Kajian Mendalam Surah Al-Ikhlas: Manifestasi Tauhid Murni Setelah Al-Lahab
Setelah selesai membaca untaian peringatan dan ancaman yang tegas dalam Surah Al-Lahab (Al-Masad), pembaca Al-Qur'an segera diperkenalkan pada sebuah surah pendek, namun sarat makna, yang menjadi fondasi utama seluruh ajaran Islam. Surah tersebut adalah Surah Al-Ikhlas (Nomor 112). Meskipun hanya terdiri dari empat ayat, Al-Ikhlas memuat ringkasan doktrin ketuhanan yang paling murni, yang tidak dapat ditemukan dalam kitab suci atau ajaran lain mana pun.
Surah ini berfungsi sebagai deklarasi tegas mengenai Keesaan Allah (Tauhid) dan penafian mutlak terhadap segala bentuk kemusyrikan atau persekutuan. Karena peran sentralnya dalam mendefinisikan Akidah, Surah Al-Ikhlas sering dijuluki sebagai sepertiga dari keseluruhan Al-Qur'an.
Visualisasi Konsep Al-Ahad (Yang Maha Esa).
I. Identitas Dasar Surah Al-Ikhlas
1. Nama Surah dan Makna Inti
Nama 'Al-Ikhlas' secara harfiah berarti 'Kemurnian' atau 'Keikhlasan'. Dinamakan demikian karena dua alasan fundamental:
- Kemurnian Akidah: Surah ini membersihkan (memurnikan) keyakinan pembacanya dari segala bentuk syirik, mitos, dan konsep ketuhanan yang cacat. Siapa pun yang meyakini kandungan surah ini dengan sepenuh hati telah memurnikan Tauhidnya.
- Keikhlasan Amal: Surah ini mengajarkan bahwa ibadah harus ditujukan hanya kepada Zat yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan di dalamnya. Mengamalkan dan merenungkan surah ini secara konsisten mendorong keikhlasan dalam beramal.
2. Klasifikasi dan Periode Pewahyuan (Makkiyah)
Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa Surah Al-Ikhlas tergolong surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah. Periode Makkah sangat fokus pada penanaman Akidah dan Tauhid karena masyarakat Quraisy saat itu mempraktikkan politeisme yang akut (syirik).
Meskipun pendek, Surah Al-Ikhlas menjawab isu-isu teologis yang paling mendasar. Kenyataan bahwa ia adalah Makkiyah menekankan betapa pentingnya pemurnian konsep Tuhan sebagai langkah pertama dalam membangun masyarakat Islam.
II. Asbabun Nuzul (Penyebab Turunnya Surah)
Penelitian mengenai Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) Surah Al-Ikhlas memberikan konteks langsung mengenai mengapa doktrin yang sedemikian tegas harus diwahyukan.
1. Pertanyaan Kaum Musyrikin
Riwayat paling terkenal dari Imam At-Tirmidzi, Mu'jamul Kabir oleh Ath-Thabarani, dan lainnya menyebutkan bahwa sekelompok kaum musyrikin Makkah datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya:
“Ya Muhammad, jelaskanlah kepada kami tentang Tuhanmu. Apakah Dia terbuat dari emas? Apakah Dia terbuat dari perak? Berilah keterangan tentang silsilah dan keturunan-Nya.”
Dalam masyarakat Arab, silsilah (nasab) sangat penting untuk menentukan identitas dan kehormatan. Kaum musyrikin tidak bisa membayangkan Tuhan tanpa silsilah, istri, atau asal-usul materiil. Sebagai respons langsung terhadap tuntutan identifikasi fisik dan genealogi ini, Surah Al-Ikhlas diwahyukan. Ini adalah jawaban definitif yang memisahkan Tuhan Islam dari semua konsep dewa-dewa yang memiliki keterbatasan manusiawi atau materi.
2. Perdebatan dengan Yahudi dan Nasrani (Konsep Ketuhanan)
Meskipun riwayat utama mengarah pada kaum musyrikin Makkah, sebagian mufassir juga menghubungkan surah ini dengan perdebatan teologis yang lebih luas, termasuk dengan penganut Yahudi dan Nasrani, yang memiliki pandangan berbeda tentang silsilah ilahi (misalnya, Yahudi menyebut Uzair sebagai putra Tuhan, sementara Nasrani meyakini Isa Al-Masih sebagai putra Tuhan). Surah Al-Ikhlas menolak secara mutlak konsep ketuhanan yang memiliki anak atau asal-usul.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Ikhlas dan mengapa ia setara dengan sepertiga Al-Qur'an, kita harus menyelami makna linguistik dan teologis setiap kata dalam empat ayatnya.
III. Ayat 1: Qul Huwallahu Ahad (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa)
1. Analisis Kata 'Qul' (Katakanlah)
Kata perintah 'Qul' menunjukkan bahwa deklarasi ini bukan sekadar pemikiran pribadi Nabi, melainkan sebuah wahyu yang wajib disampaikan dan diikrarkan secara lisan. Ini adalah perintah untuk menyampaikan manifesto ketuhanan ini kepada seluruh umat manusia sebagai respons terhadap segala pertanyaan dan keraguan.
2. Analisis Kata 'Allah'
Kata 'Allah' adalah Ism al-Jalalah (Nama yang Agung), yang khusus hanya merujuk pada Zat yang wajib disembah. Ini adalah nama diri Tuhan dalam Islam, yang mencakup semua sifat kesempurnaan.
3. Analisis Kata 'Ahad' (Yang Maha Esa)
Kata Ahad (أَحَدٌ) memiliki makna yang jauh lebih dalam dan mutlak dibandingkan kata Wahid (وَاحِدٌ) yang juga berarti satu.
- Ahad: Digunakan secara eksklusif untuk Allah. Ini merujuk pada keesaan yang mutlak, tak terbagi, dan tidak memiliki sekutu dalam esensi (Dzat), sifat (Sifat), atau tindakan (Af'al). Dia tidak terdiri dari bagian-bagian, dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Ini adalah penolakan terhadap trinitas, dualisme, dan politeisme.
- Wahid: Dapat digunakan untuk makhluk (misalnya, 'satu orang', 'satu apel'). Wahid hanya menunjukkan jumlah numerik.
Pilihan kata Ahad di sini menekankan bahwa Keesaan-Nya adalah unik dan sempurna. Tidak ada dua 'Ahad' dalam wujud (eksistensi).
IV. Ayat 2: Allahus Samad (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu)
1. Makna Linguistik 'As-Samad'
Kata As-Samad (الصَّمَدُ) adalah salah satu nama dan sifat Allah yang paling padat maknanya, sering kali sulit diterjemahkan secara tunggal ke dalam bahasa lain. Para ulama tafsir memberikan beberapa interpretasi utama:
- Tempat Bergantung (Asal Makna): Ini adalah Zat yang menjadi tujuan dan tempat perlindungan di mana semua makhluk mencari bantuan, kebutuhan, dan pertolongan. Semua kebutuhan dipenuhi oleh-Nya, sementara Dia tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya.
- Yang Sempurna Sifat-Nya: Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, As-Samad adalah Zat yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam semua sifat-Nya, termasuk ilmu, hikmah, kasih sayang, dan kekuasaan.
- Yang Tidak Berongga (Penolakan Materi): Menurut Ikrima dan As-Suddi, Samad berarti Yang tidak berlubang, tidak berongga, dan tidak makan atau minum. Interpretasi ini secara eksplisit menolak pandangan antropomorfisme (Tuhan yang memiliki tubuh dan kebutuhan seperti manusia).
Ayat ini menegaskan Keberdayaan dan Kekayaan Allah (Al-Ghani) yang kontras dengan kefakiran dan ketergantungan makhluk (Al-Faqir).
V. Ayat 3: Lam Yalid Wa Lam Yuulad (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan)
1. Penolakan Keturunan (Lam Yalid)
Frasa Lam Yalid (Dia tidak beranak/melahirkan) secara tegas menolak konsep ilahiah yang menghasilkan keturunan. Penolakan ini mencakup tiga dimensi utama:
- Penolakan Biologis: Menolak keyakinan musyrikin Arab yang menganggap malaikat sebagai "anak perempuan Allah" dan keyakinan Nasrani terhadap Isa.
- Penolakan Substansial (Emanasi): Menolak pandangan filosofis bahwa wujud Tuhan dapat 'memancarkan' (melahirkan) wujud lain, sehingga membagi esensi-Nya. Tuhan itu Ahad (mutlak), tidak dapat dibagi atau dipancarkan.
- Penolakan Kepemilikan: Walaupun Allah menciptakan segala sesuatu, ciptaan-Nya tidak menjadi 'anak' atau 'bagian' dari Dzat-Nya. Hubungan-Nya dengan makhluk adalah pencipta-ciptaan, bukan ayah-anak.
2. Penolakan Asal Usul (Wa Lam Yuulad)
Frasa Wa Lam Yuulad (dan tidak diperanakkan) menolak bahwa Allah memiliki awal atau asal-usul (prekursor). Ini menegaskan sifat Allah sebagai Al-Awwal (Yang Pertama, Tanpa Permulaan) dan Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri).
Kombinasi kedua frasa ini memastikan bahwa Allah adalah Tunggal secara esensial, tidak membutuhkan masa lalu (tidak diperanakkan) dan tidak menciptakan masa depan melalui keturunan (tidak beranak).
VI. Ayat 4: Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia)
1. Makna 'Kufuwan' (Kesetaraan atau Sebanding)
Kata Kufuwan (كُفُوًا) berarti 'setara', 'sebanding', 'sejajar', atau 'tandingan'. Ayat ini merupakan penutup yang merangkum semua ayat sebelumnya. Setelah mendefinisikan sifat-sifat eksklusif Allah (Esa, Tempat Bergantung, Tanpa Asal Usul), ayat terakhir menutup pintu bagi kemungkinan apa pun yang menyerupai atau menandingi-Nya.
Ayat ini memastikan bahwa:
- Tidak Ada Tandingan dalam Dzat: Dzat Allah tidak menyerupai zat apa pun.
- Tidak Ada Tandingan dalam Sifat: Sifat Allah (seperti Ilmu, Kekuatan, Kehidupan) adalah sempurna dan unik, tidak dapat dibandingkan dengan sifat makhluk.
- Tidak Ada Tandingan dalam Tindakan (Af'al): Tidak ada yang dapat menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, atau mematikan selain Dia.
Ayat ini adalah inti dari Tanzih (menjauhkan Allah dari kekurangan dan menyerupai makhluk) dan Tajrid (penyucian murni terhadap keesaan-Nya).
Salah satu keistimewaan Surah Al-Ikhlas yang paling sering dibahas adalah kedudukannya yang setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Keutamaan ini bukan hanya metafora, melainkan ajaran yang ditegaskan dalam banyak hadis shahih.
1. Hadis tentang Sepertiga Al-Qur'an
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surah ‘Qul Huwallahu Ahad’ itu setara dengan sepertiga Al-Qur'an.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Interpretasi Para Ulama Mengenai Kesetaraan
Para ulama tafsir dan hadis menjelaskan bahwa kesetaraan ini bukan dalam hal jumlah huruf atau pahala yang persis sama dengan membaca seluruh Al-Qur'an (yang pahalanya tetap lebih besar), melainkan dalam hal bobot konten teologis.
Al-Qur'an secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian utama dalam hal substansi isi:
- Tauhid dan Akidah (Prinsip Dasar Keyakinan): Pembahasan mengenai Dzat Allah, Sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, dan Keesaan-Nya.
- Hukum dan Syariat (Perintah dan Larangan): Meliputi fikih, transaksi, ibadah, dan hukum pidana (muamalat dan ibadat).
- Kisah dan Peringatan (Sejarah dan Janji): Termasuk kisah para nabi, umat terdahulu, janji surga, dan ancaman neraka (wahyu dan ghaib).
Surah Al-Ikhlas secara sempurna merangkum seluruh kategori Tauhid dan Akidah. Oleh karena itu, bagi yang memahami dan mengamalkan intisarinya, ia seolah-olah telah menguasai sepertiga dari seluruh inti pesan Al-Qur'an.
3. Kecintaan kepada Surah Al-Ikhlas
Terdapat kisah dari zaman Nabi ﷺ tentang seorang pemimpin pasukan yang selalu mengakhiri salatnya dengan membaca Surah Al-Ikhlas. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab:
“Karena ia adalah sifat Ar-Rahman (Allah), dan aku sangat senang membacanya.”
Mendengar jawaban itu, Nabi ﷺ bersabda, “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini menunjukkan bahwa fokus pada pemurnian Tauhid (yang diwujudkan dalam surah ini) adalah jalan menuju kecintaan Ilahi.
Meskipun Surah Al-Ikhlas sangat pendek, susunan katanya menunjukkan keajaiban linguistik yang memastikan kesempurnaan definisi Tauhid. Tidak ada kata yang mubazir, dan urutannya sangat logis.
1. Urutan Logis Penegasan dan Penolakan (Isbat dan Tanzih)
Surah ini menyajikan definisi Tauhid dalam urutan yang strategis:
- Penegasan Eksistensi (Ayat 1: Ahad): Pertama-tama, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Zat Yang Maha Tunggal. Ini adalah landasan Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah.
- Penegasan Kesempurnaan dan Kebutuhan Mutlak (Ayat 2: Samad): Setelah menegaskan Keesaan Dzat, Allah menegaskan Kesempurnaan Sifat-Nya. Ini berarti seluruh alam semesta membutuhkan-Nya.
- Penolakan Asal Usul dan Keturunan (Ayat 3: Lam Yalid wa Lam Yuulad): Ini adalah penolakan terhadap pembandingan (Tashbih) dengan makhluk yang memiliki awal dan akhir. Ini adalah pertahanan Dzat Allah dari segala kekurangan.
- Penolakan Kesetaraan Mutlak (Ayat 4: Kufuwan Ahad): Ayat penutup ini berfungsi sebagai gerbang perlindungan, memastikan bahwa tidak ada entitas di alam semesta yang dapat dikaitkan, diserupakan, atau dibandingkan dengan Allah dalam aspek apa pun.
2. Penggunaan Kata Kerja Negasi 'Lam'
Dalam ayat ketiga, digunakan kata negasi 'Lam' (لَمْ) yang diikuti oleh kata kerja (Lam yalid wa lam yulad). Dalam tata bahasa Arab, penggunaan 'Lam' menunjukkan penolakan atau penafian mutlak yang berlaku di masa lalu dan terus berlaku selamanya (sejenis negasi yang permanen). Ini sangat penting untuk membedakannya dari negasi biasa, menegaskan bahwa Allah tidak pernah beranak dan tidak akan pernah beranak.
3. Pembalikan Gramatikal yang Sempurna
Urutan "Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan" (Lam yalid wa lam yulad) adalah urutan yang sempurna. Secara logika, jika seseorang tidak beranak, dia tidak akan mewariskan sifat ketuhanan kepada orang lain. Jika seseorang tidak diperanakkan, dia tidak menerima sifat ketuhanan dari pendahulu. Urutan ini secara teologis menutup kedua ujung silsilah ilahi: baik ke masa lalu maupun ke masa depan.
Surah Al-Ikhlas bukan sekadar lantunan ayat yang indah, melainkan merupakan landasan (asas) yang mengatur seluruh arsitektur Akidah Islam.
1. Fondasi Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, Pengatur, dan Pemberi Rezeki alam semesta. Surah Al-Ikhlas menegaskan hal ini melalui sifat As-Samad. Jika seluruh makhluk bergantung kepada-Nya (As-Samad), berarti hanya Dia yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur segala sesuatu. Dia adalah pengatur yang mandiri, tidak diatur oleh apa pun.
2. Fondasi Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati. Ketika seseorang memahami bahwa Allah adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa) dan As-Samad (Tempat Bergantung), secara otomatis ibadah (salat, doa, puasa) hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Menyerahkan ibadah kepada selain Allah adalah kontradiksi langsung terhadap kandungan surah ini.
3. Menanggulangi Antropomorfisme (Tasybih)
Ayat "Lam yalid wa lam yulad" dan "Wa lam yakun lahu kufuwan ahad" adalah senjata utama melawan Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kedua ayat ini secara kategoris menolak semua konsep ketuhanan yang diliputi kebutuhan biologis, temporal, atau silsilah. Sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh ciptaan, bukan oleh Sang Pencipta. Surah ini memaksa pikiran manusia untuk mengakui bahwa Allah berada di luar jangkauan imajinasi dan pengalaman material manusia.
4. Surah Al-Ikhlas dan Nama-Nama Allah (Asmaul Husna)
Surah ini, meskipun pendek, menjadi kunci untuk memahami banyak dari Asmaul Husna:
- Al-Ahad & Al-Wahid: Ditegaskan di Ayat 1.
- As-Samad: Ditegaskan di Ayat 2, mencerminkan Al-Ghani (Yang Maha Kaya) dan Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri).
- Al-Awwal & Al-Akhir: Ditegaskan melalui penolakan asal-usul dan keturunan di Ayat 3.
- Al-Khaliq (Pencipta): Tersirat karena jika Dia adalah Al-Ahad dan As-Samad, maka Dia adalah satu-satunya sumber penciptaan.
5. Posisi dalam Rukun Islam dan Salat
Meskipun tidak diwajibkan, Surah Al-Ikhlas sangat dianjurkan untuk dibaca dalam salat. Seringkali Nabi ﷺ membaca Surah Al-Kafirun (manifesto penolakan ibadah) dan Surah Al-Ikhlas (manifesto penegasan Tauhid) dalam salat sunah Fajar dan salat Witir. Kedua surah ini, yang dijuluki Al-Muqasyqishatain (Dua Pembersih), berfungsi membersihkan amal dari kemusyrikan.
Seorang Muslim yang membaca Surah Al-Ikhlas dalam salatnya sedang menegaskan kembali kontrak akidah yang ia ikrarkan dalam Syahadat: Tiada Tuhan selain Allah yang memiliki sifat-sifat ini.
Karena pentingnya Surah Al-Ikhlas, para ulama memberikannya puluhan nama lain, yang masing-masing menyoroti aspek spesifik dari keutamaannya:
1. As-Samad
Dinamakan demikian karena kata ini adalah kata sifat yang unik yang hanya digunakan untuk Allah, dan merupakan inti dari ayat kedua yang menjelaskan ketergantungan makhluk kepada-Nya.
2. Al-Asas (Pondasi)
Surah ini dianggap sebagai fondasi utama agama (asas ad-din). Pondasi agama adalah Tauhid, dan surah ini adalah rumusan paling ringkas dan murni dari pondasi tersebut.
3. Al-Maqshishah (Pembersih)
Nama ini berasal dari akar kata Qashqash yang berarti 'membersihkan dari penyakit'. Surah ini membersihkan pembacanya dari penyakit kekufuran dan kemunafikan jika diyakini dengan benar.
4. Al-Manjiyah (Penyelamat)
Keyakinan pada Tauhid yang dijelaskan dalam surah ini menyelamatkan seorang hamba dari azab neraka. Ini adalah penyelamat di dunia dan di Akhirat, karena ia merupakan benteng dari segala kesesatan.
5. Al-Mufridah (Yang Menyendiri)
Surah ini disebut demikian karena ia berdiri sendiri dalam menjelaskan Dzat Allah tanpa memasukkan perintah atau larangan syariat lainnya, fokus murni pada Keesaan.
6. An-Nur (Cahaya)
Tauhid adalah cahaya yang menerangi kegelapan syirik. Surah ini adalah pancaran cahaya yang menghilangkan kegelapan keraguan teologis.
Melalui beragam nama ini, kita melihat bahwa Al-Ikhlas diakui sebagai inti esensial dan pembersih spiritual bagi Akidah seorang Muslim.
VIII. Relevansi dan Aplikasi Kontemporer Surah Al-Ikhlas
Dalam era modern, di mana konsep ketuhanan sering kali digeser oleh materialisme, sekularisme, atau konsep spiritualitas yang ambigu, Surah Al-Ikhlas menawarkan kejelasan yang tak tergoyahkan.
1. Melawan Godaan Materialisme
Materialisme mengagungkan kekuatan materi dan sumber daya dunia. Konsep Allahus Samad menjadi penawar. Ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu—uang, kekuasaan, teknologi—pada akhirnya bergantung pada Dzat Yang Maha Tunggal, ia melepaskan hatinya dari perbudakan materi dan hanya bergantung pada Sang Pencipta.
2. Peran dalam Ruqyah dan Perlindungan
Surah Al-Ikhlas termasuk dalam Al-Mu'awwidzat (Surah-surah Perlindungan), bersama Al-Falaq dan An-Nas. Tiga surah ini secara rutin dibaca oleh Nabi ﷺ sebelum tidur, setelah salat, dan saat mencari perlindungan dari kejahatan. Kekuatan surah ini dalam menolak kejahatan bukan terletak pada kata-katanya semata, melainkan pada manifestasi kekuatan Tauhidnya. Tidak ada makhluk yang dapat menyakiti hamba yang hatinya terikat erat pada Allah Yang Maha Esa dan tidak memiliki tandingan.
3. Penolakan terhadap Konsep Ketuhanan yang Cacat
Surah ini relevan dalam menghadapi pluralitas ideologi modern. Filosofi yang menganggap Tuhan sebagai energi universal yang tidak personal, atau yang mencampuradukkan Tuhan dengan alam semesta (panteisme), semuanya dibantah oleh konsep Al-Ahad dan As-Samad. Allah adalah Transenden (di atas ciptaan-Nya), tetapi juga Dekat (melalui ilmu dan rahmat-Nya).
4. Menjaga Keikhlasan Niat
Nama Surah 'Al-Ikhlas' mengingatkan bahwa tujuan utama beribadah adalah memurnikan niat (ikhlas). Karena hanya Allah yang As-Samad, ibadah kita tidak boleh dicampuri keinginan duniawi, pujian manusia, atau riya' (pamer). Mengamalkan surah ini adalah pelatihan terus-menerus untuk memurnikan hubungan antara hamba dan Khaliq (Pencipta).
IX. Penutup dan Pengukuhan
Surah Al-Ikhlas, yang hadir tepat setelah Surah Al-Lahab, menyajikan kontras yang tajam. Setelah narasi kehancuran dan celaan bagi musuh-musuh dakwah, Al-Ikhlas memberikan deklarasi universal yang abadi mengenai hakikat Tuhan yang sedang diperjuangkan. Ia adalah benteng teologis yang memastikan bahwa meskipun ancaman dari musuh-musuh agama datang silih berganti, fondasi keyakinan (Tauhid) tidak akan pernah goyah.
Pemahaman mendalam terhadap empat ayat ini adalah syarat minimum untuk validitas keimanan seseorang. Ia adalah pondasi, penyelamat, pemurni, dan kunci untuk memahami seluruh wahyu Al-Qur'an. Maka, setiap Muslim diwajibkan untuk tidak hanya menghafalnya, tetapi juga merenungkan maknanya yang tak terbatas, memastikan bahwa konsep Tauhid dalam hati tetap murni, sebagaimana yang dijelaskan oleh Surah Al-Ikhlas.
Keutamaan surah ini sebagai sepertiga Al-Qur'an menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tauhid yang murni adalah bagian paling berharga dari agama ini. Selama akidah tetap teguh dan murni, keseluruhan bangunan agama akan berdiri kokoh, menolak segala bentuk syirik, tandingan, atau persekutuan, hingga akhir zaman.
***
(Akhir Kajian Mendalam Surah Al-Ikhlas)