Mengupas Janji Kemudahan Ilahi: Tafsir Mendalam Al-Lail Ayat 7

Surah Al-Lail, yang berarti Malam, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan di awal masa kenabian. Surah ini memiliki pesan fundamental yang sangat jelas: kehidupan manusia di dunia terbagi menjadi dua jalan utama, dan setiap jalan memiliki konsekuensi serta tujuan akhir yang berbeda. Pembagian ini bukan hanya bersifat teoritis, melainkan merupakan peta jalan praktis bagi setiap individu dalam menentukan nasibnya.

Inti dari surah ini adalah dikotomi antara mereka yang memilih jalan ketaatan, kedermawanan, dan ketakwaan, dengan mereka yang memilih jalan kekikiran, pengabaian, dan pendustaan. Allah SWT bersumpah dengan berbagai ciptaan-Nya—malam ketika menutupi, siang ketika terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan—untuk menegaskan kebenaran bahwa usaha manusia memang beraneka ragam dan menuju hasil yang berbeda.

Fokus utama kita terletak pada janji agung yang termaktub dalam ayat ketujuh. Setelah menjelaskan sifat-sifat orang yang beruntung, Allah menguatkan janji-Nya dengan redaksi yang penuh kepastian. Ayat ini bukan sekadar penghiburan, melainkan sebuah jaminan kosmis bagi mereka yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Janji ini adalah kunci untuk meraih ‘kemudahan’ (al-Yusra) dalam segala aspek kehidupan.

Pusat Perhatian: Bunyi dan Makna Al-Lail Ayat 7

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
"Maka, Kami akan memudahkannya menuju jalan kemudahan (kebahagiaan)." (QS. Al-Lail: 7)

Ayat ini berdiri sebagai puncak dari deskripsi yang dimulai pada ayat 5 dan 6. Tiga kriteria telah disebutkan: memberi (berinfak), bertakwa, dan membenarkan perkara yang terbaik (Tauhid). Bagi siapa pun yang mewujudkan ketiga sifat mulia tersebut, Allah memberikan respons langsung dalam bentuk janji yang tak terelakkan: Fasanuyassiruhu lil-yusra.

Analisis Kata Per Kata

Untuk memahami kedalaman janji ini, kita perlu membedah komponen linguistiknya:

Perhatikan struktur kalimatnya: Allah tidak hanya mengatakan "Kami akan memberinya kemudahan", tetapi "Kami akan memudahkannya menuju jalan kemudahan". Ini berarti bukan hanya hasil akhir yang dimudahkan, tetapi proses dan perjalanan hidupnya sejak awal sudah diringankan. Setiap langkah menuju kebaikan akan terasa lebih ringan, dan pintu-pintu kebaikan akan terbuka secara otomatis.

Tiga Pilar Utama Menuju Kemudahan (Ayat 5 dan 6)

Ayat 7 adalah konsekuensi dari Ayah 5 dan 6. Tidak ada kemudahan tanpa memenuhi tiga prasyarat mendasar ini. Ketiga sifat ini harus terintegrasi dalam diri seorang mukmin, membentuk karakter yang utuh, bukan sekadar amal parsial.

1. Kedermawanan dan Memberi (وَأَعْطَىٰ - Wa A’tha)

Prasyarat pertama adalah kedermawanan. Makna 'A’tha' (memberi) sangat luas. Ini tidak hanya mencakup zakat wajib atau sedekah besar, tetapi juga setiap bentuk pemberian yang dilandasi keikhlasan, baik itu harta, waktu, tenaga, ilmu, atau bahkan senyuman. Kedermawanan adalah bukti nyata bahwa seseorang tidak terikat oleh hawa nafsunya terhadap materi duniawi.

A. Mengatasi Kekikiran Internal

Kekikiran adalah penyakit hati yang menghalangi kemudahan. Seseorang yang kikir, yang menahan apa yang menjadi hak orang lain atau menahan potensi dirinya untuk membantu, secara spiritual telah memblokir jalur rezeki dan kemudahan baginya sendiri. Kedermawanan berfungsi sebagai pembersih jiwa. Ketika seseorang berani memberi, ia menunjukkan ketergantungan mutlaknya kepada Allah, bukan kepada hartanya. Tindakan memberi memutus rantai ketergantungan pada sebab-sebab duniawi.

B. Kedermawanan dalam Konteks Sosial

Pemberian dalam Islam harus menjadi mekanisme sosial yang berkelanjutan. Ini menciptakan sirkulasi harta dan menumbuhkan rasa kasih sayang. Sebuah masyarakat yang warganya saling memberi akan mendapatkan keberkahan dan kemudahan kolektif. Kemudahan yang dijanjikan dalam Ayah 7 juga termanifestasi dalam kelancaran urusan komunitas. Ketika kita melapangkan kesulitan orang lain, Allah melapangkan kesulitan kita, seolah-olah terjadi hukum timbal balik yang sempurna, baik di tingkat individu maupun sosial.

2. Ketakwaan (وَاتَّقَىٰ - Wattqa)

Prasyarat kedua adalah Taqwa, yang secara harfiah berarti menjaga diri, atau berhati-hati. Dalam konteks syariat, Taqwa adalah kesadaran penuh akan kehadiran Allah, yang mendorong seseorang untuk menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya, baik dalam keadaan sendirian maupun di hadapan umum.

A. Dimensi Kesadaran (Muraqabah)

Taqwa bukanlah sekadar ritual, melainkan dimensi kesadaran yang konstan (muraqabah). Orang yang bertakwa senantiasa merasa diawasi, sehingga ia sangat berhati-hati dalam perkataan, tindakan, dan bahkan niatnya. Kesadaran ini adalah sumber ketenangan terbesar. Orang yang bertakwa, meskipun menghadapi masalah, hatinya tetap lapang karena tahu bahwa ia berada di jalan yang diridhai oleh Penciptanya.

B. Hubungan Taqwa dengan Keputusan Hidup

Taqwa memandu setiap keputusan. Dalam menghadapi dilema moral atau etika, orang yang bertakwa akan selalu memilih jalan yang paling mendekatkan dirinya kepada Allah. Inilah yang dijamin oleh ayat 7: Allah akan mempermudah jalannya, artinya Allah akan memberinya petunjuk yang jelas (taufiq) agar ia selalu memilih pilihan yang benar, sehingga ia terhindar dari kesulitan dan penyesalan akibat salah langkah.

Kemudahan (Yusra) yang dijanjikan bukan berarti ketiadaan ujian, melainkan jaminan kemampuan dan kekuatan batin untuk melewati setiap ujian dengan hati yang teguh dan hasil yang positif.

3. Membenarkan yang Terbaik (وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ - Wa Shaddaqa Bil-Husna)

Prasyarat ketiga adalah membenarkan ‘al-Husna’ (yang terbaik). Dalam tafsir klasik, ‘al-Husna’ merujuk pada kalimat tauhid (La ilaha illallah) atau janji Surga dan pahala yang telah disiapkan Allah. Ini adalah fondasi keimanan, keyakinan mutlak pada kebenaran Islam dan balasan Akhirat.

A. Pentingnya Keyakinan Terhadap Ghaib

Seseorang yang membenarkan al-Husna adalah orang yang memiliki keyakinan kokoh terhadap hal-hal ghaib: Hari Pembalasan, Surga, dan Neraka. Keyakinan ini adalah motor penggerak untuk melakukan kedermawanan dan ketakwaan. Mengapa seseorang memberi hartanya? Karena ia percaya bahwa balasan dari Allah jauh lebih baik dan abadi daripada harta yang ia keluarkan.

B. Dampak Kepastian Iman

Kepastian iman menghilangkan keraguan dan kecemasan eksistensial. Orang yang yakin bahwa janji Allah itu benar (membenarkan al-Husna) tidak akan khawatir tentang masa depan duniawinya, karena ia tahu bahwa nasibnya telah dijamin oleh Sang Pencipta. Kepastian ini adalah bentuk kemudahan mental yang paling fundamental. Ini membebaskan pikiran dari belenggu ketakutan dan kebimbangan, memudahkannya untuk berfokus pada amal saleh.

Wujud Nyata Kemudahan (Al-Yusra) dalam Kehidupan

Ketika Allah menjanjikan ‘kemudahan’ (Al-Yusra) dalam Ayah 7, ini mencakup berbagai manifestasi yang tidak terbatas hanya pada aspek spiritual. Kemudahan ini merasuk ke dalam seluruh dimensi kehidupan seorang mukmin yang memenuhi prasyarat.

A. Kemudahan dalam Beribadah dan Ketaatan (Tawfiq)

Manifestasi paling utama dari kemudahan adalah Tawfiq, yakni kemampuan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan kebaikan. Orang yang dimudahkan jalannya akan merasakan ibadah sebagai kenikmatan, bukan beban. Shalat terasa ringan, puasa terasa menyejukkan, dan berzikir menjadi kebutuhan. Ini adalah kemudahan internal yang sangat bernilai, di mana jiwa merasa damai saat melaksanakan tugas-tugas ilahi.

B. Kemudahan Rezeki dan Urusan Duniawi

Kemudahan ini juga tampak dalam urusan materi dan profesional. Bukan berarti orang tersebut tidak perlu bekerja, tetapi rezeki datang dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan usahanya diberkahi (barakah).

Rezeki yang Diberkahi

Rezeki yang mudah bukan diukur dari jumlahnya yang besar semata, tetapi dari keberkahannya. Sedikit harta menjadi cukup, hutang-hutang dimudahkan pelunasannya, dan kebutuhan hidup terpenuhi tanpa harus menempuh jalan yang haram atau merendahkan martabat. Hal ini sejalan dengan janji dalam Surah At-Talaq: "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." Ayat 7 dari Al-Lail ini memperkuat jaminan tersebut bagi mereka yang menyempurnakan ketakwaan dengan kedermawanan dan keyakinan.

Keterbukaan Solusi

Dalam menghadapi masalah, orang yang dimudahkan jalannya akan selalu melihat celah dan solusi. Pintu-pintu yang tadinya tertutup akan terbuka. Ketika menghadapi konflik, ia dimudahkan untuk mengambil keputusan yang adil dan bijaksana, sehingga hasil akhirnya selalu menguntungkan, bahkan jika secara lahiriah tampak seperti kerugian.

C. Kemudahan Saat Kritis dan Kematian

Puncak dari kemudahan dunia adalah kemudahan saat menghadapi sakaratul maut. Bagi seorang mukmin yang teguh dalam tiga pilar Al-Lail, proses kematiannya akan diringankan. Malaikat maut datang membawa kabar gembira, dan ruhnya dicabut dengan tenang. Ini adalah bentuk Yusra yang paling didambakan, transisi yang damai menuju kehidupan abadi.

D. Kemudahan di Akhirat (Puncak Yusra)

Tujuan akhir dari Al-Yusra adalah kemudahan di Akhirat: kelancaran hisab (perhitungan amal), dimudahkan melintasi shirath (jembatan), dan akhirnya, masuk Surga. Surga, dalam esensinya, adalah puncak dari segala kemudahan, tempat yang abadi tanpa ada lagi kesulitan, kesedihan, atau kekurangan.

Jalan Kontras: Kesulitan bagi Pendusta (Ayat 8-10)

Untuk memahami sepenuhnya nilai dari janji Al-Lail Ayat 7, kita harus membandingkannya dengan ancaman yang diberikan kepada kelompok kontras, yang disebutkan dalam ayat 8 hingga 10. Kontras ini adalah penekanan ilahi bahwa tidak ada netralitas dalam hidup; setiap tindakan mengarahkan kita pada salah satu dari dua hasil: kemudahan atau kesulitan.

وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ * فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
"Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan kebaikan (Al-Husna), maka Kami akan memudahkannya menuju jalan kesukaran (al-Usra)." (QS. Al-Lail: 8-10)

Perhatikan paralelisme yang menakutkan: Sama seperti orang baik yang dimudahkan menuju kemudahan (Yusra), orang yang jahat dimudahkan menuju kesulitan (Al-Usra). Ini berarti Allah tidak memaksa siapapun, tetapi begitu seseorang memilih jalan yang salah (kekikiran, kesombongan, dan pendustaan), Allah memfasilitasi jalannya menuju kehancuran. Kesulitan yang dijanjikan meliputi:

Perbandingan ini menunjukkan bahwa kemudahan (Yusra) adalah anugerah yang harus diupayakan melalui tiga pilar: kedermawanan, ketakwaan, dan keyakinan.

Kedermawanan: Investasi Jangka Panjang untuk Kemudahan

Dalam konteks modern yang materialistis, konsep kedermawanan sering dipandang sebagai pengurangan aset. Ayat 7 Al-Lail secara tegas mengubah perspektif ini: memberi adalah investasi cerdas yang menghasilkan keuntungan terbesar, yaitu kemudahan ilahi (Yusra).

Kedermawanan Melampaui Harta

Kedermawanan tidak hanya tentang transfer uang. Ada tiga bentuk kedermawanan yang saling mendukung dan semuanya menghasilkan janji Ayah 7:

1. Kedermawanan Materi (Al-Infaq)

Ini adalah pengeluaran harta di jalan Allah. Kedermawanan ini mengajarkan kita tentang pelepasan dan menghilangkan rasa kepemilikan mutlak. Ketika kita memberi, kita mengakui bahwa pemilik sejati harta tersebut adalah Allah, dan kita hanyalah pengelola sementara. Kesadaran ini membebaskan kita dari beban harta, yang pada gilirannya mendatangkan ketenangan dan kemudahan batin.

2. Kedermawanan Waktu dan Tenaga

Banyak orang kaya harta, tetapi miskin waktu. Menyisihkan waktu untuk membantu orang lain, mengunjungi yang sakit, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial adalah bentuk kedermawanan yang juga memenuhi prasyarat 'Wa A’tha'. Kemudahan yang didapat adalah efisiensi waktu dan berkah dalam setiap jam yang dilalui.

3. Kedermawanan Emosional (Akhlak)

Senyum, kata-kata yang baik, memaafkan kesalahan orang lain, dan menahan amarah adalah kedermawanan non-materi. Sifat ini sangat penting karena menciptakan lingkungan sosial yang positif. Ketika seseorang bersikap lembut dan pemaaf, ia dimudahkan dalam hubungannya dengan sesama manusia, menghilangkan konflik dan permusuhan yang seringkali menjadi sumber utama kesulitan hidup.

Dengan mengamalkan ketiga bentuk kedermawanan ini secara konsisten, seorang hamba secara aktif membangun jembatan menuju kemudahan yang dijanjikan dalam Fasanuyassiruhu lil-yusra.

Penyempurnaan Taqwa: Mengunci Pintu Kemudahan

Taqwa (prasyarat kedua) adalah fondasi moral yang memastikan bahwa kedermawanan dan keyakinan dijalankan dengan benar. Tanpa Taqwa, pemberian bisa menjadi riya’ dan keyakinan bisa menjadi sekadar klaim lisan. Taqwa adalah filter hati.

Taqwa di Ranah Pribadi

Dalam ranah pribadi, Taqwa berarti menjaga diri dari dosa-dosa tersembunyi. Ini mencakup menjaga lisan, mata, telinga, dan pikiran dari hal-hal yang diharamkan. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin bersih hati nuraninya. Hati yang bersih adalah wadah bagi kemudahan ilahi.

Ketakwaan dan Kedamaian Batin

Salah satu kesulitan terbesar dalam hidup modern adalah kecemasan dan stres. Kunci untuk menghilangkan kesulitan psikologis ini adalah Taqwa. Ketika seseorang tahu bahwa ia selalu berusaha berada di jalur yang benar, ia melepaskan beban kontrol yang berlebihan, menyerahkan hasilnya kepada Allah. Sikap penyerahan diri (tawakkal) yang lahir dari Taqwa menghasilkan kedamaian batin (sakinah), yang merupakan bentuk kemudahan psikologis yang tak ternilai harganya, jauh melampaui kekayaan materi.

Taqwa dalam Muamalah (Interaksi Sosial)

Dalam interaksi sosial, Taqwa termanifestasi sebagai kejujuran, keadilan, dan integritas. Orang yang bertakwa tidak akan mengambil hak orang lain, tidak akan berbohong, dan tidak akan menipu dalam bisnis. Kualitas-kualitas ini menciptakan reputasi baik dan rasa saling percaya. Dalam jangka panjang, kepercayaan adalah modal sosial terbesar yang mempermudah segala urusan, mulai dari mendapatkan pekerjaan hingga menjalin kemitraan yang sukses. Kemudahan ini adalah hasil langsung dari penerapan Taqwa dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan kata lain, Taqwa bukan hanya kewajiban spiritual, tetapi juga strategi hidup yang paling efektif untuk menghindari komplikasi dan kesulitan yang ditimbulkan oleh ketidakjujuran dan pelanggaran etika.

Membenarkan Al-Husna: Fondasi Keberanian

Membenarkan yang terbaik (Al-Husna), yaitu keyakinan mutlak terhadap tauhid dan balasan akhirat, adalah sumber keberanian yang diperlukan untuk menjalankan kedermawanan dan ketakwaan secara berkelanjutan. Seseorang hanya akan memberi dengan ikhlas jika ia yakin bahwa Allah akan menggantinya, dan seseorang hanya akan menjauhi larangan jika ia yakin akan adanya hukuman abadi.

Iman sebagai Prioritas Tertinggi

Ketika seseorang telah membenarkan Al-Husna, prioritasnya berubah. Kepuasan Allah menjadi lebih penting daripada keuntungan duniawi sesaat. Ia tidak takut kehilangan kekayaan atau status sosial jika itu berarti melanggar perintah-Nya. Kepastian iman ini memberikan kemudahan dalam menghadapi godaan, memudahkannya untuk berkata tidak pada hal yang salah, dan ya pada hal yang benar.

Menghilangkan Kekhawatiran Duniawi

Kekhawatiran adalah salah satu bentuk kesulitan mental terbesar. Orang yang mendustakan Al-Husna (seperti yang disebutkan di Ayah 9) selalu merasa tidak aman, takut miskin, dan takut mati. Sebaliknya, orang yang membenarkan Al-Husna hidup dengan keyakinan bahwa segala sesuatu telah ditentukan, dan bahwa upaya yang dilakukannya di jalan ketaatan akan berbuah kebaikan abadi. Keyakinan ini adalah perisai terhadap rasa takut dan kegelisahan, memudahkannya untuk menjalani hari-hari dengan optimisme dan harapan.

Visualisasi Al-Yusra: Jalan yang Diberkahi

Bayangkan jalan hidup sebagai sebuah pendakian. Bagi orang yang kikir, sombong, dan mendustakan (jalan Al-Usra), jalannya penuh batu sandungan, tanjakan terjal, dan jurang tak terduga. Setiap langkah terasa berat dan menyakitkan, dan meskipun ia mungkin mencapai puncak dunia, hatinya tetap sempit.

Sebaliknya, bagi mereka yang berinfak, bertakwa, dan yakin (jalan Al-Yusra), Allah menjanjikan kemudahan. Ini divisualisasikan bukan sebagai jalan datar, melainkan sebagai jalan yang, meskipun mungkin memiliki tanjakan, telah dipersiapkan dan diaspal oleh tangan ilahi. Ada lentera yang menerangi, ada persediaan yang cukup, dan setiap kali ia merasa lelah, datang pertolongan dan dorongan dari Allah. Inilah makna Fasanuyassiruhu lil-yusra.

Visualisasi Jalan Kemudahan (Al-Yusra) Diagram visualisasi dua jalur kehidupan. Jalur yang naik melambangkan kesulitan, sedangkan jalur yang landai dan bercahaya melambangkan kemudahan ilYusra. Jalan Kesukaran (Al-Usra) Kedermawanan Ketakwaan Keyakinan (Tauhid) Kemudahan (Al-Yusra)

Visualisasi di atas memperkuat pesan: Yusra bukanlah kemudahan yang didapatkan tanpa usaha, melainkan jalan yang secara supernatural dimudahkan dan diberkahi oleh Allah karena upaya ketaatan kita.

Menerapkan Al-Lail Ayat 7 dalam Rutinitas Harian

Untuk benar-benar meraih janji Al-Yusra, ketiga prasyarat harus diinternalisasi menjadi kebiasaan harian, bukan hanya perbuatan sporadis.

Strategi Penguatan Kedermawanan

Strategi Penguatan Ketakwaan

Strategi Penguatan Keyakinan

Filosofi Al-Yusra: Kemudahan sebagai Hasil Kesulitan yang Dihadapi

Penting untuk dicatat bahwa janji kemudahan (Al-Yusra) dalam Ayah 7 tidak berarti menghilangkan semua bentuk perjuangan. Islam adalah agama yang mengedepankan amal dan jihad (usaha). Kemudahan yang dijanjikan adalah kemudahan dalam konteks perjuangan. Filosofinya adalah:

Kemudahan Bukan Absennya Tantangan

Tantangan adalah keniscayaan dalam kehidupan. Namun, bagi orang yang bertakwa dan dermawan, tantangan itu tidak menjadi beban yang menghancurkan, melainkan tangga menuju derajat yang lebih tinggi. Kemudahan di sini adalah kemampuan menghadapi tantangan dengan ketenangan jiwa, didukung oleh bantuan (Tawfiq) dari Allah.

Misalnya, seseorang yang bersedekah mungkin menghadapi kekurangan finansial sementara, tetapi Allah akan memudahkannya mendapatkan solusi yang halal dan lebih berkah. Kesulitan itu hanya bersifat permukaan, sementara kemudahan batin (Yusra) tetap bersemayam di hatinya.

Ketakwaan Mengubah Perspektif

Taqwa mengubah cara pandang kita terhadap kesulitan. Apa yang dilihat oleh orang awam sebagai musibah, dilihat oleh orang bertakwa sebagai peluang untuk meraih pahala dan pengampunan. Perubahan perspektif ini adalah bentuk kemudahan mental yang luar biasa, membebaskan hati dari keputusasaan.

Kesabaran (sabr) yang merupakan buah dari Taqwa adalah mekanisme utama yang memfasilitasi Al-Yusra. Dengan sabar, seorang hamba dimudahkan untuk menunggu janji Allah terealisasi, tanpa terjerumus pada jalan pintas atau solusi yang haram. Kesabaran adalah biaya yang dibayar di awal untuk mendapatkan kemudahan abadi.

Memahami Hubungan Sebab-Akibat Ilahi

Ayat 7 mengajarkan tentang hubungan sebab-akibat yang mendalam antara amal saleh dan janji Allah. Ini adalah hukum kosmik: tanamlah benih kebaikan (memberi, taqwa, yakin), dan panenlah buah kemudahan (Al-Yusra). Ini menjauhkan mukmin dari pemikiran fatalistik yang pasif, mendorong mereka untuk bertindak, sementara pada saat yang sama, memberikan jaminan bahwa tindakan mereka tidak akan sia-sia.

Kedermawanan yang dilakukan hari ini adalah pembersih jalan yang akan kita lalui besok. Ketakwaan yang dijaga saat ini adalah benteng yang melindungi kita dari kesulitan di masa depan. Dan keyakinan yang dipegang teguh saat ini adalah cahaya yang menerangi jalan kita menuju kemudahan abadi.

Oleh karena itu, setiap mukmin harus secara berkelanjutan mengevaluasi dirinya: apakah saya sedang berada di jalur Al-Yusra ataukah tanpa sadar tergelincir menuju Al-Usra? Jawabannya terletak pada seberapa kuat kedermawanan, seberapa dalam ketakwaan, dan seberapa tulus keyakinan kita terhadap janji ilahi.

Perjalanan hidup adalah serangkaian pilihan. Pilihan untuk memberi alih-alih menahan, untuk takut kepada Allah alih-alih takut kepada manusia, dan untuk membenarkan kebenaran alih-alih mendustakannya. Bagi mereka yang memilih dengan bijak, janji Al-Lail Ayat 7 berdiri tegak sebagai jaminan yang kokoh dan tak tergoyahkan, bahwa Sang Pencipta sendiri yang akan meratakan jalan menuju kebahagiaan sejati.

Fasanuyassiruhu lil-yusra: Janji Kemudahan yang Abadi. Semoga kita termasuk golongan yang dimudahkan jalannya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

🏠 Homepage