Surah Al-Qadr: Menggali Inti Malam Kemuliaan

Analisis Mendalam Ayat 1 hingga 5

Pendahuluan: Kemuliaan yang Melampaui Masa

Surah Al-Qadr, yang secara harfiah berarti "Malam Kemuliaan" atau "Malam Ketentuan", adalah salah satu permata Al-Qur'an yang singkat namun sarat makna. Ia terdiri hanya dari lima ayat, namun kelima ayat ini merangkum sebuah momen paling krusial dalam sejarah spiritualitas manusia: turunnya wahyu Illahi yang pertama. Surah ini memberikan peta jalan teologis dan spiritual mengenai keutamaan, substansi, dan implikasi dari Lailatul Qadr, sebuah malam yang menjadi poros penentuan takdir tahunan bagi alam semesta.

Pengkajian terhadap Al-Qadr ayat 1 hingga 5 bukanlah sekadar pembacaan teks, melainkan upaya mendalami retorika ketuhanan, memahami dimensi waktu yang dilipatgandakan, serta menangkap esensi kedamaian yang menyelimuti malam tersebut. Setiap kata dalam surah ini—dari pengakuan otoritas mutlak Allah (Inna) hingga batas akhir kedamaian (maṭla'il fajr)—menyajikan lapisan-lapisan hikmah yang tak pernah habis untuk dikaji oleh para ulama dan ahli tafsir sepanjang zaman.

Pentingnya Kontekstual Surah Al-Qadr

Surah ini diyakini turun di Makkah (meski ada pula pendapat yang menyebutnya Madaniyah, namun mayoritas menguatkan Makkah), pada masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Konteks utamanya adalah menegaskan otoritas Al-Qur'an dan menenangkan hati Nabi dan para sahabat yang menghadapi kesulitan dakwah, dengan menunjukkan betapa agungnya kitab suci yang mereka bawa.

Lailatul Qadr menjadi titik fokus. Malam ini bukan hanya sekadar waktu, melainkan sebuah peristiwa kosmik yang menggarisbawahi keunikan Al-Qur'an sebagai pedoman. Tanpa memahami kelima ayat ini secara mendalam, seseorang akan kehilangan orientasi spiritual dalam menyambut bulan Ramadan, yang secara universal diyakini sebagai bulan tempat Malam Kemuliaan ini bersembunyi.

Simbol Lailatul Qadr

Ayat 1: Proklamasi Agung Wahyu

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
(1) Innā anzalnāhu fī Lailatil Qadr.

Terjemahan: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan).

Analisis Linguistik dan Teologis Ayat 1

1. Innā (Sesungguhnya Kami)

Kata Innā adalah penekanan yang sangat kuat, terdiri dari partikel penguat Inna dan kata ganti jamak (Kami). Penggunaan bentuk jamak dalam konteks ini dikenal sebagai Nūn al-'Aẓamah (Nūn Keagungan). Ini bukan jamak secara numerik, melainkan jamak yang merujuk pada keagungan, kekuasaan, dan otoritas tak terbatas Allah SWT. Penggunaan Innā di awal ayat segera menarik perhatian pendengar pada keagungan dan kepastian peristiwa yang akan diumumkan.

2. Anzalnāhu (Kami telah menurunkannya)

Kata kerja Anzala (menurunkan) berbeda dengan Nazzala. Dalam terminologi Al-Qur'an, Anzala sering digunakan untuk menunjukkan penurunan secara sekaligus (jumlatun wāḥidah), sedangkan Nazzala merujuk pada penurunan secara bertahap atau berangsur-angsur (tanjīm).

3. Hu (nya - Al-Qur'an)

Dhamir (kata ganti) hu merujuk kepada Al-Qur'an, meskipun Al-Qur'an belum disebutkan secara eksplisit sebelumnya. Ini menunjukkan betapa Al-Qur'an adalah hal yang sudah sangat jelas keagungannya sehingga tidak perlu disebutkan lagi—semua pendengar wahyu tahu apa yang dimaksud dengan "nya" dalam konteks penurunan agung tersebut.

4. Fī Lailatil Qadr (Pada Malam Kemuliaan/Ketentuan)

Inilah inti dari ayat pertama. Lailah berarti malam, dan Al-Qadr memiliki dua makna utama yang saling berkaitan:

  1. Al-Qadr (Kemuliaan/Kehormatan): Malam tersebut mulia karena dipilih sebagai waktu turunnya Kitab yang Mulia. Ibadah yang dilakukan pada malam ini memiliki kemuliaan pahala yang berlipat ganda.
  2. Al-Qadr (Ketentuan/Penetapan Takdir): Pada malam ini, Allah menetapkan atau merincikan takdir dan urusan tahunan yang akan terjadi (rezeki, ajal, bencana, atau kesehatan). Ini adalah malam di mana al-amr al-hakīm (urusan yang bijaksana) dipisahkan dari ketentuan umum (Surah Ad-Dukhan: 4).

Ayat pertama ini adalah fondasi. Ia menghubungkan secara permanen Al-Qur'an, Kemuliaan Tuhan, dan Waktu Agung (Lailatul Qadr). Tidak ada Al-Qur'an tanpa Lailatul Qadr, dan tidak ada Lailatul Qadr tanpa manifestasi wahyu tersebut.

Ayat 2: Keagungan yang Tak Terjangkau

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
(2) Wa mā adrāka mā Lailatul Qadr.

Terjemahan: Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu?

Analisis Retorika dan Makna Ayat 2

Ayat kedua menggunakan teknik retorika Qur'ani yang khas dan sangat kuat. Frasa "Wa mā adrāka" (Dan tahukah kamu) adalah sebuah pertanyaan retoris yang bertujuan untuk membangkitkan rasa takjub, keagungan, dan misteri terhadap subjek yang dibicarakan. Ketika Allah menggunakan frasa ini, itu menunjukkan bahwa subjeknya melampaui batas pemahaman dan persepsi manusia biasa.

1. Misteri dan Penekanan

Dalam bahasa Arab, pola pertanyaan retoris ini seringkali diikuti oleh jawaban yang diberikan oleh Allah sendiri (seperti dalam ayat 3). Pertanyaan ini berfungsi sebagai jembatan yang membawa pembaca dari pengumuman sederhana (Ayat 1) menuju penjelasan yang mendalam dan mengejutkan (Ayat 3).

Ibnu Katsir dan ulama lainnya mencatat bahwa frasa "wa mā adrāka" digunakan untuk hal-hal yang agung yang maknanya akan segera diungkapkan, sementara frasa "wa mā yudrīka" digunakan untuk hal-hal yang maknanya tetap dirahasiakan sepenuhnya oleh Allah (meskipun pola ini tidak mutlak). Dalam kasus Al-Qadr, keagungannya diungkapkan sebagian, yaitu terkait nilai pahalanya.

2. Mendorong Refleksi

Ayat ini memaksa jiwa untuk berhenti dan merenung: mengapa malam ini begitu penting? Apa yang membuatnya begitu istimewa hingga Allah perlu menekankannya dengan pertanyaan yang penuh tantangan ini? Jawabannya terletak pada dimensi spiritual yang ditawarkan, di mana dimensi waktu material menjadi tidak relevan di hadapan rahmat Illahi.

Pentingnya Malam Ketentuan terletak bukan hanya pada sejarah (turunnya Al-Qur'an), tetapi pada masa depan (penetapan takdir tahunan) dan spiritualitas individu (kesempatan pengampunan dan pahala tak terhingga). Malam ini adalah anugerah terbesar bagi umat Muhammad, yang usia rata-ratanya relatif singkat dibandingkan umat-umat terdahulu.

Ayat 3: Nilai yang Melampaui Ribuan Bulan

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
(3) Lailatul Qadri khairun min alfi shahr.

Terjemahan: Lailatul Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.

Perhitungan dan Keunggulan Nilai

Ayat ketiga adalah jawaban langsung atas pertanyaan retoris di ayat kedua, dan merupakan inti dari Surah Al-Qadr. Ini adalah pernyataan kuantifikasi nilai spiritual yang menantang nalar manusia. Seribu bulan setara dengan kurang lebih 83 tahun 4 bulan—sebuah usia rata-rata manusia yang dihabiskan dalam ibadah murni.

1. Makna 'Alfi Shahr' (Seribu Bulan)

Para ulama tafsir sepakat bahwa "seribu bulan" harus dipahami dalam dua perspektif:

2. Khairun (Lebih Baik)

Penggunaan kata khairun (lebih baik) menunjukkan bahwa keunggulan malam ini tidak hanya sekadar setara, tetapi memiliki nilai kualitatif yang melampaui batas kuantitas. Kebaikan ini meliputi pengampunan dosa, penerimaan doa, peningkatan spiritual, dan penetapan takdir yang membawa keberkahan.

3. Asbabun Nuzul Terkait Nilai

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa surah ini turun karena Rasulullah ﷺ merasa sedih ketika mengetahui usia umat-umat terdahulu (seperti Bani Israil) yang panjang, yang memungkinkan mereka beribadah sangat lama. Allah kemudian menganugerahkan Lailatul Qadr kepada umat ini, yang memungkinkan mereka mengejar, bahkan melampaui, pahala ibadah umat-umat yang hidup berabad-abad lamanya dalam waktu semalam.

Perbandingan ini menunjukkan keadilan dan rahmat Allah. Seorang hamba yang menghidupkan malam tersebut dengan ikhlas akan mendapatkan ganjaran yang setara dengan seluruh hidup orang lain, memastikan bahwa kekurangan usia bukanlah hambatan untuk mencapai derajat spiritual tertinggi.

Ayat 4: Turunnya Malaikat dan Ruh

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
(4) Tanazzalul Malā'ikatu war-rūḥu fīhā bi-idzni Rabbihim min kulli amr.

Terjemahan: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Rūh (Jibril) dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan.

Manifestasi Kosmik Malam Kemuliaan

Ayat keempat menggambarkan aktivitas kosmik yang terjadi pada malam yang agung ini. Penggunaan kata Tanazzalu (turun berangsur-angsur/berbondong-bondong) menunjukkan bahwa proses penurunan malaikat itu masif, berkesinambungan, dan memenuhi seluruh alam. Ini berbeda dengan penurunan wahyu Al-Qur'an secara keseluruhan di ayat 1 (Anzalna).

1. Tanazzalul Malā'ikah (Turunnya Para Malaikat)

Para malaikat, makhluk cahaya yang patuh, turun ke bumi dalam jumlah yang sangat besar. Diriwayatkan bahwa jumlah malaikat yang turun pada malam itu jauh lebih banyak daripada jumlah butiran kerikil di bumi, menandakan betapa padatnya atmosfer bumi dengan keberkahan dan kehadiran ilahi pada malam tersebut.

Tujuan penurunan ini adalah untuk memberikan penghormatan kepada orang-orang mukmin yang sedang beribadah dan membawa rahmat. Kehadiran malaikat membawa ketenangan batin, keberkahan, dan penghubungan langsung antara langit dan bumi.

2. War-Rūḥ (Dan Rūh)

Siapakah yang dimaksud dengan Ar-Rūḥ? Terdapat beberapa interpretasi ulama:

3. Bi-idzni Rabbihim (Dengan Izin Tuhan Mereka)

Frasa ini menekankan bahwa seluruh aktivitas kosmik ini terjadi sepenuhnya di bawah otoritas dan kehendak Allah. Tidak ada malaikat yang turun tanpa izin-Nya, menegaskan kedaulatan mutlak Allah atas segala urusan, termasuk waktu dan takdir.

4. Min Kulli Amr (Untuk Mengatur Segala Urusan)

Inilah aspek penetapan takdir (Qadr). Kulli Amr merujuk pada segala urusan dan ketetapan yang akan berlaku pada tahun yang akan datang, hingga Lailatul Qadr berikutnya. Malaikat, yang dipimpin oleh Jibril, turun membawa lembaran takdir yang telah ditetapkan di Lauhul Mahfuzh, merincikannya, dan mulai mengeksekusinya di alam semesta. Ini termasuk rezeki, hujan, kehidupan, dan kematian.

Penting untuk dicatat bahwa penetapan takdir ini bersifat tahunan (tafṣīl—perincian), berbeda dengan takdir abadi yang telah ditetapkan sejak azali (qaḍā').

Simbol Turunnya Malaikat

Ayat 5: Kedamaian Hingga Terbit Fajar

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
(5) Salāmun hiya ḥattā maṭla'il fajr.

Terjemahan: Malam itu (penuh) kedamaian hingga terbit fajar.

Hakikat Salām (Kedamaian) dan Batas Waktu

Ayat penutup ini merangkum esensi dan suasana Lailatul Qadr. Malam tersebut adalah pengejawantahan dari Salām—kedamaian, keselamatan, dan kebaikan sempurna.

1. Salāmun Hiya (Ia adalah Kedamaian)

Kalimat ini bersifat nominal (kata benda), yang berarti kedamaian itu bukan hanya terjadi di malam itu, tetapi malam itu sendiri adalah kedamaian. Beberapa aspek Salām yang terkandung:

2. Ḥattā Maṭla'il Fajr (Hingga Terbit Fajar)

Frasa ini menentukan batas akhir dari periode keutamaan Lailatul Qadr. Segala keberkahan, turunnya malaikat, dan nilai pahala yang berlipat ganda berlangsung terus-menerus tanpa henti dari maghrib hingga munculnya cahaya fajar.

Ini memberikan batasan waktu yang jelas bagi umat Islam untuk memaksimalkan ibadah mereka. Setelah fajar tiba, suasana kosmik khusus Lailatul Qadr berakhir, dan aktivitas kembali normal.

Tafsir Komprehensif: Kedalaman Makna Al-Qadr

A. Konsep Qadr dalam Teologi Islam

Meskipun kata Qadr berarti kehormatan, konteks penetapan takdir tidak dapat diabaikan. Surah ini mengajarkan bahwa Allah mengatur waktu dan ruang untuk mewujudkan kehendak-Nya. Penetapan takdir (taqdīr) yang terjadi pada malam ini bukanlah penetapan takdir abadi, melainkan perincian operasional takdir tahunan (al-qaḍā' al-mu‘allaq). Pada malam ini, buku tahunan kehidupan di dunia dituliskan, di bawah pengawasan Jibril dan para malaikat.

Memahami hal ini memotivasi seorang hamba untuk berdoa dengan sungguh-sungguh pada malam tersebut, memohon agar takdir yang akan ditetapkan adalah yang terbaik bagi dirinya di dunia dan akhirat. Keyakinan bahwa doa pada malam ini dapat memengaruhi rincian takdir tahunan adalah salah satu dorongan utama ibadah di Lailatul Qadr.

B. Hubungan antara Al-Qur'an dan Al-Qadr

Terdapat hubungan simbiotik antara Surah Al-Qadr dan Al-Qur'an itu sendiri. Ayat pertama memastikan bahwa keagungan Al-Qur'an berasal dari waktu penurunannya yang istimewa. Dengan kata lain, waktu (Lailatul Qadr) menjadi mulia karena wahyu (Al-Qur'an) di dalamnya. Sebaliknya, wahyu tersebut mendapat penegasan otoritas melalui pemilihan waktu yang telah ditentukan oleh Allah.

Tujuan utama dari Surah ini, oleh karena itu, adalah untuk mengagungkan Al-Qur'an. Ini mengingatkan umat Islam bahwa memuliakan malam ini berarti memuliakan kandungan kitab suci yang pertama kali diserahkan kepada manusia pada momen tersebut.

C. Peran Umat Islam dalam Menghidupkan Lailatul Qadr

Meskipun Surah Al-Qadr tidak secara eksplisit menyebutkan amal ibadah yang harus dilakukan, ia memberikan landasan teologis untuk mengejar malam tersebut. Karena malam itu setara dengan 1.000 bulan, umat Islam berupaya menghidupkannya dengan:

  1. Qiyamul Lail: Shalat malam yang panjang, terutama shalat Tarawih dan Tahajjud.
  2. Membaca Al-Qur'an: Mengingat bahwa malam ini adalah malam penurunan wahyu, membaca, mempelajari, dan merenungkan Al-Qur'an menjadi ibadah utama.
  3. Doa dan Zikir: Berdoa memohon ampunan (dosa 83 tahun terhapus) dan memohon penetapan takdir yang baik. Doa yang sangat dianjurkan adalah, "Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii."

Pengejaran Lailatul Qadr umumnya difokuskan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, khususnya malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29), mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ.

Eksplorasi Mendalam Setiap Kata Kunci

D. Telaah Mendalam Kata 'Inna' (Keagungan Allah)

Mari kita kembali fokus pada kekuatan linguistik yang digunakan di awal. Penggunaan Innā (Kami) membawa implikasi filosofis tentang kehendak bebas dan ketetapan. Ketika Allah menggunakan bentuk keagungan ini dalam konteks penurunan, ini menandakan bahwa tidak ada campur tangan pihak ketiga. Proses penurunan wahyu adalah murni, langsung, dan otentik dari Sumber Ilahi.

Dalam ilmu balaghah (retorika Arab), penekanan awal ini berfungsi untuk menepis keraguan apa pun yang mungkin dimiliki oleh orang-orang Makkah pada saat itu mengenai validitas Al-Qur'an. Ini adalah deklarasi kerasulan dan ketuhanan yang tak terbantahkan.

E. Kedalaman Makna 'Anzala' vs 'Nazzala'

Konsep penurunan Al-Qur'an terdiri dari dua fase. Ayat 1 hanya merujuk pada fase pertama (Anzala): dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia. Fase kedua, penurunan secara bertahap kepada Nabi Muhammad ﷺ selama 23 tahun (Nazzala), adalah implementasi dari keputusan malam Al-Qadr. Pemisahan ini mengajarkan kita bahwa terdapat perbedaan antara ketetapan (teks murni yang abadi) dan implementasi (konteks temporal dan historis).

Malam Al-Qadr adalah malam penyatuan kedua dimensi ini: malam di mana ketetapan abadi mulai bersentuhan dengan realitas temporal dunia.

F. Implikasi Angka Seribu: Dimensi Usia Umat

Konsep 1000 bulan (83.3 tahun) membawa dimensi unik dalam perbandingan antara umat Muhammad dan umat-umat terdahulu. Mayoritas riwayat menyebutkan bahwa rata-rata usia umat Muhammad berkisar antara 60 hingga 70 tahun. Jika seseorang menghidupkan Lailatul Qadr setiap tahunnya selama 40 tahun masa balighnya, total pahala yang terkumpul secara kumulatif bisa melampaui ribuan tahun ibadah murni. Ini adalah manifestasi sempurna dari Rahmat Ilahi (rahmah) bagi umat akhir zaman.

Penekanan pada angka ini berfungsi sebagai motivasi terbesar: bahwa keberkahan (barakah) dapat melipatgandakan kualitas waktu melampaui kuantitasnya.

Analisis Retorika dan Nilai Estetika Surah

G. Harmoni Bunyi dan Ritme

Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna dari I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an dari segi retorika. Surah ini mengikuti pola rima (fāṣilah) pada huruf 'R' (قَدْرِ, شَهْرٍ, أَمْرٍ, الْفَجْرِ). Penggunaan rima ini memberikan kekuatan ritmis yang kuat, membuat surah ini mudah dihafal, khusyuk dibaca, dan memberikan kesan keagungan yang terus-menerus.

Rima 'R' yang kuat ini (huruf vokal yang menggetar) sangat cocok dengan tema surah: sebuah momen kosmik yang mengguncang dan menetapkan takdir.

H. Metafora Turunnya Ruh

Jika kita menerima interpretasi bahwa Ar-Rūḥ adalah Jibril, turunnya beliau secara spesifik menekankan peran Jibril sebagai agen transfer kekuasaan dan pengetahuan. Jibril, yang turun membawa Al-Qur'an pada malam pertama, terus turun pada malam yang sama di tahun-tahun berikutnya untuk membawa ketetapan Allah.

Ini adalah metafora bahwa hubungan antara Allah, wahyu, dan penetapan takdir (qadr) tidak pernah terputus; ia diperbarui setiap tahun pada Lailatul Qadr.

I. Salām (Kedamaian) sebagai Penutup

Puncak dari surah ini adalah janji kedamaian (Ayat 5). Setelah menggambarkan keagungan, kerahasiaan, lipatan waktu, dan padatnya aktivitas malaikat, surah diakhiri dengan suasana yang mendalam dan menenangkan: Salām.

Kedamaian ini merupakan penawar bagi kegelisahan dunia. Bagi hamba yang mencari Lailatul Qadr, hasilnya bukan hanya pahala yang besar, tetapi juga ketenangan batin yang sejati. Ini adalah kedamaian yang diberikan Allah, yang jauh melampaui kedamaian yang dapat diciptakan oleh manusia.

J. Perbandingan Tafsir Mengenai Lailatul Qadr

Meskipun mayoritas ulama sepakat bahwa Lailatul Qadr terjadi pada sepuluh malam terakhir Ramadan, kerahasiaan tanggal spesifiknya (sebagaimana tersirat dari misteri yang dibangun di Ayat 2) adalah hikmah tersendiri:

Surah ini mengajarkan bahwa malam itu adalah hadiah tahunan, sebuah peluang yang harus dicari dengan gigih, karena keberkahannya sangat besar sehingga menyia-nyiakannya berarti menyia-nyiakan kesempatan seumur hidup.

Simbol Doa dan Kedamaian

Penutup: Refleksi Abadi Lailatul Qadr

Surah Al-Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, adalah sebuah kosmologi spiritual mini yang memberikan gambaran lengkap tentang keagungan wahyu dan mekanisme penetapan takdir. Dari Ayat 1 hingga Ayat 5, kita diajak menelusuri perjalanan Al-Qur'an dari dimensi keabadian (Lauhul Mahfuzh) menuju dimensi fana (bumi), yang puncaknya adalah Salām (kedamaian) di batas waktu fajar.

Pemahaman mendalam terhadap surah ini mengubah cara seorang mukmin memandang waktu dan ibadah di bulan Ramadan. Ia mengubah pengejaran ibadah dari kewajiban menjadi pengejaran terhadap keberkahan yang melipatgandakan nilai hidup hingga lebih dari 83 tahun. Ini adalah janji transformatif yang ditawarkan oleh Sang Pencipta kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.

Keagungan Al-Qadr adalah pengingat konstan bahwa waktu fana memiliki peluang untuk bersentuhan dengan keabadian. Setiap hamba memiliki kesempatan untuk menyambut turunnya malaikat dan Jibril, menjadi bagian dari penetapan takdir tahunan, dan diselimuti kedamaian sempurna hingga terbitnya matahari baru.

Semoga kita semua diberikan taufik dan hidayah untuk menghidupkan Lailatul Qadr, sebagaimana yang diajarkan dalam setiap kata penuh hikmah dari surah yang mulia ini.

K. Elaborasi Lanjutan Mengenai Penetapan Takdir (Taqdīr Sanawī)

Konsep Min Kulli Amr (dari segala urusan) di Ayat 4 merupakan subjek yang paling banyak dikaji oleh para teolog. Ini bukan hanya masalah rezeki atau ajal, tetapi juga mencakup seluruh aspek administrasi alam semesta. Ini adalah perincian operasional rencana ilahi untuk tahun mendatang. Contoh urusan yang ditetapkan meliputi:

Oleh karena itu, Lailatul Qadr berfungsi sebagai malam "pengajuan anggaran" kosmik, di mana Allah menyetujui detail pelaksanaan takdir. Doa seorang hamba pada malam ini adalah upaya untuk memohon intervensi ilahi dalam detail-detail tersebut, memohon agar rincian takdir yang diizinkan untuk berubah (al-qaḍā' al-mu‘allaq) ditetapkan menuju kebaikan.

L. Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Tabari tentang 'Rūḥ'

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir sangat kuat mendukung pandangan bahwa Ar-Rūḥ adalah Jibril. Dukungan ini didasarkan pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an di mana Jibril disebut sebagai 'Ruhul Qudus' atau 'Ar-Rūḥ' secara sederhana. Mengapa Jibril harus turun? Karena Jibril adalah malaikat yang dipercaya untuk urusan wahyu dan urusan besar kenabian. Kehadirannya mengukuhkan kembali pentingnya risalah yang dibawa pada malam tersebut.

Sementara itu, Imam Al-Tabari mencatat pandangan lain yang menyebutkan bahwa Ar-Rūḥ adalah salah satu makhluk agung Allah yang tidak termasuk dalam kategori malaikat maupun manusia biasa, namun ia adalah makhluk yang sangat besar yang hanya Allah ketahui hakikatnya. Namun, terlepas dari perbedaan identifikasi, intinya adalah bahwa malam itu dipenuhi oleh entitas-entitas agung ilahi yang membawa perintah Allah ke bumi.

M. Membandingkan 'Khairun min Alfi Shahr' dengan Usia Kehidupan

Jika kita asumsikan bahwa 1.000 bulan adalah masa hidup yang dihabiskan dalam ibadah, maka malam Lailatul Qadr mengajarkan bahwa kualitas ibadah melampaui kuantitas. Seorang mukmin yang mencapai tingkat spiritual tinggi pada malam itu dapat melampaui prestasi ibadah yang dilakukan oleh orang lain dalam waktu puluhan tahun.

Ini adalah pelajaran tentang Ikhlas (ketulusan) dan Hudhur (kehadiran hati). Bukan sekadar melakukan gerakan shalat, tetapi mencapai kesadaran total akan keagungan Allah. Keutamaan 1.000 bulan diberikan sebagai penghargaan atas ketulusan hati yang mencapai puncaknya pada malam yang penuh berkah tersebut.

N. Kedamaian dan Keamanan (Salāmun)

Istilah Salām memiliki akar kata yang sama dengan Islām, yang berarti penyerahan diri dan kedamaian. Ketika Allah menyatakan malam itu adalah Salām, ini berarti malam itu memancarkan keamanan dan keharmonisan. Ini adalah waktu di mana alam semesta berada dalam harmoni sempurna dengan kehendak Ilahi.

Keamanan ini menjamin bahwa ibadah yang dilakukan tidak akan sia-sia, dan doa yang dipanjatkan memiliki peluang maksimal untuk diterima. Ini adalah jaminan keamanan batin dan luar bagi setiap hamba yang berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.

O. Batasan Fajar (Maṭla'il Fajr)

Mengapa keutamaan berakhir tepat saat terbit fajar? Fajar adalah batas antara malam dan siang, antara kegelapan misterius dan cahaya yang nyata. Dengan penetapan batas waktu ini, Allah mengajarkan pentingnya memanfaatkan setiap detik waktu yang diberikan, dan bahwa kesempatan kosmik ini memiliki periode terbatas. Begitu fajar menyingsing, para malaikat kembali naik ke langit, membawa laporan ibadah dan penetapan takdir kepada Allah SWT.

Ini menekankan urgensi (al-i'tikaaf) di sepuluh hari terakhir Ramadan, di mana mukmin secara fisik dan spiritual mengisolasi diri untuk memastikan bahwa mereka tidak melewatkan momentum agung sebelum terbitnya fajar.

Melalui lima ayat yang ringkas ini, Surah Al-Qadr telah memberikan panduan yang tak ternilai harganya bagi spiritualitas dan keyakinan umat Islam, menegaskan bahwa hadiah terbesar—Al-Qur'an dan peluang ampunan—diberikan pada malam yang paling agung dalam setahun.

🏠 Homepage