Khuwailid, misalnya, adalah seorang saudagar sukses dan pendukung utama Nabi Muhammad SAW di awal kenabian. Aisyah binti Abu Bakar dikenal sebagai ulama perempuan terkemuka yang meriwayatkan banyak hadits dan memberikan fatwa.
Meskipun Al-Qur'an dan Sunnah menegaskan kesetaraan dalam nilai dan martabat, terdapat pula ayat-ayat yang mengatur peran dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Salah satu yang sering menjadi sorotan adalah Surah An-Nisa' ayat 34 yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun, penting untuk memahami konteks ayat ini. Kata "qawwamun" dalam ayat tersebut tidak dimaknai sebagai dominasi atau penindasan, melainkan sebagai tanggung jawab untuk melindungi, menafkahi, dan membimbing.
Para ulama klasik dan kontemporer menafsirkan ayat ini dalam bingkai kemitraan. Laki-laki dibebani tanggung jawab finansial untuk keluarganya, yang seringkali dikaitkan dengan perbedaan kapasitas fisik dan peran historis. Namun, ini tidak menafikan hak perempuan untuk berpendapat, berkarya, dan berkontribusi dalam masyarakat. Islam juga sangat menghargai peran perempuan sebagai ibu dan pendidik generasi penerus, yang merupakan peran krusial dan penuh kemuliaan.
Prinsip syura (musyawarah) juga tercermin dalam interaksi antara Nabi Muhammad SAW dengan istri-istrinya, menunjukkan bahwa perempuan berhak memberikan masukan dan pandangan. Dalam ranah publik, perempuan Muslimah diizinkan untuk berdagang, bekerja, dan bahkan terlibat dalam urusan negara selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariat yang menjaga kehormatan dan kemaslahatan.
Tantangan kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim kontemporer seringkali timbul bukan dari ajaran Islam itu sendiri, melainkan dari interpretasi yang bias, budaya patriarki yang mengakar, dan kondisi sosial-ekonomi. Banyak praktik yang keliru disandarkan pada dalil agama, padahal sejatinya merupakan produk budaya yang perlu dikoreksi.
Oleh karena itu, upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam Islam memerlukan pemahaman yang holistik dan kontekstual terhadap ajaran-ajarannya. Ini mencakup:
Kesimpulannya, Islam, dalam esensinya, menganjurkan kesetaraan gender. Ajaran Islam memberikan kerangka kerja untuk kemitraan yang adil antara laki-laki dan perempuan, menghargai potensi dan kontribusi keduanya, serta menetapkan nilai dan martabat yang setara di hadapan Allah. Perjuangan untuk kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim adalah sebuah panggilan untuk kembali pada ruh ajaran Islam yang penuh rahmat, keadilan, dan ihsan.