Ilustrasi membaca Al-Qur'an dalam shalat.
Ibadah shalat merupakan tiang agama yang memiliki tata cara (kaifiyat) yang rinci dan terstruktur. Salah satu rukun terpenting dalam shalat adalah membaca Al-Qur’an. Secara universal, seluruh mazhab fiqih sepakat bahwa membaca Surah Al-Fatihah adalah rukun (pilar) yang tanpanya shalat tidak sah. Kesepakatan ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad ﷺ: “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah).”
Namun, perdebatan fiqih yang panjang dan mendalam muncul ketika membahas hukum membaca surat atau ayat tambahan dari Al-Qur'an setelah Al-Fatihah—inilah yang sering kita sebut sebagai “membaca surat pendek” atau “surat tambahan.” Apakah tindakan ini termasuk rukun, wajib (fardhu/wajib), atau sunnah (dianjurkan) dalam shalat fardhu (wajib) maupun shalat nafilah (sunnah)? Perbedaan pandangan ini tidak hanya memengaruhi keabsahan shalat, tetapi juga menentukan apakah seseorang harus melakukan Sujud Sahwi jika bacaan tersebut terlupakan atau ditinggalkan.
Artikel ini akan mengupas tuntas tinjauan fiqih dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) mengenai hukum membaca surat pendek dalam shalat, menggali dalil-dalil syar'i, serta konsekuensi praktis dari setiap pandangan mazhab tersebut.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengambil dalil mereka dari dua sumber utama: Al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ. Ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar utama penetapan hukum ini adalah Surah Al-Muzammil ayat 20:
“...maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an…” (QS. Al-Muzammil [73]: 20)
Ayat ini, meskipun turun dalam konteks anjuran shalat malam (Qiyamul Lail), diinterpretasikan oleh sebagian ulama sebagai perintah umum untuk membaca sebagian Al-Qur’an dalam setiap shalat, selain Al-Fatihah. Frasa “apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an” menjadi inti perdebatan mengenai batas minimal dan status hukum bacaan tersebut.
Selain ayat di atas, hadits-hadits mengenai kaifiyat (tata cara) shalat Nabi ﷺ juga menjadi rujukan fundamental. Salah satu hadits yang paling sering dikutip adalah hadits *al-Musii’ fi Shalaatih* (orang yang buruk shalatnya), di mana Nabi ﷺ mengajarkan kembali cara shalat yang benar:
“...Kemudian, bacalah (Al-Fatihah), kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi substansi sama).
Perbedaan interpretasi muncul dari kata 'kemudian' (ثُمَّ) yang menunjukkan urutan, dan status perintah 'bacalah apa yang mudah bagimu.' Apakah perintah ini bersifat mutlak wajib atau hanya menunjukkan anjuran terbaik yang biasa Nabi ﷺ lakukan?
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang cenderung menempatkan bacaan surat tambahan pada tingkat yang sangat tinggi, yaitu *Wajib* (Fardhu 'Amali) atau yang setara dengan kewajiban, namun berada di bawah rukun (yang jika ditinggalkan membatalkan shalat secara total tanpa bisa ditambal dengan sujud sahwi).
Bagi Hanafiyah, membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat fardhu (dan semua rakaat shalat sunnah) adalah wajib. Jika seseorang meninggalkannya secara sengaja, shalatnya makruh tahrim (mendekati haram) dan harus diulang. Jika ditinggalkan karena lupa, shalatnya sah tetapi wajib ditambal dengan Sujud Sahwi.
Hanafiyah berpegangan teguh pada hadits *al-Musii’ fi Shalaatih* dan QS. Al-Muzammil: 20. Mereka menafsirkan perintah Nabi ﷺ dalam hadits tersebut sebagai perintah wajib yang mengikat, meskipun berada di urutan setelah rukun (Al-Fatihah).
Penting untuk dicatat, Hanafiyah memandang bahwa yang wajib hanyalah membaca *sebagian* dari Al-Qur'an, sekurang-kurangnya tiga ayat pendek atau satu ayat yang panjangnya setara. Mereka tidak mewajibkan Surah Al-Fatihah secara eksplisit dalam definisi rukun shalat, melainkan mewajibkan *Qira'ah Mutlaqah* (bacaan mutlak). Namun, karena hadits mewajibkan Fatihah, dan mereka memisahkannya dari rukun, mereka menempatkan Fatihah sebagai wajib, dan surat tambahan juga sebagai wajib—namun, yang membedakan Hanafi dari mazhab lain adalah penekanan mereka bahwa *wajib* mencakup bacaan tambahan.
Oleh karena pandangan Hanafiyah yang sangat menekankan qira'ah tambahan ini, mereka memastikan bahwa aspek bacaan dalam shalat terpenuhi secara sempurna, tidak hanya Al-Fatihah saja, melainkan juga kandungan yang lain sebagaimana yang selalu dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ.
Dalam konteks shalat berjamaah, Hanafiyah cenderung membebaskan ma'mum (makmum) dari kewajiban membaca apapun, baik Al-Fatihah maupun surat tambahan, ketika shalat jahr (bersuara), karena bacaan imam sudah menanggung bacaan ma'mum (konsep *tahammul*). Namun, kewajiban membaca surat pendek bagi imam tetap berlaku keras dalam dua rakaat pertama.
Mazhab Maliki mengambil posisi yang lebih moderat, menempatkan membaca surat tambahan sebagai *Sunnah Muakkadah* (Sunnah yang sangat ditekankan) dan bahkan ada yang menaikkannya menjadi *Wajib* dalam konteks tertentu (seperti pada shalat fardhu dan shalat sunnah).
Bagi Malikiyah, membaca surat tambahan adalah sunnah yang sangat ditekankan pada dua rakaat pertama shalat fardhu. Meninggalkannya secara sengaja atau lupa tidak membatalkan shalat, tetapi meninggalkannya secara sengaja tanpa alasan dianggap makruh dan mengurangi pahala shalat.
Imam Malik berpendapat bahwa karena perintah membaca Al-Fatihah datang dengan penekanan yang mutlak (tidak sah shalat tanpanya), sedangkan perintah membaca surat tambahan datang dalam konteks *ma tayassara* (apa yang mudah), ini menunjukkan bahwa statusnya tidak setinggi rukun. Jika ia adalah rukun, pastilah ia akan disebut secara spesifik dan tegas seperti Al-Fatihah.
Namun, karena Rasulullah ﷺ selalu melakukannya dan meninggalkannya hanya sesekali (untuk menunjukkan kebolehannya), maka ia dinaikkan statusnya menjadi Sunnah Muakkadah yang dianjurkan untuk ditambal dengan Sujud Sahwi jika ditinggalkan karena lupa.
Malikiyah memandang Sujud Sahwi dilakukan jika Sunnah Muakkadah ditinggalkan. Oleh karena itu, jika seseorang lupa membaca surat tambahan pada rakaat pertama dan kedua, ia disunnahkan melakukan Sujud Sahwi sebelum salam (Sujud Qabli).
Mazhab Syafi'i dikenal memiliki definisi rukun yang sangat ketat, di mana hanya Al-Fatihah yang termasuk rukun qira'ah dalam shalat. Bacaan surat tambahan setelah Al-Fatihah ditempatkan pada level *Sunnah Haiah*.
Sunnah Haiah adalah sunnah-sunnah dalam shalat yang jika ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, shalat tetap sah dan tidak disunnahkan untuk ditambal dengan Sujud Sahwi. Membaca surat pendek, bagi Syafi'iyah, adalah termasuk dalam kategori ini.
Syafi'iyah berargumen bahwa hadits *al-Musii’ fi Shalaatih* memuat perintah yang jelas tentang rukun-rukun shalat, dan perintah membaca surat tambahan datang dalam redaksi yang menunjukkan keringanan (*ma tayassara*), bukan kewajiban mutlak. Mereka berpendapat bahwa jika surat tambahan itu rukun atau wajib, Nabi ﷺ pasti akan memerintahkan Sujud Sahwi bagi orang yang meninggalkannya, padahal tidak ada riwayat yang secara tegas mewajibkan Sujud Sahwi hanya karena lupa membaca surat tambahan.
Mereka membedakan antara *Sunnah Ab'adh* (sunnah yang dianjurkan ditambal dengan Sujud Sahwi, seperti Tasyahhud Awwal) dan *Sunnah Haiah* (yang tidak perlu ditambal). Surat tambahan masuk dalam kategori Haiah.
Meskipun statusnya "hanya" Sunnah Haiah, Syafi'iyah sangat menganjurkan umatnya untuk tidak meninggalkannya, mengikuti praktik Nabi ﷺ yang hampir selalu membaca surat tambahan setelah Al-Fatihah dalam dua rakaat pertama.
Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang dekat dengan Mazhab Maliki, menempatkan bacaan surat tambahan sebagai *Sunnah Muakkadah*.
Hanabilah menganggap bacaan surat setelah Al-Fatihah adalah Sunnah Muakkadah pada dua rakaat pertama. Statusnya berada di atas sunnah biasa dan hampir mendekati wajib, sehingga jika ditinggalkan karena lupa, disunnahkan untuk ditambal dengan Sujud Sahwi.
Imam Ahmad meninjau hadits-hadits praktik Nabi ﷺ. Karena hampir semua riwayat menunjukkan bahwa Nabi ﷺ selalu membaca surat tambahan, ini mengindikasikan bahwa tindakan tersebut sangat penting dan dianjurkan. Mereka berpendapat bahwa penempatan perintah membaca *ma tayassara* setelah perintah Fatihah dalam hadits *al-Musii’ fi Shalaatih* menunjukkan keutamaan dan kesempurnaan shalat, meskipun tidak membatalkan shalat jika ditinggalkan.
Hanabilah membagi sunnah shalat menjadi *Sunnah Qawliyyah* (ucapan) dan *Sunnah Fi’liyyah* (perbuatan). Pembacaan surat tambahan termasuk Sunnah Qawliyyah yang penting.
Secara ringkas, keempat mazhab utama sepakat bahwa rukunnya shalat adalah Al-Fatihah. Perbedaan mendasar terletak pada tingkatan hukum surat tambahan: Hanafi (Wajib), Maliki & Hanbali (Sunnah Muakkadah/Dianjurkan Sujud Sahwi), dan Syafi'i (Sunnah Haiah/Tidak perlu Sujud Sahwi).
Perbedaan pandangan mengenai status hukum bacaan surat pendek ini memiliki implikasi yang signifikan dalam praktik shalat sehari-hari, terutama terkait masalah Sujud Sahwi, batas minimal bacaan, dan peran makmum.
Konsekuensi paling nyata dari perbedaan hukum ini adalah kapan Sujud Sahwi (sujud karena lupa) harus dilakukan:
Penjelasan Hanafiyah yang mewajibkan Sujud Sahwi didasarkan pada prinsip bahwa setiap *Wajib* yang ditinggalkan karena lupa harus diperbaiki. Sementara Syafi'iyah berpegang pada prinsip bahwa perbaikan hanya diperlukan untuk rukun yang diganti atau Sunnah Ab'adh yang terlewat. Ini menunjukkan kerangka berpikir yang berbeda dalam memandang kesempurnaan shalat.
Meskipun semua mazhab sepakat bahwa harus membaca *ma tayassara minal Qur’an*, Mazhab Hanafi adalah yang paling spesifik mengenai batas minimal ini, karena mereka menetapkannya sebagai wajib.
Dalam praktik, para ulama menganjurkan agar surat yang dibaca pada rakaat kedua lebih pendek daripada yang dibaca pada rakaat pertama, mengikuti petunjuk sunnah Nabi ﷺ agar shalat memiliki keteraturan dan tidak memberatkan makmum.
Perbedaan pandangan dalam membaca surat tambahan bagi makmum terkait erat dengan isu yang lebih besar: apakah makmum wajib membaca Al-Fatihah di belakang imam?
Mengenai surat tambahan (setelah Al-Fatihah):
Dengan demikian, hampir seluruh mazhab sepakat bahwa kewajiban atau sunnah membaca surat tambahan ini lebih ditujukan kepada Imam atau Munfarid (orang yang shalat sendiri).
Untuk memahami kedalaman perselisihan fiqih ini, penting untuk menganalisis bagaimana setiap mazhab menafsirkan hadits kunci, khususnya hadits *al-Musii’ fi Shalaatih* dan QS. Al-Muzammil: 20.
Ketika Nabi ﷺ mengajarkan shalat kepada orang yang salah shalatnya, beliau bersabda, “...kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.”
Pandangan Wajib (Hanafi): Hanafiyah melihat bahwa instruksi ini adalah bagian dari rangkaian perintah yang harus dipatuhi untuk shalat yang sah. Jika seseorang meninggalkannya, berarti shalatnya tidak sempurna (atau bahkan tidak sah menurut beberapa interpretasi awal). Karena perintah ini datang dalam konteks edukasi shalat yang benar, maka ia membawa status wajib.
Pandangan Sunnah Muakkadah (Maliki/Hanbali): Mereka berargumen bahwa perintah tersebut harus dilihat dalam konteks keseluruhan sunnah Nabi ﷺ. Nabi ﷺ seringkali meninggalkan beberapa sunnah untuk menunjukkan bahwa itu bukan rukun. Jika itu mutlak wajib, Nabi ﷺ tidak mungkin meninggalkannya. Oleh karena itu, perintah tersebut diinterpretasikan sebagai anjuran kesempurnaan tertinggi.
Pandangan Sunnah Haiah (Syafi'i): Syafi'iyah memfokuskan bahwa dalam riwayat hadits tersebut, Rasulullah ﷺ mengulangi perintah Al-Fatihah, tetapi tidak mengulangi perintah *ma tayassara* secara terpisah dan tegas. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi rukun utama yang wajib diulang adalah Al-Fatihah. Tambahan lainnya hanya sebagai penyempurna.
Ayat ini menyebutkan perintah “bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Konteks Historis: Ayat ini turun di Mekkah, jauh sebelum kewajiban shalat lima waktu ditetapkan secara rinci. Sebagian besar ulama sepakat bahwa perintah ini pada awalnya adalah perintah umum untuk berdiri dan membaca Qur'an dalam shalat. Hanafiyah menggunakan keluasan makna ayat ini untuk menetapkan wajibnya bacaan selain Al-Fatihah secara umum.
Kaitannya dengan Al-Fatihah: Apakah perintah membaca *ma tayassara* ini mencakup Al-Fatihah, atau di luar Al-Fatihah? Sebagian ulama (termasuk Hanafi awal) berpendapat bahwa yang wajib hanyalah membaca *sebagian* Qur'an, dan Al-Fatihah hanyalah salah satu opsi. Namun, mayoritas ulama (Jumhur) yang berpegang pada hadits *la shalat* berpendapat bahwa Al-Fatihah adalah rukun wajib yang terpisah dari perintah *ma tayassara*.
Dengan demikian, mazhab yang menetapkan surat pendek sebagai wajib (Hanafi) cenderung melihat perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai perintah yang saling menguatkan, menghasilkan dua kewajiban membaca: Fatihah (karena hadits spesifik) dan surat tambahan (karena ayat umum dan hadits *ma tayassara*).
Penting untuk membedakan antara hukum membaca surat pendek dalam shalat fardhu dan shalat sunnah, serta antara rakaat pertama, kedua, dan rakaat selanjutnya.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa pembacaan surat tambahan hanya ditekankan (baik wajib atau sunnah muakkadah) pada dua rakaat pertama. Rakaat ketiga dan keempat (pada shalat Zuhur, Ashar, dan Isya) hanya diwajibkan membaca Al-Fatihah, tanpa tambahan surat pendek. Hal ini didasarkan pada praktik konsisten Rasulullah ﷺ.
Dalam riwayat yang shahih, Aisyah RA pernah berkata bahwa Nabi ﷺ biasanya memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dan kedua shalat Zuhur dan Ashar, dan hanya membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir.
Hukum membaca surat pendek dalam shalat sunnah lebih ketat. Mayoritas mazhab, termasuk Hanafi, menetapkan bahwa membaca surat tambahan pada semua rakaat shalat sunnah (baik dua rakaat maupun lebih) adalah wajib atau sunnah muakkadah yang sangat ditekankan.
Mengapa perbedaannya signifikan? Karena shalat sunnah tidak memiliki batasan rakaat ketiga atau keempat yang hanya membaca Al-Fatihah. Shalat sunnah diyakini sebagai ibadah yang harus dilaksanakan dengan kesempurnaan bacaan pada setiap rakaatnya, karena setiap rakaat sunnah dianggap sebagai shalat yang berdiri sendiri.
Contoh Shalat Witir: Dalam Shalat Witir tiga rakaat, disunnahkan membaca Surah Al-A'la pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakaat kedua, dan Al-Ikhlas (dan Mu'awwidzatain) pada rakaat ketiga. Konsistensi Nabi ﷺ dalam memilih surat tertentu untuk shalat sunnah menunjukkan tingginya status bacaan tambahan dalam shalat nafilah.
Sunnah menganjurkan adanya *tathwil* (memanjangkan) bacaan pada rakaat pertama dan *takhfif* (meringankan/memperpendek) bacaan pada rakaat kedua. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi makmum yang terlambat datang untuk mengejar shalat dan menjaga kenyamanan jamaah.
Rasulullah ﷺ biasa membaca surat yang panjang pada shalat Subuh (seperti Surah Qaaf atau At-Tur). Pada shalat Zuhur dan Ashar, beliau membaca surat-surat dari kelompok *Tiwal Mufassal* atau *Ausath Mufassal*. Sementara pada Maghrib dan Isya, beliau lebih sering membaca surat-surat pendek (Qishar Mufassal).
Meskipun demikian, tidak ada surat yang diwajibkan secara mutlak selain Al-Fatihah. Kebebasan memilih surat (yang mudah) tetap menjadi prinsip utama, selama itu merupakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Untuk melengkapi tinjauan fiqih ini, perlu dilihat pula perbedaan istilah yang digunakan dalam nash syar'i.
Para ulama bahasa dan fiqih terkadang membedakan antara *Qira’ah* (bacaan) dan *Tilawah* (membaca secara runut dan mengikuti). Dalam konteks hadits yang menyebutkan rukun shalat, kata yang digunakan adalah *qira’ah*. Ketika Nabi ﷺ bersabda, “Kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an,” kata kerja yang digunakan (*iqra’*) mengacu pada tindakan membaca.
Hanafiyah cenderung melihat perintah *iqra’* (bacalah) sebagai perintah wajib yang tidak bisa diabaikan, mencakup seluruh bacaan yang disyaratkan dalam shalat. Sementara mazhab lain melihat bahwa perintah ini dilemahkan statusnya oleh frasa *ma tayassara* (apa yang mudah), yang mengindikasikan kelonggaran dan bukan keharusan mutlak seperti Al-Fatihah.
Satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari qira'ah adalah *tuma’ninah* (ketenangan). Meskipun membaca surat pendek mungkin hanya Sunnah Haiah (menurut Syafi'i), melaksanakan shalat dengan terburu-buru hingga bacaan tidak jelas, dapat membatalkan shalat karena menghilangkan rukun *tuma’ninah* saat berdiri (Qiyam).
Dengan demikian, meskipun secara hukum membaca surat pendek mungkin tidak wajib, waktu yang dihabiskan untuk membacanya memastikan rukun *tuma’ninah* terpenuhi secara sempurna, menjadikannya suatu praktik yang tak terpisahkan dari kesempurnaan shalat.
Setelah meninjau secara mendalam pandangan keempat mazhab fiqih—Hanafi dengan status Wajibnya, Maliki dan Hanbali dengan Sunnah Muakkadahnya yang disunnahkan Sujud Sahwi jika lupa, serta Syafi'i dengan Sunnah Haiahnya—kita dapat menarik kesimpulan bahwa perbedaan ini adalah rahmat dan kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Meskipun terdapat perbedaan status hukum, seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat atau ayat Al-Qur'an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama adalah bagian integral dari kesempurnaan shalat Nabi ﷺ. Meninggalkannya, bahkan jika hanya dianggap Sunnah Haiah, berarti menghilangkan kesempurnaan dan pahala besar.
Bagi seorang muslim yang ingin mengikuti tingkatan ibadah yang paling sempurna dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat), rekomendasi terbaik adalah mengamalkan praktik ini sebagai suatu kewajiban yang sangat ditekankan, setidaknya pada dua rakaat pertama shalat fardhu dan semua rakaat shalat sunnah. Dengan demikian, ia telah memenuhi pandangan Mazhab Hanafi, sekaligus menyempurnakan ibadah menurut pandangan jumhur ulama.
Kesempurnaan shalat tidak hanya terletak pada terpenuhinya rukun-rukun wajib, tetapi juga pada pelaksanaan sunnah-sunnah yang memperindah dan memperkaya hubungan spiritual antara hamba dan Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah meremehkan bacaan surat pendek, karena ia adalah jendela kita untuk berinteraksi lebih lama dengan Kalamullah di dalam ibadah yang paling utama.
Semoga kajian ini memberikan pencerahan dan motivasi untuk selalu menyempurnakan setiap detik ibadah shalat kita.
Perbedaan status hukum membaca surat pendek ini tidak hanya mencerminkan variasi interpretasi nash, tetapi juga perbedaan mendasar dalam metodologi penetapan hukum (Usul Fiqh) yang digunakan oleh setiap mazhab.
Mazhab Hanafi cenderung memisahkan secara ketat antara *Fardhu* (Rukun) dan *Wajib*. Fardhu adalah sesuatu yang ditetapkan oleh dalil qath'i (pasti dan mutlak) dan tanpanya ibadah batal. Wajib adalah sesuatu yang ditetapkan oleh dalil zhanni (kemungkinan/interpretatif) atau dalil yang kurang kuat, dan tanpanya shalat tidak batal, tetapi dikenai sanksi (seperti kewajiban Sujud Sahwi). Hanafiyah menempatkan membaca surat tambahan sebagai *Wajib* karena mereka melihat perintah dalam hadits sebagai kuat, tetapi tidak sekuat perintah Al-Fatihah, sehingga ia berada di antara rukun dan sunnah biasa. Metodologi ini memungkinkan mereka untuk menghormati hadits, tetapi memberikan ruang bagi perbaikan jika lupa.
Syafi'iyah menetapkan rukun shalat berdasarkan hadits-hadits yang memiliki sanksi terberat (pembatalan shalat). Karena tidak ada hadits yang secara tegas membatalkan shalat hanya karena lupa membaca surat pendek, mereka tidak dapat mengangkat statusnya menjadi rukun. Mereka memprioritaskan dalil yang paling tegas (seperti hadits *la shalat* tentang Al-Fatihah) di atas perintah yang bersifat anjuran (*ma tayassara*). Dalam kerangka Syafi'i, segala sesuatu yang bukan rukun dan bukan Sunnah Ab'adh (yang memiliki dalil kuat untuk ditambal dengan Sahwi) secara otomatis masuk kategori Sunnah Haiah.
Imam Malik sangat menekankan pada *Amal Ahlil Madinah* (praktik penduduk Madinah). Karena praktik penduduk Madinah pada zamannya menunjukkan konsistensi dalam membaca surat tambahan setelah Al-Fatihah, ini mengangkat statusnya menjadi Sunnah Muakkadah yang setara dengan kewajiban. Bagi Maliki, konsistensi praktik Rasulullah ﷺ yang diwariskan secara turun-temurun di pusat dakwah Islam memiliki bobot hukum yang sangat besar, meskipun tidak mencapai tingkat *Rukun* yang membatalkan shalat.
Hanabilah cenderung menggabungkan pendekatan tekstual yang ketat dan penghormatan besar terhadap praktik Nabi ﷺ. Mereka melihat bahwa semua hadits tentang tata cara shalat menunjukkan Nabi ﷺ selalu membaca surat tambahan. Konsistensi ini menjadikan amalan tersebut Sunnah Muakkadah. Namun, karena mereka juga menghormati prinsip bahwa Al-Fatihah adalah batas minimal, mereka tidak mengangkat statusnya menjadi rukun.
Shalat-shalat tahunan, khususnya Tarawih (Qiyam Ramadhan) dan Shalat Id, sering menjadi area penerapan yang jelas bagi hukum membaca surat pendek, karena shalat-shalat ini pada dasarnya adalah shalat sunnah.
Dalam Shalat Tarawih, membaca surat tambahan (surat pendek atau panjang) adalah Sunnah Muakkadah yang sangat ditekankan, bahkan mendekati wajib (menurut Hanafi). Karena shalat Tarawih adalah shalat jahr (bersuara), imam dianjurkan untuk memperpanjang bacaannya sebatas tidak memberatkan makmum. Kesunahan membaca surat tambahan ini berlaku untuk setiap rakaat Tarawih.
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika seorang imam meninggalkan bacaan surat pendek dalam Tarawih, ia telah meninggalkan kewajiban shalat sunnah tersebut, dan pahalanya berkurang drastis, meskipun shalatnya tetap dianggap sah jika rukun-rukunnya terpenuhi.
Dalam Shalat Id, sunnahnya adalah membaca Surah Qaf atau Al-A'la pada rakaat pertama, dan Surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Pemilihan surat-surat tertentu yang panjang ini menunjukkan bahwa dalam shalat-shalat istimewa, penekanan pada bacaan tambahan sangat tinggi. Dalam konteks Shalat Id, membaca surat-surat yang spesifik ini dianggap sebagai Sunnah Muakkadah yang sangat tinggi tingkatannya, dan meninggalkannya berarti kehilangan keutamaan shalat Id secara keseluruhan.
Di era modern, isu kecepatan shalat seringkali menjadi perdebatan. Beberapa imam, terutama saat shalat Tarawih atau shalat fardhu yang jamaahnya banyak, cenderung mempercepat shalat.
Pertimbangan fiqih terhadap kecepatan ini adalah: Jika kecepatan membaca surat pendek (yang sunnah) menyebabkan terlanggarnya rukun *tuma’ninah* (ketenangan) saat ruku’ atau sujud, maka seluruh shalat bisa menjadi batal. Oleh karena itu, walaupun surat pendek adalah sunnah (menurut jumhur), meluangkan waktu yang cukup untuk membacanya dengan baik dan tenang adalah cara untuk menjaga rukun *tuma’ninah*.
Ulama kontemporer sering merekomendasikan umat muslim yang bingung dengan perbedaan mazhab untuk mengambil jalan tengah, yaitu menganggap bacaan surat pendek sebagai Sunnah Muakkadah yang jika ditinggalkan karena lupa, sebaiknya ditambal dengan Sujud Sahwi (mengikuti pandangan Maliki dan Hanbali). Pendekatan ini adalah yang paling hati-hati (*ihtiyath*) dalam menjaga kesempurnaan shalat.
Konsensus yang harus selalu ditekankan adalah bahwa shalat fardhu harus dilaksanakan dengan penuh kekhusyukan, dan bacaan yang sempurna, termasuk surat tambahan, adalah salah satu elemen kunci untuk mencapai kekhusyukan tersebut.
Sebagai penutup dari telaah panjang ini, mari kita tegaskan kembali poin-poin krusial yang harus dipahami oleh setiap muslim mengenai hukum membaca surat pendek:
1. Al-Fatihah adalah Rukun Mutlak: Keabsahan shalat bergantung sepenuhnya pada pembacaan Surah Al-Fatihah di setiap rakaat (kecuali bagi makmum dalam shalat jahr menurut Hanafi).
2. Status Hukum Surat Tambahan (Ringkasan): Status hukum membaca surat tambahan adalah Wajib (Hanafi) atau Sunnah Muakkadah/Haiah (Jumhur Maliki, Syafi’i, Hanbali).
3. Penerapan: Bacaan tambahan hanya ditekankan pada rakaat pertama dan kedua shalat fardhu. Untuk shalat sunnah, ditekankan pada semua rakaat.
4. Anjuran Praktis (Ihtiyath): Dalam rangka mengumpulkan semua kebaikan dan menghindari khilaf, seorang muslim dianjurkan untuk selalu membaca surat pendek dan jika lupa, disarankan untuk melakukan Sujud Sahwi. Praktik ini memastikan shalat memenuhi standar tertinggi dari semua mazhab.
Dengan memahami landasan hukum dari setiap mazhab, kita dapat menjalankan ibadah shalat dengan keyakinan yang lebih kuat, menyadari bahwa setiap detail tata cara yang dilakukan Rasulullah ﷺ memiliki hikmah dan keutamaan yang mendalam, bahkan jika statusnya tidak mencapai tingkatan rukun yang mutlak.
Pemahaman ini juga mengajarkan kita toleransi dalam perbedaan fiqih. Jika kita melihat saudara kita lupa membaca surat pendek dan tidak melakukan Sujud Sahwi (sesuai Syafi’i), kita tidak dapat mengatakan shalatnya batal, karena ia memiliki sandaran fiqih yang kuat. Sebaliknya, jika ia melakukannya (sesuai Hanafi, Maliki, atau Hanbali), itu adalah langkah kehati-hatian yang patut dipuji.
Semoga Allah menerima shalat kita dan menjadikan setiap bacaan kita sebagai cahaya di hari Kiamat.