Harta yang Sia-sia: Analisis Mendalam Surah Al-Lail Ayat 11 dan Hakikat Kebinasaan Abadi

Surah Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal kenabian. Surah ini secara fundamental membahas dikotomi moral dan spiritual yang mendefinisikan kehidupan manusia, membagi mereka menjadi dua golongan besar: orang yang dermawan dan bertakwa, serta orang yang kikir dan ingkar. Kontras yang tajam ini mencapai puncaknya pada serangkaian ayat yang memperingatkan tentang konsekuensi dari jalan yang salah, sebuah peringatan yang terangkum dengan kekuatan luar biasa dalam ayat ke-11. Ayat ini berdiri sebagai pilar teologis yang menantang pandangan materialistis terhadap kehidupan, menegaskan bahwa kekayaan duniawi sama sekali tidak memiliki daya tawar di hadapan kebinasaan yang hakiki.

Pesan sentral dari Surah Al-Lail adalah bahwa usaha dan orientasi hidup manusia adalah beragam dan memiliki tujuan yang berbeda. Ketika seorang manusia memilih jalan kekikiran dan merasa cukup tanpa pertolongan Ilahi, ia secara inheren memilih jalur yang menuju kegagalan mutlak. Inilah latar belakang filosofis di mana ayat ke-11 disajikan, sebuah penegasan definitif mengenai kefanaan dan ketidakberdayaan materi di hadapan takdir spiritual. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kembali definisi kesuksesan dan kegagalan, serta mempertanyakan nilai sejati dari akumulasi harta benda.


Analisis Linguistik dan Tafsir Ayat 11

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ
"Dan tidaklah bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh [ke dalam kebinasaan]." (QS. Al-Lail: 11)

Mengurai Komponen Kunci Ayat

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah tiga komponen linguistik dan teologis utamanya: *yughnī* (bermanfaat), *māluhū* (hartanya), dan *taraddā* (jatuh atau binasa).

1. Ma Yughnī (وَمَا يُغْنِي): Ketidakberdayaan Mutlak

Frasa *wa mā yughnī* memiliki makna yang sangat tegas: "dan tidaklah memberikan manfaat" atau "tidaklah cukup." Kata kerja *yughnī* (dari akar kata *gh-n-y*) sering kali merujuk pada kekayaan, kecukupan, atau kemandirian dari kebutuhan. Namun, dalam konteks negatif ini, Allah menegaskan bahwa semua bentuk ‘kecukupan’ yang dibangun di atas pondasi materi duniawi akan menjadi nihil. Ini adalah penolakan terhadap pemahaman bahwa harta dapat menjadi penebus, penolong, atau pelindung saat momen kritis tiba. Ketidakberdayaan ini bersifat total; tidak ada negosiasi, tidak ada pengecualian, dan tidak ada sisa manfaat sedikit pun yang dapat ditarik dari harta tersebut.

Penggunaan kata ini secara implisit menantang pandangan orang yang menganggap diri mereka mandiri karena kekayaan mereka. Mereka yang merasa kaya raya sering kali berpikir bahwa mereka tidak memerlukan kebaikan orang lain, apalagi belas kasihan Ilahi. Ayat ini menghancurkan ilusi kemandirian tersebut. Harta yang mereka kumpulkan—yang diyakini sebagai sumber kekuatan dan keamanan—justru akan menjadi saksi bisu atas kejatuhan mereka, tanpa bisa menahan atau mengurangi dampak kebinasaan tersebut. Fungsi penyelamatan yang mereka harapkan dari harta itu gagal total di hadapan keadilan dan ketetapan Ilahi. Inilah esensi dari penolakan manfaat materi yang dijabarkan dengan sangat kuat.

2. Māluhū (مَالُهُ): Harta Benda yang Terkumpul

*Māluhū* secara harfiah berarti "hartanya" atau "kekayaannya." Dalam konteks Surah Al-Lail, ini merujuk pada akumulasi kekayaan yang diperoleh dan dipegang erat oleh individu yang kikir (disebut dalam ayat-ayat sebelumnya, khususnya ayat 8-10, sebagai orang yang bakhil dan mendustakan kebaikan). Kekayaan ini bisa berupa emas, perak, properti, pengaruh ekonomi, atau apa pun yang dinilai tinggi di mata manusia.

Inti dari kritik ini bukan pada harta itu sendiri, tetapi pada fungsi dan orientasi hati pemiliknya. Bagi orang yang dimaksud dalam ayat 11, harta adalah tujuan, bukan sarana. Harta adalah tuhan kecil yang memberinya rasa aman palsu. Ayat ini menunjukkan bahwa, meskipun harta itu sangat berharga di dunia—mampu membeli layanan medis terbaik, makanan terbaik, atau perlindungan fisik—nilainya jatuh menjadi nol ketika dimensi spiritual dan abadi dipertaruhkan. Pada saat kebinasaan yang sebenarnya, ketika jiwa menghadapi pertanggungjawaban, dompet dan rekening bank tidak lagi relevan. Hartanya, betapapun melimpahnya, tidak akan mampu membayar harga untuk penebusan dosa atau menghapus konsekuensi dari kekikiran yang ia lakukan selama hidupnya.

Perluasan makna harta dalam tafsir modern juga mencakup segala bentuk kelebihan duniawi yang disalahgunakan, termasuk kekuasaan, jabatan, dan pengaruh yang seharusnya digunakan untuk kebaikan tetapi justru digunakan untuk menumpuk kepentingan pribadi dan menghalangi jalan kebaikan.

3. Taraddā (تَرَدَّىٰ): Kejatuhan yang Paripurna

Kata *taraddā* adalah kata yang paling kuat dan sentral dalam ayat ini. Secara leksikal, *taraddā* berarti "jatuh," "terjungkal," atau "terperosok." Namun, dalam konteks keagamaan, ia mengandung makna yang jauh lebih dalam, yaitu "kejatuhan ke dalam kebinasaan yang abadi" atau "terperosok ke dalam api Neraka."

Para mufasir menjelaskan bahwa *taraddā* merujuk pada momen krusial ketika manusia kehilangan pijakan spiritualnya, baik saat kematian (ketika amal dunia terputus) maupun saat Hari Perhitungan (ketika ia dihukum). Ini bukan sekadar kejatuhan finansial atau sosial; ini adalah kejatuhan eksistensial. Orang yang kikir, yang menolak memberi dan mendustakan kebenaran (seperti yang dijelaskan di ayat-ayat sebelumnya), telah membangun jembatan menuju kebinasaan ini dengan tangannya sendiri. Ketika ia akhirnya terperosok ke dalam jurang Neraka, hartanya, yang ia kumpulkan dengan susah payah dan kekikiran, tidak akan bisa menariknya kembali.

Analisis morfologis dari *taraddā* (yang berasal dari kata dasar *rada-ya*) menyiratkan kerugian dan kehancuran. Ini sering digunakan dalam konteks seseorang yang jatuh dari tempat tinggi, menunjukkan ketinggian moral yang hilang atau potensi spiritual yang disia-siakan. Kejatuhan ini bersifat final dan tidak dapat dibatalkan dengan kekayaan duniawi. Ini adalah antitesis dari keselamatan (*najāh*) yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa dan dermawan.

Ilustrasi Jatuhnya Manusia ke Jurang Kebinasaan TARADDĀ (Kebinasaan Abadi) MĀLUHŪ (Harta) Titik Krisis WA MĀ YUGHNĪ ('Tidak Bermanfaat')
Ilustrasi Harta (Maluhū) yang Gagal Menyelamatkan Individu saat Terperosok ke dalam Kebinasaan (Taraddā).

Konteks Ayat 11 dalam Rangkaian Surah Al-Lail

Ayat 11 tidak dapat dipahami secara terpisah. Ia merupakan puncak dari serangkaian ayat yang membentuk kontras moral yang sempurna. Surah Al-Lail dimulai dengan sumpah demi fenomena alam (malam, siang, pencipta pria dan wanita) untuk menegaskan bahwa usaha manusia memang beraneka ragam (Ayat 4).

Dua golongan manusia diperkenalkan:

Golongan Pertama: Al-A’thā wa Ittaqā (Ayat 5-7)

Orang yang memberi (*a’thā*), bertakwa (*ittaqā*), dan membenarkan kebaikan (*shaddaq bi al-ḥusnā*). Bagi golongan ini, Allah akan memudahkan jalan mereka menuju kemudahan (*al-yusrā*). Ini adalah golongan yang menjadikan harta sebagai sarana untuk mencapai tujuan spiritual, yaitu keridaan Allah. Harta mereka, karena diinfakkan, telah berfungsi sebagai jembatan menuju keselamatan.

Golongan Kedua: Al-Bakhila wa Istaghnā (Ayat 8-11)

Sebaliknya, ada orang yang kikir (*bakhila*), merasa dirinya cukup tanpa rahmat Allah (*istaghnā*), dan mendustakan kebaikan (*kadzdzab bi al-ḥusnā*). *Istaghnā* di sini sangat penting; itu adalah akar kata yang sama dengan *yughnī*. Ketika seseorang merasa 'cukup' (kaya) dan mandiri tanpa Allah, maka Allah pun akan membiarkan ia menghadapi kebinasaannya sendirian. Allah akan mempersulit jalannya menuju kesulitan (*al-ʿusrā*).

Ayat 11 adalah kesimpulan logis dari perilaku golongan kedua. Karena mereka menolak menggunakan harta mereka untuk memenuhi tuntutan spiritual (yakni memberi, berinfak, dan membenarkan kebaikan), harta tersebut kehilangan fungsi spiritualnya secara keseluruhan. Harta itu hanya bernilai saat digunakan sebagai alat, namun ketika dijadikan tujuan utama dan sumber kesombongan, ia menjadi beban yang menyeret pemiliknya ke bawah. Ayat 11 menegaskan bahwa saat kesulitan abadi (Neraka) datang, kikirnya mereka dan kekayaan mereka tidak akan memberikan pertolongan sedikit pun, karena mereka telah mendustakan satu-satunya jalan keluar: iman dan kedermawanan.

Makna Filosofis Kebinasaan (Taraddā)

Konsep *taraddā* dalam ayat ini bukan hanya tentang nasib di Akhirat, tetapi juga merupakan gambaran dari kehancuran karakter di dunia. Seseorang yang hidup kikir dan sombong (merasa cukup) mengalami kebinasaan moral bahkan sebelum kematian menjemputnya. Kikir adalah penyakit jiwa yang mengikat individu pada dunia fana, menghambat pertumbuhan spiritualnya. Oleh karena itu, *taraddā* adalah konsekuensi alami dari *istaghnā*.

Harta sebagai Penghalang Wawasan Spiritual

Ketika harta menjadi fokus utama, ia menciptakan tirai tebal yang menghalangi wawasan spiritual. Orang yang terlalu mencintai hartanya seringkali menjadi buta terhadap kebutuhan orang lain dan terhadap panggilan kebenaran. Mereka mengukur nilai segala sesuatu, termasuk moralitas dan agama, berdasarkan keuntungan materi. Ketika mereka mendustakan kebaikan, mereka mendustakan prinsip universal bahwa memberi adalah investasi yang abadi.

Maka, *taraddā* adalah saat realitas spiritual—yang selama ini mereka dustakan—menghantam mereka. Harta yang mereka sembah dan kumpulkan ternyata tidak lebih dari fatamorgana. Pada saat kebinasaan, semua parameter duniawi (kekayaan, kekuasaan, popularitas) lenyap, dan hanya amal saleh yang tersisa. Karena golongan ini tidak memiliki bekal amal yang berarti, kejatuhan mereka menjadi mutlak dan tidak tereduksi oleh kekayaan yang pernah mereka miliki. Mereka jatuh dari kehormatan spiritual ke dalam kehinaan abadi.

Pelajaran tentang Prioritas dan Transaksi Abadi

Ayat 11 berfungsi sebagai pengingat fundamental tentang jenis 'transaksi' yang harus dilakukan manusia. Hidup adalah transaksi di mana manusia menukarkan waktu, energi, dan harta mereka untuk mendapatkan imbalan. Orang yang bertakwa menukarkannya dengan keridaan Allah dan kehidupan abadi (sebagaimana dijelaskan pada ayat 5-7). Mereka 'meminjamkan' hartanya kepada Allah melalui infak.

Sebaliknya, orang yang dimaksud dalam ayat 11 adalah investor yang buruk. Mereka menginvestasikan seluruh hidup mereka pada aset yang terbukti tidak likuid dan tidak bernilai pada hari pelik. Harta duniawi mereka hanya berguna dalam ranah yang fana. Ketika mereka jatuh ke dalam ranah yang abadi (*taraddā*), mata uang yang mereka gunakan (materi) menjadi tidak berlaku. Inilah kegagalan investasi terbesar yang dapat dilakukan oleh manusia, suatu kegagalan yang tidak dapat diperbaiki.

Elaborasi Mendalam: Kekayaan dan Konsekuensi Fatalisme Materialistik

Peringatan dalam Surah Al-Lail ayat 11 sangat relevan dalam setiap era, khususnya era kontemporer di mana materialisme dan konsumerisme mendominasi. Ayat ini menelanjangi fatalisme materialistik, yaitu keyakinan bahwa kualitas hidup, keamanan, dan bahkan kebahagiaan sejati dapat dibeli dan dipertahankan semata-mata melalui akumulasi harta benda.

Perbandingan dengan Karakter Qorun

Kisah-kisah dalam Al-Qur'an sering kali memberikan ilustrasi konkret terhadap ayat-ayat peringatan. Karakter Qorun adalah contoh klasik dari seseorang yang mengalami *taraddā* meskipun memiliki kekayaan yang luar biasa. Qorun adalah simbol dari orang yang merasa cukup (*istaghnā*) karena kekayaannya dan mengaitkan kekayaan itu sepenuhnya pada kecerdasannya sendiri, bukan pada anugerah Ilahi. Ketika ia ditenggelamkan ke dalam bumi, hartanya tidak mampu menahannya sedetik pun. Nasib Qorun adalah manifestasi fisik dari konsep *wa mā yughnī anhu māluhū idhā taraddā*. Hartanya tidak dapat mengangkatnya kembali dari kebinasaan yang ditimpakan kepadanya.

Kisah ini menegaskan bahwa harta, ketika dicintai secara berlebihan dan dipegang erat dengan kekikiran, menjadi penyebab langsung kebinasaan, bukan penyelamat. Ia menarik individu menjauh dari rasa ketergantungan kepada Allah, dan pada akhirnya, menyebabkan penarikan dukungan Ilahi di saat mereka paling membutuhkannya.

Dampak Spiritual dari Kekikiran

Kekikiran, atau *bakhil*, yang merupakan antitesis dari memberi (*a’thā*), adalah kondisi hati yang memandang harta sebagai sumber kekuasaan tunggal. Ayat 11 mengajarkan bahwa kekikiran adalah racun spiritual yang merusak tiga aspek utama kehidupan:

  1. Rusaknya Hubungan dengan Sesama: Kikir memutuskan tali silaturahmi dan mengurangi empati, membuat seseorang terisolasi secara emosional.
  2. Rusaknya Hubungan dengan Tuhan: Kekikiran menunjukkan kurangnya kepercayaan pada rezeki dan janji Allah untuk mengganti harta yang diinfakkan. Ini adalah bentuk halus dari mendustakan kebaikan (*kadzdzab bi al-ḥusnā*).
  3. Rusaknya Diri Sendiri: Kekikiran menghasilkan kegelisahan abadi karena rasa takut kehilangan. Orang kikir menghabiskan hidupnya sebagai penjaga harta, bukan sebagai pemilik yang dermawan.

Pada saat *taraddā* (kejatuhan), semua kerusakan internal ini terungkap. Harta yang dikumpulkan hanya menambah berat beban hisab, bukan mengurangi penderitaan. Harta tersebut tidak bisa membeli air dingin di Neraka, tidak bisa membeli pengampunan, dan tidak bisa membeli satu detik pun waktu tambahan untuk bertaubat.

Linguistik Lanjutan: Mengapa ‘Yughnī’ Digunakan?

Penggunaan kata *yughnī* (dari *gh-n-y*, yang berarti kaya/cukup) sangat disengaja dalam konteks ini. Ayat tersebut dapat diterjemahkan sebagai: "Dan hartanya, yang membuatnya merasa cukup, tidak akan membuatnya cukup [dari hukuman]." Ini adalah ironi linguistik yang kuat:

Artinya, senjata utama yang mereka gunakan untuk melawan kerendahan hati dan ketundukan—yaitu kekayaan—justru menjadi barang yang paling tidak berguna saat diuji oleh realitas Akhirat. Kekayaan adalah ilusi kecukupan yang berfungsi hanya dalam sistem duniawi. Saat sistem itu mati, kekayaan pun mati bersamanya. Kebutuhan sejati manusia pada saat *taraddā* adalah rahmat, ampunan, dan syafaat, bukan uang. Dan kekayaan tidak pernah bisa membeli ketiga hal tersebut.

Implikasi Praktis dan Pencegahan Taraddā

Jika ayat 11 memperingatkan tentang kebinasaan yang tidak dapat dihindari oleh harta, lantas bagaimana seseorang dapat menghindari *taraddā*? Jawabannya terletak pada memahami apa yang membuat harta menjadi bermanfaat (*yughnī*) dalam konteks spiritual.

1. Mengubah Fungsi Harta

Harta menjadi bermanfaat di Akhirat hanya jika ia difungsikan sebagai alat untuk takwa di dunia. Ini termasuk:

Harta yang disalurkan dengan niat ikhlas akan kembali dalam bentuk pahala yang mampu meringankan hisab. Dengan demikian, harta yang digunakan sesuai tuntunan Ilahi adalah satu-satunya harta yang benar-benar 'yughnī' (bermanfaat) saat kebinasaan mengancam.

2. Menolak Istighna (Merasa Cukup)

Kunci pencegahan *taraddā* adalah menolak sikap sombong merasa kaya atau merasa cukup tanpa Allah (*istaghnā*). Sebaliknya, seseorang harus menginternalisasi konsep kefakiran spiritual, yakni kesadaran bahwa betapapun kayanya seseorang secara materi, ia tetap membutuhkan rahmat dan ampunan Allah setiap saat.

Sikap *istighna* adalah akar dari kekikiran, karena ia menghilangkan kebutuhan untuk mencari pahala melalui memberi. Jika seseorang merasa Allah tidak diperlukan dan rezekinya semata-mata hasil usahanya, maka ia akan pelit untuk membagi rezeki tersebut. Mengakui bahwa segala kekayaan adalah pinjaman dari Allah adalah langkah pertama untuk menjadikan harta sebagai penolong, bukan penghalang.

3. Membenarkan Kebaikan (Tashdiq bi al-Husna)

Kekayaan dapat menjadi alat destruktif jika tidak dibimbing oleh kebenaran. Orang kikir (ayat 10) mendustakan *al-ḥusnā* (kebaikan/balasan terbaik). Membenarkan kebaikan berarti meyakini sepenuhnya bahwa janji Allah tentang penggantian dan pahala bagi orang yang berinfak adalah nyata. Keyakinan inilah yang mendorong seseorang untuk berpisah dari harta yang ia cintai. Tanpa keyakinan ini, harta akan selalu menjadi objek ketakutan kehilangan, yang mengunci tangan dari memberi, dan pada akhirnya, mengunci nasib pada kebinasaan.

Pengulangan Teologis: Membangun Struktur Keamanan Abadi

Surah Al-Lail ayat 11 secara berulang-ulang, dalam konteks teologis yang mendalam, menegaskan bahwa keamanan sejati tidak dibangun di atas aset material, melainkan di atas aset moral dan spiritual. Harta hanya dapat menjamin keamanan sementara di dunia, seperti dinding yang melindungi dari badai kecil, namun ia tidak dapat melindungi dari tsunami Hari Akhir.

Metafora Timbangan

Bayangkan Hari Perhitungan sebagai timbangan yang sangat sensitif. Di satu sisi diletakkan amal saleh, dan di sisi lain dosa. Ayat 11 menunjukkan bahwa semua harta yang dikumpulkan dengan kekikiran dan keengganan berinfak tidak akan memiliki bobot positif di timbangan itu. Sebaliknya, harta yang diinfakkan, yang telah 'dikonversi' dari bentuk materi menjadi bentuk spiritual (pahala), adalah satu-satunya mata uang yang sah dan memiliki bobot yang signifikan.

Ketika seseorang ‘jatuh’ (*taraddā*) ke arah hukuman, yang ia butuhkan adalah bobot amal yang dapat menariknya kembali ke atas. Ayat 11 dengan jelas menyatakan bahwa harta yang tidak disucikan dan tidak diinfakkan akan berada di luar jangkauan untuk menariknya. Ia seperti tali yang terbuat dari debu, yang putus seketika saat ditarik, meninggalkan individu tersebut dalam kejatuhan yang tak terhindarkan.

Harta sebagai Ujian Keikhlasan

Kekayaan seringkali dianggap sebagai anugerah, padahal ia adalah ujian terbesar. Ayat 11 adalah hasil akhir dari kegagalan dalam ujian kekayaan. Ujian ini menguji tiga hal:

  1. Kepercayaan: Apakah Anda percaya Allah akan mengganti apa yang Anda infakkan?
  2. Prioritas: Apakah Anda menempatkan cinta Allah dan Akhirat di atas cinta dunia?
  3. Kedermawanan: Apakah Anda mampu mengatasi sifat kikir yang melekat pada jiwa manusia?

Orang yang mengalami *taraddā* dalam ayat ini adalah mereka yang gagal dalam ketiga ujian tersebut. Mereka gagal membuktikan keikhlasan mereka dalam menggunakan amanah Allah. Harta mereka, yang seharusnya menjadi alat untuk lulus ujian, justru menjadi batu sandungan utama yang menjerumuskan mereka.

Kesimpulan Abadi dari Al-Lail 11

Surah Al-Lail ayat 11, "Dan tidaklah bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh [ke dalam kebinasaan]," adalah salah satu peringatan paling tajam dalam Al-Qur'an mengenai ilusi kekayaan. Ayat ini bukan sekadar mengecam kekayaan, tetapi mengecam mentalitas kikir dan sombong yang dihasilkan oleh kekayaan yang disalahgunakan.

Pelajaran abadi yang dapat dipetik adalah bahwa di ambang batas antara kehidupan fana dan keabadian, hanya dua hal yang akan menemani manusia: amal saleh yang ia kirimkan ke depan, dan kondisi hati saat ia menghadapi Tuhannya. Harta, meskipun merupakan kekuatan besar di dunia, tidak memiliki tempat di dimensi spiritual ini. Ia tidak dapat membeli pertolongan saat *taraddā* menimpa.

Oleh karena itu, setiap muslim diundang untuk merenungkan makna mendalam dari *yughnī* dan *taraddā*. Apakah harta kita saat ini berfungsi sebagai jembatan menuju keselamatan, ataukah ia merupakan jangkar berat yang akan menarik kita ke jurang kebinasaan? Jawabannya terletak pada tindakan yang kita lakukan hari ini, dengan menginfakkan sebagian dari apa yang kita cintai, sebagai bukti dari keyakinan kita pada balasan terbaik yang dijanjikan oleh-Nya.

Keselamatan bukanlah tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, melainkan seberapa rela kita memberi. Inilah prinsip mendasar yang ditegakkan oleh Surah Al-Lail, memisahkan secara definitif jalan menuju kemudahan dari jalan menuju kesulitan, dan membedakan harta yang bermanfaat dari harta yang sia-sia di hari pertanggungjawaban. Kejatuhan yang dijelaskan dalam ayat 11 adalah hasil akhir dari pilihan yang dibuat di dunia, pilihan untuk mengutamakan materi di atas spiritual, sebuah kesalahan perhitungan yang berakibat fatal secara abadi. Setiap nafas yang kita hirup, setiap rupiah yang kita miliki, adalah kesempatan untuk mengubah potensi *taraddā* menjadi *al-yusrā*.

Pemahaman ini harus menjadi landasan etika keuangan kita. Bukan hanya tentang bagaimana mendapatkan uang, tetapi bagaimana menggunakannya sebagai sarana ibadah. Jika kita menahan harta karena kekikiran, kita sebenarnya menahan manfaat abadi bagi diri kita sendiri. Sebaliknya, jika kita melepaskannya dengan penuh keyakinan, kita sedang membeli jaring penyelamat yang akan berfungsi penuh saat momen *taraddā* yang tak terhindarkan tiba. Harta yang disimpan dengan kekikiran adalah harta yang akan menjadi sia-sia, sebuah beban yang tidak termaafkan di hadapan Ilahi. Inilah hikmah mendalam yang terukir dalam ayat suci Al-Lail.

Lebih jauh lagi, mari kita telaah secara ekstensif konsep kedermawanan sebagai antitesis langsung terhadap perilaku yang dikritik dalam ayat 11. Kedermawanan bukan hanya tindakan memberi, tetapi manifestasi tertinggi dari keyakinan teologis. Orang yang memberi meyakini secara mutlak bahwa rezeki datang dari Allah, dan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya pemelihara kekayaan. Mereka memutus keterikatan emosional yang destruktif dengan materi. Ketika seorang hamba berhasil melepaskan sebagian hartanya demi keridaan Allah, ia secara efektif sedang menetralkan potensi bahaya dari harta itu sendiri. Ia mengubah harta fana menjadi aset abadi. Inilah praktik nyata dari menghindari *istaghnā* (merasa cukup) dan memilih untuk menunjukkan ketergantungan total pada Allah.

Ketika ayat ini berbicara tentang harta yang tidak bermanfaat, ia tidak hanya berbicara tentang uang. Ia merujuk pada seluruh energi dan waktu yang dihabiskan untuk akumulasi harta tersebut, yang seharusnya dapat digunakan untuk ibadah atau kebaikan publik. Segala upaya duniawi yang tidak dihiasi dengan niat spiritual akan ikut menjadi sia-sia ketika kejatuhan datang. Ini mengajarkan kita tentang ekonomi waktu dan sumber daya yang benar; bahwa prioritas tertinggi harus selalu dialokasikan pada hal-hal yang memiliki daya tahan di luar batas kematian. Kekayaan, kekuasaan, dan popularitas, jika tidak diarahkan untuk kemaslahatan umat dan keridaan Allah, hanyalah hiasan yang akan terkelupas saat angin kencang hisab bertiup.

Analisis rinci mengenai *taraddā* juga memerlukan pemahaman tentang apa yang menyebabkan kejatuhan tersebut. Kebinasaan tidak terjadi secara tiba-tiba; ia adalah hasil dari serangkaian pilihan kecil yang berpusat pada ego dan kekikiran. Proses yang mengarah pada *taraddā* dimulai ketika seseorang menolak untuk berbagi rezeki, mendustakan janji balasan, dan secara aktif memilih jalan kesulitan. Kekikiran adalah katalisator yang mempercepat kejatuhan spiritual. Setiap tindakan menahan infak adalah sebuah langkah mundur dari kemudahan dan langkah maju menuju kesulitan. Oleh karena itu, *taraddā* bukanlah hukuman yang sewenang-wenang, melainkan konsekuensi logis dari sebuah hidup yang dibangun di atas ilusi materi. Harta itu sendiri adalah jebakan yang dibuat oleh individu yang gagal memahami sifat sementara dari dunia.

Marilah kita bandingkan nasib dua golongan yang dijelaskan dalam surah ini. Golongan pertama, orang yang memberi, menggunakan hartanya untuk membeli kemudahan abadi. Harta mereka menjadi 'yughnī' (bermanfaat). Golongan kedua, yang menahan hartanya, menemukan bahwa harta mereka sama sekali tidak 'yughnī' (tidak bermanfaat) ketika mereka terperosok. Perbedaan nasib mereka adalah perbedaan dalam cara mereka memahami dan memanfaatkan sumber daya yang diberikan Allah. Mereka yang berinvestasi pada keabadian akan menuai keabadian. Mereka yang berinvestasi hanya pada kefanaan akan menuai kefanaan—yaitu, harta mereka akan lenyap dan tidak memberikan nilai residual pada saat yang paling penting. Kegagalan ini adalah inti dari peringatan teologis yang keras dalam ayat 11.

Penting untuk menggarisbawahi bahwa bahaya terbesar dari harta bukanlah keberadaannya, melainkan statusnya di hati. Jika harta mendominasi hati hingga menghilangkan rasa takut kepada Allah dan mematikan empati terhadap sesama, maka harta tersebut telah berhasil menjadi berhala. Dalam kondisi penyembahan berhala materi inilah, *māluhū* kehilangan semua potensinya untuk memberikan manfaat spiritual. Para mufasir sering menekankan bahwa ini adalah peringatan terhadap *hubb ad-dunya* (cinta dunia) yang berlebihan, yang merupakan akar dari segala dosa. Jika cinta dunia mencapai puncaknya dalam bentuk kekikiran yang ekstrim, maka orang tersebut telah menetapkan jalannya menuju *taraddā*.

Kajian mendalam tentang *yughnī* juga menunjukkan prinsip keadilan Ilahi. Allah tidak mengambil manfaat harta secara semena-mena. Manfaat itu hilang karena individu tersebut menolak menggunakannya sesuai dengan instruksi pencipta. Seolah-olah Allah berfirman: "Aku memberikanmu alat ini (harta) untuk membangun rumahmu di Akhirat. Jika kamu menggunakannya hanya untuk menghiasi rumahmu di dunia dan kemudian menolak untuk menggunakannya untuk tujuan yang lebih tinggi, maka ketika rumah duniawimu runtuh, alat itu tidak akan bisa menyelamatkanmu." Tidak ada keberuntungan atau kebetulan dalam *taraddā*; ia adalah hasil logis dari kesengajaan menolak kebenaran dan kebaikan.

Selain itu, konsep *taraddā* juga harus dipahami dalam konteks tanggung jawab sosial. Kekayaan yang dipegang erat oleh individu yang kikir adalah kekayaan yang diisolasi dari sirkulasi ekonomi yang sehat dan keadilan sosial. Kekikiran tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan komunitas. Oleh karena itu, kebinasaan yang ditimpakan adalah multi-dimensi—kebinasaan spiritual bagi individu, dan kegagalan fungsi sosial bagi harta yang ditahan. Saat individu tersebut jatuh ke dalam kebinasaan, masyarakat pun kehilangan potensi manfaat dari kekayaan tersebut. Ayat 11 adalah pengingat bahwa kepemilikan harta mengandung kewajiban sosial dan spiritual yang harus dipenuhi, dan kegagalan memenuhinya memiliki konsekuensi yang jauh melampaui kerugian finansial.

Menjelaskan kembali makna *istaghnā* (merasa cukup) yang mendahului ayat 11: Sikap ini adalah pintu gerbang menuju *taraddā*. Merasa cukup berarti seseorang mengklaim kemandirian, sebuah atribut yang hanya pantas bagi Allah (Al-Ghaniyy). Ketika manusia mengambil atribut ini, ia secara otomatis menempatkan dirinya dalam posisi pemberontakan terhadap kerangka ketuhanan. Orang yang kikir merasa kaya karena hartanya dan menganggap kedermawanan sebagai kebodohan. Mereka melihat orang yang berinfak sebagai orang yang mengurangi kekayaannya, padahal pandangan mereka terbalik. Orang yang berinfak sedang mengamankan masa depan mereka, sementara orang yang kikir sedang mengunci asetnya di tempat yang akan terbakar habis. Inilah kegagalan visi yang diakhiri dengan ketidakberdayaan harta di hadapan api kebinasaan.

Kita perlu memahami bahwa peringatan ini bersifat universal, melintasi batas-batas sejarah dan budaya. Di zaman modern, harta sering diwujudkan bukan hanya dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk saham, obligasi, dan aset digital. Meskipun bentuknya berubah, fungsi spiritualnya tetap sama. Jika akumulasi kekayaan digital atau finansial tidak disertai dengan tanggung jawab zakat dan infak, ia akan tetap menjadi beban yang tidak 'yughnī' (bermanfaat) saat momen kebenaran tiba. Ayat 11 menuntut integrasi antara kesuksesan duniawi dan tanggung jawab spiritual, sebuah integrasi yang hanya dapat dicapai melalui kedermawanan dan ketakwaan yang sejati.

Konsep kejatuhan (*taraddā*) juga dapat diinterpretasikan sebagai kejatuhan dari martabat manusia yang sejati. Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk menjadi makhluk termulia, namun kekikiran dan penolakan terhadap kebaikan merendahkan derajat tersebut. Orang yang kikir, meskipun mungkin berkuasa dan kaya di mata dunia, telah jatuh dari martabat spiritual. Harta yang mereka agungkan gagal mengangkat martabat mereka yang sesungguhnya. Ketika kematian datang, mereka tidak hanya kehilangan harta, tetapi juga menyadari bahwa selama hidup mereka, mereka telah kehilangan esensi kemanusiaan mereka karena perbudakan terhadap materi. Kejatuhan ini adalah tragis karena bersifat self-inflicted; mereka memilih untuk menjadi budak harta yang pada akhirnya tidak berguna bagi mereka.

Oleh karena itu, surah Al-Lail, melalui ayat 11, mengajarkan strategi keselamatan jangka panjang. Strategi ini bukan tentang menimbun, tetapi tentang menanam. Harta yang ditanam dalam bentuk sedekah adalah satu-satunya investasi yang terjamin pengembaliannya. Peringatan ini harus memotivasi kita untuk terus-menerus mengevaluasi inventaris spiritual kita. Apakah kita menahan sesuatu yang seharusnya dilepaskan? Apakah kita mencintai harta kita lebih dari kita mencintai amal kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah kita sedang berjalan menuju kemudahan (*al-yusrā*) atau menuju kejatuhan total (*taraddā*). Tidak ada jalan tengah; dikotomi dalam Surah Al-Lail adalah mutlak.

Penekanan pada kata *māluhū* (hartanya) juga menunjukkan kepemilikan yang bersifat pribadi dan terbatas. Harta yang mereka anggap sebagai milik eksklusif mereka tidak memiliki otoritas di hadapan Kekuasaan Tuhan. Ini adalah pelajaran tentang relativitas kepemilikan. Di dunia, mereka adalah pemilik; di Akhirat, mereka adalah peminjam yang harus mempertanggungjawabkan setiap sen yang mereka pegang. Ayat 11 berfungsi sebagai pengingat bahwa kepemilikan duniawi hanyalah sementara, dan klaim atas kekayaan akan ditarik kembali di momen *taraddā*, di mana manfaat spiritual murni menjadi mata uang tunggal. Hartanya yang pribadi itu, pada akhirnya, adalah harta yang terisolasi dan tidak berdaya.

Dalam konteks modern, di mana sistem kapitalisme sering mendorong perilaku *istaghnā* (merasa cukup tanpa pertimbangan moral), ayat ini berfungsi sebagai koreksi teologis yang krusial. Ia mengingatkan para konglomerat, investor, dan individu super kaya bahwa kekayaan, betapapun canggihnya manajemennya, tidak dapat melindungi mereka dari keadilan Ilahi. Mereka mungkin lolos dari pajak atau hukum duniawi, tetapi mereka tidak akan lolos dari janji Allah tentang *taraddā* jika kekayaan itu diperoleh dengan cara yang salah dan ditahan dengan kekikiran. Kekayaan yang tidak disalurkan untuk kebajikan adalah kekayaan yang membawa kehinaan abadi. Inilah inti dari pesan transformatif yang diusung oleh Surah Al-Lail ayat 11, yang menuntut perubahan mendasar dalam hubungan kita dengan materi. Setiap individu memiliki potensi untuk mengubah harta yang sia-sia menjadi bekal yang menyelamatkan, melalui tindakan kedermawanan yang ikhlas dan ketakwaan yang teguh. Tindakan ini adalah satu-satunya asuransi yang berlaku untuk hari kejatuhan.

Kita harus merenungkan kedalaman spiritual dari frasa *idan taraddā*. Momen kejatuhan ini, baik itu kematian, kiamat kecil, maupun kebinasaan hakiki di hari penghisaban, akan menjadi momen penyingkapan kebenaran total. Di saat itu, semua ilusi duniawi akan runtuh. Kekayaan, yang selama ini menjadi sumber kesombongan dan benteng pertahanan, akan menjadi puing-puing yang tidak berdaya. Inilah penegasan bahwa hanya bekal takwa dan amal saleh yang berfungsi sebagai penyelamat. Harta benda adalah bagian dari ujian, dan gagal dalam ujian ini berarti kegagalan total dalam eksistensi spiritual. Ayat ini mengajak kita untuk bertindak segera, mengubah orientasi hidup kita, dan memastikan bahwa harta kita hari ini adalah bekal keselamatan kita di hari esok, bukan penyebab kebinasaan abadi.

Kajian interpretatif seringkali menyoroti bahwa *taraddā* adalah metafora untuk kerugian total. Ini bukan hanya hukuman, melainkan kerugian investasi yang masif. Bayangkan seseorang yang menghabiskan seumur hidupnya untuk membangun sebuah kapal, tetapi ketika badai datang, ia menyadari bahwa kapal itu terbuat dari kertas. Kapal itu tidak 'yughnī' (bermanfaat). Orang yang kikir telah membangun ‘kapal’ keselamatannya dari material yang keliru—materi duniawi—yang akan hancur lebur di hadapan realitas abadi. Oleh karena itu, tugas utama seorang mukmin adalah memastikan bahwa fondasi keselamatannya dibangun dari ‘material’ yang kekal: amal saleh, iman yang kokoh, dan kedermawanan yang tulus, sehingga ketika ‘kejatuhan’ datang, mereka memiliki sesuatu yang mampu menahan mereka, sesuatu yang memang ‘yughnī’.

Ayat 11 memberikan kontras yang sangat diperlukan dalam narasi manusia. Di dunia, kekayaan adalah kekuatan utama. Di Akhirat, kekayaan hanyalah debu. Kekuatan sejati terletak pada kemampuan kita untuk melepaskan kekayaan demi tujuan yang lebih tinggi. Surah Al-Lail secara keseluruhan menuntut adanya transformasi radikal dalam cara pandang terhadap materi dan moral. Ia memaksa kita untuk memilih antara dua jalan yang berlawanan dan menegaskan konsekuensi definitif dari setiap pilihan. Tidak ada ruang untuk ambiguitas; kita harus memilih apakah kita ingin harta kita menyelamatkan kita (dengan menginfakkannya) atau meninggikan kebinasaan kita (dengan menahannya). Pilihan ini adalah ujian moral terbesar dalam kehidupan setiap individu yang berinteraksi dengan harta benda.

Penjelasan yang lebih luas mengenai *wa mā yughnī anhu* merangkum prinsip kekekalan dan kefanaan. Semua sistem manusia bersifat fana. Uang kertas, saham, obligasi—semua hanyalah nilai yang disepakati secara kolektif di bawah sistem duniawi yang sementara. Ketika sistem itu runtuh (di Hari Kiamat), nilainya menjadi nol. Harta hanya dapat melindungi individu dari kejatuhan duniawi (kemiskinan, sakit, bencana sosial), tetapi ia tidak memiliki yurisdiksi di hadapan kekuasaan Tuhan. Ayat 11 adalah deklarasi kedaulatan Tuhan atas semua bentuk kekuatan materi. Ia menegaskan bahwa di ujung kehidupan, hanya kedaulatan Tuhan yang penting, dan semua instrumen kekuasaan manusia akan hilang kekuatannya. Mereka yang mengandalkan harta telah menaruh kepercayaan mereka pada ilusi yang pasti lenyap.

Dengan demikian, Al-Lail ayat 11 adalah seruan untuk introspeksi mendalam. Apakah kita telah memahami batas-batas dari kekayaan kita? Apakah kita mengakui bahwa kekayaan hanya alat untuk mencapai status spiritual yang lebih tinggi? Jika kita gagal memahami ini, maka kita pasti akan berada di pihak yang ‘tidak bermanfaat baginya hartanya apabila ia telah jatuh ke dalam kebinasaan.’ Melalui peringatan yang lugas ini, Allah membimbing hamba-Nya untuk berinvestasi pada kekekalan, menjauhkan diri dari kekikiran, dan menyadari bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa yang telah disucikan melalui memberi dan bertakwa.

🏠 Homepage