Surat Al-Fil, surah ke-105 dalam Al-Qur'an, adalah permata singkat namun penuh makna yang diturunkan di Mekah (Makkiyah). Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, surah ini menyimpan kisah sejarah yang monumental, yang tidak hanya menegaskan kemahakuasaan Allah SWT, tetapi juga berfungsi sebagai tonggak penting dalam sejarah Jazirah Arab, mendahului kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Surat Al-Fil secara harfiah berarti "Gajah". Kisah yang diabadikan di dalamnya adalah peristiwa dramatis yang dikenal sebagai 'Amul Fil (Tahun Gajah), sebuah upaya militer yang gagal total untuk menghancurkan Ka'bah, Rumah Suci Allah di Mekah. Studi mendalam terhadap kandungan surat ini membuka jendela menuju pemahaman teologis, historis, dan spiritual yang kompleks, menawarkan pelajaran abadi mengenai keangkuhan, perlindungan Ilahi, dan kekalahan mutlak bagi mereka yang menentang kehendak-Nya.
Surah ini mengajukan pertanyaan retoris kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia, mendorong mereka untuk merenungkan keajaiban yang terjadi di depan mata generasi Mekah pertama.
Peristiwa yang diceritakan dalam Surah Al-Fil terjadi sekitar tahun 570 M, yang mana merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kisah ini berpusat pada seorang raja dari Yaman yang bernama Abraha al-Ashram, yang merupakan seorang gubernur Kristen di bawah kekuasaan Kekaisaran Aksum (Ethiopia).
Abraha membangun sebuah katedral megah di Sana'a, Yaman, yang ia harapkan dapat mengalihkan fokus ibadah dan perdagangan haji dari Ka'bah di Mekah. Usaha ini gagal total karena orang Arab tetap menghormati Ka'bah. Karena geram, dan setelah insiden perusakan gerejanya oleh orang-orang Arab, Abraha bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah sepenuhnya.
Abraha memimpin pasukan besar yang mencakup gajah-gajah perang, sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat oleh orang-orang Arab saat itu. Gajah-gajah tersebut, khususnya gajah pemimpin yang bernama Mahmud, merupakan simbol kekuatan militer tak tertandingi. Orang-orang Quraisy, yang dipimpin oleh Abdul Muthalib (kakek Nabi), menyadari ketidakmampuan mereka melawan kekuatan sebesar itu. Abdul Muthalib hanya memohon perlindungan kepada Allah dan memerintahkan penduduk Mekah untuk mengungsi ke bukit-bukit sekitarnya, meninggalkan Ka'bah di bawah penjagaan Tuhan.
Ketika pasukan Abraha mendekati Mekah, mukjizat terjadi. Gajah-gajah itu menolak bergerak maju menuju Ka'bah, meskipun dipukul dan diancam. Namun, ketika gajah itu diarahkan ke Yaman atau arah lainnya, ia bergerak dengan cepat. Hal ini menunjukkan tanda awal intervensi Ilahi yang menghentikan rencana penyerangan tersebut.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang komprehensif, kita harus menelaah setiap kata dan frasa dalam surah ini, menggali interpretasi dari ulama tafsir klasik dan modern.
Frasa "أَلَمْ تَرَ" (Alam Tara), yang berarti "Tidakkah engkau melihat/memperhatikan?", bukanlah sekadar ajakan untuk melihat dengan mata kepala, melainkan seruan untuk mengetahui, memahami, dan merenungkan. Karena peristiwa ini terjadi sebelum kelahiran Nabi atau di tahun kelahirannya, banyak mufassir (penafsir) seperti Imam At-Tabari, menjelaskan bahwa 'melihat' di sini berarti 'mengetahui secara pasti' melalui transmisi berita yang sahih dan mutawatir (terus menerus dan tak terbantahkan) di kalangan penduduk Mekah.
Kata "كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ" (Kayfa fa'ala Rabbuka) menyoroti cara (bagaimana) Tuhan bertindak. Penggunaan nama Rabbuka (Tuhanmu), merujuk secara khusus kepada Allah sebagai Pencipta dan Pengatur, menekankan hubungan khusus antara Allah dan Nabi-Nya, serta kepastian bahwa tindakan ini adalah manifestasi langsung dari kekuasaan Ilahi. Tindakan ini merupakan bukti nyata bahwa Ka'bah berada di bawah perlindungan eksklusif-Nya, jauh dari campur tangan manusia.
"بِأَصْحَابِ الْفِيلِ" (bi Ashabil Fil), merujuk pada "pemilik gajah" atau "pasukan gajah." Gajah disebutkan secara spesifik karena mereka adalah inti dari kekuatan militer dan simbol keangkuhan Abraha. Dengan menyebut mereka berdasarkan simbol kekuatan mereka, Allah menekankan bahwa kekuatan terbesar yang pernah mereka bawa pun tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak-Nya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penggunaan 'Alam Tara' seringkali dalam Al-Qur'an ditujukan untuk hal-hal yang diketahui secara umum oleh masyarakat, bahkan jika orang yang ditanya belum menyaksikannya secara langsung. Bagi orang Quraisy, peristiwa ini adalah kebanggaan dan peninggalan sejarah yang dekat. Ini adalah fakta sejarah yang begitu kuat, sehingga ia memiliki dampak visual dan emosional seolah-olah mereka benar-benar melihatnya. Ini juga merupakan peringatan kepada Quraisy (yang kemudian menolak Nabi) bahwa jika Allah mampu menghancurkan Abraha yang jauh lebih kuat, Dia pasti mampu menghukum mereka.
Ayat ini berfokus pada hasil dari tindakan Allah: pembatalan rencana musuh. "كَيْدَهُمْ" (Kaydahum) berarti 'tipu daya', 'konspirasi', atau 'rencana jahat'. Rencana Abraha bukan sekadar menyerang, tetapi menggusur pusat spiritual Arab dan menggantinya dengan katedralnya sendiri. Ini adalah tipu daya besar terhadap eksistensi agama tauhid di masa depan.
Frasa "فِي تَضْلِيلٍ" (fi Tadhliil) berarti 'dalam kesia-siaan', 'kekeliruan total', atau 'ketersesatan'. Allah menjadikan seluruh perencanaan, mobilisasi logistik, dan pengerahan kekuatan militer besar-besaran itu berujung pada kesesatan dan kegagalan total. Tidak hanya gagal, tetapi kegagalan itu terjadi secara spektakuler, yang mempermalukan dan melumpuhkan mereka tanpa campur tangan militer manusia.
Ini adalah pelajaran teologis yang penting: kekuatan materi, bahkan yang didukung oleh teknologi dan jumlah yang superior (gajah), tidak dapat mengalahkan tujuan Ilahi. Ketika seseorang merencanakan kejahatan terhadap kesucian agama Allah, hasil akhirnya pasti adalah kesia-siaan, karena Allah adalah sebaik-baik perencana.
Mufassir kontemporer sering menekankan bahwa penyesatan ini dimulai sejak gajah pemimpin (Mahmud) berlutut dan menolak bergerak menuju Ka'bah, menandakan bahwa niat jahat itu telah dihentikan bahkan sebelum serangan fisik dimulai.
Setelah rencana militer Abraha lumpuh, tiba saatnya eksekusi hukuman Ilahi. "وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ" (Wa arsala 'alayhim), 'Dan Dia mengirimkan kepada mereka', menunjukkan bahwa tindakan ini adalah respon langsung dari Allah. Hukuman ini datang dari sumber yang paling tidak terduga dan lemah di mata manusia: burung.
Kata kunci di sini adalah "طَيْرًا أَبَابِيلَ" (Thoyron Ababil).
طَيْرًا (Thoyron) berarti burung.
أَبَابِيلَ (Ababil) adalah subjek diskusi linguistik yang mendalam. Mayoritas ulama sepakat bahwa Ababil bukanlah nama jenis burung tertentu, melainkan deskripsi dari cara mereka datang.
1. Berbondong-bondong/Berombongan: Ini adalah makna yang paling umum. Ababil menggambarkan kawanan burung yang datang dari segala arah dalam jumlah yang sangat besar, secara berkelompok dan teratur, seolah-olah diorganisir untuk sebuah misi. Ini menekankan aspek keajaiban formasi militer alami yang diciptakan oleh Allah.
2. Bentuk Ganda/Majemuk: Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa Ababil tidak memiliki bentuk tunggal dalam bahasa Arab klasik yang umum digunakan. Ini menyiratkan bahwa mereka hanyalah "sekumpulan besar makhluk bersayap" yang mustahil dihitung atau dilawan oleh manusia. Penggambaran ini meningkatkan rasa takjub dan kengerian bagi pasukan Abraha.
3. Implikasi Teologis: Pengiriman makhluk sekecil burung untuk menghancurkan kekuatan gajah adalah manifestasi sempurna dari keagungan Allah. Itu menunjukkan bahwa Allah tidak memerlukan senjata canggih atau kekuatan manusia; Dia menggunakan makhluk termungil untuk menjatuhkan yang terbesar dan terangkuh, meruntuhkan konsep kekuatan material sepenuhnya.
Kehadiran Burung Ababil menandai dimulainya fase kehancuran fisik, yang menjadi bukti nyata (hujjah) bagi orang-orang Mekah bahwa Ka'bah dilindungi oleh kekuatan yang tidak dapat dibayangkan.
Ayat ini menjelaskan fungsi burung-burung tersebut dan sifat dari senjata yang mereka bawa. "تَرْمِيهِمْ" (Tarmiihim) berarti 'melempari mereka', menunjukkan aksi penyerangan yang terarah dan tepat.
Inti dari ayat ini adalah "بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ" (bi hijaaratin min sijjiil), yaitu 'dengan batu dari Sijjil'. Batu-batu ini bukan batu biasa.
Para mufassir memiliki beberapa interpretasi mengenai sifat Sijjil, namun semuanya mengarah pada sifat supernatural dan mematikan:
1. Tanah Liat yang Terbakar (Baked Clay/Fire-Hardened): Mayoritas penafsir, termasuk Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Abbas, menafsirkan Sijjil sebagai batu yang terbuat dari tanah liat yang telah dibakar hingga sangat keras. Ini mirip dengan "batu tanah liat yang dibakar" yang disebutkan dalam kisah kaum Nabi Luth. Panasnya pembakaran memberikan batu-batu ini kekuatan mematikan yang tidak dimiliki oleh batu biasa.
2. Gabungan Bahasa: Sebagian ulama berpendapat Sijjil adalah kata yang diarabkan dari bahasa Persia yang berarti "batu dan lumpur." Namun, penafsiran yang lebih kuat mengaitkannya dengan Sijjill, yaitu kitab catatan atau ketetapan, yang menyiratkan bahwa batu-batu tersebut merupakan hukuman yang telah ditetapkan dan dicatat oleh Allah.
3. Keefektifan dan Sasaran: Riwayat menyebutkan bahwa setiap burung membawa tiga batu: satu di paruhnya dan dua di cakarnya. Batu-batu ini sangat kecil, namun daya hancurnya luar biasa. Dikisahkan bahwa batu tersebut menembus bagian atas tubuh prajurit, keluar dari bagian bawah, menghancurkan mereka secara internal, seolah-olah batu tersebut memiliki suhu atau radiasi yang menghancurkan materi biologis.
Peristiwa ini adalah demonstrasi kekalahan teknologi militer oleh kekuatan mikro Ilahi. Pasukan gajah yang berlapis baja dihancurkan oleh objek yang lebih kecil dari kerikil, menegaskan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ukuran atau jumlah, melainkan pada izin Allah.
Ayat penutup ini merangkum konsekuensi total dari hukuman tersebut. "فَجَعَلَهُمْ" (Fa ja'alahum), 'Lalu Dia menjadikan mereka', menunjukkan perubahan total dan instan dalam kondisi pasukan Abraha.
Frasa kunci "كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ" (ka'ashfin ma'kuul), 'seperti daun yang dimakan', adalah metafora kehancuran yang sangat kuat dan efektif dalam budaya Arab.
1. 'Ashfin: Merujuk pada daun atau batang tanaman biji-bijian (seperti gandum atau padi) yang telah dipanen. Ini adalah residu kering, sisa yang tidak berharga.
2. Ma'kuul: Berarti 'dimakan' atau 'dikunyah'. Ini merujuk pada jerami atau sisa makanan ternak yang telah dikunyah dan diinjak-injak, atau daun yang telah rusak dan berlubang karena dimakan ulat atau hama.
Metafora ini menyiratkan kehancuran total. Para prajurit perkasa dan gajah-gajah raksasa berubah menjadi massa yang hancur, tidak berdaya, dan tidak berbentuk, mirip dengan ampas makanan yang telah dicerna dan dibuang. Ini bukan hanya kematian, tetapi dehumanisasi dan penghinaan total terhadap keangkuhan mereka. Seluruh kekuatan mereka terurai dan hilang nilai kemanusiaannya dalam sekejap.
Pelajaran dari ayat ini adalah finalitas hukuman Allah. Ketika Allah memutuskan untuk menghukum, tidak ada sisa-sisa kemuliaan atau kekuatan yang tersisa bagi orang-orang yang sombong. Mereka dihancurkan sedemikian rupa sehingga menjadi pelajaran abadi bagi generasi berikutnya.
Surat Al-Fil tidak hanya menceritakan sejarah; ia adalah salah satu bukti paling kuat akan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan sifat tak terkalahkan dari perlindungan Ilahi.
Peristiwa Tahun Gajah berfungsi sebagai ‘mukaddimah’ (pendahuluan) bagi misi kenabian Muhammad SAW. Allah melindungi Ka'bah bukan demi bangsa Quraisy yang saat itu masih menyembah berhala, melainkan demi tempat suci itu sendiri, yang akan segera menjadi pusat ajaran Tauhid. Peristiwa ini membersihkan panggung sejarah dari ancaman besar sebelum utusan terakhir-Nya lahir dan mulai berdakwah.
Ketika Nabi Muhammad memulai dakwahnya, orang-orang Mekah tidak dapat membantah cerita Surah Al-Fil. Mereka hidup di antara para saksi mata dan sisa-sisa peristiwa tersebut. Hal ini memberikan kredibilitas awal yang tak terbantahkan pada setiap pesan yang disampaikan oleh Nabi, karena ia merujuk pada campur tangan Ilahi yang nyata dan baru terjadi.
Peristiwa ini mengajarkan kepada umat Islam nilai tertinggi dari tawakkal. Abdul Muthalib, kakek Nabi, mengakui ketidakmampuan fisik untuk melawan. Ia menarik pasukannya dan berkata, "Rumah ini memiliki Tuhannya yang akan melindunginya." Tindakan ini menjadi model sempurna bagi seorang mukmin: melakukan apa yang kita mampu (mengungsi), dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah (tawakkal).
Ketika kekuatan manusia berakhir, kekuatan Ilahi dimulai. Surat Al-Fil menegaskan bahwa dalam menghadapi ancaman yang melebihi kemampuan kita, satu-satunya perlindungan adalah berlindung di bawah naungan kekuasaan Allah SWT.
Keajaiban Surah Al-Fil terletak pada kontras yang ekstrem antara penyerang dan eksekutor hukuman:
Kontras ini adalah pesan abadi bahwa kekuatan yang sesungguhnya ada pada Allah, bukan pada perhitungan fisik atau material. Allah menggunakan hal-hal yang paling tidak terduga untuk mencapai tujuan-Nya, menegaskan kebebasan-Nya dari keterbatasan hukum alam yang dipahami manusia.
Kepadatan makna dalam lima ayat ini merupakan contoh luar biasa dari Balaghah (retorika) Al-Qur'an, yang menggunakan diksi dan struktur kalimat untuk menciptakan dampak yang maksimal.
Ayat 1 dan 2 (Alam tara dan Alam yaj'al) menggunakan pertanyaan negatif. Dalam bahasa Arab, pertanyaan negatif berfungsi sebagai penegasan yang kuat. Ini berarti: "Tentu saja kamu tahu!" atau "Tidakkah sudah jelas?" Penggunaan ini membuat pendengar tidak mungkin menyangkal atau meragukan kebenadian cerita tersebut, karena ia adalah fakta yang sudah mendarah daging dalam kesadaran sosial mereka.
Surah ini mengikuti struktur logis yang sempurna dalam menceritakan sebuah peristiwa:
Urutan ini membangun ketegangan dan mencapai klimaks pada penghinaan terakhir, memberikan dampak psikologis yang mendalam.
Pilihan kata Kayd (tipu daya) daripada kata yang lebih umum untuk 'serangan' (misalnya ghazw) menunjukkan bahwa tindakan Abraha lebih dari sekadar pertempuran. Ini adalah plot jahat yang terencana dengan hati-hati untuk merusak fondasi spiritual dan ekonomi suatu bangsa. Dengan menyebutnya 'tipu daya', Al-Qur'an merendahkan motif Abraha dan menegaskan bahwa ia bukan hanya seorang penyerang, tetapi seorang konspirator.
Memahami Surah Al-Fil memerlukan analisis mendalam terhadap beberapa kata kunci yang memiliki kedalaman etimologis luar biasa dalam bahasa Arab.
Kata Fil (Gajah) dalam Surah ini adalah penamaan unik. Gajah bukanlah hewan yang lazim di Jazirah Arab. Kehadirannya menunjukkan kekuatan asing, kekayaan, dan superioritas teknologi militer dari pihak Abraha. Penamaan surah berdasarkan 'gajah' adalah sebuah marker historis yang menegaskan bahwa peristiwa ini unik, yang membedakannya dari semua konflik lainnya yang pernah terjadi di Mekah.
Surah ini tidak dinamai berdasarkan Ka'bah yang dilindungi, tetapi berdasarkan simbol kekuatan yang dikalahkan, untuk menunjukkan kepada manusia di mana kekuatan sejati berada.
Sebagaimana disebutkan, Sijjil sering dikaitkan dengan hukuman Ilahi. Dalam konteks yang lebih luas, Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai batu yang dicatat. Penafsiran ini mengaitkan hukuman tersebut dengan Lauhul Mahfuzh (Lempeng yang Terpelihara), yang berarti kehancuran pasukan Abraha adalah takdir yang telah tertulis dan tidak terhindarkan.
Beberapa penafsiran modern, meskipun minoritas, mencoba mengaitkan Sijjil dengan fenomena alam, seperti meteorit atau batu vulkanik yang keras, namun interpretasi klasik yang menyatakan bahwa batu itu datang dari 'alam lain' (tanah liat yang dibakar secara Ilahi) tetap menjadi pandangan dominasi, karena peristiwa ini harus dipandang sebagai mukjizat luar biasa yang melampaui kemampuan alam biasa.
Metafora ini melampaui gambaran visual. Ketika suatu benda dimakan, ia dicerna, dan yang tersisa hanyalah kotoran. Menggunakan metafora 'jerami yang dikunyah' menyiratkan bahwa pasukan besar itu tidak hanya mati, tetapi mereka menjadi tidak berguna, terurai, dan direduksi menjadi sesuatu yang lebih rendah dari manusia—bahan sisa yang dibuang. Ini adalah hukuman yang membawa penghinaan sempurna (Ihanah) bagi kesombongan mereka.
Analogi ini juga menciptakan citra visual yang mengerikan bagi orang-orang Quraisy: tubuh-tubuh yang compang-camping, berlubang, dan hancur, menyerupai sisa-sisa tanaman yang telah dilumat oleh hama atau ternak, meninggalkan kesan yang tidak terlupakan.
Kandungan Surat Al-Fil menawarkan banyak pelajaran abadi yang relevan bagi kehidupan setiap muslim, melampaui konteks sejarahnya.
Surah ini mengajarkan kita untuk selalu mengingat nikmat perlindungan Allah. Jika Allah telah melindungi sebuah bangunan (Ka'bah) demi misi masa depan, maka Dia pasti akan melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman ketika mereka menghadapi kesulitan yang melampaui kekuatan mereka.
Pelajaran terpenting di sini adalah bahwa segala sesuatu yang kita cintai, baik itu keluarga, harta, atau lembaga agama, berada di bawah kendali mutlak Allah. Ketika kita berada dalam kebenaran, kita harus percaya bahwa Allah akan memberikan perlindungan dengan cara yang paling ajaib sekalipun.
Kisah Abraha adalah kisah klasik tentang keangkuhan. Ia dikuasai oleh rasa superioritas, didorong oleh kekayaan (kekuatan militer dan gajah) dan keinginan untuk memaksakan dominasinya. Al-Qur'an secara berulang kali memperingatkan terhadap Ghurur (kesombongan/tertipu oleh diri sendiri). Abraha berpikir bahwa dengan kekuatan fisik, ia bisa mengubah takdir dan perintah Ilahi.
Surat Al-Fil berfungsi sebagai peringatan: Tidak peduli seberapa besar kekuatan, jabatan, atau kekayaan yang dimiliki seseorang atau suatu bangsa, ketika mereka bertindak dengan kesombongan dan menentang kehendak Allah, kehancuran mereka akan datang dari arah yang paling tak terduga.
Peristiwa Tahun Gajah menjadi penegasan bahwa Allah adalah Hakim Yang Maha Adil. Mereka yang menzalimi dan ingin menghancurkan simbol kebenaran akan menerima balasan yang setimpal, seringkali melalui mekanisme yang tidak pernah terpikirkan oleh akal manusia. Keyakinan ini memberikan harapan dan ketenangan bagi kaum beriman yang mungkin merasa lemah di hadapan kekuatan tirani.
Beberapa ulama kontemporer menghubungkan pesan Surah Al-Fil dengan kondisi umat Islam saat ini. Musuh Islam mungkin memiliki "gajah" modern—teknologi militer, media, atau kekuatan ekonomi—yang digunakan untuk melemahkan agama. Namun, surah ini mengajarkan bahwa selama umat beriman memegang teguh Tauhid dan tawakkal, Allah mampu mengirimkan "Ababil" modern untuk membatalkan tipu daya tersebut, mungkin dalam bentuk kelemahan internal musuh, bencana alam, atau kebangkitan spiritual yang tak terduga.
Dampak peristiwa Tahun Gajah jauh melampaui sekadar catatan sejarah. Ia membentuk kesadaran kolektif masyarakat Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam. Hal ini menjadikan Mekah sebagai kota yang 'tidak tersentuh' dan Ka'bah sebagai tempat yang sakral secara universal.
Sebelum kalender hijriah resmi, orang-orang Arab menggunakan peristiwa besar sebagai titik acuan waktu. Peristiwa Tahun Gajah (Amul Fil) begitu monumental sehingga digunakan sebagai patokan kalender. Peristiwa lain diukur berdasarkan seberapa jauh atau dekatnya dengan Tahun Gajah. Ini menunjukkan betapa peristiwa ini dianggap sebagai intervensi kosmik yang mengubah jalannya sejarah regional.
Meskipun Quraisy saat itu adalah penyembah berhala, Allah melindungi Ka'bah melalui mereka. Hal ini meningkatkan status Quraisy di mata kabilah-kabilah Arab lainnya. Mereka dipandang sebagai Ahlullah (Keluarga Allah) atau penjaga Rumah Suci, yang menyebabkan kabilah lain memberikan penghormatan dan rasa aman kepada mereka. Peningkatan status ini secara tidak langsung menyiapkan panggung bagi Nabi Muhammad, yang berasal dari Quraisy, untuk dihormati ketika ia mulai berdakwah.
Banyak penyair Arab pra-Islam mengabadikan kisah ini dalam syair-syair mereka, menegaskan kebenaran detailnya. Kisah ini menjadi pengetahuan umum yang diturunkan secara lisan (mutawatir) dari generasi ke generasi. Ketika Al-Qur'an diturunkan dan mengulang kisah ini dalam lima ayat yang singkat, ia tidak perlu menjelaskan detailnya; ia hanya perlu mengingatkan mereka tentang peristiwa yang sudah menjadi bagian dari ingatan kolektif mereka.
Untuk mencapai pemahaman yang paling luas dan mendalam mengenai surah yang ringkas ini, kita perlu kembali meneliti lebih jauh setiap diksi yang digunakan, karena dalam bahasa Arab Al-Qur'an, setiap huruf memiliki tempatnya sendiri.
Dalam ayat terakhir, فَجَعَلَهُمْ (Fa ja’alahum), huruf 'Fa' (ف) memiliki makna yang sangat penting, yaitu menunjukkan urutan yang cepat dan tanpa jeda (ta’qib). Kehancuran tersebut terjadi seketika setelah pelemparan batu Sijjil. Ini menekankan kecepatan hukuman Allah—tidak ada penundaan, tidak ada kesempatan bagi Abraha untuk merespons atau melarikan diri.
Al-Qur'an menggunakan bentuk jamak untuk "burung" (tayran) dan "batu" (hijaaratin). Penggunaan jamak ini, ditambah dengan deskripsi Ababil (berbondong-bondong), menunjukkan serangan yang masif, tersebar, dan simultan. Setiap prajurit, setiap gajah, adalah sasaran individu dari batu-batu kecil yang datang secara tak terhitung, menunjukkan ketepatan dan efisiensi hukuman Ilahi.
Surah Al-Fil menegaskan status unik Ka'bah sebagai Baytullah (Rumah Allah). Meskipun Ka'bah saat itu digunakan untuk peribadatan berhala, perlindungan Ilahi diberikan padanya karena ia didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail sebagai rumah pertama untuk Tauhid. Allah melindungi masa depan (kembalinya Tauhid) dengan menghancurkan ancaman saat ini. Ini adalah pelajaran tentang perencanaan Ilahi yang meluas ke masa depan dan visi jangka panjang bagi umat manusia.
Jika Allah melindungi sebuah batu dan bangunan, betapa lebihnya Dia akan melindungi hati dan jiwa seorang mukmin yang menjadikan hatinya sebagai tempat ibadah dan Tauhid. Perlindungan yang diberikan kepada Ka'bah adalah janji perlindungan yang lebih besar bagi prinsip-prinsip agama yang diwakilinya.
Meskipun peristiwa ini terjadi berabad-abad lalu, pelajaran dari Surah Al-Fil sangat relevan di era modern, di mana kekuatan material dan teknologi seringkali dianggap sebagai penentu tunggal kesuksesan atau dominasi.
Di dunia yang didominasi oleh kekayaan, militerisasi, dan teknologi, Surah Al-Fil mengingatkan kita bahwa ada kekuatan yang melampaui semua perhitungan fisik. Ketika kita menghadapi krisis pribadi, kesulitan ekonomi, atau penindasan, Surah Al-Fil memberikan penawar terhadap keputusasaan. Itu mengajarkan bahwa solusi dapat datang dari sumber yang paling kecil, paling lemah, atau paling tidak terduga, asalkan kita berpegang teguh pada keyakinan.
Abraha mencoba menghancurkan simbol suci. Di era modern, musuh-musuh kebenaran mungkin tidak menyerang bangunan fisik, tetapi menyerang nilai-nilai, moralitas, dan kesucian agama melalui perang ideologi, media, dan fitnah. Tugas umat Islam adalah menjaga "Ka'bah" dalam diri mereka—yaitu keyakinan (iman) mereka—dari serangan "gajah-gajah" modern (ideologi destruktif). Keyakinan bahwa Allah akan membatalkan tipu daya mereka (kaydahum fi tadhliil) harus menjadi dasar ketahanan mental dan spiritual.
Al-Qur'an menyajikan sejarah bukan sebagai kisah hiburan, tetapi sebagai peringatan (ibrah). Surah Al-Fil mengajarkan bahwa pola perilaku Allah terhadap orang-orang yang sombong dan zalim tidak pernah berubah. Mereka yang menganggap diri mereka kebal karena kekuatan materi akan menemukan kehancuran mereka datang dari hal-hal yang paling mereka anggap remeh. Ini adalah cerminan dari Hukum Ilahi yang abadi.
Surah Al-Fil, dengan lima ayatnya yang ringkas, adalah monumen spiritual dan historis yang kokoh. Ia bukan hanya menceritakan bagaimana Allah menghancurkan pasukan gajah, tetapi juga bagaimana Dia melindungi janji-Nya, membatalkan keangkuhan, dan mengajarkan umat manusia bahwa otoritas tertinggi dan tak terkalahkan hanya milik Sang Pencipta semesta alam. Setiap kata dalam surah ini adalah panggilan untuk merenungkan kebesaran Allah dan menegaskan kembali keimanan di hadapan kekuatan duniawi mana pun.