Sang Buddha, Siddhartha Gautama, adalah sosok sentral dalam agama Buddha dan filsafat dunia. Kisah hidupnya, ajaran-ajarannya, dan warisannya terus menginspirasi jutaan orang hingga kini. Perjalanannya dari seorang pangeran yang hidup dalam kemewahan hingga menjadi seorang pertapa yang mencari kebenaran, menawarkan pelajaran berharga tentang kehidupan, penderitaan, dan jalan menuju kebahagiaan abadi.
Siddhartha Gautama lahir di Lumbini, Nepal, pada abad ke-5 SM. Ia dibesarkan dalam kemewahan dan dijauhkan dari segala bentuk penderitaan dunia oleh ayahnya, Raja Suddhodana, yang berharap putranya akan menjadi raja besar. Namun, takdir berkata lain. Beberapa kali menyaksikan empat pemandangan – orang tua, orang sakit, jenazah, dan seorang pertapa – Siddhartha mulai merenungkan hakikat kehidupan dan penderitaan yang tak terhindarkan.
Pada usia 29 tahun, ia memutuskan untuk meninggalkan istana, keluarga, dan segala kemewahan demi mencari solusi atas masalah penderitaan manusia. Periode ini dikenal sebagai "Kehidupan Agung Pengunduran Diri". Ia menjalani kehidupan pertapaan yang keras selama enam tahun, mencoba berbagai metode penyiksaan diri. Namun, ia menyadari bahwa jalan ekstrem ini tidak membawa pada pencerahan. Ia kemudian memilih "Jalan Tengah" – jalan yang menghindari pemuasan diri yang berlebihan maupun penyiksaan diri.
Di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya, India, Siddhartha Gautama bermeditasi dan akhirnya mencapai Pencerahan Agung (Bodhi) pada usia 35 tahun. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sang Buddha, yang berarti "Yang Tercerahkan" atau "Yang Sadar". Pengalaman pencerahannya memberinya pemahaman mendalam tentang sifat realitas, sebab-akibat penderitaan, dan jalan untuk mengakhirinya.
Ajaran pertama Sang Buddha di Taman Rusa, Sarnath, dikenal sebagai Khotbah Pertama. Inti dari ajaran ini adalah Empat Kebenaran Mulia:
Jalan Mulia Berunsur Delapan meliputi: pandangan benar, niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Jalan ini mengajarkan praktik etika, meditasi, dan kebijaksanaan untuk membersihkan pikiran dan mencapai pembebasan.
Sang Buddha tidak hanya mengajarkan tentang mengatasi penderitaan diri sendiri, tetapi juga menekankan pentingnya welas asih (karuna) dan cinta kasih (metta) kepada semua makhluk. Ia mengajarkan bahwa semua makhluk memiliki potensi untuk tercerahkan dan bahwa tindakan welas asih akan membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Ajaran-ajarannya bersifat universal, tidak terikat pada ras, kasta, atau keyakinan tertentu, dan dapat dipraktikkan oleh siapa saja yang mencari kedamaian dan pengertian.
Selama sisa hidupnya, Sang Buddha mengembara dan menyebarkan ajarannya kepada berbagai lapisan masyarakat. Beliau mendirikan Sangha, komunitas para bhikkhu dan bhikkhuni, yang melanjutkan warisan ajarannya. Hingga akhir hayatnya di Kushinagar, Sang Buddha terus membimbing murid-muridnya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Warisan Sang Buddha tidak hanya terbatas pada ajaran spiritualnya, tetapi juga mencakup pengaruhnya terhadap seni, budaya, dan filsafat di seluruh Asia dan dunia. Kisahnya telah diabadikan dalam berbagai teks suci, pahatan, lukisan, dan arsitektur. Ajaran-ajarannya terus dipelajari, direnungkan, dan dipraktikkan oleh jutaan orang yang menemukan makna, kedamaian, dan jalan menuju kehidupan yang lebih bermakna melalui teladan dan bimbingan Sang Buddha. Beliau adalah simbol abadi dari cahaya kebijaksanaan, kesabaran, dan welas asih yang tiada tara.