Surah Al-Ikhlas, meskipun hanya terdiri dari empat ayat yang ringkas dan padat, memegang posisi yang monumental dalam teologi Islam. Dikenal sebagai surah yang menyamai sepertiga Al-Qur’an, isinya adalah pernyataan Tauhid (keesaan Allah) yang paling murni dan definitif. Namun, di balik keagungan maknanya, para ulama ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an) telah lama berdebat mengenai kronologi pewahyuannya: apakah surah Al-Ikhlas diturunkan sebelum surah-surah fundamental lainnya, dan pada fase mana dalam 23 tahun masa kenabian ia muncul? Pemahaman atas urutan pewahyuan (Tartib Nuzuli) ini bukan sekadar kajian akademis, melainkan kunci untuk memahami evolusi dakwah Nabi Muhammad ﷺ, dari penegasan dasar tauhid hingga pembentukan masyarakat berbasis syariat.
Alt Text: Ilustrasi pena (qalam) di atas gulungan naskah, melambangkan proses pewahyuan Al-Qur'an.
Untuk menempatkan Surah Al-Ikhlas secara kronologis, kita harus terlebih dahulu memahami dikotomi utama dalam pewahyuan: periode Makkiyah (sebelum Hijrah) dan Madaniyah (setelah Hijrah). Pembagian ini jauh lebih dari sekadar geografis; ia mencerminkan perubahan drastis dalam fokus teologis dan sosial:
Fase Mekkah ditandai dengan perjuangan fundamental melawan Syirik dan penguatan pondasi akidah. Surah-surah yang turun pada masa ini cenderung pendek (seperti Al-Ikhlas), puitis, memiliki ritme yang kuat, dan fokus pada:
Surah Al-Ikhlas secara sempurna mencerminkan poin pertama ini. Ia adalah respons langsung terhadap lingkungan politeistik yang menanyakan esensi Tuhan. Dengan demikian, secara logis, surah ini harus berada di antara wahyu-wahyu paling awal, bersama Surah Al-Alaq, Al-Muzzammil, dan Al-Muddatstsir.
Penentuan urutan pewahyuan sangat bergantung pada riwayat Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Dalam konteks Al-Ikhlas, terdapat dua riwayat utama yang berbeda mengenai pihak yang mengajukan pertanyaan, dan perbedaan ini krusial dalam menentukan posisi kronologisnya relatif terhadap surah lain:
Namun, mayoritas ulama tafsir, termasuk Al-Wahidi dan Ibn Katsir, cenderung memperkuat pandangan bahwa konteks utama Surah Al-Ikhlas adalah Mekkah, karena kebutuhan untuk mendefinisikan Tauhid secara radikal jauh lebih mendesak di masa-masa awal dakwah, sebelum masyarakat Islam terbentuk.
Filosofi di balik urutan pewahyuan Al-Qur’an mengikuti prinsip pedagogis Ilahi: pondasi (akidah) harus dibangun kokoh sebelum struktur (syariat) dapat didirikan. Surah Al-Ikhlas adalah arsitek dari pondasi ini. Ia bukan sekadar pernyataan, melainkan bantahan sistematis terhadap semua bentuk kesyirikan.
Penegasan ini adalah titik tolak. Ia harus diucapkan dan dipahami sebelum perintah salat, zakat, atau puasa dapat ditegakkan. Jika Tauhid belum dipahami secara tuntas, maka ibadah-ibadah tersebut kehilangan makna. Inilah argumen terkuat bahwa Al-Ikhlas (atau surah yang sejenis, seperti Al-Kafirun) harus mendahului hampir semua surah Madaniyah dan banyak surah Mekkah yang bersifat naratif atau instruktif.
Pewahyuan di Mekkah adalah fase pemisahan. Al-Ikhlas memisahkan Muslim dari politeis (tidak ada berhala), dari Yahudi (yang tidak sepenuhnya setuju dengan konsep *Ahad* dan *Lam yalid* dalam konteks tertentu), dan dari Nasrani (yang percaya pada kelahiran Tuhan—Lam yalid wa lam yuulad). Karena tantangan teologis ini muncul sejak awal, sebuah deklarasi yang jelas dan tak terhindarkan seperti Al-Ikhlas sangat dibutuhkan pada tahap awal dakwah, sebelum komunitas Muslim menjadi entitas politik di Madinah.
Bila kita membandingkannya dengan Surah Al-Fatihah (yang menurut sebagian besar ulama merupakan surah kelima yang diturunkan), Al-Ikhlas menawarkan fokus yang lebih tajam dan sempit hanya pada sifat Ilahiyah, melengkapi Tauhid rububiyah yang ditekankan dalam Al-Fatihah. Ini mengindikasikan bahwa Al-Ikhlas adalah salah satu fondasi awal dalam blok bangunan akidah.
Untuk menjawab pertanyaan kunci mengenai prioritas Al-Ikhlas, kita harus membandingkannya dengan beberapa surah yang urutan pewahyuannya relatif lebih mapan berdasarkan laporan para Sahabat (seperti Jabir ibn Zaid atau Abdullah ibn Mas'ud).
Ini adalah konsensus mutlak. Al-Ikhlas, sebagai surah akidah murni, pasti diturunkan sebelum seluruh surah Madaniyah yang membahas hukum, perang, perdata, dan sosial, seperti:
Mustahil sebuah masyarakat dapat menerapkan hukum-hukum detail ini jika dasar keimanan mereka terhadap Tauhid belum dideklarasikan dan dipahami sepenuhnya. Oleh karena itu, Al-Ikhlas menjadi prasyarat teologis bagi semua surah legislatif Madinah.
Urutan tradisional (seperti yang dilaporkan oleh Jabir ibn Zaid, meskipun ada perbedaan kecil) menempatkan Al-Ikhlas di antara wahyu-wahyu Mekkah awal. Surah-surah yang datang sebelum Al-Ikhlas, menurut banyak ulama, mencakup:
Jika kita menerima urutan ini, Al-Ikhlas (seringkali ditempatkan di antara surah ke-20 hingga ke-30 dalam urutan Nuzul, namun beberapa menempatkannya lebih awal) diturunkan setelah surah-surah inisiasi ini. Surah-surah awal ini bertujuan untuk mempersiapkan Nabi (Al-Muzzammil, Al-Muddatstsir) dan menegaskan kenabian (Al-Alaq). Al-Ikhlas kemudian datang sebagai jawaban atas pertanyaan spesifik mengenai esensi Wujud yang tengah disembah oleh Nabi.
Perbandingan kronologis yang paling menarik adalah antara Al-Ikhlas dan Surah Al-Kafirun (surah ke-109). Keduanya adalah surah pendek yang dikenal sebagai "Dua Surah Keikhlasan" atau surah yang berorientasi pada pemisahan akidah.
Al-Kafirun diperkirakan turun pada fase negosiasi akhir di Mekkah, ketika kaum Quraisy mencoba menawarkan kompromi kepada Nabi Muhammad ﷺ: menyembah Tuhan mereka sehari, dan mereka menyembah Tuhan Nabi sehari. Surah Al-Kafirun adalah penolakan tegas terhadap kompromi tersebut. Karena penawaran kompromi ini biasanya terjadi pada fase pertengahan atau akhir Mekkah (ketika dakwah mulai efektif dan Quraisy merasa terancam), banyak ulama berpendapat bahwa Surah Al-Ikhlas diturunkan sebelum Surah Al-Kafirun. Al-Ikhlas menetapkan *siapa* Tuhan itu; Al-Kafirun menetapkan *bagaimana* hubungan kita dengan mereka yang menyembah selain Dia.
Kebutuhan untuk mendefinisikan Tuhan secara positif (Al-Ikhlas) secara teologis mendahului kebutuhan untuk menolak tawaran kompromi negatif (Al-Kafirun). Dengan demikian, Al-Ikhlas hampir pasti merupakan wahyu Mekkah yang lebih awal daripada Al-Kafirun.
Alt Text: Simbol geometris yang mewakili keesaan (Tauhid), dengan angka Arab ‘1’ di tengah.
Meskipun mayoritas ulama menempatkan Al-Ikhlas sebagai Mekkah awal, kompleksitas kronologi terletak pada riwayat-riwayat Asbabun Nuzul yang bervariasi. Jika kita menggali lebih dalam, kita menemukan bahwa beberapa riwayat yang tampak ‘Madinah’ sebenarnya memperkuat pentingnya surah ini sebagai jawaban terhadap tantangan universal, yang akarnya telah ada sejak Mekkah.
Riwayat yang paling dominan, yang diriwayatkan melalui Ubay bin Ka’ab dan lainnya, menyatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy bertanya kepada Nabi: "Wahai Muhammad, beritahukanlah kepada kami garis keturunan (nasab) Tuhanmu." Pertanyaan ini mencerminkan mentalitas suku Arab, di mana kehormatan dan legitimasi ditentukan oleh garis keturunan. Menghadapi Tuhan yang tak terlihat, mereka meminta deskripsi fisik dan biologis. Al-Ikhlas adalah jawaban yang revolusioner: Allah itu Ahad (satu dalam zat-Nya) dan Shamad (tempat bergantung dan tidak membutuhkan yang lain), yang secara tegas menolak konsep nasab.
Periode ketika Nabi Muhammad ﷺ pertama kali menantang keyakinan berhala (sekitar tahun ke-4 hingga ke-6 kenabian) adalah saat-saat di mana pertanyaan semacam ini paling mungkin diajukan. Oleh karena itu, penempatan Al-Ikhlas sebagai surah awal yang diturunkan sebelum banyak surah-surah Mekkah yang lebih panjang sangat masuk akal dalam konteks tekanan ideologis ini.
Beberapa riwayat, seperti yang disebutkan oleh Adh-Dhahhak dan Muqatil, mengaitkan penurunan Al-Ikhlas dengan kedatangan delegasi Yahudi atau Nasrani di Madinah yang mengajukan pertanyaan yang mirip. Jika riwayat ini dipertimbangkan sebagai sebab tunggal, maka Al-Ikhlas akan menjadi surah Madaniyah.
Namun, dalam ilmu tafsir, seringkali terjadi bahwa sebuah surah atau ayat yang telah turun sebelumnya (Mekkah) mendapatkan kembali relevansinya dan dibacakan oleh Nabi sebagai respons terhadap situasi yang serupa (Madinah). Dalam kasus Al-Ikhlas, para ulama cenderung melihat riwayat Ahli Kitab ini sebagai *aplikasi* ulang surah, bukan *sebab* utama penurunannya. Mengapa? Karena definisi Tauhid yang begitu mendasar diperlukan pada saat pendirian Islam itu sendiri. Jawaban yang sama, "Qul Huwallahu Ahad," sangat relevan untuk membantah Trinitas (Nasrani) maupun pandangan tertentu tentang Uzair (Yahudi), tetapi akar historis penurunannya ditujukan untuk kaum musyrikin Mekkah.
Jika kita menerima Al-Ikhlas sebagai Mekkah awal:
Kesimpulannya dalam aspek kronologis ini: Meskipun ada perdebatan minor, bukti kontekstual dan teologis sangat kuat menempatkan Al-Ikhlas dalam kategori wahyu Mekkah awal, menjadikannya diturunkan sebelum mayoritas besar surah Al-Qur’an, baik dari segi jumlah maupun panjang ayat.
Ada beberapa surah pendek lainnya yang berfungsi sebagai penjaga akidah dan sering dibaca bersamaan dengan Al-Ikhlas (Mu’awwidzatain), dan perbandingan kronologisnya memberikan gambaran yang lebih jelas tentang posisi Al-Ikhlas.
Surah Al-Falaq (113) dan Surah An-Nas (114) adalah doa perlindungan (isti'adzah) dari kejahatan fisik dan spiritual. Meskipun ditempatkan di akhir Mushaf, terdapat pandangan kuat bahwa kedua surah ini, atau setidaknya An-Nas, diturunkan di Madinah pada periode ketika Nabi Muhammad ﷺ sakit karena sihir. Jika kita menerima pandangan bahwa Al-Falaq dan An-Nas adalah Madaniyah (sebab sihir oleh Labid bin al-A'sam terjadi di Madinah), maka Al-Ikhlas diturunkan sebelum Al-Falaq dan An-Nas.
Perbedaan fungsinya jelas: Al-Ikhlas mendefinisikan siapa yang kita sembah; Al-Falaq dan An-Nas mengajarkan cara memohon perlindungan kepada-Nya. Definisi harus mendahului permohonan perlindungan spesifik.
Surah Al-Kautsar (108) adalah surah terpendek dalam Al-Qur’an. Ia diturunkan di Mekkah sebagai penghiburan bagi Nabi setelah wafatnya putranya, Abdullah, dan setelah ejekan dari kaum Quraisy (yang menyebut beliau terputus atau "abtar"). Para sejarawan umumnya menempatkan Al-Kautsar di fase Mekkah yang sedikit lebih matang, setelah Nabi menghadapi kesulitan pribadi yang signifikan.
Secara teologis, Al-Kautsar berfokus pada hubungan Nabi dengan Allah dan janji karunia. Al-Ikhlas berfokus pada Zat Allah semata. Karena Al-Ikhlas menjawab pertanyaan mendasar tentang Zat Ilahi, dan Al-Kautsar datang sebagai respons terhadap peristiwa spesifik (kematian anak dan ejekan), sangat mungkin Al-Ikhlas diturunkan sebelum Al-Kautsar, karena definisi Tuhan harus ada sebelum janji-janji kemurahan Tuhan dapat diterima dan dipahami.
Banyak surah yang turun di periode akhir Mekkah atau awal Madinah mulai membahas secara spesifik kelompok non-Muslim di Jazirah Arab, seperti Surah At-Talaq (hukum), Al-Jumu'ah (perintah salat Jumat), dan Al-Munafiqun (sifat orang munafik). Semua surah ini, tanpa terkecuali, diturunkan setelah Al-Ikhlas.
Pemahaman ini mengukuhkan bahwa Al-Ikhlas adalah pernyataan universal tentang Ketuhanan, yang bersifat transenden dari konteks hukum atau sosial spesifik Madinah. Ia adalah paspor bagi setiap Muslim, mendefinisikan subjek utama keimanan.
Dalam kerangka Ulumul Qur’an, Al-Ikhlas berfungsi sebagai fondasi teologis (ushuluddin). Sementara itu, surah-surah Madaniyah berfungsi sebagai fondasi hukum (furu'uddin). Urutan logis menuntut fondasi teologis didirikan terlebih dahulu. Inilah mengapa nilai Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qur’an: karena mencakup sepertiga dari total pesan Al-Qur’an, yaitu Tauhid, di samping Syariat dan Kisah/Peringatan.
Mengetahui bahwa Surah Al-Ikhlas diturunkan sebelum surah-surah hukum dan sebagian besar surah kisah memiliki implikasi penting, baik dalam studi Islam maupun dalam praktik dakwah.
Kronologi Al-Ikhlas menegaskan bahwa metodologi dakwah Nabi Muhammad ﷺ bersifat gradual dan fokus pada prioritas. Beliau tidak memulai dengan hukum perdata, melainkan dengan membersihkan akidah. Jika Al-Ikhlas adalah salah satu wahyu pertama yang menjawab ‘Siapa itu Allah?’, maka ini membuktikan bahwa langkah pertama dalam Islam adalah pengenalan yang benar dan mutlak terhadap Sang Pencipta.
Pendekatan ini berbanding terbalik dengan beberapa gerakan kontemporer yang mungkin terlalu cepat berfokus pada furu' (cabang-cabang hukum). Sebaliknya, Rasulullah ﷺ, didukung oleh wahyu, menghabiskan bertahun-tahun (fase Mekkah) untuk menanamkan benih Tauhid yang murni, yang puncaknya terekam dalam Surah Al-Ikhlas.
Dengan menempatkan Al-Ikhlas di Mekkah awal, para ulama berhasil mengatasi potensi kontradiksi dalam riwayat Asbabun Nuzul. Mereka mengakui bahwa makna surah tersebut begitu universal (mendefinisikan Tuhan) sehingga relevan untuk setiap kelompok penantang, baik musyrikin Mekkah maupun Ahli Kitab di Madinah. Namun, tekanan historis untuk menghasilkan sebuah teks yang sejelas ini—Tuhan yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan—paling kuat terasa ketika Nabi berada di bawah tekanan kaum Quraisy untuk berkompromi mengenai sifat Tuhannya.
Status Al-Ikhlas yang menyamai sepertiga Al-Qur’an menjadi lebih jelas dalam perspektif kronologi. Ia adalah dasar dari semua yang lain. Tanpa pengakuan mutlak terhadap Qul Huwallahu Ahad dan Lam yalid wa lam yuulad, struktur teologis Islam akan runtuh. Dengan turunnya surah ini pada tahap awal, ia menjadi jangkar yang kokoh, di mana pun dan kapan pun seorang Muslim berada, menjadikan ia relevan melampaui waktu dan tempat spesifik pewahyuannya.
Setelah menelaah secara mendalam konteks historis, teologis, dan komparatif mengenai posisi Al-Ikhlas, dapat disimpulkan bahwa secara mutlak dan meyakinkan, Surah Al-Ikhlas adalah sebuah surah Makkiyah, dan cenderung merupakan wahyu Mekkah awal.
Berikut adalah ringkasan definitif tentang urutan pewahyuan Al-Ikhlas relatif terhadap surah-surah lainnya:
Posisi Al-Ikhlas dalam ilmu Nuzul Al-Qur'an adalah sebagai pilar utama akidah. Ia adalah wahyu yang memisahkan keimanan sejati dari keraguan dan kesyirikan. Keagungannya bukan terletak pada panjangnya, melainkan pada ketepatan waktunya—datang pada saat yang paling dibutuhkan oleh umat manusia: saat mendefinisikan Tuhannya secara utuh dan tanpa kompromi. Ia adalah deklarasi keesaan yang harus didirikan kokoh, diturunkan sebelum surah-surah lainnya dapat membentuk kerangka kehidupan bermasyarakat, menjadikannya salah satu permata tertua dan paling fundamental dalam khazanah Al-Qur’an.
Pemahaman ini tidak hanya memperkaya apresiasi kita terhadap struktur Al-Qur’an tetapi juga menguatkan keyakinan bahwa keutamaan ajaran Islam selalu bertumpu pada kemurnian Tauhid yang disuarakan lantang oleh empat ayat dari Surah Al-Ikhlas.