Perjalanan risalah kenabian adalah sebuah narasi panjang yang penuh dengan kontras, dimulai dari penolakan keras di Makkah hingga penerimaan universal di Madinah. Surat Al-Kafirun, dengan deklarasi tegasnya tentang pemisahan jalan (lakum dinukum wa liya din), seringkali dipandang sebagai titik kulminasi perjuangan ideologis, sebuah garis pemisah yang mutlak antara tauhid dan syirik. Namun, setelah ketegasan itu, apa yang terjadi? Struktur Al-Qur'an menempatkan Surat An-Nasr tepat setelah Al-Kafirun, sebuah urutan yang tidak hanya bersifat kronologis dalam Mushaf Utsmani, tetapi juga mendalam secara tematik, menandai transisi dari perjuangan defensif menuju kemenangan besar dan penutup misi kenabian.
Surat An-Nasr (Pertolongan) hadir sebagai penanda akhir dari sebuah babak sejarah. Jika Al-Kafirun adalah tentang pendirian yang kokoh saat berada dalam minoritas, An-Nasr adalah tentang kerendahan hati dan kesyukuran ketika berada di puncak mayoritas. Surat ini bukan hanya sekadar catatan sejarah tentang Fathul Makkah (Penaklukan Makkah), tetapi merupakan instruksi ilahi mengenai etika kemenangan dan persiapan spiritual menjelang akhir hayat Rasulullah ﷺ.
An-Nasr, surat ke-110 dalam Al-Qur'an, adalah salah satu surat Madaniyah terakhir yang diturunkan, terdiri dari tiga ayat yang padat makna. Surat ini secara eksplisit mengumumkan dua hal besar: janji kemenangan yang telah terwujud dan instruksi ibadah sebagai respons atas karunia tersebut.
Terjemah Makna:
Konteks penurunannya sangat krusial. Sebagian besar ulama tafsir sepakat bahwa surat ini diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah dan menjelang atau sesudah Fathul Makkah, yang merupakan puncak dari pertolongan Allah. Surat ini merupakan salah satu tanda bahwa tugas kenabian Rasulullah ﷺ telah sempurna dan rampung, mengantarkan beliau kepada peringatan tentang masa akhir hayatnya.
Ayat pertama menggabungkan dua istilah yang saling berkaitan namun memiliki nuansa berbeda: Nashrullah (Pertolongan Allah) dan Al-Fath (Kemenangan/Penaklukan/Pembukaan). Pemahaman mendalam atas kedua kata ini sangat penting untuk menangkap pesan surat.
Kata Nashr merujuk pada bantuan atau dukungan ilahi. Ini adalah energi transenden yang membuat upaya manusia berhasil. Dalam konteks sejarah Islam, Nashrullah telah hadir berkali-kali (seperti di Badr, saat kaum Muslimin minoritas menghadapi mayoritas Quraisy). Namun, dalam An-Nasr, kata ini dihubungkan dengan klimaks—bukan hanya kemenangan dalam pertempuran kecil, tetapi kemenangan struktural atas kesyirikan di jantung Jazirah Arab.
Para mufassir seperti Ibnu Katsir menekankan bahwa pertolongan ini tidak datang dari strategi atau kekuatan Muslim semata, melainkan sepenuhnya anugerah. Ia adalah penegasan bahwa hasil dari perjuangan yang panjang, sabar, dan penuh pengorbanan di Makkah dan Madinah, pada akhirnya dipetik melalui intervensi ilahi.
Al-Fath (Kemenangan atau Pembukaan) dalam konteks ini hampir secara universal ditafsirkan sebagai Fathul Makkah yang terjadi pada tahun ke-8 Hijriah. Makkah adalah pusat spiritual, politik, dan ekonomi Arab. Selama 13 tahun, kota ini menolak keras dakwah Nabi. Penaklukannya tanpa pertumpahan darah yang signifikan adalah sebuah mukjizat dan pembukaan strategis.
Namun, para ulama tasawuf juga melihat Al-Fath dalam makna yang lebih luas: Fath al-Qulub (Pembukaan Hati). Kemenangan sejati bukanlah pada penguasaan wilayah, melainkan pada terbukanya hati penduduk Makkah dan sekitarnya untuk menerima cahaya tauhid. Kemenangan ini mengubah total peta dakwah, memindahkan Islam dari status agama yang terancam menjadi kekuatan dominan di semenanjung Arab.
Gambar 1: Simbolisasi Kemenangan Ilahi (An-Nasr dan Al-Fath)
Ayat kedua adalah deskripsi visual tentang dampak kemenangan: "وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا" (Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah). Kata kunci di sini adalah Afwaja (أَفْوَاجًا), yang berarti berkelompok-kelompok besar, bergelombang, atau berduyun-duyun.
Selama periode Makkah dan awal Madinah, masuk Islam adalah tindakan yang membutuhkan keberanian pribadi yang ekstrem, seringkali menghadapi ancaman penyiksaan atau pengucilan. Masuk Islam biasanya terjadi secara individual atau kelompok kecil yang tersembunyi. Namun, Fathul Makkah mengubah dinamika ini secara drastis.
Penerimaan Islam secara afwaja menunjukkan adanya perubahan sosial dan psikologis yang mendasar. Setelah pusat penyembahan berhala dan penolakan terbesar (Makkah) takluk dan penduduknya menerima Islam, suku-suku Arab yang lain, yang selama ini menunggu siapa yang akan menang antara Quraisy dan Nabi Muhammad, menyadari bahwa Islam adalah kebenaran yang tidak tertandingi.
Peristiwa ini membalikkan persepsi: Islam tidak lagi dilihat sebagai ideologi pinggiran yang didukung minoritas, tetapi sebagai tata cara hidup yang didukung oleh kekuatan ilahi yang nyata. Kedatangan delegasi suku-suku ke Madinah, yang dikenal sebagai 'Tahun Delegasi' (Sanatul Wufud), adalah manifestasi langsung dari realitas afwaja ini. Mereka datang bukan karena paksaan militer, tetapi karena kesadaran bahwa kebenaran telah terbukti.
Analisis kata Afwaja oleh ahli bahasa dan tafsir, seperti Al-Qurthubi, menyoroti aspek kecepatan dan kuantitas. Ini bukan sekadar peningkatan jumlah pengikut, tetapi peningkatan eksponensial. Islam telah melewati titik kritis (tipping point). Seluruh struktur sosial, yang dulunya dibangun atas dasar kesukuan dan paganisme, kini runtuh dan digantikan oleh monoteisme tauhid.
Kontrasnya dengan Surat Al-Kafirun sangat mencolok. Di Al-Kafirun, Rasulullah harus berdiri sendirian dan menyatakan perbedaan. Di An-Nasr, beliau menyaksikan buah dari keteguhan tauhidnya: jutaan orang kini berdiri bersamanya, memilih jalan yang sama, menyembah Tuhan yang satu.
Ayat ketiga adalah jantung dari Surat An-Nasr. Setelah menggambarkan puncak pencapaian duniawi (kemenangan dan meluasnya agama), Allah SWT memberikan instruksi spiritual: "Fasabbih bihamdi Rabbika wastaghfirhu innahu kana tawwaba." (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat).
Kemenangan besar seringkali memicu keangkuhan, kesombongan, atau perasaan superioritas. Ajaran Al-Qur'an secara radikal menolak mentalitas ini. Begitu kekuasaan dan pertolongan datang, instruksi pertama adalah tasbih (mensucikan Allah dari segala kekurangan) dan tahmid (memuji-Nya).
Ini adalah pengakuan total bahwa kemenangan bukanlah hasil dari kecerdasan taktik manusia, jumlah pasukan yang lebih banyak, atau keunggulan senjata, tetapi murni anugerah dari Allah. Tasbih dan tahmid berfungsi sebagai penangkal racun kesombongan. Seorang pemimpin spiritual dan politik di puncak kekuasaannya diperintahkan untuk merendahkan diri dan mengembalikan seluruh kemuliaan hanya kepada Sang Pemberi Kemenangan.
Dalam konteks Nabi Muhammad ﷺ, tasbih dan tahmid adalah manifestasi ketaatan yang sempurna. Ketika beliau memasuki Makkah, bukannya berpawai dalam kemegahan, beliau justru menundukkan kepala di atas untanya, hampir menyentuh pelana, sebagai simbol kerendahan hati yang ekstrem, sambil terus melafalkan ayat-ayat suci. Inilah etika kemenangan Islam: kerendahan hati di hadapan kekuasaan.
Instruksi untuk beristighfar (memohon ampunan) setelah kemenangan seringkali membingungkan bagi sebagian orang. Mengapa harus memohon ampunan setelah mencapai kesuksesan yang diakui Ilahi?
Imam Syafi'i dan sejumlah ulama lainnya menafsirkan Surat An-Nasr sebagai pemberitahuan eksplisit tentang wafatnya Rasulullah ﷺ. Dengan tuntasnya misi dakwah (datangnya kemenangan dan masuknya manusia berbondong-bondong), tugas kenabian telah selesai. Oleh karena itu, perintah untuk memperbanyak tasbih dan istighfar adalah penanda bahwa waktu perpisahan sudah dekat. Aisyah RA meriwayatkan bahwa setelah surat ini turun, Rasulullah ﷺ semakin sering membaca: “Subhanakallahumma wa bihamdik, astaghfiruka wa atubu ilaik.”
Gambar 2: Simbolisasi Perintah Tasbih dan Istighfar
Studi tentang urutan surat dalam Al-Qur'an (tertib mushaf) selalu menawarkan perspektif tematik yang mendalam. Penempatan Surat An-Nasr setelah Al-Kafirun bukan kebetulan, melainkan bagian dari desain Ilahi yang menggambarkan evolusi risalah Islam dari awal hingga akhir.
Al-Kafirun adalah surat Makkah yang diturunkan pada masa kesulitan dan tekanan. Fungsinya adalah untuk mendefinisikan batas-batas Tauhid secara jelas. Ketika kaum Musyrikin menawarkan kompromi (bergantian menyembah Tuhan mereka dan Tuhan Nabi), Al-Kafirun berfungsi sebagai penolakan total. Inti dari surat ini adalah ketegasan dalam akidah: tidak ada toleransi dalam prinsip dasar tauhid. Surat ini adalah kunci untuk menjaga kemurnian internal jamaah Muslim.
An-Nasr, di sisi lain, adalah surat Madaniyah, diturunkan setelah konsolidasi kekuatan dan kemenangan politik-militer. Jika Al-Kafirun adalah tentang menjaga akidah saat terisolasi, An-Nasr adalah tentang menjaga kerendahan hati dan kemurnian jiwa saat berkuasa. Hubungan keduanya membentuk sebuah busur kenabian yang utuh:
Tanpa ketegasan tauhid yang diajarkan dalam Al-Kafirun, kemenangan dalam An-Nasr akan menjadi kemenangan duniawi yang kosong, mungkin berakhir dalam bentuk dinasti atau kerajaan sekuler yang melupakan misi aslinya. Namun, karena fondasi Tauhid murni, kemenangan tersebut membawa jutaan orang ke dalam agama Allah secara murni pula.
Menariknya, Al-Kafirun dan An-Nasr, yang berbicara tentang kemenangan dan pemisahan ideologis, sering diikuti oleh Surat Al-Masad (Al-Lahab) dalam urutan pewahyuan tematik. Al-Lahab secara spesifik mengutuk musuh bebuyutan Nabi, Abu Lahab dan istrinya. Urutan ini memperkuat narasi bahwa perjuangan ideologis yang kaku (Al-Kafirun) dan pertolongan ilahi (An-Nasr) pada akhirnya memisahkan secara definitif antara yang beriman dan yang menentang, menempatkan musuh-musuh Islam pada posisi yang jelas di hadapan sejarah dan agama.
Karena Surat An-Nasr sangat erat kaitannya dengan Fathul Makkah, perluasan pembahasan mengenai peristiwa bersejarah ini akan menggarisbawahi mengapa ia dianggap sebagai realisasi paripurna dari ayat tersebut. Fathul Makkah pada tahun 630 M (8 H) bukan hanya pertempuran, melainkan demonstrasi luar biasa dari strategi, diplomasi, dan rahmat ilahi.
Latar belakang Fathul Makkah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap Perjanjian Hudaibiyah. Kaum Quraisy membantu sekutu mereka, Bani Bakr, menyerang sekutu Muslim, Bani Khuza'ah. Pelanggaran ini, yang melibatkan pertumpahan darah di Tanah Suci, memberikan dasar yang sah bagi Rasulullah ﷺ untuk memobilisasi pasukan. Ini bukan invasi sembarangan, melainkan respons yang dibenarkan oleh pengkhianatan perjanjian.
Rasulullah ﷺ memimpin pasukan sekitar 10.000 sahabat—jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam saat itu. Strategi beliau adalah kerahasiaan total dan kecepatan yang mematikan. Tujuannya adalah mengejutkan Quraisy sehingga mereka tidak punya pilihan selain menyerah, meminimalkan pertumpahan darah.
Ketika pasukan besar ini berkemah di luar Makkah, Rasulullah ﷺ memerintahkan setiap tentara menyalakan api unggun. Malam itu, Makkah melihat lautan api, menciptakan ilusi kekuatan yang jauh lebih besar dan menakutkan, mematahkan mental perlawanan Quraisy bahkan sebelum pertempuran dimulai. Ini adalah bagian dari 'Pertolongan Allah' yang bersifat taktis.
Puncak dari Fathul Makkah adalah saat Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah. Beliau memberikan pengampunan umum (Al-’Afwu Al-Am) yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peperangan. Ketika Abu Sufyan, pemimpin Quraisy, ditangkap, ia dibebaskan dan rumahnya dijadikan tempat aman bagi siapa pun yang berlindung di dalamnya. Proklamasi ini sangat penting:
Pengampunan ini adalah realisasi dari sifat rahmah (kasih sayang) yang melekat pada misi kenabian. Ketika kaum Muslimin memiliki semua alasan untuk membalas dendam atas 13 tahun penganiayaan, Rasulullah ﷺ memilih rekonsiliasi. Tindakan ini membuka hati (Al-Fath) secara massal, yang kemudian mendorong fenomena Afwaja.
Sejarawan Ibnu Ishaq mencatat bahwa pengampunan massal ini jauh lebih efektif daripada pedang. Ia membebaskan psikologi Quraisy dari rasa takut dan permusuhan, memungkinkan mereka melihat keindahan Islam tanpa tekanan. Inilah esensi kemenangan yang dijanjikan dalam An-Nasr: kemenangan yang dimenangkan bukan melalui kekerasan, melainkan melalui keadilan dan kemurahan hati Ilahi.
Meskipun diturunkan sebagai penanda penutup risalah kenabian, ajaran Surat An-Nasr tetap relevan sebagai panduan etika spiritual dan sosial bagi umat Islam sepanjang masa. Pesan utamanya berkisar pada hubungan antara pencapaian dan kerendahan hati.
An-Nasr mengajarkan bahwa ketika komunitas Muslim mencapai kesuksesan, baik itu keberhasilan individu, bisnis, politik, atau dakwah, respons yang benar bukanlah perayaan diri (narsisme) atau klaim keunggulan mutlak, melainkan peningkatan ibadah. Kemenangan harus direspons dengan Tasbih dan Tahmid, pengembalian semua pujian kepada Allah. Ini adalah prinsip yang mencegah tirani dan korupsi yang sering menyertai kekuasaan mutlak.
Jika seorang Muslim atau sebuah komunitas berhasil mencapai tujuan besar, Surat An-Nasr berfungsi sebagai pengingat: sukses itu adalah ujian dan hadiah. Ujiannya adalah apakah kita akan sombong atau bersyukur. Resep ilahi adalah merendah dan beristighfar.
Fenomena Afwaja juga membawa pelajaran penting tentang metode dakwah. Kemenangan besar sering datang setelah masa kesabaran dan ketegasan (seperti yang diajarkan Al-Kafirun). Umat Islam kontemporer diingatkan bahwa hasil dakwah, yaitu masuknya manusia ke dalam agama Allah, bukanlah tanggung jawab manusia, melainkan akibat dari pertolongan Allah. Tugas manusia adalah konsisten dalam kebenaran, dan bersabar menanti waktu yang ditentukan oleh-Nya.
Perintah istighfar sebagai penutup risalah menunjukkan bahwa memohon ampunan harus menjadi kebiasaan permanen, bukan hanya saat berbuat dosa. Istighfar dalam konteks An-Nasr adalah pembersihan diri secara proaktif, pengakuan atas kebutuhan abadi hamba kepada Rabbnya. Bagi individu, ini berarti bahwa betapapun suksesnya hidup kita, kita harus selalu merasa fakir (membutuhkan) di hadapan Allah.
Perintah ini juga secara halus merespons bahaya "keberhasilan yang melenakan." Dunia modern dipenuhi dengan kesuksesan material, tetapi An-Nasr mengajarkan bahwa kesuksesan sejati harus selalu berakhir dengan penghambaan yang lebih mendalam, bukan kesenangan yang dangkal.
Keindahan Surat An-Nasr juga terletak pada pilihan kata-kata dan struktur gramatikalnya yang sangat spesifik, yang memberikan makna lapisan demi lapisan. Pembahasan mendalam atas struktur linguistik ini memperkuat pesan teologisnya.
Ayat pertama menggunakan kata kerja lampau (perfect tense) untuk kata 'ja-a' (telah datang): إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ. Sementara, ayat kedua menggunakan kata kerja masa depan (imperfect tense) untuk kata 'tara' (engkau akan melihat): وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ. Padahal, surat ini diturunkan saat Fathul Makkah belum terjadi atau baru saja terjadi.
Mufassir kontemporer menjelaskan bahwa penggunaan kata kerja lampau untuk kemenangan (ja-a) adalah untuk menunjukkan kepastian mutlak. Meskipun secara kronologis belum terjadi, dalam pandangan Allah, kemenangan itu sudah ditetapkan dan pasti terjadi. Ini memberikan keyakinan yang luar biasa kepada Nabi dan para Sahabat. Kemenangan itu seolah-olah sudah ada, tinggal menunggu waktu manifestasi fisiknya di dunia.
Ayat ketiga dimulai dengan huruf sambung Faa’ (فَـ) dalam kata "Fasabbih" (Maka bertasbihlah). Dalam bahasa Arab, Faa’ al-ta’qib ini menunjukkan hubungan sebab-akibat yang segera dan logis. Implikasinya adalah:
"Karena" kemenangan telah datang, "maka" segera lakukan tasbih dan istighfar. Tidak ada jeda untuk euforia atau kelalaian. Reaksi yang tepat terhadap karunia terbesar adalah ibadah yang segera dan intens. Ini menekankan pentingnya respons spiritual yang cepat terhadap kesuksesan duniawi.
Ayat ditutup dengan sifat Allah, Innahu kana Tawwaba (Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat). Penggunaan kata Tawwaba, yang merupakan bentuk mubalaghah (intensitas), menekankan bahwa Allah sangat sering dan sangat besar penerimaan tobat-Nya. Ini adalah jaminan bagi Nabi (dalam istighfarnya sebagai pengakuan hamba) dan bagi umat yang baru masuk Islam berbondong-bondong (Afwaja), bahwa pintu ampunan selalu terbuka lebar.
Penutup yang indah ini mengikat seluruh pesan: Pertolongan datang, hati manusia terbuka, dan kini saatnya untuk berpulang dan bergantung sepenuhnya pada ampunan Allah. Kemenangan terbesar bukanlah menaklukkan Makkah, tetapi menaklukkan hawa nafsu dan meraih ampunan-Nya.
An-Nasr bukanlah satu-satunya surat yang membahas kemenangan, tetapi pendekatannya unik karena ia langsung menghubungkan kemenangan dengan akhir misi kenabian. Perbandingan dengan surat lain yang juga berbicara tentang Fath dan Nashr akan memberikan pemahaman yang lebih kaya.
Surat Al-Fath diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah, yang secara lahiriah tampak seperti kekalahan tetapi secara hakikat adalah kemenangan besar (Fathul Mubin). Ayat awalnya berbunyi: "Innā fataḥnā laka fatḥan mubīnā" (Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata).
Perbedaan krusialnya adalah: Al-Fath berbicara tentang janji kemenangan yang akan datang dan kemenangan strategis melalui diplomasi. An-Nasr berbicara tentang kemenangan yang sudah terwujud secara fisik dan massal (Fathul Makkah) dan memerintahkan tindakan respons spiritual spesifik sebagai penutup risalah.
Surat Ar-Rum juga mengandung janji kemenangan (Nashr). Ayat-ayat ini membahas kemenangan bangsa Romawi atas Persia, yang dilihat sebagai tanda kemenangan bagi kaum Muslimin di masa depan. Fokus Ar-Rum adalah pada janji kemenangan jangka panjang yang bersifat universal dan menunjukkan kekuasaan Allah atas segala sesuatu di dunia.
An-Nasr, sebaliknya, bersifat personal dan final: ditujukan langsung kepada Rasulullah ﷺ untuk sebuah peristiwa spesifik (Fathul Makkah) yang menandai tuntasnya tugas beliau.
An-Nasr adalah puncak dari semua janji kemenangan sebelumnya. Ia adalah finalisasi, bukan sekadar janji. Hal ini menjelaskan mengapa pesan utamanya bukanlah tentang membagi ghanimah (harta rampasan perang) atau mengatur negara, melainkan tentang Tasbih dan Istighfar—instruksi yang sepenuhnya bersifat eskatologis dan spiritual, mempersiapkan Nabi untuk perjumpaan dengan Tuhannya.
Di mata para Sahabat besar, khususnya Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas, Surat An-Nasr tidak dapat dipisahkan dari isyarat tentang akhir hayat Nabi Muhammad ﷺ. Interpretasi ini adalah yang paling mendalam dan paling menyentuh dari surat ini.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah memanggil Abdullah bin Abbas (yang masih muda) untuk duduk bersama para sesepuh dalam majelis konsultasi. Ketika yang lain mempertanyakan, Umar berkata: "Dia adalah pemuda yang sangat berilmu." Kemudian Umar bertanya kepada mereka tentang tafsir Surat An-Nasr. Para sesepuh menjawab: "Allah memerintahkan kita untuk memuji dan memohon ampunan-Nya jika kita meraih kemenangan dan melihat manusia masuk Islam."
Namun, Ibnu Abbas memberikan jawaban yang berbeda: "Ini adalah isyarat tentang ajal Rasulullah ﷺ. Surat ini memberitahukan bahwa ketika tugas (dakwah dan kemenangan) telah selesai, maka ajal (waktu untuk istirahat dan kembali kepada Allah) telah tiba."
Umar kemudian membenarkan tafsir Ibnu Abbas, menunjukkan bahwa meskipun secara harfiah An-Nasr adalah tentang Fathul Makkah, secara hakikat ia adalah surat perpisahan (Wada’). Kemenangan menandakan penutupan misi, dan penutupan misi menandakan penutupan kehidupan Nabi di dunia.
Surat ini dapat dibaca sebagai tiga fasa penting di akhir kehidupan Nabi:
Sejak turunnya surat ini, Rasulullah ﷺ semakin intens dalam ibadahnya. Beliau melipatgandakan tasbih dan istighfar, sebuah tindakan yang mencerminkan pemahaman beliau bahwa misi telah selesai dan saatnya telah tiba untuk kembali ke kekasih-Nya.
Surat An-Nasr meninggalkan warisan kehati-hatian spiritual yang mendalam bagi umat. Kita harus selalu hidup dalam kesadaran akan akhir hayat, dan kematian harus menjadi motivator terbesar untuk meningkatkan kualitas ibadah, terutama setelah mencapai puncak kesuksesan. Kemenangan terbesar seorang Muslim bukanlah dalam meraih kekayaan atau jabatan, melainkan dalam menyempurnakan bekalnya sebelum ajal tiba. An-Nasr adalah panduan ilahi tentang bagaimana mengakhiri sebuah perjalanan hidup dengan kemuliaan dan kerendahan hati.
Setelah periode ketegasan dan pemisahan yang dicerminkan dalam Surat Al-Kafirun, Surat An-Nasr datang sebagai klimaks yang monumental, menandai kemenangan terbesar dalam sejarah Islam, Fathul Makkah. Surat ini bukan sekadar catatan optimisme; ia adalah manual etika Ilahi untuk menghadapi kesuksesan dan sebagai isyarat lembut mengenai dekatnya akhir kenabian.
Pelajaran yang paling abadi dari An-Nasr adalah bahwa puncak kekuasaan dan pengaruh harus direspons dengan kerendahan hati yang ekstrem, yang diwujudkan melalui Tasbih, Tahmid, dan Istighfar. Ini adalah formula untuk memastikan bahwa kemenangan lahiriah tidak merusak kemenangan batiniah. Ketika dunia tunduk, jiwa harus semakin tunduk kepada Penciptanya. An-Nasr mengajarkan umat Islam untuk selalu mengingat bahwa setiap keberhasilan adalah milik Allah semata, dan tujuan akhir setiap kehidupan adalah kembali kepada-Nya dalam keadaan suci dan diampuni. Inilah esensi dari surat agung yang diturunkan setelah deklarasi tauhid yang paling tegas.
An-Nasr menutup era kenabian di Jazirah Arab, namun ia membuka babak baru dalam sejarah manusia, memastikan bahwa ketika Islam menyebar ke seluruh dunia, ia akan membawa serta nilai-nilai kerendahan hati, pengampunan, dan kesadaran diri yang mendalam.
Gambar 3: Simbolisasi Misi yang Sempurna
Sejauh ini, pemahaman tematik dan tafsir mendalam terhadap setiap aspek Surat An-Nasr, dari konteks historis Fathul Makkah hingga implikasi linguistik kata Afwaja dan perintah spiritual Tasbih serta Istighfar, menunjukkan bahwa surat ini adalah penutup agung dari Al-Qur'an Madaniyah, sebuah instruksi spiritual yang melampaui waktu, yang mengajarkan bagaimana mengelola kemenangan terbesar dengan kerendahan hati terbesar.