Dalam kitab suci Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam urusan muamalah atau hubungan antar sesama, salah satunya adalah mengenai utang-piutang. QS Al-Baqarah ayat 280 menjadi salah satu ayat penting yang memberikan panduan komprehensif terkait kewajiban seorang yang berutang dan adab yang harus dijalankan oleh pemberi utang. Ayat ini menegaskan bahwa urusan utang bukanlah sekadar transaksi finansial biasa, melainkan memiliki dimensi moral, etika, dan spiritual yang mendalam.
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Wa in kāna żū ‘usratin fa naẓiratun ilā maisarah, wa an taṣaddaqū khairul lakum in kuntum ta‘lamūn."
"Dan jika orang yang berutang dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia mampu membayar. Dan jika kamu menyedekahkan (pembayaran utang itu), maka itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."
Ayat ini dapat dipecah menjadi dua bagian utama yang saling melengkapi. Pertama, ia menekankan kewajiban bagi orang yang memiliki piutang untuk memberikan tenggang waktu (naẓirah) kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial (‘usrah) hingga ia mampu membayarnya (maisarah). Ini menunjukkan bahwa Islam sangat mengedepankan aspek kemanusiaan dan keadilan. Pemberi utang tidak lantas boleh menekan atau membebani debitur yang jelas-jelas tidak mampu membayar. Sebaliknya, ia diperintahkan untuk bersabar dan memberikan kesempatan.
Ini adalah bentuk empati dan pemahaman terhadap kondisi sosial. Kehidupan manusia penuh dengan pasang surut, dan siapa pun bisa saja mengalami kesulitan. Islam mengajarkan bahwa dalam setiap transaksi, terutama yang melibatkan bantuan finansial, harus ada rasa kepedulian terhadap sesama. Menunda penagihan utang bagi yang kesulitan adalah bentuk kebaikan yang sangat dianjurkan.
Kedua, ayat ini menawarkan sebuah pilihan yang lebih mulia, yaitu menyedekahkan piutang tersebut. Kalimat "wa an taṣaddaqū khairul lakum" secara tegas menyatakan bahwa memaafkan utang atau menyedekahkannya adalah perbuatan yang lebih baik bagi pemberi utang, asalkan mereka memiliki ilmu pengetahuan tentang keutamaan tersebut. Konsep ini sangat luar biasa. Dalam logika duniawi, melepaskan hak tagih mungkin terlihat merugikan. Namun, dari perspektif Ilahi, tindakan ini memiliki pahala yang berlipat ganda.
Menyedekahkan utang berarti memberikan kelegaan ganda: kelegaan bagi debitur dari beban utang yang menghimpit, dan kelegaan bagi pemberi utang dari tanggung jawab duniawi dengan potensi ganjaran surgawi. Ini adalah pelajaran tentang divestasi dari materi demi keuntungan spiritual yang abadi. Allah SWT menekankan bahwa kebaikan ini akan menjadi milik pemberi utang jika mereka mengerti betapa besar nilai dan pahalanya di sisi-Nya.
QS Al-Baqarah ayat 280 memberikan kerangka kerja yang jelas bagi umat Muslim dalam mengelola utang-piutang.
Bagi Pemberi Utang:
Bagi Pengutang:
Ayat ini mengajarkan bahwa urusan utang-piutang harus dijalankan dengan prinsip "kebaikan di atas kebaikan". Pemberi utang diharapkan berbuat baik dengan memberikan kelonggaran, dan pengutang diharapkan berbuat baik dengan berusaha melunasi utangnya. Lebih dari itu, Allah bahkan menganjurkan perbuatan yang lebih baik lagi, yaitu memaafkan utang sebagai bentuk sedekah yang bernilai tinggi. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan ini singkat, dan amalan yang akan abadi adalah perbuatan baik yang dilakukan karena mengharap ridha Sang Pencipta. Dengan memahami dan mengamalkan QS Al-Baqarah ayat 280, kita tidak hanya menjalankan perintah agama, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan penuh kasih sayang.