Ketika berbicara tentang Islam, terkadang muncul ungkapan bahwa Islam terbagi menjadi dua. Ungkapan ini seringkali menimbulkan pertanyaan dan bahkan kesalahpahaman. Namun, penting untuk dipahami bahwa "terbagi menjadi dua" dalam konteks ini bukanlah berarti perpecahan fundamental dalam akidah atau ajaran pokok Islam. Sebaliknya, ia merujuk pada dua aliran utama yang berkembang seiring sejarah dan interpretasi para ulama, yaitu Sunni dan Syiah.
Representasi visual dua cabang utama dalam Islam.
Perbedaan antara Sunni dan Syiah berakar pada peristiwa sejarah pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan mengenai siapa yang berhak memimpin umat Islam selanjutnya menjadi titik sentral perdebatan. Mayoritas sahabat Nabi berpandangan bahwa kepemimpinan hendaknya diserahkan kepada orang yang paling mampu secara moral dan spiritual, yang kemudian memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Golongan ini kemudian dikenal sebagai ahlus sunnah wal jama'ah atau Sunni, yang berarti "pendukung sunnah dan komunitas". Mereka menekankan pentingnya mengikuti sunnah (tradisi) Nabi Muhammad SAW dan ijma' (konsensus) para sahabat.
Di sisi lain, sebagian sahabat berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya dipegang oleh keluarga Nabi SAW, khususnya Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sepupu dan menantu Nabi. Golongan ini kemudian dikenal sebagai Syiah Ali, yang berarti "pengikut Ali". Seiring waktu, pandangan ini berkembang menjadi interpretasi yang lebih luas mengenai kepemimpinan spiritual dan politik, yang mereka yakini harus tetap berada dalam garis keturunan Nabi SAW melalui Ali dan para Imam yang ditunjuk.
Meskipun memiliki dasar akidah yang sama, yaitu keesaan Allah SWT (Tauhid), kenabian Muhammad SAW, dan Al-Qur'an sebagai kitab suci, Sunni dan Syiah memiliki beberapa perbedaan dalam aspek hukum (fiqh) dan praktik keagamaan. Perbedaan ini umumnya muncul dari sumber-sumber hukum yang mereka rujuk dan interpretasi terhadapnya.
Dalam hukum Islam, Sunni umumnya merujuk pada Al-Qur'an, Sunnah Nabi (yang diriwayatkan melalui jalur yang luas), ijma' sahabat, dan qiyas (analogi). Mereka memiliki empat mazhab fiqh yang utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara itu, Syiah, selain merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, juga memberikan otoritas tinggi pada ajaran para Imam mereka yang dianggap maksum (terjaga dari dosa). Terdapat beberapa aliran fiqh dalam Syiah, dengan yang paling dominan adalah mazhab Ja'fari.
Perbedaan praktik lainnya dapat terlihat dalam beberapa ritual, seperti cara berwudhu, cara shalat (terutama mengangkat tangan dan penempatan dahi saat sujud), serta dalam perayaan hari-hari besar. Syiah, misalnya, memiliki perhatian khusus pada peringatan Asyura untuk mengenang kesyahidan Imam Husain bin Ali. Namun, penting untuk dicatat bahwa banyak amalan dasar Islam, seperti puasa Ramadhan, kewajiban shalat lima waktu, dan ibadah haji, dilakukan oleh kedua belah pihak dengan semangat yang sama.
Penting untuk menekankan bahwa kesamaan antara Sunni dan Syiah jauh lebih banyak dan mendasar daripada perbedaannya. Keduanya meyakini rukun iman dan rukun Islam. Keduanya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Keduanya berupaya untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Perbedaan yang ada lebih bersifat ijtihadi (hasil dari upaya memahami dan menafsirkan) dan tidak mengurangi esensi keislaman seseorang.
Dalam dunia modern, diskusi mengenai perbedaan ini hendaknya dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan kedamaian. Tujuan utamanya adalah untuk saling memahami, menghormati, dan menjaga ukhuwah Islamiyah. Dengan mengenali akar sejarah dan perbedaan spesifiknya, kita dapat melihat bahwa "Islam terbagi menjadi dua" lebih merupakan gambaran keragaman dalam interpretasi dan praktik keagamaan, bukan perpecahan doktrin yang mengoyak pondasi keimanan.