Al-Qur'an dan Terjemahnya: Pilar Utama Pemahaman Islam

Mukadimah: Kedudukan Al-Qur'an sebagai Wahyu Abadi

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui perantaraan Malaikat Jibril. Kitab ini bukan sekadar koleksi ajaran moral atau sejarah belaka, melainkan sumber hukum tertinggi, panduan hidup menyeluruh, dan manifestasi mukjizat linguistik yang tak tertandingi. Keberadaan Al-Qur'an dalam bahasa Arab menjadikannya terikat pada keindahan dan kedalaman semantik bahasa aslinya, sebuah fakta yang secara inheren menciptakan tantangan besar ketika upaya penerjemahan dilakukan.

Sejak pertama kali diwahyukan di Makkah dan Madinah, peran Al-Qur'an telah melampaui batas geografis dan kultural, menjadi poros peradaban Islam. Namun, seiring menyebarnya Islam ke wilayah non-Arab, kebutuhan mendesak untuk memahami pesan ilahi ini bagi jutaan Muslim yang tidak fasih berbahasa Arab menjadi tak terhindarkan. Inilah yang melahirkan upaya penerjemahan dan penafsiran (tafsir) yang kompleks, yang berusaha menjembatani jurang bahasa tanpa mengorbankan kemurnian makna asal.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Al-Qur'an dan terjemahnya menjadi topik studi yang tak pernah usai. Kami akan menjelajahi proses pewahyuan dan pemeliharaannya, mendalami tantangan unik dalam menerjemahkan teks suci ini, menelusuri sejarah panjang terjemah di Nusantara, dan menganalisis metodologi yang digunakan oleh para ulama untuk memastikan bahwa pesan Allah dapat diakses oleh setiap Muslim di seluruh dunia, sekaligus menjaga integritas spiritual dan linguistiknya.

Memahami Kemurnian dan Karakteristik Al-Qur'an

Sebelum membahas terjemah, penting untuk mengukuhkan pemahaman tentang karakteristik unik Al-Qur'an yang membedakannya dari kitab-kitab suci lain atau karya sastra manusia. Karakteristik ini, yang secara kolektif dikenal sebagai I’jaz al-Qur’an (kemukjizatan Al-Qur'an), menjadi hambatan utama dalam proses penerjemahan.

I. Proses Pewahyuan dan Pemeliharaan

Al-Qur'an diturunkan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun. Proses ini memastikan relevansi pesan dengan konteks historis yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ dan para Sahabat. Pemeliharaan Al-Qur'an adalah mukjizat tersendiri yang melibatkan dua dimensi utama:

  1. Hafalan (Al-Hifzh): Ribuan Sahabat menghafal setiap ayat begitu diturunkan. Tradisi hafalan ini diwariskan secara mutawatir (berkesinambungan dan massal), menjamin keaslian teks lisan.
  2. Penulisan (At-Tadwin): Ayat-ayat yang turun dicatat oleh para penulis wahyu di atas media sederhana seperti pelepah kurma, batu, dan kulit. Kemudian, pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dilakukan kompilasi pertama menjadi satu mushaf. Puncaknya, pada masa Khalifah Utsman bin Affan, distandardisasi Mushaf Utsmani yang menjadi acuan tunggal bagi seluruh umat Islam, menghilangkan potensi perbedaan dialek yang minor.

Kedua metode pemeliharaan ini, lisan dan tulisan, memastikan bahwa teks Arab Al-Qur'an yang kita baca hari ini adalah persis sama dengan yang diucapkan dan ditulis pada abad ke-7 Masehi. Inilah inti dari kemurnian Al-Qur'an yang harus dijaga oleh setiap upaya penerjemahan.

II. Dimensi Linguistik (I’jaz)

Kemukjizatan linguistik Al-Qur'an terletak pada pilihan kata (diksi), struktur sintaksis yang sempurna, ritme puitis yang unik, dan kemampuan kata-kata yang padat untuk memuat makna yang sangat luas. Misalnya, satu kata Arab dalam konteks Al-Qur'an seringkali tidak memiliki padanan tunggal di bahasa lain.

Ilustrasi Mushaf dan Pena: Simbol Wahyu dan Penulisan

Mushaf dan pena melambangkan pemeliharaan wahyu melalui hafalan dan penulisan.

Tantangan Unik dalam Penerjemahan Teks Suci

Penerjemahan Al-Qur'an adalah salah satu tugas penerjemahan paling sulit di dunia. Para ulama sepakat bahwa mustahil untuk menerjemahkan Al-Qur'an secara harfiah (kata per kata) tanpa kehilangan esensi maknanya. Oleh karena itu, para ulama menekankan bahwa yang diterjemahkan bukanlah *Al-Qur'an* itu sendiri, melainkan *makna* dari pesan-pesannya, atau yang sering disebut sebagai Tarjamah Ma’ani al-Qur’an.

I. Perbedaan antara Terjemah dan Tafsir

Memahami batasan antara terjemah dan tafsir sangatlah penting:

Tanpa landasan tafsir yang kuat, terjemahan dapat menjadi menyesatkan. Oleh karena itu, terjemahan modern hampir selalu disajikan dalam format dwi-bahasa (teks Arab diikuti terjemah) dan dilengkapi dengan catatan kaki yang berasal dari sumber tafsir klasik seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, atau Tafsir Al-Jalalain.

II. Problematika Kata Mutaraddif (Sinonim) dan Musytarak (Homonim)

Bahasa Arab Al-Qur'an kaya akan sinonim dan homonim yang menambah kompleksitas penerjemahan. Terjemahan yang baik harus memilih padanan kata yang paling tepat sesuai konteks syar'i:

  1. Sinonim dalam konteks syar'i: Misalnya, kata qalb (hati) dan fuaad (hati). Meskipun keduanya diterjemahkan "hati" dalam bahasa Indonesia, dalam konteks Al-Qur'an, para mufassir membedakan fungsinya; qalb seringkali merujuk pada akal dan pemahaman, sementara fuaad lebih terkait dengan emosi mendalam. Terjemahan yang gagal menangkap perbedaan nuansa ini akan kehilangan kekayaan makna teologis.
  2. Homonim dan Ambigu: Kata Ummah, misalnya, bisa berarti ‘komunitas’, ‘pemimpin’, ‘agama’, atau ‘jangka waktu’ tergantung konteks ayat. Penerjemah harus berpegangan pada kaidah tafsir untuk memilih makna yang benar.

III. Ayat-Ayat Mutasyabihat (Ambiguitas)

Al-Qur'an memuat ayat-ayat muhkamat (jelas dan pasti) dan mutasyabihat (bersifat kiasan atau maknanya hanya diketahui Allah). Ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah (sifatullah), seperti "Tangan Allah di atas tangan mereka" (QS Al-Fath: 10), merupakan tantangan besar. Penerjemah harus hati-hati agar terjemahannya tidak menyiratkan antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Dalam kasus ini, terjemahan harus bersifat netral atau mengikuti interpretasi ulama yang menghindari penafsiran literal yang dapat mengarah pada penyimpangan akidah. Di sinilah intervensi tafsir sangat dibutuhkan, seringkali diterjemahkan sebagai 'kekuasaan' atau 'pertolongan' Allah, bukan anggota fisik.

IV. Isu Kultural dan Idiom Bahasa

Banyak idiom dan praktik sosial yang disebutkan dalam Al-Qur'an spesifik pada budaya Arab abad ke-7. Menerjemahkan istilah-istilah seperti riba (bunga/usury), ghanimah (harta rampasan perang), atau iddah (masa tunggu bagi wanita) memerlukan penjelasan yang luas agar dapat dipahami oleh pembaca modern atau non-Arab. Penerjemah harus memutuskan apakah akan menggunakan transliterasi (membiarkan istilah Arab) atau mencari padanan yang tidak selalu sempurna dalam bahasa sasaran.

Ilustrasi Penerjemahan dan Komunikasi Antar Bahasa نص Teks

Proses penerjemahan membutuhkan jembatan interpretasi yang cermat antara bahasa sumber dan bahasa target.

Sejarah Panjang Terjemah Al-Qur'an di Nusantara

Sejak Islam masuk ke Kepulauan Nusantara, kebutuhan akan terjemah sudah terasa, meskipun pada awalnya proses penyebaran lebih banyak mengandalkan hafalan dan penafsiran lisan dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah lainnya. Sejarah terjemah di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca dan kemudian Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

I. Terjemah Awal dalam Bahasa Melayu Klasik

Upaya penerjemahan paling awal yang terdokumentasi berasal dari abad ke-17. Salah satu karya monumental adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdur Rauf Singkil (w. 1693 M). Meskipun berbentuk tafsir, karya ini pada dasarnya adalah terjemah makna Al-Qur'an secara menyeluruh ke dalam bahasa Melayu. Metode yang digunakan Syekh Singkil cenderung mengadopsi penafsiran dari ulama-ulama Timur Tengah, menjadikannya rujukan standar selama berabad-abad.

Pada periode ini, terjemah seringkali disisipkan di antara baris-baris teks Arab dalam manuskrip. Tujuannya bukan untuk menggantikan mushaf, tetapi untuk membantu santri dan ulama lokal memahami makna dasar sebelum masuk ke kajian tafsir yang lebih mendalam.

II. Peran Penerjemahan di Era Kolonial dan Kemerdekaan

Memasuki abad ke-20, kebutuhan akan terjemah yang dicetak massal dan lebih sistematis muncul, didorong oleh semangat nasionalisme dan reformasi Islam. Tokoh-tokoh seperti H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) mengambil peran penting.

III. Proyek Terjemah Standardisasi oleh Kemenag

Terjemah Kemenag telah melalui beberapa kali revisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan bahasa Indonesia dan memperkaya catatan kaki tafsirnya. Revisi ini penting karena:

  1. Akurasi Bahasa: Memperbarui pilihan kata agar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan perkembangan leksikon Bahasa Indonesia.
  2. Keseimbangan Tafsir: Memperkuat landasan tafsir dengan merujuk kepada sumber-sumber yang lebih beragam, termasuk pandangan ulama kontemporer, sambil tetap memegang teguh pada tafsir klasik (bil ma’tsur).
  3. Aksesibilitas: Menjadikan terjemahan ini sebagai basis untuk distribusi massal, baik dalam bentuk cetak maupun digital, menjadikannya terjemahan yang paling banyak digunakan oleh Muslim Indonesia.

Upaya standardisasi ini menunjukkan kesadaran kolektif bahwa terjemahan harus dipandang sebagai produk komunal dan bukan individu, untuk menjaga otoritas dan kredibilitasnya di mata publik.

Metodologi dan Aliran dalam Penerjemahan Makna Al-Qur'an

Penerjemahan adalah proses interpretasi, dan seperti interpretasi lainnya, ia melibatkan pilihan metodologi yang berbeda. Secara garis besar, pendekatan terjemahan Al-Qur'an dapat dibagi menjadi dua mazhab utama, meskipun para penerjemah modern seringkali menggabungkan keduanya untuk menghasilkan terjemahan yang paling efektif.

I. Tarjamah Harfiyyah (Terjemah Literal)

Metode ini berupaya sedekat mungkin mencocokkan kata Arab dengan padanan kata dalam bahasa sasaran. Keunggulan metode ini adalah kemampuannya mempertahankan struktur sintaksis asli sejauh mungkin.

II. Tarjamah Ma’nawiyyah (Terjemah Maknawi/Idiomatik)

Ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam penerjemahan Al-Qur'an ke bahasa modern. Fokusnya adalah pada penyampaian makna umum atau pesan yang dimaksud (al-ma'na al-mujmal) dalam bahasa yang alami dan mengalir bagi pembaca sasaran, meskipun harus mengorbankan struktur kalimat asli.

Untuk mengatasi kekurangan ini, terjemah maknawi selalu didukung oleh sistem catatan kaki (hawasyi) yang merujuk kembali kepada tafsir otoritatif, memastikan bahwa kebebasan dalam pemilihan kata tidak menyimpang dari akidah yang benar.

III. Pendekatan Kontemporer: Terjemah Komprehensif

Sebagian besar terjemahan modern Indonesia, termasuk terbitan Kemenag, menggunakan pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan berbagai elemen:

A. Pendekatan Tekstual-Kontektual

Penerjemah tidak hanya melihat makna kata dalam kamus (tekstual) tetapi juga melihat konteks ayat tersebut diturunkan (kontektual/asbabun nuzul). Pemahaman tentang sejarah dan situasi sosio-politik Mekkah dan Madinah sangat penting untuk menentukan padanan kata yang tepat. Contoh klasik adalah ayat-ayat jihad, yang makna terjemahannya akan sangat berbeda jika dilihat dari konteks awal perang defensif vs. ekspansi dakwah.

B. Pendekatan Semantik

Metode ini, dipopulerkan oleh sarjana kontemporer, berfokus pada analisis mendalam terhadap bidang makna (semantic field) dari istilah-istilah kunci Al-Qur'an. Ini memastikan bahwa sebuah kata diterjemahkan secara konsisten di seluruh mushaf, atau jika makna berubah, perubahannya dapat dibenarkan oleh konteks linguistik yang kuat. Misalnya, menelusuri bagaimana kata kufur (ingkar) digunakan dalam berbagai Surah untuk melihat apakah ia merujuk pada ketidakpercayaan total, atau hanya pada rasa tidak bersyukur.

Dengan menerapkan metodologi yang ketat ini, para penerjemah berusaha meminimalkan risiko subjektivitas, menjadikan terjemahan sebagai alat bantu yang sah menuju pemahaman tafsir yang lebih dalam.

Isu Filosofis dalam Penerjemahan Teks Ilahiah

Penerjemahan Al-Qur'an bukanlah sekadar latihan linguistik; ini adalah tindakan teologis yang sarat dengan implikasi filosofis mengenai sifat wahyu, otoritas, dan pemahaman ilahi. Terdapat beberapa isu filosofis mendasar yang harus dipertimbangkan oleh setiap penerjemah.

I. Batasan Otoritas Terjemah

Secara teologis, hanya Al-Qur'an dalam bahasa Arab (teks aslinya) yang dianggap sebagai kalamullah (Firman Allah) yang bersifat mukjizat. Semua terjemahan, baik literal maupun maknawi, hanyalah upaya manusia untuk memahami makna tersebut, dan karena itu, tidak memiliki status keilahian yang sama. Dalam kajian Islam, terjemahan tidak pernah digunakan sebagai dasar utama hukum (istinbath al-ahkam) tanpa merujuk kembali kepada teks Arab dan tafsirnya yang kredibel. Terjemahan hanyalah refleksi, bukan substansi.

II. Problematika Hermeneutika (Interpretasi)

Setiap bahasa memiliki kerangka hermeneutikanya sendiri—cara pandang dunia, tata nilai, dan struktur pemikiran. Ketika Al-Qur'an diterjemahkan, ia dipindahkan dari kerangka Arab-Islam klasik ke kerangka bahasa sasaran. Sebagai contoh, konsep Arab klasik tentang 'keadilan' (al-'adl) mungkin memiliki nuansa filosofis dan hukum yang berbeda dengan konsep 'justice' atau 'keadilan' dalam konteks modern atau Barat. Penerjemah harus berjuang untuk memastikan bahwa terjemahan tidak secara tidak sengaja memaksakan kerangka filosofis non-Qur'ani kepada pembaca.

Isu hermeneutika ini semakin kompleks dalam penerjemahan istilah-istilah teologis:

III. Konsistensi Terminologi Fiqih

Dalam penerjemahan yang bertujuan untuk memudahkan ibadah dan hukum (fiqih), konsistensi terminologi sangat vital. Istilah-istilah fiqih seperti wudhu, shalat, zakat, dan haji umumnya dipertahankan dalam bentuk Arab (transliterasi) karena padanan kata lokal (misalnya, 'sembahyang' untuk shalat) seringkali terlalu umum atau kurang tepat secara teknis. Keputusan untuk menggunakan transliterasi atau terjemahan adalah keputusan filosofis tentang apakah tujuan terjemahan adalah pengajaran (didaktik) atau pemahaman umum (komunikatif).

IV. Menghindari Bias Ideologis

Tantangan filosofis terbesar dalam konteks kontemporer adalah menghindari bias ideologis. Penerjemah, sebagai manusia, membawa latar belakang mazhab, politik, dan sosial mereka. Sejarah mencatat adanya terjemahan yang cenderung memihak pada pandangan teologis tertentu (misalnya, Mu'tazilah, Salafi, atau Sufi). Oleh karena itu, terjemahan yang otoritatif, seperti proyek Kemenag, selalu melibatkan tim besar dari berbagai latar belakang ulama untuk menetralisir bias dan mencapai terjemahan yang bersifat moderat dan diterima secara luas (wasathiyyah).

Peran Terjemah Al-Qur'an di Era Digital dan Kontemporer

Di masa kini, aksesibilitas terhadap terjemahan telah meningkat pesat berkat teknologi digital. Namun, peningkatan akses ini membawa implikasi baru, baik positif maupun negatif, terhadap pemahaman Islam di kalangan umat.

I. Digitalisasi dan Akses Global

Terjemahan kini tersedia dalam berbagai aplikasi, situs web, dan format e-book, memungkinkan miliaran orang mengakses Al-Qur'an dan maknanya di ujung jari mereka. Keunggulan digitalisasi meliputi:

Meskipun demikian, digitalisasi juga memunculkan risiko penyebaran terjemahan yang tidak diverifikasi atau bias, yang memerlukan edukasi publik tentang pentingnya merujuk pada terjemahan resmi yang sudah melalui proses validasi ulama.

II. Terjemahan untuk Tujuan Pendidikan dan Da’wah

Di sekolah, madrasah, dan majelis taklim, terjemahan Al-Qur'an memainkan peran sentral dalam pendidikan agama. Para pendidik menggunakan terjemahan sebagai dasar untuk memperkenalkan konsep-konsep dasar Islam kepada generasi muda yang mungkin tidak memiliki akses ke studi bahasa Arab yang mendalam.

Dalam konteks dakwah, terjemahan adalah jembatan komunikasi utama. Para dai di wilayah non-Muslim atau di daerah pelosok yang mayoritas penduduknya non-Arab sangat bergantung pada terjemahan yang akurat dan mudah dicerna untuk menyampaikan pesan tauhid dan akhlak Islam.

III. Tuntutan Penerjemahan Multibahasa

Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman etnis dan bahasa yang luar biasa, menghadapi tantangan untuk menyediakan terjemahan tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa-bahasa daerah. Proyek terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya adalah upaya mulia untuk melestarikan bahasa lokal sekaligus mendekatkan firman Allah kepada masyarakat adat, memastikan bahwa pesan Al-Qur'an tidak terhalang oleh perbedaan linguistik internal.

Upaya ini memerlukan keahlian ganda: penguasaan bahasa Arab dan kaidah tafsir, serta kefasihan mendalam dalam bahasa daerah target, termasuk idiom dan struktur budayanya. Terjemahan ke bahasa daerah seringkali harus lebih interpretatif (Ma’nawiyyah) karena perbedaan struktural bahasa yang sangat jauh dari bahasa Arab.

IV. Menerjemahkan Kembali Ayat-Ayat Kontroversial

Dalam wacana global, beberapa ayat Al-Qur'an sering disalahgunakan atau disalahartikan. Penerjemah kontemporer memiliki tanggung jawab etis untuk memastikan bahwa terjemahan mereka tidak mendukung interpretasi ekstremis atau kekerasan. Hal ini tidak berarti mengubah teks aslinya, melainkan memastikan bahwa catatan kaki tafsir memberikan konteks yang benar, mengklarifikasi bahwa banyak ayat yang terkait dengan perang atau hukuman hanya berlaku di bawah kondisi syar’i yang sangat spesifik, dan menekankan bahwa Islam adalah agama rahmat (kasih sayang).

Oleh karena itu, penerjemahan makna Al-Qur'an harus terus-menerus direvisi dan diperbarui, tidak karena teks Arabnya berubah, tetapi karena kebutuhan umat dan tantangan pemahaman di setiap zaman terus berkembang.

Studi Kasus: Kompleksitas Penerjemahan Istilah Inti Al-Qur'an

Untuk mengilustrasikan kompleksitas yang dibahas sebelumnya, mari kita telaah beberapa istilah inti Al-Qur'an yang sangat sulit untuk diterjemahkan hanya dengan satu kata dalam bahasa Indonesia.

I. Kata Islam dan Iman

Dua kata ini sering diterjemahkan secara sederhana sebagai 'agama Islam' dan 'kepercayaan'. Namun, secara semantik, maknanya jauh lebih kaya:

Penerjemah harus memilih kata yang netral (seperti "beriman" atau "kepercayaan") tetapi kemudian harus mengandalkan catatan kaki yang sangat rinci untuk menjelaskan dimensi spiritual dan legal dari istilah-istilah ini.

II. Konsep Ihsan dan Taqwa

Kedua konsep ini berada di puncak hierarki etika dan spiritual Islam, dan padanannya dalam bahasa Indonesia sangat terbatas:

A. Ihsan: Kesempurnaan Ibadah

Didefinisikan Nabi Muhammad ﷺ sebagai "engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Terjemahan sederhana seperti "berbuat baik" sangat mereduksi makna ini. Dalam terjemahan, ihsan seringkali harus diterjemahkan sebagai 'berbuat kebaikan yang sempurna' atau 'melakukan ibadah dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah'.

B. Taqwa: Kesadaran Ilahi

Seperti disebutkan sebelumnya, taqwa bukan hanya takut. Akar katanya, W-Q-Y, berarti 'menjaga diri' atau 'melindungi'. Secara teologis, ini adalah tindakan menjaga diri dari murka Allah dengan mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Penerjemah modern sering memilih frasa yang lebih panjang, seperti 'ketakwaan dan ketaatan' atau 'kesadaran akan Allah', untuk menangkap kompleksitas ini.

III. Ayat-Ayat Fikih dan Legalitas

Ayat-ayat yang membahas hukum waris atau pernikahan (misalnya, Surah An-Nisa’) memerlukan kehati-hatian ekstrem. Penerjemahan harus tepat dan tidak boleh menimbulkan ambiguitas hukum. Penerjemah harus memiliki pemahaman mendalam tentang terminologi fiqih mazhab yang dominan di wilayah sasaran. Misalnya, penerjemahan kata wali dalam konteks pernikahan harus konsisten dengan pemahaman syariat, yang mungkin berbeda dari pengertian wali dalam konteks umum ('penjaga' atau 'orang suci').

Dalam semua kasus ini, peran terjemahan hanya sebagai indikator awal. Pemahaman yang sejati terhadap ayat-ayat ini harus dicari melalui tafsir yang mendalam, menjadikan Al-Qur'an dan terjemahnya sebagai pasangan yang tidak terpisahkan dalam studi Islam.

Penutup: Terjemahan sebagai Jembatan menuju Pemahaman Ilahi

Al-Qur'an dan terjemahnya adalah dua entitas yang saling melengkapi namun memiliki status teologis yang berbeda. Al-Qur'an adalah firman Allah yang mutlak dalam bahasa Arab, kekal dan tak tertandingi; sedangkan terjemahnya adalah upaya manusia, terbatas oleh keterbatasan bahasa, untuk menyampaikan pesan suci tersebut kepada khalayak yang lebih luas.

Sejarah penerjemahan di Indonesia, yang dipelopori oleh ulama-ulama klasik hingga proyek standardisasi Kemenag, menunjukkan komitmen umat Islam Nusantara untuk memastikan bahwa setiap Muslim dapat merasakan cahaya wahyu, terlepas dari latar belakang linguistik mereka. Upaya ini bukan hanya tentang memindahkan kata, tetapi tentang memelihara pesan, mempertahankan akidah, dan menghubungkan hati miliaran Muslim dengan sumber petunjuk utama mereka.

Tantangan penerjemahan akan terus ada, terutama di era digital di mana informasi—dan disinformasi—menyebar dengan cepat. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk selalu menggunakan terjemahan yang kredibel, yang disajikan bersama teks Arab, dan yang dilengkapi dengan catatan kaki tafsir yang otoritatif. Dengan demikian, terjemahan berfungsi sebagai jembatan yang kokoh, mengarahkan pembaca dari bahasa yang asing menuju pemahaman yang otentik dan penghayatan yang mendalam terhadap ajaran Islam.

Studi terhadap Al-Qur'an dan terjemahnya adalah perjalanan spiritual dan intelektual tanpa akhir, sebuah bukti akan kekayaan dan kedalaman yang tiada tara dari kalamullah yang abadi.

🏠 Homepage