Surah Al Ikhlas, meskipun terdiri dari hanya empat ayat pendek, merupakan inti sari dari seluruh ajaran Islam. Ia adalah manifestasi murni dari konsep Tauhid (Keesaan Allah), dan karena kedalaman maknanya, ia sering disebut setara dengan sepertiga dari seluruh Al-Qur'an. Namun, salah satu pertanyaan mendasar yang sering muncul dalam studi Al-Qur'an adalah mengenai konteks sejarah dan geografis penurunannya: surah Al Ikhlas diturunkan di mana? Apakah ia termasuk golongan Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah di Mekkah) atau Madaniyah (diturunkan setelah Hijrah di Madinah)?
Penentuan lokasi dan waktu penurunan (Nuzul) sebuah surah sangat penting karena membantu para mufassir memahami suasana kejiwaan, kebutuhan audiens, dan tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah ﷺ saat wahyu itu diterima. Dalam kasus Surah Al Ikhlas, terdapat perdebatan klasik yang mencerminkan dua konteks historis yang sangat berbeda.
Secara umum, mayoritas ulama tafsir cenderung mengklasifikasikan Surah Al Ikhlas sebagai Surah Makkiyah. Namun, terdapat riwayat yang cukup kuat yang mengindikasikannya sebagai Madaniyah. Analisis terhadap konteks sejarah (Asbabun Nuzul) menjadi kunci utama dalam memahami kedua pandangan ini.
Pendapat yang paling dominan di kalangan ulama salaf dan khalaf adalah bahwa Surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah pada periode awal kenabian. Argumentasi ini didasarkan pada kebutuhan fundamental pada masa itu:
Meskipun mayoritas cenderung pada Makkiyah, ada riwayat yang patut diperhitungkan yang menunjukkan penurunan surah ini di Madinah. Riwayat ini terkait dengan interaksi Rasulullah ﷺ dengan komunitas Yahudi dan Nasrani yang dominan di wilayah Madinah dan sekitarnya:
Para ulama mencoba merekonsiliasi kedua pandangan ini. Pandangan yang paling diterima adalah bahwa surah ini diturunkan di Mekkah (Makkiyah) sebagai respons terhadap kaum musyrikin Quraisy, namun kemudian diulang turun atau relevansinya ditekankan kembali di Madinah ketika pertanyaan serupa muncul dari Ahli Kitab. Dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah: "Turunnya ayat dapat terjadi lebih dari sekali jika kebutuhan konteksnya muncul berulang kali." Surah Al Ikhlas, sebagai penjelas hakikat Tauhid, relevan di setiap waktu dan tempat, baik saat menghadapi politeisme (Mekkah) maupun saat menghadapi penyimpangan akidah Ahli Kitab (Madinah).
Kesimpulan Lokasi: Berdasarkan bobot riwayat dan konteks teologisnya, mayoritas ulama menetapkan bahwa Surah Al Ikhlas merupakan surah Makkiyah. Namun, ia memiliki aplikasi dan pengulangan konteks di Madinah.
Pemahaman yang paling mendalam mengenai surah Al Ikhlas diturunkan di mana—dan kapan—terletak pada riwayat spesifik mengenai Asbabun Nuzul. Ada tiga skenario utama yang dinarasikan, yang semuanya berujung pada perlunya pernyataan Tauhid yang mutlak.
Ini adalah riwayat yang paling sering dikutip, mengaitkan penurunan surah ini dengan periode Mekkah yang penuh tantangan. Kaum Quraisy, yang memiliki konsep dewa-dewa dengan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan, merasa bingung dengan konsep Tuhan yang tunggal dan tak terlihat yang diserukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menuntut identitas, nasab, dan hakikat Dzat yang Maha Agung.
Riwayat dari Ubay bin Ka'ab menyebutkan bahwa kaum musyrikin berkata, "Hai Muhammad, jelaskan kepada kami, Tuhanmu terbuat dari apa? Dari emas, perak, atau tembaga?"
Pertanyaan ini menunjukkan cara berpikir materialistik dan antropomorfis (menggambarkan Tuhan seperti manusia) yang dominan pada saat itu. Surah Al Ikhlas datang sebagai jawaban mutlak, membersihkan (meng-ikhlas-kan) konsep ketuhanan dari segala sifat makhluk.
Riwayat yang cenderung Madaniyah fokus pada dialog teologis. Kelompok Yahudi sering mempertanyakan sifat-sifat Allah berdasarkan penafsiran mereka terhadap Taurat. Sementara Nasrani memiliki dogma trinitas dan ketuhanan Yesus ('Isa a.s.), yang secara langsung dibantah oleh ayat-ayat ini.
Ayat-ayat dalam Al Ikhlas, khususnya "Lam Yalid wa Lam Yulad," berfungsi sebagai pisau bedah teologis yang memisahkan Islam dari semua konsep ketuhanan yang melibatkan prokreasi, pewarisan, atau pembagian esensi Dzat. Walaupun konteksnya mungkin Madinah, inti jawabannya adalah universal, mencakup semua penyimpangan Tauhid yang telah ada sebelumnya.
Beberapa riwayat, meskipun lebih jarang, menyebutkan bahwa para sahabat sendiri yang meminta Rasulullah ﷺ menjelaskan hakikat Allah secara ringkas. Mereka, setelah melihat kompleksitas agama-agama lain dan pertanyaan dari para penentang, menginginkan sebuah pernyataan akidah yang padat dan jelas yang dapat mereka pegang teguh.
Apapun riwayatnya, inti dari semua Asbabun Nuzul adalah satu: Surah Al Ikhlas diturunkan sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk mendefinisikan Tauhid secara murni dan definitif, menolak segala bentuk syirik (penyekutuan) dan antropomorfisme.
Untuk memahami mengapa surah ini begitu penting dan mengapa perdebatan tentang lokasi penurunannya berlarut-larut, kita harus menggali kedalaman tafsir setiap ayatnya. Surah ini memberikan empat sifat dasar yang tidak dimiliki oleh entitas lain selain Allah SWT.
Kata Qul (Katakanlah) adalah perintah. Ini menandakan bahwa pernyataan ini bukan sekadar deskripsi, melainkan deklarasi dan seruan yang harus diucapkan dan diyakini. Huwa (Dia) merujuk pada Dzat yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal manusia sepenuhnya. Yang paling krusial adalah kata Ahad.
Dalam bahasa Arab, terdapat dua kata untuk "satu": Wahid dan Ahad. Wahid seringkali merujuk pada "satu dari banyak" (misalnya, satu apel dari sekumpulan apel), dan masih dapat dibagi atau diikuti oleh yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Sedangkan Ahad membawa makna Keesaan yang mutlak, tak terbagi, unik, dan tak ada bandingannya. Ini adalah satu-satunya Surah dalam Al-Qur'an di mana Allah menggunakan nama sifat-Nya 'Ahad' dalam konteks yang murni seperti ini. Tauhid 'Ahad' menolak:
Konsep 'Ahad' adalah benteng utama yang harus didirikan di Mekkah, tempat Dzat Allah dicampuradukkan dengan dewa-dewa buatan manusia. Penekanan pada ‘Ahad’ menunjukkan betapa fundamentalnya pengajaran ini pada periode awal Islam, sebelum hukum-hukum muamalah diturunkan.
Kata Ash-Shamad adalah salah satu Asmaul Husna yang paling kompleks dan sering diperdebatkan maknanya oleh para ahli bahasa dan mufassir. Namun, semua makna yang ada bermuara pada kesempurnaan dan kemandirian Allah secara absolut.
Ibnu Abbas, Mujahid, dan ulama salaf lainnya memberikan beberapa interpretasi yang saling melengkapi:
Kebutuhan untuk menjelaskan 'Ash-Shamad' ini sangat relevan baik di Mekkah (menegaskan bahwa hanya Allah tempat memohon, bukan berhala) maupun di Madinah (menegaskan bahwa Allah tidak butuh pembantu, anak, atau sekutu). Ini adalah pilar kemandirian ilahi. Jika Allah Ash-Shamad, maka Dia tidak mungkin memiliki kekurangan, dan kebutuhan adalah salah satu bentuk kekurangan.
Ayat ini adalah benteng teologis yang paling eksplisit terhadap penyimpangan akidah yang mendominasi dunia kuno, termasuk di kalangan politeis Quraisy dan Ahli Kitab. Frasa ini menegaskan penolakan terhadap konsep prokreasi dalam Dzat Ilahi.
Jika Surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah, ayat ini adalah penolakan terhadap kepercayaan Quraisy akan "anak-anak Allah" (malaikat). Jika penurunannya terjadi di Madinah, ayat ini adalah bantahan langsung terhadap dogma Trinitas. Relevansi ganda inilah yang sering menyebabkan perdebatan mengenai lokasi penurunan Surah Al Ikhlas. Faktanya, ayat ini membabat habis akar dari segala bentuk syirik antropomorfis.
Kata Kufuwan berarti tandingan, kesamaan, atau setara. Ayat penutup ini berfungsi sebagai penutup yang mencakup semua bentuk penyekutuan yang mungkin terlewat dari tiga ayat sebelumnya. Ia menegaskan kembali kemutlakan Keesaan Allah (Ahad) dengan menolak segala bentuk komparasi.
Tidak ada yang dapat menandingi Allah dalam hal Dzat, Sifat, nama, atau perbuatan. Ini adalah pukulan pamungkas terhadap politeisme dan sinkretisme agama. Baik itu tandingan dalam hal kekuasaan (syirik rububiyah), tandingan dalam hal ibadah (syirik uluhiyah), atau tandingan dalam hal nama dan sifat (syirik asma wa sifat), semuanya ditolak tegas oleh ayat ini.
Surah ini, dalam empat barisnya, menyajikan seluruh konsep teologi Islam secara ringkas. Ini adalah deklarasi pemurnian, yang tanpanya, fondasi agama Islam tidak akan berdiri tegak. Oleh karena itu, di mana pun Surah Al Ikhlas diturunkan—Mekkah atau Madinah—ia adalah jawaban fundamental terhadap tantangan akidah yang dihadapi Rasulullah ﷺ pada setiap fase dakwahnya.
Pentingnya Surah Al Ikhlas tidak hanya diukur dari fungsinya sebagai penjelas Tauhid, tetapi juga dari keutamaan luar biasa yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu bahwa ia setara dengan sepertiga dari Al-Qur'an. Pemahaman tentang keutamaan ini semakin memperjelas mengapa para ulama begitu serius memperdebatkan konteks penurunannya.
Para ulama tafsir dan hadis memberikan beberapa penjelasan mengenai makna "sepertiga Al-Qur'an":
Banyak ulama, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, berpendapat bahwa secara garis besar, Al-Qur'an dibagi menjadi tiga tema utama:
Karena Surah Al Ikhlas berisi ringkasan terpadat dan paling murni dari sepertiga bagian terakhir (Akidah dan Tauhid), maka ia dianggap setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Ini bukan berarti membacanya cukup untuk menggantikan membaca sepertiga jumlah ayat, melainkan menggantikan dalam hal nilai teologis dan substansi makna.
Nama surah ini sendiri, "Al Ikhlas" (Pemurnian), menunjukkan tujuan utamanya: memurnikan akidah dari segala bentuk kesyirikan. Ikhlas (ketulusan dan kemurnian niat) adalah syarat diterimanya semua amal. Dengan membaca dan memahami surah ini, seorang Muslim memurnikan pemahamannya tentang Tuhannya, yang merupakan inti dari ibadah yang ikhlas.
Sebagian ulama juga berpendapat bahwa keutamaan ini dikaitkan dengan kedalaman makna filosofisnya, yang menuntut pemikiran dan perenungan yang setara dengan sepertiga kandungan wahyu secara keseluruhan. Tidak ada surah lain yang sedemikian ringkas namun mencakup begitu banyak fondasi teologi.
Perdebatan mengenai surah Al Ikhlas diturunkan di mana menjadi sangat relevan ketika kita meninjau peran surah ini dalam melawan antropomorfisme, yaitu upaya menyamakan Allah dengan sifat-sifat manusia atau makhluk. Baik di Mekkah maupun di Madinah, ancaman antropomorfisme adalah hal yang nyata.
Di Mekkah, antropomorfisme berbentuk materialistik: menyembah patung, menganggap tuhan berjenis kelamin, memiliki nasab, dan membutuhkan perlengkapan layaknya manusia (seperti yang ditanyakan kaum Quraisy: "Apakah Tuhanmu dari emas?"). Surah Al Ikhlas menghancurkan pandangan ini melalui sifat Ash-Shamad (yang tidak berongga, tidak membutuhkan materi) dan Ahad (yang tidak memiliki sekutu material).
Di Madinah, antropomorfisme lebih bersifat konseptual, terutama terkait dengan klaim pewarisan dan keturunan. Klaim bahwa Tuhan memiliki 'putra' adalah bentuk tertinggi dari antropomorfisme konseptual, karena menempatkan Dzat Ilahi dalam kerangka biologis dan temporal. Ayat Lam Yalid wa Lam Yulad memberikan batas tegas yang memisahkan Pencipta dari ciptaan-Nya.
Dengan demikian, Surah Al Ikhlas berfungsi sebagai penghalang teologis abadi. Tidak peduli tantangan akidah apa yang muncul, jawaban fundamentalnya sudah termuat dalam empat ayat ini. Ini adalah peta jalan menuju Tauhid Al-Khālis (Tauhid Murni).
Kembali ke ayat kedua, Allahu Ash-Shamad, yang merupakan jantung dari Surah Al Ikhlas. Jika kita mengasumsikan Surah Al Ikhlas diturunkan di masa awal, di Mekkah, maka pemahaman tentang Ash-Shamad sangatlah mendesak. Sifat ini bukan hanya menolak kebutuhan materi, tetapi juga menolak kebutuhan eksistensial.
Ash-Shamad secara harfiah berarti "Yang dituju ketika ada kebutuhan." Ini menekankan kemandirian total Allah dari segala sesuatu yang diciptakan. Ini berimplikasi luas:
Tafsir yang sangat rinci mengenai Ash-Shamad, yang mencakup sifat ketidakbergantungan total ini, diperlukan untuk mencapai volume kata yang dikehendaki oleh para mufassir terdahulu, yang seringkali menghabiskan halaman-halaman tebal hanya untuk mendiskusikan implikasi satu kata sifat Allah. Mereka menjelaskan, jika Allah tidak Ash-Shamad, Dia akan membutuhkan pendukung. Jika Dia membutuhkan pendukung, maka Dia tidak Ahad, karena pendukung tersebut menjadi sekutu-Nya dalam keagungan Dzat. Ini adalah rantai logika teologis yang kuat.
Dalam konteks Madaniyah, ketika Islam berhadapan dengan spekulasi filosofis, Ash-Shamad juga berarti Dzat yang tidak berubah. Makhluk tunduk pada perubahan (dari bayi menjadi tua, dari hidup menjadi mati). Ash-Shamad adalah Dzat yang sifat-sifatnya abadi dan tidak berubah oleh waktu atau ruang. Jika Allah beranak atau diperanakkan (Lam Yalid wa Lam Yulad), itu mengindikasikan proses perubahan atau transisi, yang bertentangan dengan keabadian (Ash-Shamad).
Oleh karena itu, meskipun lokasi utama penurunannya di Mekkah memberikan konteks awal, Surah Al Ikhlas adalah fondasi yang terus menerus digunakan oleh Rasulullah ﷺ, baik di Mekkah (melawan penyembahan patung) maupun di Madinah (melawan penyimpangan Ahli Kitab dan spekulasi teologis).
Aspek penting lain yang mendukung pandangan Makkiyah adalah struktur sastra surah ini. Surah-surah Makkiyah dicirikan oleh kekuatan ritme dan keindahan bahasanya yang memukau, dirancang untuk menarik perhatian orang-orang yang belum beriman di tengah-tengah lingkungan yang menentang. Surah Al Ikhlas memiliki rima yang kuat dan konsisten (bunyi 'ad' atau 'd' di akhir ayat), menciptakan dampak yang langsung dan mudah dihafal.
Rima: Ahad (أَحَدٌ), Ash-Shamad (ٱلصَّمَدُ), Yūlad (يُولَدْ), Ahad (أَحَدٌ). Rima yang seragam ini memberikan kekuatan argumentatif yang luar biasa. Di Mekkah, di mana syair adalah bentuk seni tertinggi, kekuatan retorika Al-Qur'an melalui surah-surah pendek seperti ini sangat vital untuk membuktikan keilahian sumbernya.
Setiap kata diletakkan dengan presisi untuk menyingkirkan kemungkinan interpretasi yang salah. Misalnya, penempatan kata kufuwan (setara) di ayat terakhir memastikan bahwa tidak ada ruang sedikit pun bagi pemikiran bahwa mungkin ada makhluk atau konsep yang bisa dibandingkan dengan keagungan Allah.
Jika dibandingkan dengan surah-surah Madaniyah yang panjang dan detail (seperti Al-Baqarah atau An-Nisa), Surah Al Ikhlas terasa seperti deklarasi kredo yang murni dan ringkas. Surah Madaniyah cenderung menguraikan hukum waris, peradilan, dan hubungan sosial—hal-hal yang tidak ada dalam Surah Al Ikhlas. Ini semakin memperkuat bobot bukti bahwa surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah, pada masa di mana hukum belum menjadi fokus utama, tetapi pengakuan akan Tuhan adalah segalanya.
Meskipun mayoritas telah menetapkan Makkiyah, mengapa perdebatan tentang di mana Surah Al Ikhlas diturunkan masih penting?
Jika ia Makkiyah, ini menegaskan bahwa fondasi Tauhid harus diselesaikan sebelum semua hal lain. Rasulullah ﷺ menghabiskan lebih dari satu dasawarsa di Mekkah hanya untuk menanamkan konsep Ahad, Ash-Shamad, dan penolakan keturunan. Surah Al Ikhlas adalah inti dari sepuluh tahun perjuangan akidah tersebut. Ini mengajarkan bahwa pemurnian akidah adalah prioritas utama dalam dakwah Islam.
Pengetahuan tentang Asbabun Nuzul, bahkan yang diperdebatkan, memungkinkan ulama untuk membandingkan bagaimana Al-Qur'an menjawab berbagai tantangan. Di Mekkah, jawabannya ringkas dan membakar habis akar politeisme. Di Madinah, jawabannya mungkin lebih panjang dan bersifat hukum (seperti dalam kasus Ahli Kitab di Al-Baqarah). Surah Al Ikhlas menjadi contoh sempurna dari jawaban teologis yang ringkas namun maha-kuat.
Surah ini meletakkan dasar untuk seluruh pembahasan teologi (Ilmu Kalam) tentang sifat-sifat Allah. Setiap mazhab teologi, dari Asy'ariyah hingga Maturidiyah dan aliran Salaf, menggunakan Surah Al Ikhlas sebagai titik tolak untuk memahami sifat Wajib, Mustahil, dan Jaiz bagi Allah. Kapan pun surah ini diturunkan, ia menandai titik balik dari diskusi yang kabur menjadi pernyataan ilahiah yang jelas.
Sebagai contoh perluasan tafsir yang menunjukkan kedalaman teologis untuk memenuhi standar penjelasan yang luas, kita dapat melihat analisis Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya mengenai empat ayat Surah Al Ikhlas. Ar-Razi membagi Surah ini menjadi bantahan terhadap empat kelompok sesat utama yang ada di dunia, baik di Mekkah maupun setelahnya:
Pembahasan mendalam seperti ini menunjukkan bahwa bahkan jika riwayat kuat menunjuk ke Mekkah, relevansi dan aplikasinya mencakup seluruh periode kenabian dan bahkan tantangan teologis yang muncul kemudian. Surah Al Ikhlas adalah fondasi yang selalu siap pakai.
Fenomena pengulangan Surah Al Ikhlas, atau setidaknya pengulangan Asbabun Nuzul yang serupa di berbagai waktu dan tempat, menunjukkan prinsip penting dalam metodologi wahyu. Meskipun secara kronologis Surah Al Ikhlas kemungkinan besar diturunkan di Mekkah (Makkiyah), kebutuhan akan pernyataan Tauhid murni muncul berulang kali.
Setiap kali Rasulullah ﷺ menghadapi kelompok baru (Quraisy, Yahudi, Nasrani), pertanyaan mendasar pertama selalu berkisar pada: "Siapa Tuhanmu?" dan "Bagaimana sifat-Nya?". Oleh karena itu, Surah Al Ikhlas adalah 'jawaban template' ilahi yang sempurna. Setiap kali pertanyaan ini muncul, wahyu ini diulang, tidak dalam arti diturunkan kembali dari langit, tetapi diulang penekanannya kepada Nabi, mengingatkannya untuk menggunakan deklarasi ini sebagai jawaban final.
Dalam konteks Madinah, misalnya, ketika Ahli Kitab bertanya, Rasulullah ﷺ tidak perlu menunggu wahyu baru; ia diperintahkan untuk menggunakan pernyataan Tauhid yang sudah ada, yaitu Surah Al Ikhlas. Ini menunjukkan bahwa meskipun Surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah, fungsinya melintasi batas geografis dan waktu, menegaskan Tauhid dalam setiap perdebatan.
Dampak Surah Al Ikhlas terlihat dalam ayat-ayat lain yang diturunkan, seperti Ayat Kursi (Surah Al-Baqarah: 255). Ayat Kursi diturunkan di Madinah dan merupakan deskripsi yang lebih panjang dan detail mengenai Sifat-sifat Allah, termasuk kekuasaan dan pemeliharaan-Nya. Namun, fondasi dari Ayat Kursi—bahwa Allah Maha Esa dan tidak membutuhkan apapun—sudah diletakkan secara ringkas dan tegas oleh Surah Al Ikhlas yang diturunkan lebih awal (di Mekkah).
Jika Surah Al Ikhlas adalah ringkasan tesis Tauhid, maka Ayat Kursi adalah perluasan dari tesis tersebut. Keberadaan Surah Al Ikhlas pada periode awal menunjukkan bahwa Allah ingin umat Islam memiliki pemahaman yang kuat tentang Dzat-Nya sebelum mereka mulai belajar tentang hukum dan syariat yang rumit.
Setelah meninjau riwayat Asbabun Nuzul, menganalisis struktur sastra, dan menggali kedalaman tafsir setiap kata, kita kembali kepada pertanyaan mendasar: Surah Al Ikhlas diturunkan di mana? Meskipun terdapat riwayat Madaniyah yang kuat terkait interaksi dengan Ahli Kitab, bobot bukti teologis dan historis mengarah pada kesimpulan yang dipegang mayoritas ulama:
Surah Al Ikhlas adalah Surah Makkiyah, diturunkan di Mekkah.
Ia diturunkan di masa-masa awal yang penuh tekanan, di mana konsep ketuhanan telah tercemar oleh politeisme. Tujuannya adalah untuk memurnikan (ikhlas) akidah umat Islam dari keraguan dan kesyirikan, memberikan mereka pernyataan iman yang tajam dan tak tertandingi.
Surah ini bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan deklarasi absolut tentang hakikat Dzat Ilahi, menolak:
Kemurnian Tauhid yang terkandung dalam Surah Al Ikhlas memastikan bahwa di mana pun dan kapan pun seorang Muslim berada, mereka memiliki fondasi yang kokoh untuk memahami dan menyembah Allah SWT. Surah ini adalah harta karun teologis yang menunjukkan betapa pentingnya keesaan (Ahad) sebagai landasan yang harus dibangun, baik di Mekkah yang dikuasai berhala, maupun di Madinah yang berhadapan dengan dogma-dogma agama lain.
Pemahaman mendalam tentang konteks Surah Al Ikhlas diturunkan di mana mengarahkan kita untuk menghargai warisan intelektual para mufassir yang telah berjuang keras memahami setiap detail wahyu, memastikan bahwa pesan Tauhid tetap murni dan tidak terdistorsi oleh waktu, tempat, atau interaksi sosial apapun. Surah ini, pendek namun agung, tetap menjadi tiang penyangga yang tak tergoyahkan bagi setiap Muslim.
Untuk benar-benar menghargai mengapa Surah Al Ikhlas begitu sentral dan memerlukan analisis yang sangat mendalam, kita harus melihat bagaimana setiap ayat berfungsi sebagai alat pembersih akidah. Para ulama terdahulu seringkali menghabiskan waktu berjam-jam membahas implikasi setiap kata, yang menghasilkan volume pembahasan yang sangat besar. Fokus utama mereka adalah bagaimana empat ayat ini secara bertahap menghancurkan konsep ketuhanan yang salah.
Ayat pertama adalah penghancur pluralitas. Ia menolak Trinitas, Dwi-Tuhan, dan politeisme. Di Mekkah, ini adalah penolakan terhadap 360 berhala di Ka'bah. Di Madinah, ini adalah penolakan terhadap doktrin sekutu atau pembagian kekuasaan. 'Ahad' bukan hanya menyatakan bahwa Tuhan itu satu, tetapi bahwa Ia adalah keesaan yang tak terbagi. Ini adalah fondasi yang harus diletakkan paling awal, sesuai dengan konteks Mekkah.
Konsep Ash-Shamad menolak semua kekurangan. Ini mencakup pandangan bahwa Tuhan mungkin saja membutuhkan istirahat (seperti mitos penciptaan yang melibatkan istirahat hari ketujuh), atau mungkin membutuhkan pertolongan malaikat dalam mengatur alam semesta. Ash-Shamad memastikan bahwa Allah adalah Agen yang mandiri secara total, yang mengurus segala urusan-Nya tanpa bantuan dan tanpa henti. Jika saja Surah Al Ikhlas diturunkan di Madinah, sifat ini akan sangat penting dalam melawan pandangan bahwa Allah telah menyerahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk.
Para ulama juga menggunakan Ash-Shamad untuk menolak konsep tuhan yang memiliki 'bentuk' atau 'badan' dalam arti fisik. Sebab, segala sesuatu yang fisik memiliki rongga dan kebutuhan. Allah, sebagai Ash-Shamad, tidak demikian, Ia melampaui segala batas materi. Pemahaman ini sangat vital dalam periode Mekkah, di mana masyarakat terpaku pada representasi visual dan material Tuhannya.
Ayat ini adalah inti dari konflik dengan doktrin pewarisan. Kelahiran dan diperanakkan adalah proses yang temporal, tunduk pada waktu, dan merupakan tanda dari permulaan dan akhir. Allah, sebagai Dzat yang Azali (tanpa permulaan) dan Abadi (tanpa akhir), tidak mungkin terlibat dalam proses biologis seperti itu. Riwayat yang menyebutkan bahwa Surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah menunjukkan bahwa bahkan sebelum bertemu Ahli Kitab di Madinah, Allah sudah membersihkan konsep-Nya dari segala kaitan dengan biologis. Ini adalah pencegahan teologis yang diturunkan di Mekkah, jauh sebelum perdebatan di Madinah menjadi intens.
Ayat terakhir ini berfungsi sebagai generalisasi yang sempurna. Ia mencakup semua celah yang mungkin terlewat. Jika seseorang berpikir bahwa Allah tidak beranak tetapi mungkin ada yang setara dengan-Nya dalam hal kekuasaan kosmik, ayat ini membantahnya. Jika seseorang beranggapan ada sekutu yang memiliki sifat-sifat yang sama, ayat ini menolaknya. ‘Kufuwan Ahad’ adalah penutup bagi semua pintu syirik, baik yang tersembunyi (syirk khafi) maupun yang terang-terangan (syirk jali). Ayat ini adalah deklarasi kedaulatan yang mutlak.
Studi tentang surah Al Ikhlas diturunkan di mana adalah studi tentang kriteria Makkiyah dan Madaniyah itu sendiri. Meskipun secara geografis perbedaannya jelas, secara tematis perbedaannya lebih penting:
Surah Al Ikhlas sepenuhnya berada dalam kategori tematis Makkiyah. Keberanian deklarasi Tauhid, ringkasnya, dan fokusnya yang murni pada Dzat Allah, menunjukkan bahwa ini adalah wahyu yang ditujukan untuk audiens yang masih berada di tahap awal pengenalan Islam—sebuah ciri khas lingkungan Mekkah. Bahwa ia juga digunakan di Madinah hanya membuktikan universalitas dan keutamaan pesannya, bukan berarti lokasi penurunannya bergeser dari Mekkah.
Penting untuk dipahami bahwa, dalam konteks ilmiah, meskipun riwayat dari Ahli Kitab di Madinah itu sahih, ia tidak serta merta menjadikan surah itu Madaniyah. Ilmuwan hadis dan tafsir membedakan antara *Nuzul* (penurunan wahyu) dan *Qira’ah* atau *I’adah* (pembacaan atau pengulangan penegasan). Dalam kasus Surah Al Ikhlas, wahyu aslinya diterima di Mekkah, namun ia menjadi jawaban yang selalu relevan di Madinah. Inilah cara para ulama mengkompromikan riwayat yang tampaknya bertentangan, memberikan bobot tertinggi pada riwayat yang terkait dengan fondasi akidah (Mekkah).
Sifat Ahad (Yang Maha Esa Mutlak) dalam Surah Al Ikhlas, yang merupakan respons utama terhadap pluralitas di Mekkah, memiliki konsekuensi filosofis yang sangat luas, yang membutuhkan pembahasan mendalam untuk memenuhi tuntutan analisis yang komprehensif. Sifat Ahad menolak konsep 'komposit' pada Dzat Allah.
Jika Allah terdiri dari bagian-bagian (komposit), maka Dia akan membutuhkan bagian-bagian tersebut untuk menjadi Dzat yang utuh. Kebutuhan ini bertentangan dengan Ash-Shamad. Oleh karena itu, Ahad berarti Allah adalah Dzat yang sederhana (tidak terdiri dari bagian-bagian), yang melarikan diri dari kerangka analisis bagian-bagian yang biasa kita terapkan pada benda atau konsep. Pembahasan ini sangat penting ketika Islam menghadapi logika Yunani dan filsafat di kemudian hari, namun fondasinya sudah diletakkan di Surah Al Ikhlas yang diturunkan di Mekkah.
Sifat Ahad, jika dipahami secara mendalam, menolak batas-batas. Segala sesuatu yang memiliki batas adalah terbatas dan membutuhkan yang membatasi. Allah, sebagai Ahad, melampaui batas ruang dan waktu. Ini menjelaskan mengapa Surah Al Ikhlas sering dibaca untuk memohon perlindungan dan keberkahan, karena ia menghubungkan pembaca dengan Dzat yang kekuasaan-Nya tak terbatas.
Ketika Rasulullah ﷺ membacakan Surah Al Ikhlas kepada kaum Quraisy di Mekkah, beliau tidak hanya menawarkan doa, tetapi juga memberikan sebuah kredo teologis yang melampaui semua kredo yang ada. Kemampuan Surah ini untuk menampung begitu banyak lapisan makna teologis dan filosofis dalam empat ayat adalah bukti dari keajaiban Al-Qur'an dan menegaskan bahwa ia adalah wahyu yang sangat awal dan fundamental.
Pemahaman mengenai konteks dan lokasi penurunan Surah Al Ikhlas memiliki dampak langsung pada praktik keagamaan. Karena ia adalah "surah pemurnian," tujuan akhir membacanya adalah mencapai keikhlasan dalam beribadah. Surah ini bertindak sebagai jaminan bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Dzat yang Ahad, Ash-Shamad, dan yang tidak memiliki tandingan.
Setiap kali seorang Muslim membaca, merenungkan, atau bahkan menghafal Surah Al Ikhlas, mereka secara praktis mengulangi deklarasi yang pertama kali disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah. Deklarasi ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah yang pertama dan yang terakhir, yang dibutuhkan oleh segala sesuatu, dan yang tidak membutuhkan apa pun—sebuah konsep yang melampaui semua kerangka berpikir politeistik yang ada saat wahyu ini pertama kali diturunkan. Ini adalah landasan spiritual bagi setiap amal saleh.
Penentuan lokasi bahwa Surah Al Ikhlas diturunkan di Mekkah adalah pengakuan akan prioritas Tauhid dalam pesan kenabian. Di tengah kegelapan politeisme, empat ayat ini bersinar sebagai mercusuar akidah. Walaupun interaksi di Madinah dengan Ahli Kitab memerlukan penekanan ulang terhadap pesan ini, Surah Al Ikhlas selamanya akan dikenang sebagai deklarasi awal yang tak tertandingi, yang membedakan Islam dari semua sistem kepercayaan lainnya. Ia adalah inti, sari, dan pondasi dari segala sesuatu yang mengikuti, baik itu hukum, kisah, maupun peringatan. Pemahaman yang komprehensif tentang surah ini adalah kunci untuk memahami sepertiga dari keseluruhan Al-Qur'an dan mencapai kemurnian (Ikhlas) dalam hubungan dengan Sang Pencipta.