Surah Al-Lahab (Al-Masad): Manifestasi Janji Ilahi atas Keangkuhan

Surah Al-Lahab, atau dikenal juga sebagai Surah Al-Masad, adalah salah satu surah terpendek namun paling dramatis dalam Al-Qur’an. Terletak di juz ke-30, surah ini terdiri dari lima ayat yang diturunkan di Mekah. Keunikan surah ini terletak pada fokusnya yang sangat spesifik, menyebutkan nama individu dan istrinya, serta memproklamirkan takdir azab mereka secara terbuka dan lugas. Lebih dari sekadar kisah historis, Surah Al-Lahab adalah pelajaran abadi tentang konsekuensi fatal dari permusuhan terhadap kebenaran dan kesombongan yang melampaui batas.

Dalam konteks wahyu-wahyu awal, surah ini berfungsi sebagai deklarasi ilahi yang menguatkan hati Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya di tengah-tengah penindasan yang hebat. Ia menegaskan bahwa meskipun musuh utama berada dalam lingkaran keluarga dekat sang Nabi—seorang paman yang seharusnya menjadi pelindung—hukuman Allah jauh lebih dahsyat dan tak terhindarkan daripada ikatan darah atau status sosial. Memahami Surah Al-Lahab adalah memahami puncak konfrontasi antara kebenaran tauhid melawan paganisme yang keras kepala pada fase dakwah yang paling genting.

I. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surah)

Untuk mengapresiasi kedalaman Surah Al-Lahab, kita harus menempatkannya pada momen kritis sejarah Islam, yaitu fase dakwah yang masih rahasia dan baru mulai disuarakan secara terbuka di Mekah. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan peringatan kepada kaum kerabatnya yang terdekat, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Asy-Syu’ara (26:214), “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”

Peristiwa Bukit Shafa

Tafsir-tafsir utama (seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim) menjelaskan peristiwa yang menjadi sebab turunnya surah ini. Nabi Muhammad ﷺ, mengikuti perintah Ilahi, naik ke Bukit Shafa, salah satu bukit tertinggi di Mekah. Beliau memanggil suku-suku Quraisy, suku demi suku, menggunakan tradisi peringatan darurat pra-Islam. Ketika mereka berkumpul, Nabi ﷺ berseru, "Bagaimana jika aku memberitahu kalian bahwa ada sepasukan berkuda di balik bukit ini yang siap menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar kebohongan darimu."

Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya, Nabi ﷺ kemudian menyatakan, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian dari azab yang pedih."

Di tengah kerumunan itu, muncullah sosok Abu Lahab (nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muttalib), paman Nabi Muhammad ﷺ. Ali-alih mendukung atau sekadar diam, ia justru melontarkan makian paling pedas yang bisa ia ucapkan kepada keponakannya sendiri. Ia berkata, "Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Perkataan Abu Lahab ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah penghinaan publik yang merusak moral dan otoritas kenabian di hadapan suku-suku Quraisy. Ia adalah figur yang memiliki pengaruh besar dan posisinya sebagai paman sekaligus kepala suku tertentu seharusnya menjamin perlindungan bagi Nabi. Penolakan terang-terangan dari kerabat dekat dianggap lebih mematikan bagi dakwah daripada penolakan orang asing.

Sebagai respons langsung terhadap kekejian lisan ini, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab. Ini menunjukkan betapa seriusnya Allah menanggapi permusuhan yang diarahkan pada utusan-Nya, terutama ketika itu datang dari orang yang memiliki ikatan darah.

Siapakah Abu Lahab?

Nama 'Abu Lahab' secara harfiah berarti 'Bapak Api yang Berkobar' atau 'Bapak Nyala Api'. Nama ini sendiri merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena wajahnya yang rupawan dan kemerah-merahan. Namun, Surah Al-Lahab menggunakan julukan ini dengan ironi dan predestinasi yang luar biasa: ia dijuluki ‘Bapak Api’ di dunia, dan ia ditakdirkan menjadi penghuni api neraka di akhirat. Penamaan ini bukan hanya deskriptif, tetapi juga profetik.

Permusuhan Abu Lahab jauh melampaui penolakan sederhana. Ia dan istrinya, Ummu Jamil (Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan), aktif melakukan intimidasi fisik dan psikologis terhadap Nabi ﷺ. Kisah-kisah mencatat bagaimana mereka melemparkan sampah dan duri di jalur yang dilewati Nabi, serta menggunakan kekayaan mereka untuk membiayai fitnah terhadap Islam.

II. Teks dan Analisis Linguistik Surah Al-Lahab

Simbol Api Berkobar

Gambaran Simbolis Api Neraka (Lahab).

Surah ini memiliki struktur retoris yang kuat, menggunakan pengulangan dan predestinasi yang mutlak, menjadikannya salah satu mukjizat kenabian (I'jaz) karena meramalkan kematian Abu Lahab dan istrinya dalam keadaan kekafiran.

Ayat 1: Prediksi Kehancuran

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sungguh dia akan binasa.

Analisis Kata Kunci:

Kekuatan ayat ini terletak pada prediksinya. Ayat ini diturunkan saat Abu Lahab masih hidup, menubuatkan bahwa dia tidak akan pernah menerima Islam. Dan memang, dia meninggal dalam kekafiran, membuktikan kebenaran nubuat Al-Qur’an.

Ayat 2: Tidak Berguna Harta dan Kedudukan

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.

Analisis Kata Kunci:

Ayat ini menghancurkan ilusi materialisme. Bagi kaum Quraisy yang sangat menghargai kekayaan dan status, pernyataan bahwa harta dan kedudukan Abu Lahab akan menjadi sia-sia adalah penghinaan tertinggi, menegaskan bahwa kekuasaan sejati hanya milik Allah.

Ayat 3: Neraka yang Pasti

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab).

Analisis Kata Kunci:

Kepastian hukuman ini kembali menguatkan kebenaran kenabian. Ketika ayat ini diumumkan, Abu Lahab masih bisa saja berpura-pura masuk Islam untuk menyangkal prediksi tersebut, tetapi dia tidak melakukannya. Keras kepalanya hingga akhir hayat menggenapkan nubuat tersebut.

Ayat 4: Keterlibatan Sang Istri

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

Analisis Kata Kunci:

Ummu Jamil adalah saudara perempuan Abu Sufyan, tokoh Quraisy yang paling berkuasa saat itu. Keterlibatannya menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Islam adalah upaya terorganisir dari elit Mekah, dan Surah ini menghukum mereka berdua tanpa pandang bulu.

Ayat 5: Hukuman Istri di Akhirat

Simbol Tali dan Belenggu

Gambaran Simbolis Tali Sabut (Masad).

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Analisis Kata Kunci:

Ayat ini menggambarkan hukuman yang sangat visual dan simbolis bagi Ummu Jamil. Jika dia di dunia membawa kayu bakar dan fitnah di pundaknya, maka di akhirat dia akan membawa kayu bakar (dosa) dan rantai sabut yang keras akan melilit lehernya. Nama lain surah ini, Al-Masad, diambil dari kata kunci penutup ini, menekankan kepastian azab tersebut.

III. Tafsir Mendalam (Tafsir Ruhul Ma'ani dan Al-Kabir)

Surah Al-Lahab adalah Surah yang paling pedas dan paling personal dalam Al-Qur'an. Tafsir ulama terhadap surah ini menyoroti beberapa dimensi penting: keadilan mutlak, jaminan kenabian, dan makna teologis dari azab yang terperinci.

1. Azab Proporsional (Muqabalah)

Para mufasir menekankan prinsip azab yang proporsional (*Muqabalah*). Setiap elemen Surah mencerminkan kejahatan yang dilakukan Abu Lahab dan istrinya:

2. Kekuatan Kenabian (I'jaz)

Surah Al-Lahab adalah bukti nyata kenabian Nabi Muhammad ﷺ. Ketika surah ini diturunkan, Abu Lahab dan Ummu Jamil diberi kesempatan untuk menyangkalnya. Satu-satunya cara bagi mereka untuk menyangkal kebenaran Al-Qur'an adalah dengan mengklaim keimanan, tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Jika mereka berpura-pura masuk Islam, seluruh Surah ini akan kehilangan validitasnya dan Islam akan dicap sebagai kebohongan.

Namun, kebencian dan keangkuhan mereka begitu mendalam sehingga mereka tidak mampu menanggapi tantangan implisit ini. Mereka mati sebagai musuh Islam, menggenapi janji Al-Qur’an. Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir mencatat bahwa ini adalah salah satu mukjizat terbesar karena ia meramalkan nasib pribadi seseorang yang hidup di tengah-tengah orang yang menerima wahyu tersebut.

3. Penolakan Kekerabatan

Secara sosial, surah ini mengajarkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika ia memilih jalan kesesatan. Abu Lahab adalah paman Nabi, salah satu kerabat terdekat dari Bani Hasyim. Dalam sistem suku Mekah, kekerabatan adalah segalanya. Surah ini secara revolusioner memisahkan ikatan keimanan dari ikatan darah. Ketika Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir, bahkan mayatnya ditolak oleh anggota sukunya sendiri karena jijik, dan mereka meninggalkannya hingga baunya menyebar sebelum akhirnya dikubur secara tidak layak. Ini adalah simbolisasi dari kutukan *Tabbat* yang total.

IV. Detail Linguistik Mendalam: Balaghah dan I’jaz

Analisis sastra terhadap Surah Al-Lahab mengungkapkan lapisan makna yang memperkuat pesan azab dan kepastian ilahi. Surah ini pendek tetapi padat dengan teknik retoris tingkat tinggi (Balaghah).

Teknik Pengulangan Kata ‘Tabb’

Pengulangan kata تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ menggunakan dua bentuk tata bahasa yang berbeda untuk mencapai penekanan maksimal:

Ini adalah teknik retoris yang mengubah harapan (kutukan) menjadi kepastian (ramalan), menunjukkan bahwa apa yang diharapkan Nabi dari Allah sudah merupakan takdir yang pasti terjadi.

Kesesuaian Nama dan Nasib (Jinas Isytiqaaq)

Penggunaan nama 'Abu Lahab' dan deskripsi neraka *‘Naraan Dzaata Lahab’* adalah contoh Jinas Isytiqaaq (kesamaan leksikal) yang sangat efektif. Nama yang dulunya melambangkan keindahan dan kemewahan (wajah yang berkobar-kobar) kini diubah menjadi label azab yang permanen. Ini adalah ironi kosmik yang menampakkan kesempurnaan pemilihan kata dalam Al-Qur’an.

Metafora Kayu Bakar dan Tali Sabut

Deskripsi Ummu Jamil sebagai *Hammalatal Hathab* (pembawa kayu bakar) dan hukuman *Hablu min Masad* (tali dari sabut) adalah metafora yang kuat. Dalam tafsir kontemporer, hal ini juga dapat dipahami sebagai beban dosa yang dipanggul seseorang. Kejahatan yang ia sebarkan di dunia akan menjadi beban fisik di akhirat. Tali sabut (Masad) melambangkan betapa kasar dan menyakitkannya konsekuensi dari permusuhan yang dilakukan dengan lisan dan perbuatan.

V. Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Surah Al-Lahab

Meskipun Surah Al-Lahab secara eksplisit merujuk pada individu tertentu, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa hingga hari kiamat.

1. Pentingnya Keimanan di Atas Kekerabatan

Pelajaran terpenting adalah pemisahan total antara ikatan duniawi (kekerabatan, kekayaan, status) dan ikatan akidah. Dalam Islam, pertalian imanlah yang paling utama. Jika kerabat terdekat pun memilih jalan kekafiran dan permusuhan terhadap kebenaran, maka mereka tidak akan mendapat perlindungan atau pertolongan, bahkan dari seorang Nabi sekalipun.

Surah ini menegaskan bahwa pada Hari Kiamat, tidak ada nepotisme ilahi. Setiap jiwa akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Kekuatan dan kekayaan yang menjadi sumber kesombongan di dunia akan menjadi sumber penyesalan di akhirat.

2. Konsekuensi dari Permusuhan Terhadap Kebenaran

Abu Lahab tidak hanya menolak Islam; ia aktif memusuhi dan menghalangi dakwah. Surah ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, atau status sosial mereka untuk melawan kebenaran. Bagi Allah, permusuhan terhadap utusan-Nya adalah kejahatan serius yang berhak mendapatkan hukuman yang pasti dan terperinci.

Ini mengajarkan kaum Muslimin untuk tidak gentar menghadapi musuh kebenaran, seberapa pun kuat atau berpengaruhnya mereka. Nasib akhir mereka telah ditentukan oleh janji Ilahi.

3. Penegasan Dukungan Ilahi

Bagi Nabi Muhammad ﷺ dan komunitas Muslim awal yang minoritas dan tertindas, Surah Al-Lahab adalah sumber kekuatan psikologis yang luar biasa. Bayangkan menghadapi serangan dari paman Anda sendiri, yang status sosialnya tinggi. Surah ini turun sebagai pembelaan total dari Allah, menamai penghina tersebut dan menjamin azabnya. Ini adalah penghibur dan peneguh bahwa Allah adalah pelindung sejati bagi hamba-hamba-Nya yang berjuang menegakkan kebenaran.

VI. Analisis Kehancuran (Tabbat): Kerugian Totalitas

Kata Tabbat adalah inti dari pesan Surah ini, melambangkan kehancuran yang menyeluruh. Untuk mencapai pemahaman 5000 kata, kita perlu mendalami implikasi filosofis dan teologis dari kata ini dalam konteks bahasa Arab klasik dan tafsir. *Tabb* tidak hanya berarti 'kerugian' finansial atau fisik; ia mencakup kerugian spiritual dan eksistensial.

Dimensi Kerugian

  1. Kerugian Akhirat (Kerugian Sejati): Ini adalah makna utama. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan surga dan kekal di neraka. Semua usaha baik yang mungkin ia lakukan di dunia (seperti membantu orang miskin, yang merupakan praktik umum Quraisy) akan sia-sia karena tidak disertai iman.
  2. Kerugian Duniawi (Penghinaan Sosial): Meskipun Abu Lahab adalah tokoh terpandang, kematiannya dalam keadaan membusuk (akibat wabah yang melandanya pasca Perang Badar, yang membuat orang takut mendekatinya) adalah bentuk penghinaan sosial yang cepat. Ia kehilangan martabatnya bahkan sebelum dikuburkan secara layak.
  3. Kerugian Keluarga: Anak-anaknya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, pada akhirnya tidak menolongnya, dan bahkan beberapa dari mereka (seperti Durrah) masuk Islam. Ini memutus harapan Abu Lahab yang mengandalkan ‘apa yang ia usahakan’ (*ma kasab*).

Pengulangan *Tabbat* dan *wa Tabb* dalam ayat pertama memperkuat ide bahwa tidak ada jalan keluar, tidak ada ampunan, dan tidak ada negosiasi. Keputusan azab ini bersifat final dan permanen, menegaskan otoritas mutlak wahyu Ilahi di atas seluruh tatanan duniawi.

Keterkaitan Azab dan Amal

Ketika ayat kedua menyatakan, مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan), ini menjadi landasan teologis yang penting. Dalam pandangan Islam, amal baik (kasab) harus didasarkan pada tauhid agar diterima. Abu Lahab mungkin memiliki sumbangan sosial, tetapi karena didasarkan pada kesombongan dan kekafiran, semua itu menjadi debu yang berterbangan di hadapan keagungan Allah. Kehancurannya adalah total karena ia kehilangan modal terpenting: keimanan.

VII. Mengurai Kedalaman Kata 'Lahab' dan 'Masad'

Pemilihan kata dalam Surah ini bukan kebetulan; setiap kata memiliki resonansi khusus yang meningkatkan daya retorik dan ancaman hukuman.

A. Penggunaan Kata Lahab (Nyala Api)

Kata *Lahab* (لهب) secara spesifik merujuk pada nyala api yang murni, tanpa asap, membakar dengan intensitas tinggi. Ini berbeda dari *Naar* (api umum). Neraka yang dijanjikan kepada Abu Lahab adalah neraka yang memiliki nyala api yang paling dahsyat dan membakar. Simbolisme ini menyempurnakan penghinaan: julukan yang dulu ia terima karena ketampanan wajahnya, kini menjadi identitas azabnya.

Beberapa ulama tafsir mendiskusikan korelasi antara sifat *Lahab* (berapi-api, pemarah, dan penuh permusuhan) di dunia dengan takdirnya di akhirat. Kekerasan hati dan kemarahan yang ia tujukan kepada Nabi ﷺ terwujud sebagai api yang membakar dirinya sendiri.

B. Penggunaan Kata Masad (Sabut Kasar)

Kata *Masad* (مسد) membawa nuansa kesederhanaan, kekasaran, dan kekuatan tali yang dibuat dari serat palem atau kulit pohon. Ummu Jamil yang kaya raya dan mungkin menghiasi lehernya dengan kalung emas, akan dibelenggu dengan bahan yang paling kasar dan hina, yang di dunia biasa digunakan untuk mengikat hewan atau memanggul beban berat.

Kontras antara perhiasan dunia dan belenggu akhirat ini adalah pelajaran tentang kefanaan kemewahan. Tali *Masad* juga menyiratkan beban abadi. Ummu Jamil yang ‘membawa kayu bakar’ (dosa fitnah) kini terikat oleh konsekuensi dari beban tersebut, sebuah lingkaran penderitaan yang tak terputus. Kekuatan tali sabut tersebut memastikan bahwa belenggu itu tidak akan pernah putus, menjamin kekekalan azabnya.

VIII. Implikasi Teologis dan Etika Keberanian

Surah Al-Lahab memberikan panduan etis dan teologis yang relevan bagi setiap Muslim dalam menghadapi musuh kebenaran.

1. Keberanian dalam Menghadapi Kekuatan Otoritas

Surah ini mengajarkan keberanian. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk mengutuk pamannya sendiri secara publik. Ini adalah tindakan revolusioner yang memecah tradisi suku yang mengharuskan hormat kepada kerabat senior, terutama paman. Surah ini memberikan otoritas ilahi kepada Nabi untuk menantang struktur kekuasaan dan kekerabatan yang menindas kebenaran. Bagi Muslim yang hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan yang zalim, Surah ini adalah pengingat bahwa kebenaran harus diucapkan, tanpa peduli kedudukan musuh.

2. Keadilan Ilahi yang Spesifik

Dalam sebagian besar Surah Makkiyah, azab neraka digambarkan secara umum. Namun, Surah Al-Lahab sangat spesifik, menyebutkan nama dan istri serta detail hukuman mereka (tali sabut di leher). Detail ini menegaskan bahwa keadilan Allah tidak bersifat abstrak; ia diterapkan secara individual, berdasarkan amal spesifik setiap orang. Ini adalah peringatan bahwa tidak ada perbuatan jahat, sekecil apa pun (seperti menaburkan duri), yang luput dari perhitungan dan pembalasan.

3. Mukjizat dalam Kematian

Detail tentang kematian Abu Lahab menambah lapisan makna ke Surah ini. Setelah Perang Badar, ia ditimpa penyakit yang sangat menular dan menjijikkan (sejenis wabah atau luka yang membusuk). Ini adalah hukuman yang sangat terpisah dari api neraka, sebuah azab duniawi yang memisahkan dia dari masyarakatnya bahkan sebelum ia mati. Fakta ini sering dibahas dalam tafsir sebagai manifestasi langsung dari kata تَبَّتْ (binasa) yang terjadi di dunia, disusul oleh azab di akhirat. Kematiannya dalam isolasi dan kehinaan menunjukkan bahwa kutukan ilahi tidak hanya menunggu di Hari Akhir.

Dengan demikian, Surah Al-Lahab adalah sebuah karya sastra dan teologis yang padat, yang dalam lima ayatnya, merangkum konflik abadi antara kebenaran dan kesombongan, serta menjamin bahwa meskipun kekuatan duniawi tampak tak tertandingi, janji azab Allah adalah kepastian yang tidak dapat dihindari.

Surah Al-Lahab bukan hanya sebuah rekaman sejarah tentang konfrontasi antara Nabi Muhammad ﷺ dan pamannya yang antagonis, tetapi juga merupakan landasan penting dalam studi teologi Islam mengenai kepastian nubuat, keadilan Ilahi yang bersifat retributif, dan batas antara ikatan darah dan ikatan iman. Penggunaan bahasa yang tajam dan personal dalam Surah ini menegaskan bahwa permusuhan yang dilakukan secara terang-terangan dan berulang-ulang terhadap Islam akan mendatangkan kutukan yang setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.

IX. Kajian Komparatif Tafsir Klasik dan Modern

Para ulama klasik dan modern telah menyajikan berbagai sudut pandang yang memperkaya pemahaman kita terhadap Surah Al-Lahab, terutama dalam menjelaskan korelasi antara tindakan dan hukuman.

Tafsir Ibn Katsir: Fokus pada Asbabun Nuzul

Ibn Katsir, dalam tafsirnya yang masyhur, sangat fokus pada konteks historis dan hadis yang menjelaskan peristiwa Bukit Shafa. Baginya, Surah ini adalah respons langsung terhadap penghinaan verbal Abu Lahab. Penekanan diletakkan pada fakta bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak hanya menolak, tetapi secara aktif menyerang Nabi ﷺ. Interpretasi Ibn Katsir bersifat literal: Ummu Jamil benar-benar membawa kayu bakar dan duri. Ia melihat Surah ini sebagai justifikasi ilahi terhadap kemarahan Nabi atas penganiayaan yang dilakukan oleh kerabat terdekatnya.

Ibn Katsir juga menyoroti detail kematian Abu Lahab yang memprihatinkan, yang merupakan pemenuhan awal dari kutukan *Tabbat* di dunia. Kematian yang hina ini menjadi penanda bahwa azab ilahi sudah dimulai sebelum perhitungan Hari Kiamat.

Tafsir Al-Qurtubi: Fokus pada Linguistik dan Hukum

Imam Al-Qurtubi fokus pada aspek hukum (fiqh) dan linguistik. Beliau memperjelas bahwa Surah ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa kekafiran Abu Lahab adalah abadi. Beliau mendiskusikan secara mendalam makna *Ma Kasab* (apa yang ia usahakan), mencakup anak-anak, pengikut, dan harta, menegaskan bahwa tidak ada satu pun dari modal duniawi tersebut yang dapat membelinya dari api neraka. Al-Qurtubi juga membahas perbedaan makna *Jid* (leher yang dihias) dan *Unuq* (leher umum) untuk menekankan ironi hukuman Ummu Jamil, mengubah perhiasan menjadi belenggu yang hina.

Dalam konteks hukum, Surah ini menjadi dasar bahwa permusuhan aktif terhadap agama adalah dosa yang tidak terampuni jika pelakunya mati dalam kekafiran.

Tafsir Modern (Sayyid Qutb): Fokus pada Isu Sosial dan Spiritual

Tafsir modern cenderung menekankan aspek spiritual dan perjuangan abadi. Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an melihat Surah Al-Lahab sebagai pembebasan mental bagi Muslimin dari ikatan materialisme dan kesukuan. Menurut Qutb, Allah menurunkan Surah ini untuk mengajarkan bahwa garis pemisah sejati dalam hidup adalah antara iman dan kekafiran, bukan antara keluarga atau suku.

Qutb menafsirkan *Hammalatal Hathab* sebagai metafora murni untuk penyebar fitnah dan perpecahan. Istri Abu Lahab adalah simbol dari peran penghasut di balik layar. Azabnya (tali sabut) melambangkan beban psikologis dan spiritual dari kejahatan yang ia sebarkan, yang akan menjadi beban fisik di akhirat.

Pelajaran kontemporer yang ditarik adalah bahwa setiap Muslim harus bersiap menghadapi permusuhan, bahkan dari orang terdekat, dan yakin bahwa janji Allah untuk menghukum musuh kebenaran pasti akan terwujud.

X. Analisis Mendalam Sifat Api (Lahab) dan Api Neraka

Ayat 3, سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak - Lahab), menuntut analisis yang lebih dalam mengenai terminologi api neraka dalam Al-Qur’an dan hadis.

Terminologi Api Neraka

Al-Qur’an menggunakan berbagai kata untuk merujuk pada api neraka, termasuk *Naar* (api umum), *Jahannam* (neraka umum), *Sa'ir* (api yang menyala-nyala), dan *Huthamah* (api yang menghancurkan). Penggunaan kata *Lahab* di sini bersifat unik dan spesifik. *Lahab* merujuk pada intensitas panas dan kecerahan nyala api tanpa asap, yang dalam konteks hukuman sering dihubungkan dengan penderitaan yang lebih murni dan menyakitkan.

Mengaitkan nama Abu Lahab dengan jenis api spesifik ini bukan hanya ejekan retoris tetapi juga penegasan teologis bahwa jenis azabnya telah disesuaikan dengan identitasnya dan tindakannya. Ia adalah bapak dari api permusuhan di dunia; ia akan menjadi penghuni api yang bergejolak abadi di akhirat.

Penderitaan Spiritual dan Fisik

Tafsir Al-Jalalain dan lainnya mencatat bahwa azab neraka yang dihadapi Abu Lahab tidak hanya fisik (terbakar) tetapi juga spiritual (penghinaan). Ia kehilangan segalanya: martabat, keluarga, harta, dan yang terpenting, jiwanya. Perasaan kehilangan totalitas ini, dikombinasikan dengan rasa sakit fisik yang tak berkesudahan, adalah intisari dari *Tabbat*.

Azab ini bersifat kekal (*Khalidun*), menegaskan bahwa bagi mereka yang memilih untuk secara aktif memerangi kebenaran dan menolak petunjuk hingga kematian, tidak ada pengampunan atau jeda. Surah Al-Lahab, oleh karena itu, merupakan peringatan keras tentang batas-batas kesabaran Ilahi.

XI. Tafsir Filosofis: Memutus Simpul Ketergantungan Duniawi

Surah ini dapat dipandang sebagai pelajaran filosofis tentang memutus ketergantungan manusia pada ilusi kekuatan duniawi. Di Mekah, empat pilar kekuasaan adalah:

  1. Kekerabatan (Paman): Paman adalah pelindung utama. Surah ini memotong ikatan tersebut.
  2. Kekayaan (Maluhu): Harta adalah sumber pengaruh dan keamanan. Surah ini meniadakan manfaatnya.
  3. Keturunan (Ma Kasab): Anak adalah investasi masa depan. Surah ini menyatakan mereka tidak akan menolong.
  4. Status Sosial (Ummu Jamil): Perhiasan dan kedudukan sosial istri mencerminkan status keluarga. Surah ini menggantinya dengan kehinaan.

Dengan menghancurkan keempat pilar ini satu per satu melalui lima ayat yang ringkas, Surah Al-Lahab secara efektif mendefinisikan ulang apa arti kekuatan sejati. Kekuatan sejati bukan terletak pada apa yang dimiliki seseorang (harta atau status), melainkan pada hubungan seseorang dengan Sang Pencipta. Bagi mereka yang memilih permusuhan, semua pilar duniawi akan runtuh dan membawa mereka pada kehancuran total.

Pelajaran ini menjadi sangat relevan dalam masyarakat modern yang sering mengukur nilai seseorang berdasarkan kekayaan atau ketenaran (Lahab dan Maluhu). Surah ini adalah pengingat bahwa dalam perhitungan akhir, semua itu adalah fana dan tidak akan menyelamatkan dari perhitungan Ilahi. Keberkahan sejati hanya datang melalui keimanan dan usaha yang didasarkan pada tauhid yang murni.

Surah Al-Lahab, dalam kejelasan dan ketegasannya, berdiri sebagai monumen keadilan retributif dan kepastian nubuat. Ia bukan hanya menceritakan kisah dua individu yang jahat, tetapi mencontohkan takdir yang menanti setiap individu yang, meskipun memiliki kedudukan dan kesempatan, memilih untuk memusuhi kebenaran dan mendustakan utusan Allah. Surah ini akan terus menjadi sumber inspirasi keberanian bagi kaum beriman, mengingatkan mereka bahwa kemenangan akhir adalah milik mereka yang teguh dalam memegang panji-panji kebenaran.

🏠 Homepage